Muara Cinta

32
0
Deskripsi

Zaman sudah modern tapi perjodohan masih saja bertahan. Tradisi itulah yang membuat Niken Angganawati harus menikah dengan Ervin Khaisan Hutomo, putra dari teman arisan ibunya. 

Niken tahu, pernikahan mereka tidaklah mudah tetapi ia bertekad membuatnya berhasil. Akankah Niken berhasil mewujudkan tekadnya? Atau ia harus menyerah? 

 

Part 1


“Nduk, nanti sore Bude Yanti ke sini sama keluarganya,” tutur Tri saat Niken keluar dari kamarnya untuk sarapan. Ia sudah menyiapkan hidangan untuk keluarganya—dibantu Niken tentunya. 
Salah satu alis Niken terangkat.

  “Ngapain, Ma? Tumben sama yang lain, biasanya sendiri. Mama bikin acara? Kok nggak bilang aku.” Niken meletakkan tas ranselnya di kursi kosong sampingnya. Ia mulai mengisi piringnya dengan nasi, tempe bacem goreng, dan sayur sup. 


Tri menuang air putih untuk Niken. “Nggak ada acara apa-apa, silaturahmi aja.”


Ia menatap penuh selidik pada Tri. “Bener cuma silaturahmi?” Bukan tak percaya hanya saja terkadang mamanya ini suka bikin kejutan.


“Beneran. Lagian Bude Yanti sendiri yang  mau main ke sini. Ya masa Mama nggak bolehin.”


“Ya wes. Nanti mau dibawain apa buat suguhannya?” tanya Niken. Ia berdiri dari duduknya, berjalan ke bak cuci piring untuk mencuci piring kotor bekas makannya. Netra Niken jatuh pada pintu kamar Sesil yang masih tertutup saat ia kembali duduk. “Tita udah berangkat, Ma? Kok sepi. Kamarnya juga masih tutup gitu.” 


Tri mengangkat tudung saji dan meletakkan di atas hidangan. “Udah. Ada ujian gitu katanya. Eum, Ken ... kalo ini kalo ya, tiba-tiba kamu dijodohin gitu gimana?” tanya Tri ragu-ragu. Pasalnya hal semacam ini sangatlah sensitif.


“Mama mau jodohin aku sama siapa?” 


“Kan Mama bilang kalo, Ken.” 


Niken tersenyum lebar. Ia menggeleng cepat. “Mama ... Mama. Kayak kita baru kenal kemarin aja. Mama mau jodohin aku sama anak Bude Yanti, gitu?” tebaknya. “Emang Bude Yanti punya anak cowok? Setahuku cewek-cewek, Ria sama Sarah,” tambahnya.


“Lho, ada. Masa kamu lupa, sih, Ken. Kalian bukannya sempat satu kampus, ya, dulu?”


Kerutan pun akhirnya terlihat di kening Niken. Benarkah? Tapi dia tak ingat sama sekali. “Masa, sih, Ma? Kayaknya nggak, deh. Kalo sama Sarah iya sih emang, tapi kalo anak cowoknya ... aku nggak pernah tahu.”


Tri menyeruput teh hangatnya sebelum menjawab pertanyaan Niken. “Makanya kalo pas anterin ke rumah Bude itu ikut masuk, biar tahu. Padahal Mama sama Bude udah lama kenal.”


“Ya buat apa? Kayak aku nggak ada kerjaan aja. Paling juga buat pamer-pamerin gitu. Males banget.” Ia pun mencangklong tas ranselnya, mencium tangan mamanya. “Niken berangkat. Soal perjodohan itu, nggak usah dipaksa, Ma. Siapa tahu anak Bude Yanti sudah punya pilihan. Jangan karena persahabatan Mama sama Bude ngerusak mimpi orang lain. Assalamualaikum.”


❤️❤️❤️


Mentari cukup terik saat Niken tiba di tokonya di daerah Sumber Sari. Ia melepas helm, merapikan hijabnya, dan pakaiannya. Setelah mengunci motor, ia masuk ke bangunan dua lantai tersebut. Terdapat beberapa karyawannya sedang menata camilan-camilan yang baru datang. 


Ia tersenyum. Bibir berpulas lipstik warna nude itu menampilkan barisan gigi rapi dan bersih. Tidak pernah terbayangkan toko khusus jajanan yang ia rintis tiga setengah tahun lalu berkembang pesat sesuai keinginannya, ya, walaupun belum yang sangat-sangat besar, setidaknya ia mandiri secara finansial dan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya —papanya meninggal saat ia kuliah di semester akhir.


Niken melangkah ke bagian belakang lantai dua yang disekat untuk ruang kerja sekaligus tempat istirahatnya. Di samping ruangannya tempat istirahat karyawan, dapur, dan toilet. 


“Mbak Ima, ada info dari Pak Malik?” tanyanya begitu ia bertemu Ima di depan ruangannya. 


“Udah, Mbak. Pesanan kita udah jalan tapi kayak e nggak sebanyak yang kita minta,” jelas Ima mengikuti Niken ke mejanya. 


“Kok?” 


“Itu empingnya banyak yang pecah, jadi Pak Malik cuma kirim separuh.”


“Coba minta gambar yang pecah. Siapa tahu bisa dijual,” perintah Niken sambil menghidupkan laptopnya. “Mbak.” Ia melihat Ima di mejanya. “Kira-kira kita tambah sembako juga gimana, ya? Kan butuh juga?” 


“Bisa, Mbak. Jadi sekalian gitu kan ya belanjanya? Minyak goreng, gula, tepung bumbu, bumbu instan juga.”


“Ah iya. Coba cari info dulu deh. Ntar kalo ok, kita tinggal cariin tempat display-nya.”


Ima mengangguk. “Baik, Mbak.” Kemudian dia kembali menekuri laptopnya. 


❤️❤️❤️


Pukul tujuh malam, beberapa menit setelah azan Isya berkumandang, Bude Yanti dan keluarganya datang. Senyuman wanita setengah abad lebih itu mengembang sempurna, seolah memenangkan undian umroh ke tanah suci. Beliau berjalan dengan cepat dan segera memeluk Niken lalu Tita. Matanya berbinar-binar bagai kilauan bintang. 


“Haduh, ayu-ayu tenan,” pujinya dengan tulus. Ia mengiring masuk kedua putri sahabatnya tersebut.


“Lho yaaa. Lupa wes Bunda sama kita,” celetuk Ria yang berjalan di sisi ayahnya. “Posisi kita kalah, Kak, sama mereka.” Dagunya bergerak cepat menunjuk Niken dan Tita.

 
Sarah hanya tersenyum mendengar aduan Ria. “Udah kebal aku. Kayak nggak tahu Bunda aja, Ri. Tiap ada anak cewek mesti kan gitu,” sahutnya enteng. Tidak sedikit pun terbersit rasa iri pada mereka di hatinya. 


Acara silaturahmi itu berjalan santai. Senda gurau terdengar riuh bahkan keempat wanita muda itu terlibat obrolan seru. Namun, perhatian Niken tertarik pada sosok pendiam di sisi Pakde Hasan. Laki-laki itu tinggi, potongan rambutnya cepak, dan tatapannya cukup membuat orang tak berkutik. 


“Abang aku ganteng, ya, Mbak Niken?” ucap Ria tiba-tiba. Ia mendekat dan duduk di samping Niken. “Mbak, sih, susah bener disuruh main ke rumah. Pas anterin Tante juga jarang mau ikut masuk, nggak tahu kan kalo aku punya Abang ganteng,” tambah Ria terkekeh. 


Niken meringis. Benar, dirinya memang tidak pernah mau atau kalaupun mau hanya sebentar. “Ya pas lagi nggak bisa, Ri, mau gimana lagi.”


“Eh, tapi dulu Abang satu kampus sama Mbak Sarah, harusnya Mbak Niken tahu Abang, dong. Kan satu kampus juga. Wong dulu Abang sama Mbak Sarah sering berangkat bareng sampai-sampai dikira mereka pacaran.”


“Masa? Aku sama Sarah deket di tahun-tahun akhir. Itu juga kita satu dospem jadi sebelum itu nggak begitu tahu,” jawab Niken. 


“Ken,” panggil Yanti.


“Ya, Bude.” Ia memutar tubuh menghadap Yanti dan suaminya termasuk Ervin, putra sahabat mamanya.
Yanti mendekat, duduk di sisi Niken yang kosong. Ia meraih tangan perempuan muda ini dan menepuk-nepuk ringan. “Kamu udah ada calon?” Niken menggeleng. “Gini ... kalo Bude lamar kamu buat Ervin, mau?”


Akhirnya sampai juga pada pertanyaan ini. Niken mencuri pandang ke arah Ervin saat Yanti mengutarakan keinginannya. Ekspresi kaget pria itu cukup untuk menjawab pertanyaan wanita ayu di sisinya ini. Ia menarik napas pelan dan cepat sebelum bicara. “Kalo ditanya mau apa nggak, insyaallah mau karena itu niat baik. Tapi ... hal ini kan perlu persetujuan dua pihak, Bude. Kalo Mas Ervin ndak berkenan, jangan dipaksa karena hasil akhirnya nanti juga ndak baik. Siapa tahu Mas Ervin sudah ada calon sendiri." Ia tersenyum manis agar kekecewaan yang terpancar di mata Yanti pudar. “Maaf, bukan bermaksud menolak, Bude. Hanya saja ....” 


“Bude tahu. Tapi kalo Ervin mau kamu juga mau?”


“Insyaallah, Bude.”

Part. 2


X: Ada waktu? Saya perlu bicara. 
Me: Maaf ini siapa?
X: Ervin
Me: Oh. Maaf, Mas, kalo siang ini saya tidak bisa. Mungkin setelah pulang dari toko nanti.
X: Share alamat tokomu.
Me: Sebentar, Mas.


Niken menuliskan alamat toko serta memberikan lokasi melalui Google Map. Keningnya berkerut saat gawainya mati. Apa yang akan dibicarakan pria itu? Bagi Niken semuanya sudah berakhir malam itu saat ia menolak secara halus pinangan tak resmi Bude Yanti. 


“Ken.” 


Perhatian Niken pecah karena panggilan yang ia tahu siapa pemiliknya. “Hai. Tumben siang-siang ke sini. Dari mana? Nggak kerja kamu, Ren?” Ia bangkit lalu berjalan ke sofa di dekat jendela. Tempat favoritnya jika berada di rukonya ini, terlebih malam hari, pemandangan dari atas sini bagus. Ia seperti melihat gerombolan kunang-kunang mengerubuti kue manis. 


“Dari rumah. Gabut, jadi ke sini aja.” Rena mengempaskan diri ke sofa. Tanpa permisi ia mengambil stoples camilan di meja. “Gimana toko? Rame?” Ia mulai mengunyah dengan cepat. 


Pasti sedang kesal. Niken paham betul perangai sahabatnya itu. “Alhamdulillah. Gabut apa lagi berantem sama Mas Arlo?”


“Gitu deh.”


“Kenapa lagi?” tanya Niken. Biasanya Rena akan ngomong panjang lebar sampai ia lelah.


“Ngekang banget, Ken. Masa ya aku mau belajar bawa mobil aja nggak dibolehin. Yang katanya kamu ntar nyerempet, yang ceroboh, yang ini itu. Hadehhh! Keluar sendiri nggak boleh, kalo jalan sama temen kudu info dulu. Pokok apa-apa lapor. Kayak napi aja aku ini,” keluh Rena dengan aturan calon tunangannya. Awalnya ia suka tapi lama-lama tidak nyaman juga. Terbatas.


“Ya kan enak diperhatiin, Ren. Aku aja pengin sayangnya belum ada pasangan.”


Rena menghela napas mendengar jawaban yang sama dari beberapa temannya. “Enak, cuma kalo berlebihan juga nggak nyaman, Ken. Kesannya dia kayak nggak percaya gitu sama aku. Padahal udah berkali-kali aku bilang aku nggak bakal macem-macem di belakang dia. Tanpa diminta pun aku selalu ceritakan apa dan mau apa ke dia. Malah dia tuh jarang cerita kalo aku nggak tanya, kan nggak balance. Entahlah.” 


Wanita 28 tahun itu mengusap lembut lengan Rena. Ia tak bisa berkomentar banyak sebab tak berada di posisi sahabatnya. Mungkin bagi orang lain sebagai anugerah tapi bagi Rena siksaan. “Sabar. Coba kamu bicarakan lagi, bilang apa yang kamu nggak suka,” saran Niken. 


“Udah. Sering malah tapi ....” Ucapan Rena terputus oleh telepon dari calon tunangannya. “Aku angkat telepon dia dulu, ya.” Ia berjalan ke balkon agar tidak menggangu Niken. 


“Mbak,” panggil Ima setelah mengetuk pintu lalu membukanya. 


Perempuan berhijab ungu itu berdiri menghampiri karyawannya. “Iya?” 


“Ada yang nyariin di bawah. Laki-laki. Katanya udah bikin janji, kalo nggak salah namanya Ervin gitu.” 


“Oh ya, Mbak, anter ke sini sama sekalian tolong buatin minuman. Kopi kali ya. Camilannya jangan lupa, Mbak.”


Ervin naik dengan diantar Ima. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran sedang ini. Dua meja kerja lengkap dengan laptop masing-masing. Sofa minimalis yang ia yakini untuk menerima tamu. Si cantik Dieffenbachia menghiasi sela-sela antara sofa single dan double. Cukup nyaman dengan perpaduan putih dan hijau lembut, serasa berada di alam terbuka yang tenang. 


“Duduk, Mas.” Niken mempersilakan Ervin duduk sebelum ia kembali membuka suara. “Maaf harus bikin Mas jauh-jauh ke sini,” tambahnya sesaat setelah duduk. “Ada ....” 


“Ken, aku cabut dulu. Mas Arlo di bawah.” Rena buru-buru menyambar tas di meja kerja Niken dan keluar.


Astaghfirullah. Ia sungguh lupa kalau ada Rena di sini. “Maaf, Mas, saya lupa kalau ada temen saya. Oh ya, apa yang mau Mas bicarakan?” ujarnya langsung ke pokok bahasan. Belum sempat Ervin menjawab, Ima masuk membawa secangkir kopi hitam dan camilan dari salah satu produk yang ia jual. “Makasih ya, Mbak.”


Ervin memindai sekilas wanita di hadapannya ini, menarik tapi tidak cukup membuat dirinya tertarik, sebab ia sudah mempunyai kekasih hati. “Soal perjodohan itu ....”


“Mas dengar sendiri saya sudah menolaknya, kalau-kalau Mas berpikiran saya meminta hal itu pada Bude Yanti. Demi Allah saya tidak tahu bahwa beliau ada keinginan seperti itu. Mama memberitahu paginya, tapi saya bilang, bahwa tidak perlu memaksa hal itu hanya karena persahabatan mereka yang akhirnya melukai salah satu dari kita. Bahkan saya juga tidak pernah tahu kalau Bude Yanti punya seorang putra, yang saya tahu hanya Sarah dan Ria. Jadi, Mas, bisa lega karena perjodohan ini tidak akan berlanjut.” Niken seolah bisa menebak arah pikiran Ervin hingga ia berkata demikian. Dia tak mau pria itu menuduhnya yang bukan-bukan. 


Pria itu tidak membalas. Penjelasan Niken cukup menjawab dugaan negatif di pikirannya. “Tapi tidak mungkin bundaku tiba-tiba ingin menjodohkan kita kalau tidak ada apa-apa.”


“Apa maksud, Mas, mama saya menghasut Bude Yanti?” Nada bicara Niken terdengar tak bersahabat, tapi bukankah itu wajar jika orang yang kita kasihi dituduh yang bukan-bukan? “Insyaallah bisa saya pastikan kalau mama saya tidak pernah melakukan hal itu. Mungkin ada baiknya Mas tanyakan langsung pada Bude daripada mencari-cari kesalahan pada kami.”


Pria itu diam. Mata keduanya bertemu. Ervin melihat keyakinan di netra cokelat Niken. Keyakinan bahwa wanita ini siap memberikan perlawanan padanya. “Baiklah.”


❤️❤️❤️


“Dari mana, Vin?” Yanti yang melihat kelebat putranya spontan bertanya. Ia keluar dari dapur untuk menghampiri Ervin yang duduk di depan televisi. Kakinya di tekuk dan terbuka, tatapannya lurus ke depan membuatnya seperti seorang penyidik tengah menganalisa  terdakwa. 


Saat merasakan pergerakkan di sisinya, Ervin menarik napas dalam-dalam. Ia menoleh ke arah mamanya tanpa mengubah posisinya. “Kenapa tiba-tiba, Bunda, mau jodohin aku sama anak temen Bunda? Padahal Bunda tahu aku udah ada calon sendiri. Hubungan kami juga udah lama, Bun,” ujarnya tidak basa-basi. 


“Lama atau tidaknya sebuah hubungan nggak jamin bisa berjodoh, Vin. Bunda dari awal kurang sreg. Bunda udah bilang juga sama kamu, kan? Kita juga sempat berantem gara-gara itu kan? Tapi tahu sendiri kamu kayak apa waktu itu. Mokong (nggak bisa diatur, semaunya sendiri) banget. Ngancem berhenti kuliah, pergi dari rumah. Bunda mikir, mau jadi apa kamu di luar sana kalo nggak ada bekal sama sekali. Bunda bukan ngeremehin kamu, tapi kadang praktek nggak selalu sama kayak teori. Mau nggak mau Bunda turutin kamu jalan sama dia supaya kamu lulus kuliah. Semangat cari kerja, tapi sekarang udah waktunya kamu nuruti Bunda. Nggak apa-apa kalo kamu pikir Bunda jahat manfaatin cewek kamu, tapi itu satu-satunya jalan, mau gimana lagi.”


Astaga. Ervin bahkan mengumpati mamanya di dalam hati. Bisa-bisanya orang yang dia kasihi ... Ervin pun mengubah posisinya menghadap Yanti. “Bun! Itu nggak adil buat Lidya. Gimana perasaan dia tahu aku tiba-tiba nikah sama pilihan Bunda? Pasti dia sakit hati, kecewa. Lagian apa sih yang buat, Bunda, nggak suka sama dia? Dia nggak pernah aneh-aneh atau apalah.” Ervin jelas membela Lidya yang telah ia kenal kurang lebih delapan tahun ini.


Yanti melihat Ervin lamat-lamat. Ia ragu harus menjawab putranya, padahal jawaban itu sudah di ujung lidah. “Udahlah. Pokok Bunda mau kamu nikah sama Niken.” Yanti beranjak dari sisi Ervin menuju kamarnya. 


“Ervin nggak mau.”


Langkah wanita 58 tahun itu berhenti. Ia memiringkan kepalanya ke kanan, melirik Ervin di sofa. “Ya wes kalo itu maumu. Bunda juga nggak akan pernah restui kamu sama dia. Bunda nggak ridho kamu sama dia.” Usai berkata demikian, Yanti masuk ke kamarnya tanpa mau memandang Ervin lagi. 


Pria itu pun marah, menghantam udara seraya memaki. Sialan! Kenapa jadi begini! Rencana kepulangannya kali ini untuk minta bantuan keluarga melamar Lidya tapi malah Niken yang dipinang oleh bundanya. Sialan! Apa yang sudah dilakukan gadis itu pada bundanya? Sampai-sampai orangtuanya lebih memilih dia daripada Lidya.

TBC. 


Kenalan dulu yuk sama ceritaku. Masih soal perjodohan. Heheheh lagi suka tema ini. Moga kalian suka ya. Makasih 😘

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Muara Cinta
Selanjutnya Muara Cinta
19
2
Part 3Part 4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan