Bab 7 : Teman baru, Liam

11
1
Deskripsi

Bab 7 : Teman baru Liam

Di depan sekolah.

Kabut tipis menyelimuti halaman depan St. Dorian's Academy pagi itu. Langit mendung, seakan meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Di depan gerbang besi hitam berukir, Nathalia dan Marchell berdiri bersama Andriano, yang bersiap meninggalkan mereka untuk kembali ke pekerjaannya.

"Anak-anak, ayah pergi dulu," suara Andriano terdengar lembut namun tegas. "Ayah akan menjemput kalian hari Sabtu, jadi selama di asrama, jangan nakal, ya!"

Tangannya terangkat, mengusap lembut kening Nathalia, seakan enggan berpisah.

"Ya, Ayah. Tenang saja," jawab Nathalia dengan senyum tipis.

Marchell hanya diam, tetapi matanya memperhatikan Andriano dengan sorot yang sulit diartikan. Sejak awal, ia masih berusaha membiasakan diri dengan interaksi sebagai seorang anak manusia.

Andriano tersenyum kecil. "Kalau begitu, Ayah pergi dulu. Kalian jaga diri baik-baik."

Ia berbalik menuju taksi yang sudah menunggunya. Sebelum masuk, ia sempat menoleh sekali lagi, memastikan bahwa kedua anaknya baik-baik saja.

"Ya, Ayah! Hati-hati di jalan!" Nathalia melambaikan tangan, dan Marchell mengikuti gerakan itu dengan sedikit ragu.

Mobil taksi melaju, meninggalkan mereka di depan gerbang megah yang perlahan menutup dengan suara berderit. Sebuah suara yang anehnya membuat suasana lebih sunyi.

...

Nathalia menoleh ke arah Marchell, sorot matanya penuh kehangatan.

"Briyon, ayo kita masuk!" ucapnya pelan, seraya meraih tangan dingin pemuda kecil itu.

Marchell tersentak sesaat. Tangannya merasakan hangatnya sentuhan Nathalia, ada sesuatu yang menggema dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa lebih... hidup.

Ia menatap Nathalia sekilas, lalu tersenyum kecil.

"Ya."

Mereka berjalan beriringan menuju asrama, jemari mereka saling bertaut dalam diam.

.
.
.

Asrama Putra - Kamar 03

Setelah sampai di area asrama, mereka akhirnya berpisah. Nathalia berjalan menuju kamar 07, sementara Marchell melangkah menuju kamar 03 yang letaknya di ujung lorong.

Begitu membuka pintu, aroma debu bercampur kayu tua menyeruak ke dalam hidungnya. Ruangan itu tampak sederhana, dengan dua ranjang, meja belajar kecil, dan sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang.

Namun, yang menarik perhatiannya adalah sosok anak laki-laki berambut coklat yang tengah duduk di ranjang sebelah, menggigit sepotong roti dengan santai.

Anak itu menoleh begitu menyadari kehadiran Marchell.

"Hmm? Hai."

Marchell menatapnya sekilas. "Halo."

Ia berjalan menuju ranjangnya dan duduk di tepi, merasakan kasur yang sedikit keras.

Anak itu mengunyah rotinya sambil menatap Marchell dengan penuh rasa ingin tahu.

"Kamu anak baru ya? Kenalin, aku Liam Anderson. Siapa namamu?"

Marchell terdiam sejenak sebelum menjawab. "Marchell... Marchell Arthur Rowley."

Liam mengangguk dengan ekspresi ramah. "Senang berkenalan denganmu, Marchell. Aku sudah tahun ke-4 di sekolah ini. Kamu pindahan masuk ke tahun berapa?"

"Sama, aku juga tahun ke-4."

Liam memiringkan kepalanya sedikit, menatap Marchell dengan seksama.

"Hmm... tapi tubuhmu tinggi dan sedikit lebih besar dari anak-anak tahun ke-4. Seperti anak tahun ke-5."

Marchell menarik napas pelan sebelum menjawab, "Umurku 11 tahun. Seharusnya aku masuk tahun ke-5, tapi karena aku sempat sakit keras... jadi aku harus mengulang lagi di tahun ke-4."

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Liam menatap Marchell dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Namun, detik berikutnya, ia hanya tersenyum cerah. "Begitu ya? Semoga kamu betah di sini, hehe."

Ia kembali menggigit rotinya, kemudian menawarkan sepotong kepada Marchell. "Kamu mau?"

Marchell menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih. Aku mau tidur."

Liam berkedip. "Ehh? Ini masih pagi, kenapa sudah mau tidur?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya lelah. Maaf ya, aku tidur dulu." Marchell merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata.

Saat Marchell tertidur, sesuatu terjadi. Bayangan hitam mulai keluar dari tubuhnya.

Sebuah kabut gelap perlahan merayap, membentuk sosok yang hampir transparan di udara. Wajahnya tampan seperti Marchell, tetapi sorot matanya berbeda-lebih tajam, lebih kelam.

Itulah Briyon.

Jiwanya yang terjebak di tubuh anak kecil ini akhirnya bisa keluar... tapi hanya untuk sementara.

Tiga jam.

Ia hanya memiliki tiga jam untuk berkeliaran di luar tubuh Marchell sebelum kesadarannya mulai melemah.

Briyon menatap sekeliling kamar. Suasana di dalam asrama terasa lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Ia bisa merasakan sesuatu... aroma darah yang samar, mungkin berasal dari luka kecil di tubuh seseorang.

Ia meremas tangannya, mencoba menahan sensasi haus darah yang mulai menggerogoti dirinya.

Tidak.

Ia tidak bisa kehilangan kendali.

Briyon harus menemukan darah secepat mungkin sebelum dorongan itu semakin kuat. Jika tidak... ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tanpa suara, sosok transparannya pun menghilang dari dalam kamar.

...

Malam pun tiba.

Hawa dingin menyelinap masuk ke dalam kamar Nathalia, menyatu dengan kesunyian yang menyelimuti asrama. Bulan pucat menggantung di langit, sinarnya menembus kaca jendela dan menyorot ke lantai dengan bayangan yang bergoyang pelan.

Di atas ranjangnya, Nathalia tertidur dengan tenang. Napasnya teratur, dadanya naik turun perlahan. Namun, suara langkah lembut di lantai kayu mulai mendekat.

Krekk...

Seseorang masuk ke dalam kamarnya.

Bayangan panjang menyelimuti tempat tidur Nathalia, lalu sosok itu duduk di sisi ranjangnya. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan dan menyentuh dahi gadis itu.

"Celine." Suara itu terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.

Kelopak mata Nathalia bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya masih kabur karena kantuk, tetapi begitu melihat siapa yang ada di hadapannya, ia mengerjapkan mata dengan lebih sadar.

"Hng...? Briyon?"

Marchell, atau lebih tepatnya Briyon, tersenyum kecil dan mengusap keningnya dengan lembut. Sentuhan dinginnya kontras dengan kehangatan kulit Nathalia.

"Kamu sudah makan?" tanyanya pelan.

Nathalia mengangguk. "Sudah. Bagaimana denganmu?"

"Aku sudah meminum darah rusa liar," jawabnya santai, "dan mengambil sisanya untuk persediaan minggu depan."

Mendengar itu, Nathalia langsung terjaga sepenuhnya. Ia duduk dengan cepat, menatap Marchell dengan alis berkerut.

"Rusa liar?" tanyanya dengan nada terkejut.

Marchell mengangguk tanpa ekspresi. "Ya."

Nathalia menggigit bibirnya, berpikir sejenak. "Tapi... bukankah darah itu tidak bisa bertahan lama jika tidak disimpan dalam kotak pendingin?"

Marchell akhirnya mengeluarkan sesuatu dari balik mantel tidurnya-sebuah kantung plastik hitam yang terikat kencang. Dari dalamnya, aroma anyir samar menyeruak ke udara.

"Maka dari itu aku datang ke sini untuk menanyakan hal ini."

Nathalia menatap kantung itu dengan perasaan campur aduk. Ia sudah terbiasa dengan fakta bahwa Briyon kini hidup dalam tubuh manusia, tetapi kebutuhannya akan darah tetap membuatnya sedikit... tidak nyaman.

Namun, ia tidak bisa membiarkan Briyon kehabisan darah dan kehilangan kendali.

"Hmm, aku akan coba bertanya pada Ibu Morgana," ujar Nathalia akhirnya. "Mungkin dia tahu tempat penyimpanan di sini."

Ia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju telepon yang tergantung di dinding. Jemarinya mengetik nomor dengan cepat.

"Bu Morgana bilang kalau ada apa-apa, kita tinggal menekan 001 untuk terhubung ke kantor guru," jelasnya sambil menunggu sambungan tersambung.

Pip... pip... pip...

Tuuuuuut...

Sebuah suara perempuan terdengar di ujung telepon. "Halo, dengan Morgana di sini."

"Halo, Ibu. Ini aku, Nathalia, murid baru."

Suara Morgana terdengar ramah. "Ya, ada apa, Nathalia?"

Nathalia melirik sekilas ke arah Marchell sebelum berbicara. "Bu, saya ingin tanya, apakah di sini ada kotak pendingin? Hmm... saya suka minum susu cokelat dingin, jadi saya ingin meletakkan susu saya di sana."

Hening sejenak. Lalu, suara Morgana kembali terdengar.

"Oh, begitu ya. Kotak pendingin ada di kantin, lantai dua. Kotak itu bebas digunakan untuk menyimpan apa pun, tetapi kamu harus menulis namamu di sana agar orang lain tahu itu milikmu."

Nathalia mengangguk. "Baik, Bu. Saya mengerti. Terima kasih atas informasinya."

Pip.

Telepon terputus. Nathalia meletakkan gagangnya kembali dan berbalik ke arah Marchell.

"Briyon, Ibu Morgana bilang kotak pendingin ada di lantai dua, di dalam kantin. Ayo ikut aku, kita ke sana!"

Tanpa menunggu jawaban, Nathalia langsung melangkah keluar dari kamar. Marchell hanya menatapnya sejenak sebelum mengangguk dan mengikuti dari belakang.

Namun, saat mereka berjalan di lorong asrama yang sepi, angin dingin tiba-tiba berembus dari jendela yang sedikit terbuka. Lampu gantung di langit-langit berayun perlahan, menciptakan bayangan yang bergerak di sepanjang dinding.

Marchell berhenti sejenak.

Ada sesuatu yang mengawasi mereka.

Ia bisa merasakannya.

Tapi ketika ia menoleh ke belakang... lorong itu kosong.

Untuk saat ini.

 

Bersambung ...

 

Lanjut? Gak nih. ^~^

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 22 : Dengan berat hati
11
1
Di kediaman keluarga Li, udara terasa tegang. Mei Hua berjalan ke arah dapur matanya membara oleh amarah, ia meraih sebuah pisau dapur dan membawa nya erat di tangan nya tepat ke arah Bian Ye.Keterlaluan! Dasar siluman ular brengsek! Berani-beraninya kau membuat putriku hamil?! Aku akan membunuhmu! Mei Hua melangkah dengan cepat, hendak menyerang Bian Ye tanpa ragu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan