
Bab 1 dan 2 ini berisi tentang malam pertama Nadia dan Hugo ya. Bagi yang sudah membaca versi 1 di Dreame/Innovel pasti menunggu bab pemersatu bangsa ini. Wkwk.
Gercep baca!
Jangan lupa like dan komen ya.
BAB 1
“Bagaimana? Sah?”
“Sah.”
“Sah.”
Kalimat hamdalah bergemuruh di ruang nan luas itu seolah dikomando. Membuat hati Nadia sebagai mempelai pengantin wanita berdegup kencang. Dan kedua matanya yang indah itu berkaca-kaca. Kalimat itu seolah ikrar semesta bahwa kini dirinya telah sah menjadi seorang istri lagi setelah gagal di pernikahan pertama yang disebabkan oleh pengkhianatan.
Semoga pernikahan kedua ini tidak mengulang kisah pernikahan yang pertama. Itu harapannya.
Tapi hanya sebuah harapan. Karena kenyataannya dia tidak bisa mengatur sang suami, pria yang begitu berkuasa dan tak ada yang berani menentangnya. Pun dia. Apalagi pernikahan ini terjadi karena ada unsur bisnis di dalamnya. Yaitu demi menyelamatkan perusahaan papanya dia harus menikah dengan pria yang baru saja menjadi suaminya.
Apakah ada rasa cinta di hatinya untuk sang suami?
Jawabannya belum ada. Alasannya seperti yang dijelaskan di atas bahwa pernikahan ini terjadi karena bis-nis. Meskipun begitu, dia sudah siap menjalani hari-hari ke depan yang penuh tanda tanya. Dia juga sudah siap melayani pria itu sebagai suami sepenuh hati.
Mungkin dia harus banyak-banyak berdoa pada Yang Maha Kuasa agar kekhawatiran tak menjadi kenyataan. Karena sepertinya sang suami begitu mencintainya. Bukti kecilnya, sang suaminya memberinya mahar sebuah ruko plus isi, mobil, dan saham perusahaan.
Jika bukan karena cinta, cukup berat memberikan saham perusahaan pada istrinya ini.
Meskipun kenyataan ini tak membuatnya berlega hati karena menurutnya hampir semua pernikahan diawali dengan keindahan. Sayangnya kebanyakan keindahan itu perlahan memudar bersama berlalunya waktu dan munculnya kisah baru. Keindahan itu bahkan bisa sewaktu-waktu musnah karena pengkhianatan.
Tapi dia hanya bisa pasrah. Hugo suaminya yang dulu dikenal sebagai playboy tidak bisa dijamin akan setia dengan satu wanita.
Karena acara akad nikah dan rentetannya telah selesai, Nadia dan Hugo naik ke pelaminan dan duduk di singgasana pengantin yang megah karena acara resepsi pernikahan akan segera dimulai.
Dua orang Mc laki-laki dan perempuan naik ke panggung. Mereka memandu jalanannya acara dengan sangat baik dan lancar.
Dari singgasananya, Nadia mengikuti jalannya acara dengan khusyuk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dengan pandangan tertuju pada tamu undangan yang menjadikannya pusat perhatian.
Ah, tentulah begitu karena dia tampak sangat jelita mengenakan gaun pengantin dan dipoles dengan paripurna. Tak ada yang bosan memandang kecantikannya itu.
Tiba-tiba, sebuah tangan kekar meremas jemarinya. Dia pun terhenyak dan menoleh. Didapatinya Hugo tersenyum penuh arti kepadanya.
Deg.
Senyum itu mengacaukan detak jantung Nadia. Yang semula anteng dan adem ayem, menjadi mendadak berdegup kencang. Senyum yang menandakan kalau Hugo adalah seorang pria tulen pemangsa wanita.
Apalagi kemudian Hugo mendekatkan bibirnya yang seksi ke telinga Nadia dan berbisik. "Kamu sudah menjadi milikku, Nadia. Kamu tidak bisa lagi marah dan melarangku menyentuhmu. Nanti malam bersiaplah untuk merasakan syurga dunia bersamaku."
Nadia menelan salivanya. Dia tidak habis pikir kenapa Hugo harus mengatakan itu. Bukankah apa yang terjadi nanti malam tetap akan terjadi tanpa harus dikatakan?
Senyum penuh arti Hugo perlahan berubah menjadi sebuah senyum yang manis. Dia lalu menyentil pipi Nadia sekilas. "Hei, kenapa wajahmu harus memucat setelah aku mengatakan itu?"
Nadia menipiskan bibir. "Anda menakutiku."
"Bukan. Aku mengatakan yang sebenarnya. Tak ada yang bermaksud menakuti."
"Bagiku itu tak perlu dikatakan."
"Memangnya salah kalau aku mengatakannya?"
"Tidak salah. Hanya saja... tak selayaknya. Aku bukan lagi gadis muda yang sedang bergelora menyambut malam pertama. Aku tidak suka dengan bahasa-bahasa vulgar seperti itu."
"Aku mengatakan pada istriku sendiri."
"Meskipun begitu harus dengan bahasa yang diperhalus. Atau kalau tidak jangan dikatakan."
"Kamu terlalu kaku, sayang. Bersantailah sedikit dengan suamimu ini. Kita sudah halal. Bahasa seperti ini justru harus ada pada pasangan suami istri."
Nadia terdiam. Mungkin Hugo benar. Terkadang suami istri memerlukan bahasa yang membuat mereka bertambah mesra dan romantis. Atau bahasa vulgar sekalian. Hanya saja, ada salah satu sisi hatinya yang menolak. Dia tahu itu karena dirinya belum bisa menerima Hugo sebagai suaminya.
Acara demi acara terus berlangsung hingga selesai. Kini ada di penghujung acara. Nadia dan Hugo harus berdiri lama demi melayani para tamu yang mengantri memberikan ucapan selamat kepada mereka. Sepanjang itu, Nadia terus tersenyum. Berbeda dengan Hugo yang tetap menampakkan wajah dingin dan hanya tersenyum sedikit.
Ah, pria tampan itu ternyata hanya bisa tersenyum pada istrinya saja.
"Selamat ya, semoga bahagia."
"Selamat ya, semoga samawa."
"Selamat aku doakan segera mendapatkan momongan."
Dan ucapan selamat-selamat lainnya.
Kini giliran keluarga Gandi yang sampai di depan mereka. Mau tak mau Gandi dan Putri harus memaksakan senyum ketika berhadapan dengan mereka dan memberikan selamat. Putri sendiri seperti mimpi bisa menyentuh tangan Hugo yang dia damba. Sayang sekali dia hanya bisa menyentuh tanpa memiliki.
Namun, senyum tak nampak di bibir Ambar. Mantan mama mertuanya itu malah menyeringai pada Nadia. Terlihat sekali tidak menyukai pengantin wanita itu.
"Mama doakan semoga kamu bisa segera hamil. Kasihan suami kamu sudah memberikan mahar yang sangat besar tapi tidak bisa merasakan menjadi seorang papa."
Nadia tetap tersenyum. "Itu pasti, ma. Aku akan berusaha untuk hamil. Zaman sekarang banyak metode modern yang bisa diterapkan agar bisa hamil. Aku akan mencobanya karena dulu aku tidak pernah mencobanya. Suamiku cinta kepadaku. Dia tidak akan segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk melakukan usaha itu." Nadia menoleh pada Hugo. "Iya, kan sayang?"
Hugo mengecup pipi Nadia. "Tentu saja, sayang. Apa pun maumu akan aku kabulkan. Lagian tidak memiliki anak juga bukan masalah buatku. Yang penting kamu ada untukku."
Seringai di bibir Ambar menyusut. Jelas Nadia dan Hugo baru saja menyinggung keluarganya karena selama menikah dengan Gandi, Nadia tidak difasilitasi untuk melakukan usaha kehamilan dengan metode modern seperti yang dimaksud itu. Karena baginya kalau sudah mandul ya mandul saja.
Akhirnya Ambar pun meninggalkan panggung dengan wajah kesal.
"Sombong sekali dia. Mentang-mentang menikah dengan Hugo dia langsung berubah tabiat. Serasa sudah memiliki segalanya saja." oceh Ambar sembari masuk ke dalam mobil.
Santoso menoleh. "Mama yang memancing omongan. Kalau tidak mau disinggung oleh orang, jangan menyinggung orang, ma. Papa 'kan sudah bilang ke mama untuk tidak berkomentar apa pun tentang Nadia. Dia orang lain sekarang. Bukan menantu kita yang bebas dikomentari."
"Papa ini kenapa sih membela Nadia terus? Yang mama katakan itu benar, pa. Nadia itu memang mandul. Maka mama bilang dia mandul. Ini kenyataan bukan fiktif."
Santoso menepiskan tangan. "Terserah mama sajalah. Dinasehati tidak mau." Santoso menyalakan mesin mobil. Tak lama kemudian meninggalkan halaman hotel.
*
Acara pernikahan yang melelahkan akhirnya selesai. Nadia tampak terdiam di sofa yang ada di ruang tunggu dengan wajah lelah tapi lega. Dia sendirian di sana setelah melepaskan kepulangan orangtua dan keluarganya. Hugo sendiri masih mengobrol dengan rekan bisnis dari luar negeri dan luar kota yang diundang menjadi tamu undangan.
Seorang diri Nadia lalu membuka gaun pengantinnya dan mengganti dengan dress biasa yang dia bawa dari rumah. Lalu mencuci wajahnya dan mengeringkannya dengan handuk yang memang di sediakan di kamar mandi itu. Tapi selama itu, Hugo belum kembali. Namun, itu bukan masalah untuknya. Dia justru merasa senang.
"Terus saja mengobrol dengan rekan bisnismu hingga pagi."
Nadia tersenyum. Lalu membaringkan tubuh di sofa yang besar dan sangat empuk. Bantal sofa digunakan untuk mengganjal kepala. Nadia memejamkan mata. Tak butuh waktu lama, dia langsung tertidur karena memang merasa sangat lelah.
Dua jam kemudian, pintu ruang tunggu terbuka. Seseorang yang tak lain adalah Hugo masuk ke dalam. Matanya langsung melebar begitu mendapati Nadia tengah tertidur di sofa. Dia pun mendekati.
"Sayang, sayang, bangun sayang." Hugo menepuk-nepuk pelan lengan Nadia yang berada di atas perut. Tapi wanita itu bergeming sama sekali.
Hugo tersenyum. "Ternyata kamu sangat mengantuk. Baiklah tak masalah. Kita akan tetap pulang meskipun kamu tidak bangun dari tidurmu."
Pelan Hugo menyusupkan tangan ke bawah tubuh Nadia. Dengan mudahnya, dia mengangkat tubuh istrinya itu seperti mengangkat anak kecil. Kemudian dia melangkah ke luar. Pada seorang OB, dia menyuruh mengambilkan tas Nadia di kamar dan mengantarnya ke mobil mereka. OB langsung melaksanakan perintah Hugo.
Di dalam mobil ketika Hugo meletakan Nadia ke kursi, istrinya itu terbangun. Sejenak Nadia seperti orang bingung. Tapi setelah tahu dia berada di dalam mobil dia memejamkan matanya kembali sembari bergumam.
"Aku sangat mengantuk. Bolehkah aku tidur lagi?"
"Tentu saja," jawab Hugo. "Tidurlah sampai kamu tiba di rumahku. Setelah itu kamu pasti akan segar untuk melakukan malam pertama kita."
Nadia menipiskan bibir mendengar jawaban Hugo. Tak ingin menjawab kalau sudah menyinggung malam pertama. Lagian dia memang sangat mengantuk.
BAB 2
Sebuah mobil mewah berhenti di halaman sebuah rumah lantai tiga yang luas dan megah. Di dalam mobil itu, ada sepasang pengantin baru dan seorang supir.
Hugo yang merupakan pengantin pria, menoleh pada istrinya yang terlelap. Bibirnya lalu tersenyum miring. "Inilah akibat terus bekerja meskipun sudah mau menikah. Jadinya keletihan. Fisikmu terlalu lemah untuk menjalani hidup dengan aktif. Tapi kamu terlalu keras kepala. Tetap ingin bekerja meskipun aku sudah menyuruh untuk beristirahat."
Hugo menoel pipi Nadia untuk membangunkan istrinya itu. Sebenarnya ingin melakukan lebih seperti mencium. Tapi karena ada supir, hal itu tidak dia lakukan. Bukan karena malu akan disaksikan oleh supir pribadi, Nadia yang tidak akan suka jika dicium di depan orang lain. Istrinya itu pasti akan merajuk. Ini malam pertamanya. Dia tidak mau membuat masalah yang membuat keromantisan malam pertamanya terhalang.
Tapi ketika akan diangkat, mata Nadia membuka dan dia segera bangun dari baringnya. "Sudah sampai ya? Maaf aku ketiduran." Tanpa pikir dua kali, dia bergerak ke luar mobil, meninggalkan Hugo yang masih berada di posisinya semula dan tengah menatap kepergian istrinya itu dengan wajah bingung.
Di luar, langkah Nadia terhenti. Dia berputar melihat sekelilingnya. Lalu berhenti di posisi menghadap pintu pagar. Matanya melebar mendapati dua penjaga pos jaga masih dua pria yang dulu dia kibuli. Ya, dua penjaga itu mengiranya salah satu pelayan di rumah ini karena memang menggunakan pakaian pelayan. Akhirnya dia bisa melarikan diri dari rumah ini.
Lalu pelayan yang dibuat pingsan olehnya itu apakah masih bekerja di rumah ini? Kalau memang masih ada, dia mungkin akan meminta maaf.
"Kenapa bengong di sini? Kenapa tidak langsung masuk? Kamu hafal kan jalan menuju kamar kamu waktu itu? Nah, kamarku tidak jauh dari kamar itu."
Nadia menoleh. Dia langsung menipiskan bibir mendengar singgungan Hugo. "Harusnya anda yang malu karena pernah menculikku."
"Bukan menculik, tapi menolong kamu. Kalau tidak aku tolong waktu itu, mungkin kamu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Apa kamu sudah melupakannya?"
Nadia terdiam. Tidak enak mengingat kejadian itu. Rasanya malu pada diri sendiri dan Hugo. "Baiklah kalau begitu akan masuk dan mencari kamarku eh maksudnya kamar anda."
Nadia melangkah tapi cepat disejajari dengan Hugo. "Aku akan menemaninya. Takutnya nanti kamu salah masuk kamar."
Nadia hanya tersenyum kecil. Dia terus melangkah. Beberapa pelayan yang berpapasan dengan mereka langsung membungkukkan badan untuk menghormati. Nadia melihat pada para pelayan itu. Menandai wajah mereka. Tapi tidak menemukan yang waktu dulu dia buat pingsan.
Apakah dia sudah resign? Atau aku yang lupa dengan mengenali wajahnya? Tanyanya dalam hati.
Sampai di depan pintu sebuah kamar dengan pintu yang besar, dia tidak juga bertemu dengan pelayan itu. Hatinya jadi tidak tenang. Takutnya pukulannya waktu itu membuat pelayan itu terluka parah atau malah lebih dari itu.
"Apa lagi, sayang? Kamu kok melamun lagi? Benar kok ini kamarnya," ucap Hugo sembari menatap lekat wajah Nadia dari samping.
Nadia mengerjapkan mata. Lalu menghela nafas. "Maaf. Apa aku yang harus membuka pintu?" liriknya pada Hugo.
Hugo membalas lirikan Nadia. "Apa kamu segan untuk membukanya?"
"Aku baru pertama kali akan menginjak kamar ini. Mana mungkin tidak segan."
"Tapi ini kan sudah jadi kamar kamu juga, sayang. Setiap hari kamu akan berada di kamar ini bersamaku dan kita memadu kasih berdua."
Nadia menggeleng. Sudahlah, tidak perlu lagi bertanya pada Hugo. Mungkin lebih baik memang dia yang membuka pintu.
"Oke, aku yang akan membukanya."
Nadia mengulurkan tangan ke arah handel pintu. Dan... Pintu pun terbuka. Tapi apa yang dilihatnya begitu memukau mata. Dia mendapati kamar seperti sebuah kamar seorang tuan putri di negeri dongeng dengan hordeng lebar yang menjuntai, tempat tidur yang berkelambu transferan, serta bunga-bunga segar yang memenuhi kamar. Bunga-bunga itu tersebar di setiap sudut ruangan, di atas tempat tidur, di atas meja-meja, di lantai, dan di tepian tempat tidur. Harum bunga-bunga itu menyemerbak seperti taman bunga.
"Apa kamu suka?" tanya Hugo tak sabar ingin mengetahui respon Nadia.
Nadia tersenyum geli. "Aku suka, suka sekali. Akan tetapi kamar ini jadi terlihat seperti kamar anak perempuan yang minta dijadikan tuan putri oleh ayahnya. Memangnya anda yang gagah ini nyaman berada di kamar seperti ini?"
"Tak masalah. Yang penting ada kamu di dalamnya," jawab Hugo sembari menggenggam tangan Nadia. "Ayo kita masuk."
Keduanya lalu melangkah masuk ke dalam. Kemudian Nadia terus mengitari kamar dan melihat-lihat dengan tatapan kagum, sementara Hugo menutup pintu dan menguncinya. Dia tidak mau seseorang yang lewat akan melihat adegan 21+ nya bersama Nadia yang sebentar lagi akan dilakukan.
Hugo mendekati Nadia yang sedang mengagumi ruang kamar itu. Dia lalu memeluk istrinya itu dari belakang. "Aku sudah tidak sabar ingin melakukannya. Kita akan melakukannya sekarang atau mandi dulu, sayang?"
Nadia menelan saliva. Dadanya merasa sesak karena terkejut dengan pelukan Hugo yang tiba-tiba. "Ee... enaknya sih mandi dulu. Aku merasa tubuhku lengket."
"Baiklah. Mau kamu dulu yang mandi atau aku?"
"Aku duluan saja."
"Oke." Hugo melepas pelukannya. "Sudah tau kamar mandinya di mana kan?"
Nadia mengangguk. "Iya. Di sana kan?" Nadia menunjuk kamar mandi.
"Yup benar. Pergilah. Semua sudah tersedia di dalam."
"Tapi belum baju ganti."
"Malam ini kamu tidak perlu pakai baju. Besok aku sediakan baju ganti untukmu lengkap."
"Tapi...."
Hugo mendorong pelan tubuh Nadia memasuki kamar mandi lalu menutupnya dari luar. Setelahnya dia tersenyum penuh arti.
Setengah jam kemudian, Nadia sudah selesai membersihkan tubuhnya. Tapi dia malu untuk keluar kamar dengan hanya mengenakan selembar handuk. Apalagi panjang handuk di atas lutut.
"Bagaimana aku akan keluar dengan penampilan yang seperti ini? Meskipun dia sudah menjadi suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman. Dia pasti akan menatapku seperti binatang buas menandai mangsanya. Terus bagaimana dong? Apa aku cuekin saja rasa maluku ini? Lagian mau sampai kapan aku ada di sini?"
Nadia memeluk tubuhnya sendiri. Dia sudah kedinginan. Sudah cukup lama pula dia dalam kebimbangan.
Suara ketukan di pintu membuatnya terperanjat dari lamunan.
"Sayang! Kamu sedang apa di dalam? Lama sekali sih? Apa selama ini setiap kamu mandi?"
"E... ini sudah mau keluar kok. Sebentar!"
Nadia melangkah menuju pintu. Lalu membuka pelan-pelan. Matanya langsung berhadapan dengan mata Hugo yang hanya mengenakan handuk saja di pinggang. Tubuh dan rambut suaminya pun terlihat basah. Sepertinya suaminya juga habis mandi, tapi di mana?
Oh, mungkin di kamar sebelah. Di kamar tamu. Begitu pikir Nadia.
Hugo mengerutkan kening ketika mendapati Nadia tidak membuka pintu dengan lebar. Hanya wajah yang nongol sedangkan tubuhnya masih bersembunyi di balik pintu.
"Kamu kenapa lagi? Kenapa tidak langsung keluar dari dalam kamar mandi?"
Bibir Nadia mengerucut. "Aku malu. Hanya pakai handuk saja."
"Tidak ada siapa-siapa di sini. Kenapa harus malu?"
"Terus kamu apa?"
"Aku suamimu. Tidak sepantasnya kamu malu kepadaku."
Nadia terdiam.
"Sudahlah, sayang. Ayo keluarlah." Hugo melebarkan kedua tangannya. "Lihat, aku juga sudah mandi di kamar sebelah agar kamu tidak kedinginan karena menunggu. Jadi keluarlah dari sana sekarang."
Nadia tersenyum getir. Tapi perlahan dia bergerak keluar dari dalam kamar mandi. Dengan langkah pelan dia mendekat pada Hugo yang menatapnya penuh kekaguman.
"Kamu cantik dan seksi sekali. Kamu begitu memikat sayangku." Tangan kekar Hugo menyentuh pipi Nadia. "Kita bisa mulai dari sekarang ya."
Nadia menelan saliva. Jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa dia merasa takut padahal ini bukan pengalaman pertamanya. Tidak bisa dipungkiri salah satu penyebabnya adalah karena dia belum bisa memiliki perasaan cinta pada Hugo.
Hugo mendekatkan wajahnya ke wajah Nadia. Sebuah kecupan ringan dia daratkan ke bibir istrinya itu. Selanjutnya, mereka berselancar ke syurga dunia. Menikmati malam hanya berdua dengan penuh semangat.
Bunga-bunga yang semula berhamburan di atas tempat tidur, kemudian tergeser dan berjatuhan ke atas lantai akibat pergerakan hebat di atas tempat tidur. Tak hanya bunga-bunga, bantal-bantal pun terhempas dari atas sana. Dalam sekejap seprei yang tadinya menutupi kasur dengan sangat rapi, menjadi acak-acakan.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
