
“Ayolah, bu. Tolong aku. Aku ingin ibu temui dia dan bujuk Risma untuk tidak menggugat cerai. Ibu dan dia ‘kan sama-sama wanita. Jadi mungkin obrolan kalian bisa nyambung.”
Ngapain lu Ken bawa-bawa ibu? Penasaran ga?
Sebelum baca, follow akun karyakarsa author agar ada notifikasi jika author update cerita terbaru. Thanks.🤗
Bab 7
“Terserah kamu saja." Akhirnya Kendra mengatakan itu sebagai ungkapan marah dan pasrah bersamaan. "Aku tidak mengerti soal mencari pembantu. Ibu dan Risma tidak pernah pakai pembantu. Mereka mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri.”
Kendra melangkah ke lantai dua. Eva mengikuti dari belakang. Eva belum bisa melihat kalau Kendra sedang menyembunyikan kekesalan padanya.
“Iya, aku nanti cari sendiri. Sekarang tolong pesankan makanan dong mas. Sebentar lagi ‘kan waktunya makan malam.”
Kendra menipiskan bibir. “Kamu pesan sendiri ‘kan bisa.”
“Kalau begitu aku pegangi kartu dong!” Eva mengulurkan telapak tangannya pada Kendra.
Kendra langsung menghentikan langkahnya. Dia melirik telapak tangan Eva lekat. Ternyata Eva lebih berani daripada Risma. Selama menikah Risma tidak pernah meminta kartu. Istri pertamanya itu selalu menerima berapa pun yang diberikan oleh Kendra.
“Kenapa harus memegang kartu? Risma tidak pernah melakukannya.”
“Risma dan aku jelas saja berbeda, mas. Dia itu mandul tidak bisa memberikan anak. Sedangkan aku sekarang sedang mengandung anakmu. Jadi aku lebih berharga daripada dia. Kamu tidak bisa memperlakukanku sama dengan kamu memperlakukan Risma.”
Mendengar itu, Kendra seperti kehilangan jawaban untuk menyanggah. Perkataan Eva dirasa ada benarnya juga.
“Baiklah, nanti kamu peganglah kartu kreditku. Sekarang aku mau mandi dulu,” jawab Kendra kemudian.
“Oke, terima kasih, mas.” Eva mengecup pipi Kendra sebelum pria itu masuk ke dalam kamar.
***
Risma menyandarkan punggungnya di sandaran kursi untuk meredakan lelah setelah dari pagi sampai sore berkeliling mencari pekerjaan. Dia lalu termenung memikirkan kemana lagi besok kakinya akan melangkah untuk mencari pekerjaan itu. Ternyata mendapatkam pekerjaan itu tidak mudah.
Belum hilang rasa lelahnya, ponsel yang ada di dalam tas bergetar. Dengan malas Risma mengambil ponsel itu. Dia langsung bersemangat begitu tahu kalau yang menelpon adalah Rani. Sejak dia datang ke rumah ini, belum ada komunikasi di antara mereka.
“Halo assalamu’alaikum, Mbak,” sapa Risma setelah dia menerima panggilan telepon tersebut.
“Wa’alaikum salam. Bagaimana kabarmu, Ris? Mbak sangat mengkhawatirkan kamu,” balas Rani di telepon.
“Alhamdulillah baik. Mbak jangan mengkhawatirkan hal yang tidak-tidak tentangku. Aku ini tangguh kok mbak.”
“Senang sekali mbak mendengarnya. Tapi kamu punya uang pegangan untuk makan tidak?”
“Ada kok, mbak. Selama ini sisa uang belanja pemberian Mas Kendra ‘kan selalu aku tabung. Jadi aku memiliki tabungan untuk bekal hidup sementara waktu. Aku juga sekarang ini sedang berusaha untuk mencari pekerjaan. Mauku sebelum tabunganku habis, aku sudah mempunyai penghasilan untuk membekali hidupku ke depannya.”
“Syukurlah. Kamu memang hebat.” Suara desah nafas lega terdengar jelas di telepon. “Pengaturan keuanganmu patut diacungi jempol. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah memutuskan sesuatu?”
“Iya, mbak. Sudah. Aku memutuskan untuk pisah dari Mas Kendra. Aku tidak sanggup dimadu, mbak.”
“Lalu tanggapan suamimu bagaimana?”
“Mas Kendra sih tidak mau berpisah dari aku. Tapi ‘kan nasi sudah menjadi bubur. Jika aku meminta Mas Kendra untuk bercerai dengan istrinya, itu dosa. Jadi aku tidak berharap apa pun lagi sama dia. Aku memastikan diriku untuk mundur saja daripada harus bertahan hidup dengan luka. Bagaimana menurut mbak mengenai keputusanku itu?”
“Mbak tidak akan melarang. Mbak akan mendukung apa pun keputusanmu karena hanya kamu yang bisa membahagiakan diri sendiri. Yang penting kamu tetap semangat dan tidak berputus asa. Yakinlah Tuhan merencanakan sesuatu yang indah buat kamu. Kamu masih sangat muda dan kamu cantik.”
Risma tersenyum sendiri. Rani memang selalu menguatkannya yang yatim piatu dan sebatang kara ini. Dia bersyukur kenal dengan Rani.
“Terima kasih untuk semangat dan dukungannya mbak. Aku tidak akan pernah berputus asa. Aku yakin apa yang terjadi denganku adalah kehendak dari Yang Maha Kuasa.”
“Ya, pasti seperti itu.”
***
Bruum…. bruum….
Suara mobil membuat Laili yang sedang menyiram bunga menoleh ke belakang. Dia langsung mematikan kran begitu tahu yang datang adalah putra sulungnya, Kendra. Laili mendekati Kendra dengan tatapan bingung.
“Tidak biasanya pagi-pagi kamu datang ke sini,” ucap Laili sembari mengikuti langkah Kendra menuju teras. Dia ikut duduk ketika Kendra duduk.
"Aku butuh bantuan ibu," jawab Kendra dengan wajah lesu.
“Bantuan apa? Jangan bilang usaha kamu bangkrut sehingga butuh modal.”
“Bukan itu, bu. Ibu tahu sendiri kalau usahaku itu tambah maju dan tidak bangkrut bukan?”
Laili angguk-angguk. “Ya ya, ibu mengakui itu. Terus kamu datang untuk minta bantuan apa kalau bukan bantuan modal?”
“Aku minta bantuan ibu untuk membujuk Risma, bu.”
Kening Laili mengerut. “Membujuk Risma? Memangnya kenapa Risma harus dibujuk segala? Besar kepala nanti. Biarkan saja kalau dia ngambek. Nanti juga sadar sendiri tanpa perlu dibujuk.”
“Bukan, bukan karena itu, bu.”
“Terus karena apa?” sahut Laili cepat.
Kendra memilin taplak meja kursi teras. “Karena… karena aku membawa istri keduaku ke rumah, bu.”
Laili tersentak kaget. “Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Kamu menikah lagi tanpa bilang-bilang ke ibu dan ayah?”
Kendra mengangguk tanpa rasa malu. “Iya, bu.”
“Bagaimana ceritanya kamu menikah lagi? Trus alasan kamu menikah lagi itu apa?”
Kendra menarik nafas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita mengenai Eva. Awalnya Laili agak sedikit marah dengan keputusan Kendra menikah lagi. Tapi begitu mendengar tentang kehamilan Eva yang sudah berumur lima bulan, Laili justru setuju dengan pernikahan kedua putranya itu. Laili jadi tidak sabar ingin bertemu dengan menantu barunya tersebut.
Kendra juga bercerita bagaimana Risma sangat marah kepadanya karena telah dimadu, memutuskan untuk berpisah, hingga kembali ke rumah peninggalan orang tuanya. Dan sekarang membutuhkan kedua orangtuanya untuk membujuk istri pertamanya itu.
“Kalau Risma mau pisah sama kamu, ya talak saja. Kenapa juga harus kamu pertahankan? Toh, dia tidak bisa mengandung anakmu ‘kan? Dan kamu sudah punya istri pengganti dia yang bisa hamil. Lagian harga diri kita jatuh kalau sampai memohon-mohon kepadanya.” Laili malah menanggapi seperti itu.
Kendra menggeleng. “Tidak seperti itu bu. Bagiku, Risma yang terbaik. Dia bisa mengurus rumah, bisa mengurusku, dan bisa mengurus perutku. Eva walaupun bisa hamil, dia tidak mau memasak dan beres-beres rumah. Eva malah berencana memakai jasa pembantu. Jadi aku tidak mau melepaskan Risma. Yang aku inginkan adalah memiliki Risma dan Eva. Aku menginginkan keduanya. Risma yang mengurusku dan Eva yang melahirkan anakku.”
Laili menipiskan bibir. “Kalau itu sih sepertinya susah, Ken. Semua wanita tidak ada yang mau diduakan.”
Kendra menggenggam tangan Laili. “Ayolah, bu. Tolong aku. Aku ingin ibu temui dia dan bujuk Risma untuk tidak menggugat cerai. Ibu dan dia ‘kan sama-sama wanita. Jadi mungkin obrolan kalian bisa nyambung.”
“Tapi ibu tidak yakin bisa membujuk dia. Kamu tau sendiri bagaimana selama ini ibu bersikap kepadanya, ibu itu cerewet kepadanya sehingga dia tidak dekat pada ibu.”
“Coba saja dulu, bu. Ako mohon…”
Laili melirik wajah Kendra yang memelas. Dia kesal Kendra menampakan wajah seperti itu. Akan tetapi, dia juga tidak tega. “Baiklah. Ibu akan menemui Risma.”
Wajah Kendra langsung berseri. “Terima kasih ya, bu. Terima kasih. Semoga saja kalau ibu yang bicara, Risma mau kembali.
Bab 8
Risma tersenyum karena tumis kangkungnya sudah jadi. Ini adalah menu makan malamnya yang sudah agak telat. Tidak apa-apa, yang penting perutnya terisi dan dia tetap sehat.
Risma membawa tumis kangkung itu ke atas meja. Dia sudah tidak sabar untuk menyantap karena perutnya sudah menagih untuk diisi. Tapi tampaknya dia harus menunda untuk makan lantaran mendengar ketukan di pintu. Risma terdiam sejenak, berpikir, mencoba untuk menebak siapa yang mengetuk, sebelum akhirnya bergerak menuju pintu. Dia berharap itu bukanlah Kendra. Dia capek menghadapi suaminya itu.
Ketukan itu kembali terdengar. Risma pun meninggalkan meja makan untuk membuka pintu. Matanya melebar begitu mendapati Laili, ibu mertuanya berdiri di hadapannya.
“I… bu?” ucap Risma setengah tak percaya. Risma melayangkan pandang ke sekitar. Dia melihat mobil ayah mertuanya di luar pagar atau di tepi jalan. “Ibu ke sini dengan ayah?” tanya Risma pada Laili.
Laili mengangguk. “Iya, ibu datang dengan ayah. Tapi dia tidak mau ikutan masuk. Dia mau menunggu di mobil saja.”
“Ooo…” balas Risma. “Kalau begitu silahkan masuk, bu?”
Risma membuka pintu lebih lebar. Dengan gerakan tangan dia mempersilahkan Laili masuk serta duduk di kursi yang ada di ruang tamu itu. Perasaannya mulai tidak enak. Dia yakin kedatangan Laili ada sangkut paut dengan keputusannya yang berniat pisah dengan Kendra.
“Ada apa ya ibu datang kemari?” tanya Risma to the point ketika mereka sudah duduk berhadapan. Meskipun sangat marah dengan Kendra, dia tetap bersikap lembut pada ibu mertuanya itu.
“Seharusnya ibu yang bertanya, kenapa kamu pulang ke rumah ini?” Laili malah balik bertanya.
Risma menatap Laili bingung. Kebingungan itu tampak dari kerutan di keningnya. “Memangnya Mas Kendra tidak bercerita kepada ibu alasannya? Aku rasa Mas Kendra tidak menyembunyikan istri keduanya dari ibu dan ayah.”
“Iya, kami sudah tau kalau soal pernikahan kedua Kendra itu. Akan tetapi apa ini jalan terbaik buat persoalan kalian?”
“Terus kalau bukan ini, jalan terbaiknya apa menurut ibu? Aku tetap bertahan menjadi istri Mas Kendra meskipun hatiku hancur lebur dan tiap hari sakit hati?”
Laili balik menatap Risma. “Risma, Kendra itu menikah karena ingin punya anak. Masak kamu tidak mau memakluminya?”
“Memaklumi yang bagaimana maksudnya? Yang ada Mas Kendra yang tidak sabar. Kami ini baru menikah dua tahun bukan sepuluh tahun. Kenapa ini terlalu dipermasalahkan sampai-sampai Mas Kendra harus menikah lagi? Banyak kok yang baru memiliki anak setelah lebih dari dua tahun menikah. Lima bahkan sepuluh tahun.”
“Jadi kamu yakin diri kamu tidak mandul?”
“Aku tidak bisa mengatakan diriku mandul atau tidak mandul, bu. Akan tetapi, aku tidak sanggup hidup berpoligami. Aku memilih untuk mundur. Aku ikhlaskan Mas Kendra bahagia dengan Eva. Aku tidak akan mengganggu mereka. Aku akan mencari kebahagiaanku sendiri dengan caraku sendiri.”
“Intinya, kamu sudah sangat yakin akan mengugat cerai Kendra?”
Risma mengangguk. “Ya. Aku sangat yakin, bu.”
Laili menelan salivanya. Dia terus membujuk menantunya itu seperti keinginan Kendra. Namun, upaya itu sia-sia. Risma tetap keukeuh ingin bercerai. Laili yang selama ini selalu ingin menang jika berbicara dengan Risma, kini tak berkutik. Dia harus mengakui kalau menantunya itu sangat teguh jika sudah membuat keputusan. Apapun yang dia katakan untuk membujuk Risma agar tetap bersama Kendra, tak juga bisa menggoyah niat wanita muda di depannya itu.
***
Matahari yang terbit tanda hari baru dimulai. Risma begitu semangat untuk bangun. Setelah sholat subuh, dia masak untuk sarapannya sendiri, yang dilanjutkan dengan mandi. Usai sarapan, Risma berangkat melanjutkan ikhtiarnya kemarin untuk mendapatkan pekerjaan.
Seperti juga hari sebelumnya, Risma masuk dari gedung satu ke gedung lainnya. Dia bertanya pada satpam ataupun resepsionis tentang kemungkinan ada pekerjaan untuknya. Tapi jawaban mereka semua sama seperti kemarin, kosong. Tidak ada lowongan pekerjaan untuknya. Semua penuh. Risma harus kembali menelan kekecewaan. Dia keluar dari gedung-gedung itu dengan langkah gontai dan wajah yang sedih.
“Es tebunya satu, pak!” ucap Risma sembari mengambil duduk di sebuah bangku panjang. Hari ini lebih panas dari hari kemarin sehingga membuatnya merasakan kelelahan yang lebih. Karena hal itulah, dia menjadi sering haus. Bekal air minum yang dibawanya sudah tandas meskipun masih jam dua siang.
Bapak penjual es tebu melirik Risma sekilas sebelum akhirnya membuatkan es tebu pesanan Risma. Setelah jadi, es tersebut dia sodorkan pada wanita itu. “Ini neng es-nya.”
Risma menerima es tebunya dan langsung menyeruputnya. Dalam sekejap, menyisakan seperempat gelas. Bapak penjual es tebu tersenyum melihat itu.
“Haus sekali ya, neng?”
Risma menoleh pada bapak penjual es tebu. “Iya, pak. Minum yang saya bawa dari rumah sudah habis.”
“Memangnya neng dari mana dan mau kemana sampai kehausan begitu?”
“Dari cari kerja, pak. Tapi belum dapat-dapat. Sekarang cari kerja susah ya, pak.”
“Memangnya neng mau kerja apa? Sekolahnya tamatan apa?”
“Hanya tamatan SMK pak. Saya mau kok kerja apa saja, yang penting halal.”
“Kalau jadi office girl mau juga?”
“Maulah, pak.”
“Wah, sepertinya ini rezeki eneng deh.”
Mata Risma mengerjap. Dia langsung menatap penjual es tebu dengan sangat serius. “Maksud bapak?”
Bapak penjual es tebu menunjuk ke depan. “Neng lihat gedung di depan itu?”
Risma menoleh ke arah yang ditunjuk bapak penjual es tebu. Sebuah gedung perusahaan yang besar. “Ya pak, saya lihat.”
“Security-nya baru saja beli es di sini. Katanya perusahaan itu hari ini mengeluarkan pengumuman butuh office boy dan office girl baru. Coba deh neng tanya pada security-nya.”
Sontak Risma berdiri mendengar itu. Ditaruhnya gelas es ke atas bangku panjang yang didudukinya tadi. “Kalau begitu, saya akan ke sana sekarang, pak.” Risma memberikan selembar uang pada bapak penjual es tebu. “Ini untuk membayar es-nya.”
Tak membuang waktu, Risma bergerak cepat menyebrang jalan. Dia tidak perduli dengan panggilan bapak penjual es tebu karena uang yang diberikan untuk membayar es tebu kebanyakan.
“Permisi pak. Selamat siang,” sapa Risma pada bapak security dari pagar.
“Ya, selamat siang. Ada apa ya, mbak?” tanya security yang disapa oleh Risma.
“Begini pak, saya mau tanya. Katanya perusahaan ini butuh office girl ya?”
Security itu mengangguk. “Iya, benar. Perusahaan ini memang sedang butuh office girl. Memangnya mbak mau mendaftar?”
“Ya, pak. Kebetulan saya sudah bawa ijazah dan yang lainnya. Saya memang sedang berkeliling mencari pekerjaan.”
“Kalau begitu langsung tanya sama resepsionis di lobby syaratnya apa saja.” Security itu segera membuka pintu pagar. “Ayo, masuklah!”
Risma membungkuk hormat. Wajahnya tampak berseri. “Terima kasih, pak. Terima kasih.” Dia pun melangkah ke dalam dengan sebilah senyuman. Begitu masuk ke lobby, Risma langsung menuju meja resepsionis.
“Ada yang bisa kami bantu, mbak?” tanya wanita cantik yang ada di belakang meja resepsionis pada Risma.
“Iya, mbak. Saya mau masukan lamaran buat office girl.”
“Oh, boleh. Kalau begitu mbak harus siapkan persyaratannya.” Resepsionis itu menyebutkan persyaratan-persyaratan itu.
Mata Risma melebar. “Kebetulan saya sudah membawa semuanya mbak.”
“Kalau begitu berikan pada saya.”
Dengan semangat, Risma mengeluarkan sebuah map dari dalam tas selempangnya. Map itu diberikannya pada sang resepsionis. “Ini mbak.”
Sang resepsionis menerima. “Persyaratannya saya terima ya. Jika mbak dinyatakan lulus tes berkas, maka akan kami hubungi.”
“Iya, mbak. Semoga secepatnya ya mbak. Kalau begitu saya permisi.” Risma berbalik. Tapi dia kurang hati-hati sehingga menabrak dada bidang seorang pria berjas rapi.
Bersambung.
Hayo siapa yang ditabrak? Komen ya.☺️
Oya, boleh ya follow Instagram authornya juga. @mayang_noura. Thanks.🤗
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
