
Pluviophile, seseorang yang menyukai hujan. Mereka akan sangat bersemangat saat hujan turun untuk membasahi bumi.
Melihat awan putih layaknya kapas, langit biru cerah nampak jelas.
Awan-awan yang berbentuk gulungan, dengan dari celah awan-awan itu sinar mentari lewat meski samar. Udara pada atmosfer tampak tenang dan stabil tanpa adanya angin kencang, menimbulkan sepoi-sepoi sejuk di udara.
Meski hawa panas sebelumnya menyerang daerah itu, namun akibat datangnya angin dari timur membuat cuaca disana cukup berubah. Dengan membawa awan hitam beriringan suara guntur yang tampak samar.
Tidak hanya itu, adanya juga awan besar tidak teratur dengan jarak yang rendah dengan tanah, mereka datang secara bersamaan.
Membuat suhu panas berubah menjadi sejuk pada tempat itu.
Pada rumah di tengah padang tanah luas, dengan jarak antar rumah yang cukup berjauhan. Yang hanya dikelilingi oleh sawah yang besar dan mewah, pada pinggir sawahnya juga terdapat pohon pisang dan kelapa yang sudah tua.
Tidak lupa dengan adanya gazebo reyot untuk para petani berkumpul beristirahat melewati waktu kerja. Sapi-sapi menginjak lumpur untuk penanaman padi baru.
Gunung dan bukit tinggi yang membentang di belakang pemukiman bisa menjadi penyejuk mata setiap melihatnya. Pohon-pohon hijau yang terbentang pada belakang rumah.
Dengan sejumlah pohon pisang disana. Rumah-rumah lain yang berjauhan satu sama lain. Jalan hitam dari aspal, jalanan yang sepi dan jarang dilewati oleh kendaraan.
Di sebuah rumah panggung, nampak seorang anak gadis yang menulis kisah gadis kecil yang menyukai hujan, kisah yang menggambarkan dirinya sendiri. Hujan baginya adalah hidupnya, kebahagiaannya, tujuannya dan dirinya.
Ruang depan rumah, hanya berisi ruang tamu langsung, dengan meja dan sofa terbuka dari rotan anyaman bambu yang sangat baik, lantai kayu dan ada beberapa pajangan terpampang di dinding. Seperti keris, ada juga berbagai jenis topeng tradisional dari topeng Ruwana, Samba dan Kelana.
Pada langit, awan dan suasana yang mulai berubah, angin berhembus dari jendelanya yang terbuka masuk kedalam ruang tamu tempat dia tengah menulis kisahnya.
Dengan duduk pada lantai, tangannya tengah asik menulis pada selembar kertas, di sebelah kertas itu, ada coretan gambar dirinya yang tengah gembira di tengah rintik hujan hujan. Itu salah satu bukti dirinya yang menyukai hujan.
Angin lantas menghembus masuk, sensasi sejuk menyentuh kulitnya yang berwarna sawo matang, dia lantas dengan cepat berdiri terburu-buru menuju jendela yang terbuka tadi untuk melihat keluar.
Dari jauh dia melihat awan yang berhembus, dan juga cuaca yang mulai mendung. Ini membuat semangatnya muncul untuk keluar rumah dan bersiap pada hujan yang akan datang.
Langit tiba-tiba berubah menjadi abu-abu dan mulai gelap. Gadis itu lantas pergi ke dapur tempat ibunya berada, dengan tergesa-gesa dia berseru. “Ibu! Ibu! Aku mau mandi hujan boleh?”
Sang ibu lantas mendengar anaknya yang bersemangat untuk keluar yang mulai mendung. Si ibu lantas memberinya syarat jika dia mau keluar. "Pergilah, tapi saat makan siang sudah siap harus kembali untuk makan, mengerti?"
"Baik! Aku sayang ibu!" Sang anak dengan gembira keluar rumah dan mendapati langit sudah mendung dan angin berhembus disertai dengan suara guntur, kaki-kakinya membuat suara derik kayu setiap dia melangkah.
Tak lupa sebelum keluar, dia merapikan alat-alat gambar tadi pada meja dan memasukkan pensil warna pada laci meja. Dia juga sedikit mengambil beberapa lembar kertas. Setelah itu, dia lantas buru-buru keluar dan turun pada tangga kayu dan keluar dari rumah panggung miliknya. Sampai di bawah, dia mengambil sandal jepit dari karet miliknya, lalu menaruh kertas yang dia ambil untuk di taruh di belakang tangga rumah.
Satu-dua rintik hujan mulai turun dan mengenai kulit sawo si gadis, hingga air hujan mulai mengguyur secara perlahan mulai deras.
Daerah itu lantas di hujani air, pohon-pohon, rumput-rumput, dan jalanan menjadi basah oleh air hujan.
Si gadis dengan gembira melompat ke sana kemari setelah turunnya hujan. Dia membuat air terciprat saat kakinya mengenai kubangan air.
Wajah gembira keluar pada wajah gadis itu, kegembiraan yang dia selalu ungkapkan saat dirinya menyatu dengan hujan.
Di jalan sesekali pengendara motor dengan jas hujan lewat depan tergesa-gesa untuk mencari perlindungan. Mobil juga tak kalah cepat melewati derasnya hujan yang mengguyur jalannya.
Si gadis mulai bermain seperti mengambil ember dekat tangga dan mengambil gayung yang terbuka dari batok kelapa. Dia gunakan itu untuk bermain, membiarkan ember penuh dan membuangnya kembali dengan gayung tadi, begitu terus dan seterusnya.
Para katak-katak melompat keluar, mereka menikmati derasnya hujan. Si gadis melihat para katak keluar dari semak, dengan cepat dia menuang air dari ember, membiarkan ember itu kosong. Dia lantas pergi ke dekat semak untuk menangkap para katak-katak itu.
Dengan tubuhnya yang sudah basah, cukup sulit untuk berlari akibat tanah yang basah menjadi lumpur saat dirinya hanya menggunakan sandal karet, membuat kakinya licin setiap kali melangkah.
Mendekat pada para katak dia lantas membalik ember yang dia bawa, dan mengangkat ember tinggi-tinggi lalu menangkap beberapa katak yang tengah menikmati derasnya hujan.
Dia bersiap membuka ember untuk menangkap para katak yang berhasil dia jebak.
"1… 2… 3… Haa!" Dengan menghitung mundur dia membuka ember dengan cepat, para katak lantas berhamburan ke segala arah, mencoba kabur dari sana.
Si gadis lantas buru-buru mencoba menangkap katak yang dekat dengan dirinya, menggunakan dua tangannya dia berhasil menggenggam satu katak. Lalu dimasukkan ke dalam ember.
Mendapat satu katak, dia lantas mencoba menangkap katak lain, dia mengejar katak-katak yang menjauh darinya. Berlari dengan susah, dia melompat pada dua katak yang lebih dekat dirinya daripada yang lain.
Tapi, tidak satupun dari dua katak itu berhasil dia tangkap. Melihat sekeliling lagi, dia mencari katak lain, mendapat di dekat tangga rumah dia mendapat satu lagi untuk di masukkan ke dalam ember.
Melihat dua katak melompat-lompat pada ember, dia menyadari bahwa menangkap katak dengan tangan cukup sulit. Maka, dia memutuskan untuk menggunakan gayung dari batok kelapa tadi.
Mengambil gayung itu, dia lantas mencari katak lain, di semak samping rumah, disana ada cukup katak lain untuk dia tangkap.
Menangkap katak dengan gayung jauh lebih mudah, karena jarak yang bisa dia raih jauh lebih besar.
Empat sampai enam katak dia masukkan di dalam ember. Dengan begitu, dia berhasil menangkap katak cukup banyak. Dengan cukup banyaknya katak yang dia dapat, dirinya lantas membawa ember berisi katak-katak itu.
Membawa ember itu pada sebuah kubangan cukup besar di depan dekat jalanan. Dia lantas menaruh ember di dekat kubangan itu, lalu menjatuhkan ember itu secara perlahan pada kubangan itu, membiarkan para katak masuk pada kubangan air itu.
Meski banyak katak yang kabur dari kubangan, namun tidak sedikit yang masuk di dalam kubangan untuk berenang disana.
Si gadis cukup senang melihat beberapa katak berenang di sana, si gadis juga setelah melihat para katak itu, dia berdiri dan melihat sawah yang terbentang di balik batas jalanan.
Sawah yang terguyur hujan, atap gazebo yang juga basah, atap yang terbuat dari daun-daun kelapa yang sudah kering.
Manusia sawah juga yang ikut basah akibat hujan, saat masih melihat sawah itu beserta isinya. Tiba-tiba mobil dengan cepat lewat di depannya, menginjak sebuah kubangan dari jalanan dan mengguyur habis gadis itu.
Sang gadis lantas mundur sedikit karena terkena cipratan itu, dia memutuskan untuk menjauh dari jalanan. Akan lebih baik seperti itu daripada membahayakan dirinya di dekat jalan besar.
Gadis itu juga ingat kembali soal kertas yang dia bawa keluar sebelumnya, dia kembali ke belakang tangga dan mengambil kertas itu.
Karena di bawah rumahnya tidak terkena hujan, hanya sedikit becek pada bagian pinggir saja.
Gadis itu duduk di tanah yang basah, membuat celananya kotor saat bokongnya menyentuh tanah, tapi dia tidak peduli dengan itu.
Melipat kertas itu secara hati-hati dan benar, dia membuat sebuah perahu kertas. Semua kertas itu untuk dia lipat dijadikan perahu kertas.
Setelah ada empat perahu kertas dibuat, dia lantas membawanya. Dengan berlari sangat hati-hati, mengingatkan tanah yang licin menggunakan sandal karet. Dia kembali menuju kubangan tempat para katak tadi.
Meski kubangan itu sudah tidak ada para katak tadi, gadis itu sudah tidak peduli pada mereka, seperti dia sudah melupakan mereka di kepalanya.
Menaruh dua kapal kertas di kubangan itu membuat dirinya bertambah senang.
Dua perahu kertas yang tersisa akan dia taruh di selokan samping rumah, selokan itu akan kering saat cuaca tidak hujan. Tapi saat hujan, selokan itu akan terisi penuh air dan memiliki arus deras, seperti sebuah sungai.
Pergi ke selokan itu, dia lantas berhenti di pinggir selokan yang membatasi halaman rumahnya dengan halaman rumah lain.
Mengambil posisi jongkok, dia menaruh dia perahu tersisa, membiarkan mereka hanyut oleh deras air di selokan itu. Membawa mereka melewati saluran bawah di jalan besar menuju sawah.
Selokan dibuat untuk diarahkan ke sawah-sawah di seberang jalan, agar kondisi air di sawah tetap ada daripada dibuang begitu saja.
Hingga dari rumah, ibunya keluar dan meneriaki nama gadis itu, memanggilnya karena makanan sudah siap. “Savita! Ayo makan! Ibu buat opor ayam.”
Mendengar ibunya memanggil, dia lantas menjawab. "Baik, Bu!" Dengan tergesa-gesa.
Dia lantas perlahan naik tangga untuk naik. Sesampainya di teras, ibunya yang sudah membawa handuk, lantas membersihkan dirinya dulu untuk tidak masuk secara basah.
Meski gadis itu yang bernama Savita, dirinya masih menggigil akibat dinginnya air hujan. Tapi, meski dingin baginya, itu tidak masalah, tidak ada yang bisa membuatnya gembira saat hujan turun.
Setelah sedikit mengeringkan dirinya, Savita berlari masuk dan pergi ke kamar mandi dibelakang rumah dan harus turun lagi untuk kesana.
Ibunya hanya berjalan pelan sambil memperingati gadis itu untuk hati-hati agar tidak jatuh saat berlari.
Senyum hangat muncul pada sang ibu, dia tahu anaknya memiliki ketertarikan mengenai hujan, bahkan menyukainya. Istilah itu biasa disebut Pluviophile, orang yang mencintai hujan.
Ibu Savita lantas menyiapkan piring dan menyendok nasi untuk anaknya setelah selesai mandi.
Menata semua lauk yang dia buat, Savita juga baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi seluruh tubuhnya, dia lantas pergi ke kamarnya untuk mengambil pakaian.
Sambil masih sibuk menyiapkan makanan, dan menunggu anaknya selesai berpakaian.
Tidak butuh lama, meja diisi dengan banyak makanan, dari mangkuk besar berisi opor ayam, sepiring kecil sambal goreng, ikan asin, dan tumis kangkung.
Semua makanan mengepulkan uap panas disaat hawa waktu itu masih cukup dingin karena masih hujan
"Nak, ayo makan! Sudah siap nih." Teriak ibunya dari ruang makan.
Savita menyahut seruan sang ibu. "Iya, Bu!" Tak lama, Savita keluar dengan pakaian dress kuning yang sampai menutupi lututnya.
Dia lantas duduk di sebelah sang ibu yang mengambilkan kuah opor pada piringnya, dilanjut mengambil sepotong paha ayam untuk anaknya itu.
"Lho cuma satu?" Protes Savita.
"Habiskan itu dulu, baru tambah." Ucap ibunya. “Ayah juga nanti mau makan opor ibu juga. Sudah lama ayahmu tidak mencoba opor ibu.”
Wajah cemberut nampak pada gadis itu. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain menuruti perintah ibunya.
Keduanya makan bersama di siang hari saat hujan membasahi kawasan itu. Dari atas langit, awan-awan mulai menyingkir, membiarkan sinar matahari melewati sela-sela awan, hujan mulai reda.
Savita setelah selesai makan, dia kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan tulisannya yang belum selesai. Dia juga menulis sambil mendengarkan musik rintikan hujan yang dia rekam melalui perekam suara lama milik ayahnya.
Bau tanah tercium jelas, hujan mulai reda. Dari sisi lain, tampak pelangi indah di antara awan. Meski agak transparan, namun masih cukup jelas untuk dilihat.
Cuaca kembali cerah, semuanya yang dilalui awan itu sudah basah kuyup oleh air hujan tadi.
Kini, cerah kembali datang, bersamaan dengan pelangi indah di siang hari.
– Tamat –
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
