Part 46.3 dan 47 Something About You

678
157
Deskripsi

Buat yang tidak tahu cara beli di Karyakarsa bisa dm admin di 081239627358

Part 46.3 Something About Fear

Part 47 Something About Past and Future

Semi ending dari Something About You!! 

Terimakasih sudah membeli bab ini.

Jangan lupa beli love dan komen kesan kesan kalian. 

Selamat membaca. 

 

PART 46.3 - SOMETHING ABOUT FEAR

Biasanya Raphael terbangun tanpa kesulitan, kecuali jika ia baru saja minum-minum semalam sebelumnya. Kali ini ia kesulitan untuk terbangun karena ia tidak ingin. Ia masih diam menatap sosok di sampingnya, yang masih berkeras memunggunginya padahal tadi malam ia berubah menjadi makhluk tak tahu malu yang Raphael suka.

Raphael tidak pernah merasa sebebas ini. Bercinta dengan seorang wanita tanpa disertai kegelisahan seperti yang dulu dirasakannya bersama Sophie, ataupun rasa bersalah seperti saat ia belum menikahi Kaytlin. Tidak ada beban yang menyiksa, tidak perlu menarik diri untuk mencegah kehamilan, dan tidak perlu ragu untuk apa pun karena Kaytlin adalah miliknya.

Saat ini bahkan Raphael menginginkannya lagi, tapi ia mengerti untuk tidak membuat Kaytlin kelelahan. Bagi Raphael yang sudah terbiasa menahan diri sepanjang hidupnya, dua malam berturut-turut adalah berlebihan. Bersama Sophie pun ia tidak pernah. Mereka memang melakukannya, namun setelahnya Raphael lebih banyak mendengarkan keluh kesah Sophie tentang kehidupannya yang menyedihkan. Meskipun menginap bersama, ia tidak berselera untuk melakukan lebih dari sekali dalam setiap pertemuan. Raphael bukan orang suci, tapi sejujurnya ia pun tidak menyukai perselingkuhan. Sejak dulu hati kecilnya sudah ingin menghentikan, namun ia masih terpaku pada masa lalu. Hingga Kaytlin hadir dalam hidupnya.

Pengakuan Kaytlin tentang hubungan Sophie dan Torrington juga tidak mengejutkan bagi Raphael. Raphael memang tidak terlalu mengerti Sophie lagi semenjak wanita itu meninggalkannya menikah. Ia hanya tahu kian hari Sophie memiliki kecemasan yang berlebihan terhadap rasa aman. Mungkin itu yang membuatnya mendekati Torrington sekaligus mempertahankan Raphael. Harapan Raphael padanya juga sudah lama terkubur dan sekarang tidak ada lagi beban di hatinya karena berhenti menjadi pelipur lara wanita itu. 

Sekarang, ia hanya ingin memperbaiki segalanya dan membuat Kaytlin kembali dekat dengannya lagi. Awalnya ia hanya ingin memberi Kaytlin waktu dengan menuruti keinginannya untuk tidak memasuki kamarnya, tapi neneknya bersikeras ia harus melakukan sebaliknya. Sebenarnya Raphael tidak pernah ingin membahas masalah rumah tangganya dengan sang nenek, tapi neneknya terus mendesaknya karena curiga melihat interaksi mereka yang begitu formal setelah menikah. 

"Tidak! Kau tidak boleh membiarkannya! Kau harus mendekatinya sedekat mungkin!" cetus neneknya saat itu. 

"Apa Nenek serius? Ia menyuruhku menjauh, bukan mendekat." 

Neneknya menggeleng. "Terkadang jika wanita berkata ya, itu artinya tidak, begitu pun sebaliknya. JIka ia menyuruhmu menjauh, itu artinya ia menyuruhmu mendekat. Jika ia mengatakan terserah, itu berarti kau tidak boleh memutuskan dan harus menanyakan pilihanmu lagi padanya. Itu terjadi sesekali, namun juga seringkali. Tergantung situasi dan kondisi hati.”

“Bagaimana aku bisa tahu itu?”

“Kau harus mempelajarinya sendiri.”

Raphael terdiam bingung, lalu menggeleng. "Tidak. Itu bukan Kaytlin. Selama ini ia selalu mengemukakan apa yang ia inginkan."

"Kali ini ia sedang menjadi seorang wanita. Dan begitulah wanita. Jika seorang wanita marah, jangan menjauhinya apalagi melawannya. Kau harus meminta maaf, memberikannya pelukan, rayuan..."

"Ia akan membunuhku sebelum melakukan yang kedua."

"Tidak. Jangan khawatir. Percayalah pada nenekmu ini." Neneknya terkekeh. "Baiklah, karena sepertinya perkembangan terjadi setiap kali aku meninggalkan kalian berdua, aku akan mengungsikan diriku ke Harrogate untuk sementara waktu."

"Nenek, kau tidak perlu melakukan itu."

"Kabari aku jika kau sudah menyelesaikan urusanmu dengannya. Saat itu aku akan kembali."

Raphael bukan laki-laki yang terlalu mahir berurusan dengan wanita dan kemarahan mereka. Ia lebih memilih menghindari konfrontasi. Namun ia hanya mencoba apa yang disarankan sang nenek karena mungkin memang hanya wanita yang mengerti wanita.

"Kaytlin, ini sudah siang," ucap Raphael.

Tidak ada jawaban.

Tampaknya Kaytlin bersikukuh tidak akan bangun semasih Raphael ada di sana. Raphael tahu Kaytlin hanya berpura-pura tidur dan tidak ada penjelasan logis mengapa ia bisa tahu. Ia hanya tahu saja. 

Dengan pelan Raphael mendekati punggung Kaytlin untuk melihat matanya yang terpejam dan bertahan di sana. Tidak berapa lama, Kaytlin mengerang sebagai bentuk gerutuan dan menarik selimut untuk menutupi kepala. Raphael hampir tertawa melihat itu.

“Kau belum menulis surat,” sindir Raphael. “Bukankah kau harus menulis banyak surat?”

“Enyahlah ke kamarmu!” teriak Kaytlin dari dalam selimut.

“My Lady.” Terdengar suara Gretchen beserta ketukan pelan di pintu. “Apakah Anda sudah bangun?”

Karena sudah berpakaian, meski tidak rapi dengan ujung kemejanya yang tidak ia masukkan ke dalam celana panjangnya, Raphael segera turun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu, dan membuka kuncinya. 

“My Lad__” Gretchen yang membuka pintu terkesiap melihat Raphael dan balik menutup pintu lagi dengan berdebam yang membuat Raphael mengerjap karena bunyinya begitu keras.

“Maaf, My Lord, saya akan kembali lagi nanti!” Terdengar suara panik Gretchen di balik pintu yang semakin menjauh.

Sebuah bantal menimpuk punggungnya dan mendarat di lantai. Ia menoleh dan melihat Kaytlin sudah terduduk di ranjangnya dengan wajah yang menampakkan campuran antara marah dan malu. 

“Apa yang kaulakukan?!” jerit Kaytlin kesal.

“Memangnya apa yang kulakukan? Aku bahkan belum melakukan apa pun tapi pelayanmu sudah kabur.”

“Tentu saja ia akan terkejut melihatmu di depan wajahnya. Untuk apa kau membukakan pintu? Aku memintamu kembali ke kamar!” omel Kaytlin seraya mengambil dalaman gaunnya di kaki ranjang. Selimutnya sudah terkumpul di pinggang dan memperlihatkan setengah bagian tubuhnya ke atas. Rambutnya tidak cukup panjang untuk bisa menutupi payudaranya yang membuat Raphael menyukai ide tentang rambut pendek bagi wanita.

“Berhenti menatapku seperti itu.”

“Seperti apa?” tanya Raphael pura-pura tak mengerti.

Kaytlin meneruskan memakai dalamannya. “Gretchen akan kembali sebentar lagi. Dengan adanya dirimu di sini, kau hanya akan menakut-nakutinya.”

“Kapan aku pernah menakut-nakutinya?”

Kaytlin memutar bola mata dan turun dari tempat tidur menuju tempat  Raphael berdiri. Ia mendorong punggung Raphael menuju pintu penghubung dan Raphael menurut saja. “Aku akan berbicara denganmu nanti. Sekarang aku perlu waktu pribadi untuk diriku sebagai wanita.” 

Tanpa diminta pun, Raphael pasti bersedia memberikan ‘waktu pribadi’, istilah yang tidak Raphael mengerti karena tidak ada bagian dari diri Kaytlin yang tidak pernah ia lihat. Ia membuka pintu dan menyeberang menuju kamarnya. Kaytlin termenung di tempatnya berdiri, seakan melihat kamar Raphael sebagai dunia yang berbeda.

“Mengapa kau tidak ingin kemari sekarang?” tanya Raphael.

“Apa bedanya? Kau tetap saja tidur bersamaku.”

“Kau tahu itu berbeda.”

“Bukankah memang seharusnya seperti ini?”

Normalnya memang begitulah pengaturan bangsawan. Suami dan istri tidur di kamar masing-masing. Sedapat mungkin seorang istri tidak mengganggu suami jika tidak terlalu mendesak. Dan jika suami menginginkan sesuatu, ia akan mengunjungi sang istri di kamarnya. 

“Aku tidak ingin seperti ini,” ucap Raphael. Ia ingin Kaytlin ada di kamarnya, menulis surat di mejanya, dan mendengarkan cerita tidak penting wanita itu di sofanya ditemani satu atau dua gelas minuman sebelum tidur. Ia ingin melihat Kaytlin di pagi hari, memonopoli selimutnya hingga Raphael tidak sadar terbangun lebih awal karena kedinginan. “Kapan pun kau ingin kemari, pintu itu tidak pernah terkunci.”

Tatapan Kaytlin terlihat murung. “Ya, My Lord,” ucapnya sopan sebelum berbalik dan pergi dari jangkauan pandang Raphael.

Bahkan menyentuh pintunya pun Kaytlin enggan. Raphael menutup kembali pintu itu dengan berat hati.  

***

Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas saat Kaytlin selesai membersihkan diri dan sarapan. Ia sedang melanjutkan menulis surat pada Lisette, yang sedari kemarin tidak selesai-selesai, padahal biasanya ia begitu lancar menulis surat. Gretchen mondar-mandir di belakangnya, membersihkan ruangan dan menata pakaian-pakaian Kaytlin yang sudah selesai disetrika dari ruang cuci, kegiatannya setiap pagi. 

“Kau tampak sangat riang. Apakah ada sesuatu yang membuatmu senang?” gumam Kaytlin. Saat memunggunginya pun Kaytlin tahu Gretchen tersenyum-senyum, bahkan bersiul-siul. Dan siulan Gretchen hanya membuatnya semakin tidak bisa berkonsentrasi menulis surat.

“Tentu saja aku senang mengetahui bahwa Lord-ku ternyata sangat berminat pada Lady-ku.” Gretchen terkikik menggoda seperti wanita di kedai minum. 

“Rasanya tadi kau lari terbirit-birit.”

“Aku bukan lari karena takut.” Gretchen menjelaskan. “Aku hanya...mmph tidak ingin mengganggu...”

Kaytlin menaruh pena dan menoleh pada Gretchen. Gretchen tersenyum mengedip-ngedipkan mata. 

“Hentikan itu. Aku mual.”

“Ini sudah bulan kelima jalan, My Lady. Kata ibuku seharusnya mual itu sudah berkurang.”

“Bukan karena kehamilanku. Aku mual melihat tingkahmu.” Kaytlin menjelaskan.

Gretchen tersenyum semakin lebar. “Itu hanya caraku mengungkapkan kegembiraan. Seharusnya malah Anda senang His Lord perhatian pada Anda, bukan? Apa yang dilakukan His Lord sangat romantis. Entah mengapa Anda bisa bertahan.”

Sebenarnya Kaytlin juga tidak bisa bertahan. “Aku tidak mengerti mengapa ia seperti itu sekarang.”

“Mengapa bertanya lagi? Tentu saja karena mencintai Anda.”

“Dia tidak pernah mengatakan mencintaiku.”

“Sama sekali?”

“Ia mengatakannya sekali. Tapi itu karena aku tidak mau menikah dengannya. Ia tahu aku hanya akan menikah dengan orang yang mencintaiku.”

“My Lady, Anda berpikir His Lord hanya mencintai bayi dalam perut Anda?”

“Kadang-kadang aku berpikir seperti itu.”

“Tidak, itu bukan tipu muslihat. His Lord juga mencintai Anda. Yang kutahu selama ini His Lord adalah orang yang tidak suka berbohong, bahkan terlalu jujur terutama jika mengkritik orang lain.” Gretchen mengernyit. “Mr. Basset dan para pelayan di dapur juga mengatakan His Lord tidak pernah sebaik sekarang. Dan mereka senang Anda membuatnya berubah lebih bahagia, seaneh apa pun caranya. Kadang-kadang mereka tertawa jika mengingat apa yang Anda lakukan di masa lalu.”

“Mereka...membicarakan kami?” Kaytlin tercekat.

“Ya... Mr. Basset menyuruh kami semua diam dan pura-pura tidak tahu, tapi aku tidak bisa berbohong pada Anda... My Lady! Dengarkan aku dulu__" Gretchen cepat-cepat menenangkan dengan panik saat Kaytlin mengerang dan menjatuhkan wajahnya ke meja. "Maafkan kami, kami tidak bermaksud menggosipkan Anda dan His Lord. Itu hanya tindakan spontan...semua berharap hubungan kalian baik-baik saja."

Meski Gretchen menjelaskan apa pun, Kaytlin tidak bisa merasa tenang. Tapi jika dipikir-pikir, Kaytlin dulu malah melakukan hal yang lebih memalukan dari apa yang dilakukan Raphael, hanya saja bagaimana bisa dulu ia tidak merasa malu? Lalu sekarang ia yang malah terang-terangan menghindari Raphael tanpa tahu pelayan manor memperhatikan gerak-gerik mereka. Sebenarnya itu tidak terlalu menjadi masalah bagi Kaytlin karena Raphael juga tidak keberatan menjadi tontonan mereka. Yang menjadi masalah sekarang adalah, itu berarti ia harus semakin menjaga sikap dan tidak menolak Raphael lagi.

***

Sesuai janjinya, Kaytlin segera menemui Raphael di ruang kerja. Pintu ruang kerja terbuka lebar dan Kaytlin melewatinya hanya untuk mundur selangkah kembali dan mengetuk pintu. Raphael mengangkat wajah dari apa pun yang menarik perhatiannya di meja.

“Masuk saja. Untuk apa mengetuk pintu?” 

“Kau yang dulu memintaku.” Kaytlin melangkah melewati pintu menuju meja pria itu. “Mengapa tidak ada kursi?” Ia melirik bagian kosong di depan meja.

“Memang sengaja kusingkirkan. Kemarilah,” panggil Raphael.

Kaytlin menurut saja mendekat ke sisinya meskipun curiga. Raphael mengulurkan tangan dan menariknya dengan lembut untuk ditempatkan di pangkuan. Sedikit terkejut di awal, Kaytlin segera meraih bahu Raphael agar tidak terjatuh, namun ia tahu ia tidak mungkin akan terjatuh karena tangan Raphael yang lain sudah menjaga bokongnya. 

“My Lord, ini bukan...ruang pribadi.” Kaytlin mengingatkan dengan gelisah.

“Hanya ada kita berdua di sini.”

“Mr. Basset, bisakah aku meminta teh?” Kaytlin melepaskan pegangannya di bahu Raphael dan menegakkan tubuh.

Winston yang sedang menyibukkan diri di rak yang sudah rapi di sisi kanan mereka segera berbalik melihatnya. “Tentu, My Lady.” 

“Dan aku ingin kue,” tambah Kaytlin tanpa berani melihat kepala pelayan itu karena malu. “...yang baru saja dipanggang dari oven,” tambahnya lagi.

“Baik, My Lady.” Winston membungkuk dan menghilang di balik pintu. 

“Tanpa kau harus meminta kue pun, Winston pasti akan mengerti kau tidak ingin ia cepat kembali,” komentar Raphael dengan mata terhibur. 

Kaytlin terbelalak tak percaya padanya. “Kau sudah tahu Mr. Basset ada di sini!”

“Ia sudah seperti keluarga,” sahut Raphael santai. “Memang apa yang bisa dilakukannya?”

Hanya menggosipkan mereka bersama para pelayan di dapur. Tapi mengatakannya pada Raphael hanya akan membuat Gretchen dicap pengkhianat oleh teman-temannya. “Bisakah aku turun sekarang?”

“Ini surat undangan yang harus kaupilih.” Raphael menyeret nampan ke depan mereka. 

Kaytlin mengambil salah satu dari tumpukan teratas. Amplop undangan itu dibuat dari kertas tebal berwarna gading dihiasi pola ukir timbul berbentuk daun-daun kecil. Tampaknya itu adalah sebuah undangan dari bangsawan kelas atas mengingat penampilan surat undangan dari Torrington House dulu juga semewah undangan tersebut.  Kaytlin membaca nama yang tertera di amplopnya. “Countess of Hertford. Kau mengenalnya?”

“Tidak terlalu dekat. Suaminya sangat berpengaruh di bidang politik.”

“Kalau begitu kita harus menghadirinya?” .

“Mengapa begitu?”

“Kurasa itu penting untukmu.”

“Tidak juga. Aku tidak pernah tertarik pada politik.”

“Jadi...kita bisa melewatkannya?” tanya Kaytlin ragu.

“Tentu. Kecuali kau ingin ke sana.”

Bagaimana bisa Kaytlin ingin ke sana? Kaytlin bahkan tidak mengenalnya. Namun ia juga tidak seketika menolak. “Aku tidak bisa memutuskannya. Akan kulihat lagi nanti.” Ia menggulir surat itu ke belakang dan melihat undangan kedua. Amplopnya berwarna maron dengan hiasan berbentuk daun mapel. Lagi-lagi ia menemukan sebuah nama yang asing tertera di sana. “Earl of Pourlett.”

“Estatnya memiliki kebun buah.”

Kaytlin mencoba berkomentar seakan itu suatu hal biasa, tapi tidak bisa. “Sepertinya menarik.” 

“Kau ingin ke sana?”

Sejenak Kaytlin merasa ragu. “Apakah... dia orang yang menyenangkan?”

Raphael menatapnya sejenak, tampak merenungi sesuatu. “Sang earl dan istrinya memiliki ketertarikan berlebihan terhadap holtikultura sehingga jarang memikirkan hal lain. Mereka sama ramahnya dengan teman-temanmu di perkumpulan orang-orang tua. Apakah itu termasuk menyenangkan?”

“Ya, kurasa itu menyenangkan.” Belum memutuskan apa pun, Kaytlin mengintip nama di amplop pada surat ketiga hingga kelima. Tidak satu pun yang ia kenal. “My Lord... undangan-undangan ini sepertinya lebih ditujukan padamu dibanding padaku.”

“Mereka mengundang kita. Kau sudah menikah denganku.” Raphael menekankan seolah perlu untuk mengingatkan Kaytlin setiap hari.

“Tapi sebenarnya kau tidak merencanakan ini, bukan? Hanya karena aku memintamu untuk tidak berbicara padaku jika tidak ada hal penting,” ungkap Kaytlin. “Maaf, seharusnya aku tidak mengatakan itu. Kau bisa berbicara padaku kapan saja. Tidak perlu ada hal penting.”

“Tidak. Aku sudah memikirkan ini sebelumnya.”

“Bukankah kau dulu selalu menghindari acara sosial?”

“Tapi aku juga memikirkan dirimu yang suka menjalin pertemanan dan akan bosan jika selalu berada di sini terus menerus.”

“Tidak juga, aku tidak pernah merasa bosan di sini.”

“Oya?”

“Ya...” jawab Kaytlin, tersadar bahwa secara tak langsung ia mengakui suka berada di sana. “Lagipula aku tidak banyak mengenal para ton.” 

“Sebenarnya itu bukan masalah besar. Kau memiliki bakat alami untuk diplomasi sosial.”

“Aku memiliki bakat alami untuk berbicara tema-tema yang tidak penting.” 

“Justru bangsawan jarang membicarakan hal yang lebih penting dibanding cuaca.” Raphael mendorong surat itu kembali pada Kaytlin. “Baiklah, kembalikan saja padaku undangan yang tidak kaukenal.”

“Memangnya ada yang kukenal?” Kaytlin menggulir surat itu satu persatu dengan gerakan cepat. Ia terhenti di sebuah surat. “Marchioness of Lichfield,” gumamnya. Saat di Torrington House, Marchioness of Lichfield dan Princess Frederica memang sempat menyinggung tentang undangan untuknya.

“Kau mengenalnya, bukan?”

“Tidak terlalu dekat. Aku baru saja bertemu Marchioness of Lichfield dan Princess Frederica dua kali. Mereka sangat ramah padaku. Tapi aku tidak begitu mengenal mereka untuk tahu apakah mereka orang yang baik.”

“Apakah kau seskeptis itu sekarang?”

“Maksudku...aku tidak mengatakan mereka orang jahat. Bagaimana cara mengutarakannya?”

“Aku mengerti.” 

“Kau mengerti?”

“Aku selalu mengerti apa yang kaubicarakan, serumit apa pun kau bercerita,” kata Raphael. “Aku hanya menyesal telah membuatmu berubah sejauh ini dan tidak bisa membawamu kembali.”

“Bukan kau yang membuatku berhati-hati pada orang lain,” sanggah Kaytlin dengan was-was. “Kejadian di Torrington House__”

“Setelah kejadian di Torrington House, kau masih menjadi orang yang optimis. Kau tidak berubah,” sergah Raphael. “Perubahanmu terjadi setelah kau ke Carlisle. Akulah yang berperan besar membuatmu kehilangan semangatmu. Kau marah padaku sejak malam itu, bukan?” 

Diingatkan secara tiba-tiba oleh masa lalu yang ingin dilupakan membuat Kaytlin merasa sesak. Ia selalu teringat pada malam itu, malam di mana ia mengetahui Raphael tidak berniat menikah dengannya, tidak menginginkannya sebesar ia menginginkan pria itu. Bahwa apa yang ia rasakan saat berbunga-bunga di jalanan London, Vauxhall Garden, dan di setiap sudut manor adalah sesuatu yang indah namun traumatis. 

"Kaytlin... aku tidak pernah mengatakan tidak ingin menikahimu. Saat itu aku hanya perlu waktu untuk berbicara pada Sophie karena aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya."

"Kau sangat peduli padanya?”

"Ya, aku peduli padanya. Aku pernah setuju untuk menunggunya dan itu salahku karena tidak berpikir dua kali sebelum mengucapkan sebuah janji," aku Raphael. 

Kaytlin hampir meremas surat Marchioness of Lichfield di tangannya. "Aku tidak mampu berpikir bijaksana setelah kejadian di Torrington House. Aku hanya tidak rela kau bersamanya sehingga aku spontan melakukan hal yang membuatmu harus terjebak bersamaku."

"Demi Tuhan, aku tidak merasa terjebak. Jika aku tidak menyukaimu, aku tidak akan mengambil apa yang kautawarkan."

"Kau tidak pernah mengatakan menyukaiku."

"Aku sudah mengatakannya padamu di Keele." 

"Mengapa tidak sebelumnya? Mengapa pada saat kau tahu aku mengandung dan tidak mau menikah denganmu? Sejak dulu aku berbicara padamu ribuan hal, tapi kau tidak pernah mengucapkannya. Bahkan saat aku mengucapkannya, kau tidak membalas__" Ucapan Kaytlin terjeda dengan airmata yang terancam tertumpah. 

Bertahan untuk tetap tenang meski gemetar, Kaytlin menaruh surat undangan di meja dan turun dari pangkuan Raphael. Raphael pun ikut berdiri dan tidak membiarkan Kaytlin mengambil jarak lebih dari selangkah. 

"Kaytlin, aku minta maaf. Mengucapkan kata-kata romantis bukan sesuatu yang kukuasai dengan baik...” Raphael terhenti dengan tidak jelas. “Sejujurnya sejak dulu aku memiliki ketakutan untuk mengucapkan kata itu. Bahkan di Keele pun aku takut mengucapkannya, tapi pada akhirnya aku melakukannya juga. Itu hal terbaik yang bisa kulakukan.”

“Kau takut mengucapkannya padaku?” 

“Ya,” jawab Raphael. “Tapi hanya karena aku tidak mengucapkannya bukan berarti tidak. Kumohon percayalah padaku untuk yang satu itu.”

"Apakah itu berarti kau tidak pernah mengucapkannya pada Sophie?" 

Entah mengapa Kaytlin melontarkan pertanyaan berbahaya itu. Pertanyaan yang hanya akan berakhir menyakitinya bahkan saat Raphael tidak menjawab apa pun. Dan Raphael memang tidak menjawab dalam detik-detik yang berlalu penuh keheningan. 

"Itu tidak seperti yang kaupikirkan.” Akhirnya ia menjawab. “Segalanya belum berbeda saat itu.”

"Aku mengerti.” 

"Kau belum mengerti."

"Aku memang tidak pernah mengerti dirimu.” Kaytlin hendak berbalik pergi, namun ia mendengar Raphael mengucapkannya.

“Demi Tuhan, aku mencintaimu. Aku berusaha mengatakannya sekarang meski aku masih merasakan ketakutan, jika memang itu yang ingin kaudengar.”

Jika memang itu yang ingin kaudengar...

Mengapa Raphael harus mengucapkannya hanya karena Kaytlin ingin mendengar? Seharusnya cinta membuat seseorang melupakan segalanya, keraguan, ketakutan, bahkan terkadang akal sehat seperti yang Kaytlin lakukan dulu. Kaytlin tidak tahu cinta macam apa yang dirasakan Raphael untuknya, tapi yang pasti tidak cukup kuat untuk mengenyahkan ketakutan yang dikatakannya, entah itu apa.

“Terima kasih, aku cukup senang mendengar itu, My Lord.” Kaytlin bergegas keluar dari ruangan itu sebelum ia benar-benar menangis. Langkahnya masih tenang dan terkendali, namun ia hampir bertabrakan dengan Winston yang ternyata ada di dekat pintu sedang memegang baki teh. Kepala pelayan itu pasti mendengar perdebatan tadi dan akan membicarakan mereka di dapur sekarang. Tapi Kaytlin tidak peduli karena hatinya sedang hancur untuk yang kedua kali. 

***

 

PART 47 - SOMETHING ABOUT THE PAST AND THE FUTURE

 

post-image-67926624ecfe4.jpg

 

Kaytlin tahu ini hanya kekesalan sesaat karena kenyataannya ia mencintai Raphael. Kehidupannya sekarang aman dan nyaman, meski tidak sesuai impiannya bahwa ia akan menemukan seseorang yang mencintainya seperti ayahnya mencintai ibunya, atau Anthony yang memuja Lissy. Sudah sejak lama ia menurunkan standar dan berusaha melihat dari sudut pandang berbeda. Sekiranya banyak kebaikan yang Raphael miliki. Pria itu tidak pernah bersikap abusif, ataupun berbuat kasar padanya. Ia juga masih mengunjungi Kaytlin setiap malam meski bukan untuk bercinta. Sepertinya rasa bersalah membuatnya menahan diri. Kaytlin tahu Raphael masih menginginkannya, untuk yang satu itu ia tidak meragukan. Kala itu Raphael hanya memeluknya dari belakang lalu tertidur setelah Kaytlin tertidur. Perlakuan itu membuat Kaytlin jauh lebih baik. Ia menyukai Raphael selalu ada di sampingnya. Tidak masalah pria itu tidak mencintainya sebesar Sophie. 

Ya, tidak masalah. Kaytlin mengulang kalimat itu dalam hati sambil menghela napas kesal.

Setidaknya Raphael jujur padanya, meski kejujuran itu membuatnya sakit hati. Sangat jarang dalam hidup ini Kaytlin merasakan kedengkian pada seorang wanita karena mendapatkan apa yang tidak Kaytlin dapatkan. Kaytlin berharap wanita itu sama merananya dengan dirinya sekarang, karena Kaytlinlah yang menikah dengan Raphael. Atau itu hanya penghiburan diri semata, karena Sophie sepertinya tidak begitu mencintai Raphael untuk bisa mencapai level sakit hati pada Kaytlin. 

Kenapa ia begitu jahat sekarang? Sejak hamil ia menjadi wanita yang berbeda. Lagi-lagi, ini pastilah pengaruh anak Raphael di perutnya.

“My Lady, sepertinya akan hujan,” ucap Gretchen. “Ini bahkan belum separuh musim panas.”

Kaytlin menatap awan abu-abu di kejauhan serta burung-burung yang mulai terbang dengan gelisah di atas pepohonan. 

“Untung saja Anda tidak ikut ke desa bersama His Lord,” komentar Gretchen lagi. 

Kaytlin tidak ikut dengannya karena seperti alasan tadi, ia sedang malas. Lagipula, ia juga tidak mengerti permesinan. Jika tahu akan hujan seharusnya Kaytlin ikut saja karena mengkhawatirkan Raphael tidak ada dalam rencananya. 

“Kita kembali ke dalam,” putus Kaytlin seraya mengembalikan tali kekang Daisy pada pengurus istal. Ia berjalan santai bersama Gretchen menuju pintu samping manor. Para pekerja bangunan mulai berkurang dan suasana di manor pun kembali tenang seperti dulu, yang menandakan perawatan bangunan manor tersebut sudah rampung. 

“My Lady,” Winston menghampirinya saat Kaytlin sedang mengganti sepatu bot dengan sepatu satin di pintu masuk manor. “Bisakah meminta waktu Anda?”

“Apa His Lord sudah datang?” tanya Kaytlin.

“Tidak, His Lord belum kembali. Saya ingin menunjukkan Anda sesuatu,” jawab Winston, lalu menoleh pada Gretchen. “Secara pribadi.”

Kaytlin ikut menoleh pada Gretchen. “Tunggulah di sini,” pintanya.

“Baik, My Lady,” sahut Gretchen patuh. 

Winston berjalan lebih dulu dan Kaytlin mengikutinya. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi hingga kepala pelayan yang tidak banyak bicara itu memiliki keperluan dengannya. Mereka berjalan menuju ruang depan dan terhenti di depan sebuah pintu yang selalu terkunci karena itu adalah akses menuju sayap bangunan yang sudah lama tertutup. Kaytlin semakin bingung mengapa Winston membawanya ke sana, namun ia hanya menurut saja dengan sabar.

“Sebelumnya, saya ingin memberikan ini pada Anda.” Winston mengambil sesuatu dari sakunya. Ternyata itu serangkaian kunci yang dijadikan satu dalam lingkaran perak. Di tiap kunci terdapat kode kecil yang tercetak langsung saat dibuat. “Itu adalah kunci beberapa pintu utama bangunan manor.”

“Bukankah ini milik Anda?”

“Tidak. Saya memilikinya sendiri.” Winston kembali merogoh saku jasnya dan memperlihatkan kunci serupa. “His Lord, Anda, dan kepala pelayan memilikinya masing-masing.”

“Baiklah,” Kaytlin menerimanya. “Meski aku tidak tahu untuk apa memilikinya.”

“Tempat ini sudah menjadi rumah Anda, tentu saja Anda harus memiliki kuncinya.”

Sampai hari ini Kaytlin belum berani menganggap tempat itu lagi sebagai rumah. Namun Winston menatapnya dengan ketegasan sungguh-sungguh, seakan tahu apa yang Kaytlin pikirkan. 

“Mari, My Lady.” Winston memasukkan anak kunci untuk membuka pintu tersebut. 

Aroma kimia yang menguar begitu pintu dibuka mengindikasikan bahwa kayu-kayu pelapis dinding dan lis baru saja dipelitur. Ternyata dulunya tempat itu adalah sebuah lorong lebar, namun saat bagian bangunan itu ditutup, dibangunlah pintu di sana. Lorong tersebut berakhir di sebuah aula dansa yang mencengangkan. Aula itu begitu luas hingga bisa menampung ratusan bahkan mungkin ribuan orang. Lantainya terbuat dari marmer bermozaik yang baru saja dipoles dan di langit-langitnya yang tinggi tergantung bermacam-macam kandelir dalam berbagai bentuk. Di ujung aula, sebuah piano diletakkan di sana beserta beberapa instrumen orkestra. Ada tangga di sisi kanan dan kiri untuk menuju selasar lantai dua. Salah satu dinding selasar disusun oleh serangkaian jendela kaca besar di mana sinar matahari bisa masuk untuk memberikan penerangan di aula tersebut pada siang hari seperti saat ini. Tempat itu sungguh dirancang dengan desain berselera tinggi dan luar biasa mewah yang mengingatkan Kaytlin pada gambar istana Versailles yang pernah dilihatnya di majalah. Kaytlin tahu bahwa marquess terdahulu sangat gemar berpesta. Hampir setiap minggu diadakan pesta di sana dan memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan serta berapa hewan yang harus dipotong untuk jamuan, tidak mengherankan jika manor itu berakhir dengan kebangkrutan. 

post-image-6792670be523f.jpg

“Aku baru tahu bahwa aula pesta di manor ini sangat megah,” gumam Kaytlin. Kemegahannya setara dengan aula pesta di Torrington House. Pantas saja tempat ini ditutup karena menghabiskan banyak lampu gas untuk penerangan jika terus menerus dipergunakan di malam hari.

“Anda tidak akan mengatakan hal yang sama jika kemari tiga bulan lalu. Tempat ini baru saja direnovasi dan dibersihkan,” jawab Winston.

“Untuk apa His Lord merenovasinya?” 

“Tentu saja untuk Anda.”

Kaytlin menurunkan pandangan dari langit-langit dan menoleh pada Winston yang berdiri kaku di tengah lantai dansa. “Untukku?” Ia setengah tertawa karena merasa salah mendengar. 

“Benar, My Lady. His Lord akan melakukan apa pun untuk Anda. Segala yang ia lakukan di desa juga karena Anda yang memulai.”

Belum selesai terheran pada pernyataan tersebut, Winston berballik punggung dan berjalan lagi sehingga Kaytlin terpaksa mengikutinya. Mereka berjalan ke ujung aula dan bertemu dengan sebuah lorong besar kembali. Tidak ada apa pun di sana, namun dindingnya dipenuhi oleh lukisan. Mulai dari sebuah lukisan landscape Blackmere Park pada masa lampau. Taman-tamannya masih berupa hutan, dan bangunan manornya tampak lebih suram dengan gaya Stuart. Banyak gelar bangsawan pada awalnya didapat dari pelayanan militer pada masa lampau, seperti menjadi seorang knight yang menjaga perbatasan atau mengikuti perang, sehingga raja memberikan penghargaan berupa sebuah status kebangsawanan beserta tanah kekuasaan. Kemungkinan besar gelar Marquess of Blackmere adalah salah satunya, mengingat gelar tersebut masih terbilang muda karena baru memasuki generasi keempat. 

post-image-67926728853bf.jpg

Lukisan selanjutnya adalah deretan lord dan lady pada masanya masing-masing. Di sisi kiri terpajang lukisan Marquess, sedangkan di sisi kanan adalah Marchioness. Lukisan marquess dan marchioness pertama dibuat pada abad ke 18, di mana kebanyakan lukisan potret didominasi coklat dan abu-abu. Kulitnya dibuat sepucat salju dengan semburat kemerahan di pipi. Tidak cukup nyata untuk membuat Kaytlin bisa menggambarkan sosok mereka dengan jelas sehingga Kaytlin segera beralih pada lukisan kedua yang lebih membuatnya penasaran, Dowager Marchioness dalam versi muda. Wanita itu memiliki rambut pirang madu yang cenderung gelap. Begitu cantik dan angkuh, itulah kesan yang Kaytlin dapat. Elizabeth Leigh Brackley, Marchioness of Blackmere iI, jadi itu adalah nama dari Her Lady. Selama ini Kaytlin tidak pernah bertanya. 

Kaytlin berpindah ke sisi kiri dinding untuk melihat lukisan Marquess of Blackmere II, suami dari Dowager Marchioness. Pria yang cukup tampan bahkan dengan rambut palsu berbedaknya. Tidak terlalu mirip dengan Raphael, namun ia mendapatkan tatapannya yang tajam dan tidak ramah dari sana. Kaytlin bertanya-tanya seperti apakah karakter suami Dowager Marchioness itu dulu, namun sayangnya Her Lady bukan tipe yang gemar menceritakan kisah pribadi hidupnya. 

Selanjutnya Kaytlin beralih pada lukisan marquess ketiga, ayah Raphael. Pria itu terlihat lebih gempal dan berisi dibanding pendahulu-pendahulunya. Rasanya sulit untuk percaya bahwa pria itu begitu problematik jika hanya melihat dari lukisannya. Dengan alisnya yang melengkung turun, sang marquess terlihat mudah didekati. Dan meski bibir pria itu juga tidak tersenyum dalam lukisan, tidak tampak sama sekali kemuraman di sana.

Tidak jauh di sebelahnya terdapat lukisan Raphael yang mungkin dibuat lima tahun lalu mengingat tempat ini sudah ditutup selama itu. Duduk di kursi sofa dengan cravat rumit, rompi ungu tua, dan jas berwarna gelap. Tidak banyak yang berubah darinya. Pria itu tetap menjadi orang yang paling menarik di mata Kaytlin dulu ataupun sekarang. Raphael Arthur Fitzwiilliam, Marquess of Blackmere IV, Kaytlin sudah mengetahui nama lengkapnya dulu saat menandatangani surat pernikahan mereka. 

Sengaja tidak berlama-lama mengamati lukisan itu, Kaytlin kembali ke sisi kanan untuk melihat lukisan ibu Raphael. Seorang lady yang cantik berambut hazel, namun tatapannya kosong dan dingin. Sepertinya ia adalah wanita pendiam yang penurut ditilik dari penggambaran lukisan tersebut, namun Kaytlin juga tidak tahu pasti karena tidak mengenalnya. Ophelia Grace Willoughby, Marchioness of Blackmere III, keterangan yang tertera di bawah lukisannya. Bahkan namanya pun sama dengan pemeran dalam novel Hamlet karya Shakespeare yang berakhir tragis.

“Lukisan Anda telah selesai dan baru saja dikirim beberapa hari lalu oleh Mr. Collen.” Winston menerangkan saat membuka kain pelapis lukisan yang berada di sebelah Lady Ophelia. 

Lukisan dalam pigura emas itu terlihat nyata, komposisi warna pada gaun dan kulit bahunya begitu indah. Kaytlin pikir Mr. Collen, sang pelukis, akan memanjangkan rambutnya atau membuatnya menjadi sanggul dalam lukisan, tapi ternyata tidak. Bukannya Kaytlin tidak menyukainya, malah sebaliknya ia sangat takjub dengan lukisan tersebut yang hampir bisa menangkap keseluruhan aspek dalam diri Kaytlin tanpa tertinggal sedikit pun seakan ia menatap ke sebuah cermin.

Hanya saja ia tidak tahu bahwa lukisannya dibuat untuk dipajang di sini. Ia pikir lukisan itu akan digantung di kamarnya atau tempat lain sebagai hadiah. Dalam lukisannya Kaytlin tersenyum, yang membuatnya bertolak belakang dari seluruh klan Fitzwilliam, bahkan mungkin seluruh bangsawan Inggris. Saat dilukis ia diam-diam sangat antusias mengingat seumur hidupnya ia tidak pernah dilukis. Ini sedikit memalukan tapi Kaytlin juga merasa bagaikan mimpi melihat namanya terpajang di sana. Kaytlin de Vere, Marchioness of Blackmere IV. Ia membayangkan orang lain atau mungkin anak cucunya di masa depan nanti akan membaca nama itu dan bertanya-tanya seperti apakah dirinya.

“Bagaimana pendapat Anda tentang hasilnya?” tanya Winston. 

“Sangat indah.” Secara keseluruhan lukisan tersebut memang memuaskan. “Aku sangat menyukainya.”

“His Lord juga menyukainya.”

“Jadi dia sudah melihatnya?”

“His Lord yang paling pertama melihatnya,” jawab Winston. “Dan ia tertawa.”

“Tertawa?” Kaytlin menoleh.

“Dalam artian yang baik,” jelas Winston dengan tidak jelas. “Kemari, My Lady. Aku ingin menunjukkan yang lain.” Winston melangkah ke bagian dinding yang lain, melihat-lihat beberapa lukisan potret yang lebih kecil. 

“Kemungkinan ini adalah anak-anak perempuan yang sudah menikah ataupun kerabat jauh. Aku tidak tahu pasti karena tidak bisa mengingat banyak.” Winston menjelaskan meski Kaytlin tidak bertanya. 

Lalu ia beralih pada sebuah lukisan seorang anak kecil bergaun putih. “Ini lukisan His Lord saat berusia lima tahun.”

Berusaha menanggapi, Kaytlin tersenyum samar. Ia pernah mendengar bahwa anak-anak bangsawan baik laki-laki ataupun perempuan tetap memakai gaun sebelum berusia sepuluh tahun, tapi baru kali ini Kaytlin melihatnya langsung. Raphael memiliki alis yang menukik sedari kecil yang membuatnya seakan tampak kesal memakai pakaian tersebut. “Aku tidak menyangka ternyata tempat ini adalah museum keluarga.”

“His Lord tidak pernah memberitahu?”

“Dia sempat mengatakan bahwa tempat ini berhantu saat aku bertanya.”

“Tempat ini memang dipenuhi oleh hantu masa lalu yang tidak ingin ia kenang.”

“Apakah sama sekali tidak ada hal yang menyenangkan?”

“Banyak hal yang menyenangkan. Mendiang marquess dan marchioness sangat menyayangi His Lord. Namun umumnya bangsawan tidak mengungkapkan emosi.” 

“Aku seringkali mendengar itu.”

“His Lord juga mencintai mereka. Meski keluarganya tidak harmonis, ia sedih saat mereka pergi untuk selamanya.” Sambil mengatakan itu, Winston melihat sekeliling dinding. “Ah, itu dia...” Kembali ia berjalan penuh semangat saat menemukan sebuah potret yang ingin ia tunjukkan. Kaytlin berhenti di sampingnya dengan bingung.

“Saat bersekolah di Eton dan kuliah di Oxford, His Lord memiliki beberapa teman.” Winston menunjuk sebuah foto kelulusan hitam putih yang menunjukkan sekelompok siswa laki-laki berpose formal di depan bangunan. Entah yang mana Raphael karena kamera pada masa itu belum stabil. 

“Tapi saat liburan sekolah tidak banyak yang berkunjung.” Suara Winston berubah berat dan muram. “Masa-masa menyenangkan bagi His Lord saat liburan hanyalah bersama kudanya.”

“Phoenix?” tebak Kaytlin. 

“Dia menceritakan pada Anda?”

“Dia berkata tidak ada manusia yang membuatnya menangis, tapi Phoenix membuatnya menangis.”

“Benar... Aku bersama His Lord saat mencari kuda itu di Smithfield Market. Ia menangis di jalanan London...saat itu hujan... aku mengikutinya di belakang...” Winston menunduk lagi dengan kening berkerut dalam untuk mengingat-ingat. 

Lalu tiba-tiba saja Winston mengubah topik. “Sebelum Phoenix, mendiang ibu Anda juga adalah teman baik His Lord. His Lord sebenarnya tidak menyukai ibu Anda, tapi dia gadis yang sangat bersemangat dan pemberani. Dia kemari saat ibu His Lord baru saja meninggal.”

Belum sempat Kaytlin bertanya bahwa Winston pernah bertemu ibunya, kepala pelayan itu sibuk berjalan lagi dan membuka beberapa laci sebelum menemukan sesuatu yang ia cari. “His Lord sempat melukisnya.” 

Ia memberikan secarik kertas pada Kaytlin, bergambar seorang wanita berambut pirang dan bermata biru yang dilukis dengan tidak sempurna selayaknya lukisan anak-anak. Tapi Kaytlin bisa membayangkan itu adalah ibunya.

“Ini sangat impresif,” puji Kaytlin. 

“Setelah ibu Anda menikah, His Lord sering merenung sendirian. Ia merasa kehilangan.”

Hening untuk sesaat karena Kaytlin juga tidak ingin berkomentar apa pun pada Winston tentang itu.

“Namun kehilangan Phoenix memang membuatnya paling terpukul.” Winston melanjutkan. Ia membuka-buka tumpukan kertas kembali dan mengambil selembar lagi untuk Kaytlin. “His Lord juga melukis Phoenix.”

Kaytlin menerimanya kembali dan melihat lukisan itu dibuat dengan lebih baik dibanding lukisan ibunya tadi. Tampaknya Raphael lebih berbakat melukis hewan dan alam, dibanding wajah manusia yang memerlukan detail. Persis seperti namanya, Phoenix berwarna cokelat kemerahan dengan corak putih di dahi berbentuk bintang kejora.

“Anda menyimpan segalanya dengan baik,” gumam Kaytlin seraya mengembalikan kertas lukisan Raphael pada Winston. 

“His Lord yang menyuruh menyimpannya. Ia berpesan padaku untuk tidak membuangnya, tapi ia juga tidak ingin melihatnya. Jadi aku memilih menyimpannya di sini.” Winston mengembalikan kertas-kertas lukisan itu ke tempat semula sebelum menutup laci. 

“Beberapa tahun berlalu, tanpa kusadari His Lord sudah dewasa. Ia bertemu Lady Sophie di season.”

Kaytlin berubah kaku mendengar nama itu disebut. 

“His Lord amat tulus mencintainya. Tapi itu juga tidak berakhir dengan menyenangkan...”

“Maaf, Mr. Basset...apakah His Lord yang menyuruh Anda menunjukkan semua ini padaku?” sergah Kaytlin, berusaha menghentikan kelanjutannya.

“Tidak. Aku yang ingin menunjukkan pada Anda. Semakin bertambah usia, aku semakin tidak mampu mengingat banyak tentang masa lalu. Aku takut semua itu akan menghilang sebelum sempat kusampaikan pada Anda.” 

“Apakah ada hal penting yang harus kuketahui?” tanya Kaytlin.

“Aku baru saja menyampaikannya, My Lady,” jawab Winston. “Anda belum mengerti?”

“Anda menunjukkanku banyak tentang sejarah manor dan keluarga ini.”

“Tidak. Tidak.” Winston menggeleng tak puas. “Bukan itu.”

Kaytlin semakin bingung.

“My Lady, apakah Anda tidak tahu bahwa His Lord sangat merindukan Anda yang dulu? Tidak pernah ada seseorang seperti Anda dalam hidupnya. Seseorang yang tidak segan untuk menunjukkan perasaan dan membanjirinya dengan banyak hal indah.”

“Ak__” Kaytlin membuka bibir namun tidak ada kata-kata yang keluar karena terlalu terkejut. Dan malu. “Apa yang sebenarnya ingin Anda bicarakan?” 

“Maaf, My Lady, seharusnya aku tidak ikut campur hubungan Anda dan His Lord, tapi di sisa umurku ini aku ingin mengusahakan yang terbaik yang bisa kulakukan untuknya. Kumohon... jika Anda masih mencintai His Lord, katakanlah padanya."

Selama beberapa detik Kaytlin terperangah dengan senyum tak percaya. "Mr. Basset... seharusnya Anda memberikan nasihat itu pada His Lord, bukan padaku. Aku sudah mengucapkan berkali-kali padanya, dulu. Dan tidak pernah sekali pun ia mengatakan bahwa ia juga mencintaiku,” ungkap Kaytlin dengan lancar seakan semua itu tidak mengiris-ngiris hatinya. 

"His Lord mencintai Anda, My Lady,” ucap Winston dengan keteguhan. “Percayalah padaku.”

"Tidak perlu menghiburku."

"Aku tidak pernah mencoba menghibur seseorang dengan berbohong. Suatu saat Anda pasti mengerti sendiri tanpa perlu mendengar apa pun darinya."

“Bagaimana seseorang bisa mengerti tanpa mendengar apa pun?” Tawa frustrasi meluncur dari tenggorokaan Kaytlin. “Kalaupun itu benar, apakah begitu sulit baginya untuk mengatakan padaku?” 

"His Lord terlalu mencintai Anda sehingga tidak ingin Anda juga pergi dari hidupnya seperti yang lain. Mungkin ia bisa merelakan yang telah berlalu tapi tidak dengan Anda.”

Kaytlin mengerjap bingung. “Apa maksud Anda?”

Winston menutup mata, lalu membukanya kembali. “Entah ini hanya kebetulan ataukah kutukan, setiap His Lord mulai mencintai sesuatu, semua itu tiba-tiba saja menghilang darinya.”

“Menghilang? Tidak mungkin seseorang kehilangan hanya karena mencintai...” Suara Kaytlin terdengar mulai ragu karena hatinya mulai mengerti perlahan-lahan. Sejak tadi Mr. Basset menunjukkan segala yang pernah Raphael cintai... sang marquess dan marchioness, ibu Kaytlin, Phoenix... termasuk juga Sophie. Semuanya tidak ada lagi dalam hidup Raphael. Mungkin itu memang hanya kebetulan, tetapi Raphael mengalaminya berkali-kali hingga memunculkan ketakutan yang bisa dipahami. Winston ingin menyampaikan bahwa Raphael mencintainya, namun tidak berani mengatakannya karena alasan itu?

Mencintainya...

Kata itu terdengar begitu indah, bahkan terlalu indah hingga terlalu sulit untuk membayangkannya sebagai sesuatu yang nyata. Kaytlin ingin mempercayainya, namun di saat yang sama juga terlalu takut untuk berharap lagi. Ia sudah pernah merasakan ini sebelumnya.

“Mr. Basset, jangan khawatir. Aku tidak pernah berpikir ataupun berencana untuk pergi lagi dari sini.” Itu satu hal yang bisa Kaytlin janjikan. “Aku tidak akan meninggalkannya.”

“Jadi katakanlah itu padanya, My Lady. Hal itu akan sangat berarti baginya,” pinta Winston penuh keyakinan, juga penuh harap. “Mungkin permintaan ini terdengar egois setelah apa yang Anda lalui, tapi kumohon untuk sekali ini, katakanlah itu padanya.”

***

Kaytlin menatap pantulan wajahnya di cermin rias di sudut kamar, seolah mencari jawaban di sana. Di belakangnya, Gretchen sedang menyisiri rambutnya dan sibuk bercerita tentang pekerjaannya dulu di London. Sebenarnya Kaytlin biasa menjadi pendengar yang baik entah siapa pun yang bercerita. Namun perhatiannya kali ini sepenuhnya tersita oleh pikirannya sendiri.

Hujan masih turun di luar sana dan belum menampakkan tanda-tanda akan reda. Jam kayu sudah menunjukkan pukul delapan sementara Raphael belum juga kembali. Kaytlin telah selesai makan malam di kamar ditemani Gretchen dan kini ia sudah bersiap-siap untuk beristirahat. 

Tapi Kaytlin tahu Raphael akan baik-baik saja. Ia teringat kembali saat mereka terjebak badai di penginapan jalanan yang dihuni pemabuk dan wanita penghibur. Juga saat perjalanan ke Carlisle dengan kereta api di tengah turunnya salju pertama. Raphael selalu tahu apa yang harus dilakukan.

“My Lady, jika aku boleh tahu, mengapa Mr. Basset mengajak Anda tadi siang?” Tiba-tiba saja Gretchen mengubah topik pembicaraan.

“Ia menunjukkan lukisan dari Mr. Collen.”

“Lukisan itu sudah jadi?!” Gretchen memekik senang, lalu mengeluh. “Aku ingin melihatnya. Mengapa Mr. Basset tidak menunjukkannya padaku?”

“Mr. Basset juga membicarakan beberapa hal pribadi.” Kaytlin menjelaskan, lalu teringat ia baru saja memiliki kunci manor. “Besok aku akan memperlihatkan lukisan itu padamu jika kau ingin.”

“Tentu saja aku ingin melihatnya.” Mata Gretchen berbinar senang. “Tapi aku tidak menyangka Mr. Basset berbicara pada Anda. Biasanya beliau begitu sulit. Terakhir kali saat Anda di Carlisle, sungguh alot untuk memintanya berbicara pada His Lord tentang hubungan Anda. Akhirnya ia berbicara juga setelah aku membuat ulah.”

Mata Kaytlin melebar penasaran. “Ulah apa yang kauperbuat?”

Gretchen terkikik. “Hanya sedikit kenakalan yang tidak berbahaya.”

“Tidak berbahaya?” Kaytlin mengernyit curiga.

“Ya.” Gretchen mengangguk-angguk.”Tapi sudah kuduga His Lord akan mendengarkan Mr. Basset. Bagaimanapun juga Mr. Basset yang paling tua di sini. Beliau paling mengenal His Lord melebihi siapa pun, bahkan Dowager Marchioness sendiri.”

Mendengar itu, Kaytlin tercenung. “Begitukah?”

“Apakah Mr. Basset membujuk Anda berbaikan dengan His Lord?”

Kaytlin mengangguk ragu. “Sebenarnya aku juga tidak bertengkar dengan His Lord. Hubunganku dengannya baik-baik saja meski tidak seperti dulu.”

Gretchen berubah menatapnya penuh simpati. “My Lady, maaf jika aku juga ikut campur. Anda juga harus mempertimbangkan saran itu. Meski memang sempat ragu, tapi pada akhirnya His Lord menikahi Anda dan itu bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan di hadapan Tuhan dan dunia. Kecuali jika ia melakukan perselingkuhan atau kekerasan, maka akulah orang pertama yang akan mendukung Anda berpisah dengannya. His Lord tidak melakukan itu, bukan?"

Kaytlin menggeleng.

"Lalu apakah ada masalah lagi?"

Kaytlin memikirkan pertanyaan itu sebelum menjawab dengan penuh kesadaran. "Tidak. Masalahnya ada padaku.” 

"Adakah yang bisa kulakukan untuk membantu?" tawar Gretchen.

"Terima kasih, Gretchen.” Kaytlin tersenyum masam. “Tapi ada beberapa hal pribadi antara aku dan His Lord yang tidak bisa kuceritakan."

Sedikit mengerti dengan batas-batasnya, Gretchen mengangguk. "Kurasa Anda pasti bisa mengatasi masalahnya, apa pun itu. Anda harus memikirkan masa depan semacam apa yang ingin Anda ciptakan. Dulu aku tidak begitu menyukai His Lord, tapi kulihat His Lord ternyata menghargai Anda. Tidak banyak bangsawan yang memperlakukan istri seperti itu. Well, sebenarnya juga tidak banyak laki-laki yang memperlakukan wanita seperti itu. Ibu mengatakan tidak pernah sekali pun ayahku mengatakan cinta padanya. Bahkan padaku."

Kaytlin mengerutkan kening. "Lalu mengapa ibu dan ayahmu menikah?"

Gretchen mengangkat bahu. "Karena ingin menikah saja."

"Itu...sangat aneh." 

"Dunia ini dipenuhi berbagai macam keanehan yang dinormalkan." Gretchen menyeringai masam. "Baiklah...lupakan saja ayah ibuku. Yang terpenting Anda harus mencoba mempercayai His Lord. Jika tidak untuk Anda, maka setidaknya lakukanlah untuk orang lain."

"Siapa?"

Gretchen memutar bola mata. "Aku, My Lady. Kebetulan aku tidak ingin hidupku berubah dengan tetap bekerja di sini dan memiliki lady seperti Anda. Di mana lagi pelayan sepertiku bisa bertingkah seperti ini?" Ia terkikik pongah yang membuat Kaytlin tersenyum geli.

“Tampaknya His Lord sudah pulang,” ujar Gretchen sesudahnya. Kaytlin pun mendengar pintu tertutup dan suara-suara langkah kaki di kamar sebelahnya. Sampai sekarang pun badai masih belum mereda, yang berarti Raphael menerobosnya saja. 

“Semoga dia tidak apa-apa.” Kaytlin bergumam.

“His Lord baik-baik saja,” jawab Gretchen santai.

“Bagaimana kau tahu?”

“Dia sudah datang sejak Anda makan malam tadi. Saat aku mengambilkan makanan Anda di dapur, aku melihat kusir datang. Katanya His Lord masih di kandang kuda, memastikan kuda penarik kereta baik-baik saja.”

Sangat tipikal Raphael, mencemaskan kuda dibanding dirinya sendiri. “Mengapa tidak memberitahuku sejak tadi?” gerutu Kaytlin.

“Anda pasti akan mengurungkan niat untuk makan dan menunggu His Lord. Padahal sudah lewat jam makan. Menjaga Anda dan bayi Anda juga adalah tugasku.” Gretchen beralasan, lalu ia menghela napas bahagia. “Well, karena His Lord sudah datang, aku akan bersiap-siap pergi dari sini karena ia pasti akan menemui Anda.”

“Kau takut padanya,” sindir Kaytlin. 

“Sudah kukatakan aku tidak ingin mengganggu. Selamat malam, My Lady.” Gretchen bergegas menuju pintu dan keluar meninggalkan Kaytlin sendirian. 

Kaytlin membuka laci meja riasnya dan mengambil parfum lamanya. Parfum yang ibunya sukai, kombinasi teh hijau dan bergamot. Ia sengaja tidak memakainya selama ini karena takut aroma masa lalu ibunya itu yang membuat Raphael tertarik padanya beberapa waktu lalu. Sekarang ia menggantinya dengan aroma lily of the valley dan neroli, sesuatu yang juga tidak umum yang akan membuatnya menjadi aroma baru bagi Kaytlin. 

Kaytlin memasukkan parfum itu ke dalam kotak berharganya yang berada di laci yang sama. Termenung sejenak, ia melihat bahwa ia masih menyimpan kertas Daftar Peraturan Aneh Bangsawan Inggris. Kertas itu dulu ia simpan karena merasa itu adalah benda pertama yang ia dapatkan langsung dari tangan Raphael. Bahkan Raphael sudah mendapatkan tempat sebagai orang yang ia sayangi sebelum Kaytlin sendiri menyadarinya. Dan Raphael malah membalasnya dengan memberi julukan burung Gagak. Padahal Raphael sendiri tidak jauh berbeda dari Kaytlin. Pria itu juga mengumpulkan kenangannya yang berharga dalam bentuk lukisan aneh Josephine Forthingdale dan Phoenix, lalu menyimpannya rapat-rapat dalam satu ruangan bersama kenangannya yang lain.

Seperti ucapan Gretchen, Raphael pasti akan datang dari balik pintu mencarinya seperti malam-malam yang berlalu. Semua akan berjalan seperti biasa. Tidak akan ada yang berubah. Kecuali Kaytlin yang mengubahnya. 

Menutup kotak berharganya bersama laci, Kaytlin bangkit dari tempatnya duduk dan melangkahkan kaki mendekati pintu penghubung. Jari-jarinya menyentuh kenop pintu, logamnya yang dingin terasa menusuk kulit. Ia memutarnya perlahan. Suara samar dari mekanisme pintu seolah menggema di telinganya. Sesuai ucapan Raphael, pintu itu tidak pernah terkunci. 

Rasanya begitu aneh saat satu kakinya yang telanjang menapaki karpet Aubusson di lantai, seperti melangkah ke masa lalu yang membuatnya menciut. Namun Kaytlin melanjutkan sebelah kakinya hingga sepenuhnya berada di kamar Raphael. Selangkah lagi, dan ia menutup pintu dengan perlahan. Ia berhasil melakukannya. Ia sudah berada di kamar Raphael. Menarik napas dalam-dalam, ia menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan.

Suasana begitu hening hingga Kaytlin berpikir mungkin Raphael belum melihatnya atau pria itu ada di kamar mandi. Tapi saat ia menoleh ternyata Raphael tengah duduk santai di sisi tempat tidur, sedang terdiam menontonnya. Pakaiannya tidak basah yang berarti ia terlindung dari hujan, namun rambutnya sedikit lembap. 

Lalu Raphael bereaksi hampir tertawa. “Ada apa denganmu? Jika aku tidak melihatmu membuka pintu kamar, aku akan salah mengira kau hantu dengan mengendap-endap seperti itu.”

Kaytlin mengamati penampilannya naik turun. Menyadari dirinya memakai gaun putih semata kaki, ia tercenung. “Mungkin besok aku harus membeli gaun tidur berwarna-warni.”

“Itu lebih baik,” komentar Raphael, tidak jelas merujuk pada keputusan Kaytlin membeli gaun ataukah memasuki kamarnya.

“Maaf, aku tidak mengetuk pintu.”

“Tidak masalah.”

“Kau juga tidak pernah mengetuk pintu.”

“Terima kasih sudah mengingatkanku.” Raphael tersenyum. “Apa ada lagi keluhan yang lain?”

“Tidak.”

Kaytlin mengumpulkan keberanian dan berusaha melangkah dengan wajar ke arah Raphael. Ia sebenarnya merasa gugup melebihi saat pertama kali ke kamar pria itu dengan inisiatifnya sendiri. Ketika jarak mereka hanya selangkah, Kaytlin mengabaikan tangan Raphael yang terulur dan memilih naik ke pangkuan pria itu sebelum memeluknya erat sehingga ia tidak harus beradu pandang saat berbicara. Tubuh Raphael berubah kaku untuk sesaat, namun dengan cepat pria itu selalu bisa menyesuaikan diri dengan kelakuan aneh Kaytlin seperti biasa. Tangannya melingkari tubuh Kaytlin, merangkulnya lembut. 

“Akhirnya kau kembali kemari " ucap Raphael “Aku sudah menantikan hari ini.”

“My Lord, sebenarnya aku memilih melupakan masa lalu dan meninggalkannya di belakang.” ucap Kaytlin di bahu pria itu. “Tapi jika kau bersikeras mengungkitnya, baiklah, kita akan berbicara. Hanya saja aku akan menangis, dan kau tidak akan menyukainya.”

“Jika itu bisa membuatmu lebih baik, teruskanlah. Aku akan mendengar,” balas Raphael.

“Malam itu...” mulai Kaytlin dengan susah payah. “Malam itu, aku memang merasa segalanya berubah... aku tidak mengingat impianku lagi dan aku tidak bisa memandang dunia dengan begitu indah seperti sebelumnya. Kupikir dengan pergi ke Carlisle akan mudah untuk melupakanmu karena kau tidak ada di dekatku, tapi kau terlanjur memberikanku kenangan-kenangan yang membuatku tidak mampu melakukannya, bahkan mustahil... Lalu di tengah kegilaan itu dengan bodohnya aku kembali berharap, padahal aku tahu sebuah harapan hanya akan menimbukan luka yang lebih dalam. Seharusnya kesadaran itu cukup untuk membuatku mencegah diriku, tapi tidak. Setiap kali aku berdiri sendirian, menatap jalanan dan gerbang Malton Manor di hari bersalju, aku berharap kau akan muncul untuk mengatakan di depan Lissy... di depan Anthony... bahwa kau mencintaiku dan tidak bisa hidup tanpa diriku...” Kaytlin tidak sanggup melanjutkan untuk sejenak karena hatinya terasa pedih. “Tapi kau tidak pernah datang.”

Sebenarnya Kaytlin ingin mengatakannya dengan berdiri tegak seperti sebelumnya di mana ia selalu bisa melewati segala hal dengan berani sendirian. Tapi ia sudah membawa beban ini begitu lama dan bersandar pada seseorang seperti saat ini ternyata terasa jauh lebih baik.

“Aku minta maaf kau harus melalui semua itu.” Kaytlin mendengar Raphael berkata. Tangannya membelai rambut dan punggung Kaytlin dengan gerakan menenangkan. "Jika kau berpikir aku tidak berniat menjemputmu ke Carlisle, tidak... itu tidak benar. Aku memikirkanmu setiap hari bahkan setiap saat. Aku sangat ingin melihatmu lagi, tapi terakhir kali sepertinya kau sangat muak melihatku.”

“My Lord, aku hanya tidak sanggup menatapmu lagi. Mengetahui kau tidak menginginkanku__”

“Aku menginginkanmu,” potong Raphael. “Aku menginginkan segalanya dari dirimu.”

"Kau tidak pernah berminat padaku, bahkan kau membuatku menjadi debutan."

"Aku berminat padamu. Hanya saja aku ingin kau mendapat seseorang yang lebih baik dariku."

“Lebih baik darimu?”

“Ya.”

Kaytlin tertawa miris. “Apa kau bahkan tidak berpikir aku mampu atau tidak mendapatkan seseorang seperti itu?"

"Kau mampu. Selama ini kau tidak melihat dirimu dengan baik.”

"Kau sendiri yang mengatakan__"

"Aku tidak terlalu jujur selama ini.” Raphael menyela lagi. “Aku menginginkanmu, sungguh, namun aku sadar memiliki masa lalu yang belum terselesaikan. Setelah mengantarmu ke Carlisle, aku sudah berkali-kali berusaha bertemu dengan Sophie untuk menyudahi hubungan, tapi Sophie tidak bersedia menemuiku. Lalu berita sang duke meninggal tersiar di Times. Entah ia berkabung atau tidak, membicarakan masalah itu bukanlah saat yang tepat. Itulah yang menahanku begitu lama di sini." 

Kaytlin menutup mata. “My Lord...  kau benar-benar mencintainya dulu?” tanyanya tanpa kesedihan ataupun kecemburuan. 

“Ya, aku mencintainya. Dan akan terus mencintainya seandainya ia tidak meninggalkanku. Aku bukan seseorang yang mudah untuk berpaling kepada orang lain,” jawab Raphael.

“Aku merasa telah mengacaukan hubunganmu dengannya.”

"Hubunganku dengan Sophie sudah kacau balau sebelum itu. Aku mencoba memperbaiki perasaanku padanya berkali-kali, namun tidak berhasil. Aku tidak pernah tidur dengannya lagi jauh sebelum kau menyerahkan dirimu malam itu."

"Tapi di Torrington House, Sophie mengatakan kau menemuinya sehari sebelumnya dan menghabiskan malam bersama."

"Aku memang menemuinya. Kami hampir melakukannya. Tapi aku mengurungkan niat dan meninggalkannya."

Jawaban itu membuat Kaytlin merasa senang untuk sesaat, namun kembali ia mengingatkan diri. "Aku bahkan tidak berhak bertanya padamu tentang ini. Kau tidak memiliki hubungan denganku saat itu dan bebas melakukan apa pun."

"Akan lebih baik jika kau bertanya. Aku tidak akan tahu apa yang kaupikirkan jika kau tidak mengutarakannya,” ucap Raphael dengan suara menenangkan. “Apa ada lagi yang ingin kautanyakan tentang Sophie?”

“Tidak,” putus Kaytlin. “Dan aku akan mencoba tidak membicarakannya lagi mulai sekarang.”

“Aku ingin mengakui sesuatu. Jika kau bisa mengingatnya, apa yang Sophie katakan terjadi tepat setelah aku hampir melakukan sesuatu yang barbar padamu di lantai perpustakaan. Saat aku menyentuh Sophie, sebenarnya aku membayangkan dirimu.”

Menyadarinya, Kaytlin tercekat. “Tidak mungkin...” 

“Aku serius.”

“Itu sangat menjijikkan, My Lord.” 

Tubuh Raphael bergetar menahan tawa. “Tapi itu juga yang membuatku terhenti. Aku merasakannya seperti sebuah pengkhianatan.”

“Kepada Sophie?”

“Kepadamu.”

“Kita tidak memiliki hubungan apa pun saat itu.”

“Tapi kau selalu membalas semua ciumanku dan tidak menolak saat aku melakukan hal yang lebih dari itu.”

Kaytlin bersemu merah. “Kurasa aku memang wanita yang bodoh.”

“Tidak. Aku bersyukur atas semua itu. Jika kau tidak menggangguku, aku tidak akan pernah tertarik padamu dan sadar apa yang kulakukan bersama Sophie adalah kesalahan. Aku bersyukur kau merayuku malam itu sehingga aku tahu ada seseorang yang menyukaiku. Kau memberiku segalanya.” Selanjutnya suara Raphael terdengar penuh sesal. “Tapi aku sendiri tidak pernah memberikan apa yang kauinginkan.” 

Kaytlin melepaskan pelukan dan menatap mata Raphael. “My Lord, aku mengerti setiap orang memiliki ketakutan.”

“Tapi kau tidak pernah takut.”

Kaytlin menggigit bibir. “Justru aku tidak mau dekat denganmu selama ini karena aku takut.”

“Apa yang membuatmu takut?”

Kaytlin mempertimbangkan untuk tidak mengatakannya, tapi akhirnya ia mengatakannya juga. “Terlalu mencintaimu lagi seperti dulu.” Ia melirik takut-takut.

“Apakah semenakutkan itu?”

Kaytlin mengangguk. “Kau mungkin tidak akan mengerti.”

“Kurasa aku sedikit mengerti, karena aku juga memiliki ketakutan yang tidak masuk akal.” Sambil menangkup bagian belakang kepala Kaytlin, Raphael menariknya mendekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan. “Kaytlin...aku tidak pernah mengatakan padamu dengan benar, bukan?” tatap Raphael sungguh-sungguh.

Kaytlin tidak berani berkedip.

“Aku mencintaimu," ucap Raphael lirih. "Aku mencintaimu melebihi Sophie dan apa pun di dunia ini.”

Kali ini kalimat itu terdengar berbeda. Persis seperti impiannya, sehingga tanpa sadar setitik airmatanya lolos. Kaytlin merasakan desakan kebahagiaan, namun di sisi lain ia baru saja melalui sebuah krisis kepercayaan yang telah menikamnya begitu dalam sehingga tidak bisa menghilang begitu saja. Ia tahu ia masih merasakan ketakutan untuk mempercayai Raphael sekali lagi. Tapi, ia tahu ia harus berusaha melakukannya, karena seperti ucapan Gretchen, ia harus memikirkan masa depan seperti apa yang ingin ia ciptakan. 

Dan tidak ada masa depan lain yang bisa ia pikirkan serta inginkan selain bersama pria di hadapannya ini. Kaytlin menyentuhkan bibirnya ke bibir pria itu dan mengucapkan namanya untuk pertama kali. 

“Aku juga mencintaimu...Raphael.”

***

~SEMI ENDING OF SOMETHING ABOUT YOU~

BERSAMBUNG PART 48

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Part 48 Something About You - Something About Love and Ambition
284
44
Bagaimana kehidupan Kaytlin dan Raphael setelah berbaikan? Dan bagaimana masa lalu demi masa lalu kini akan terselesaikan semuanya.  Hi all, lama nggak jumpa. Aku baru saja keluar RS setelah operasi tumor paru. Hari ini aku up sampai tamat ya. Untuk yang sudah memesan buku, sudah dalam proses pengiriman. Maaf kemarin aku benar-benar nggak bisa ngurus karena terkapar di RS.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan