Silver Lining Part 1,2,3

334
48
Deskripsi

Silver Lining adalah sebuah istilah, di mana selalu ditemukan garis cerah berwarna perak meski dalam awan tergelap sekalipun. 

Enam tahun lalu, Andara Pradnya ditinggalkan oleh Brian Himawan tanpa mengetahui bahwa ia sedang mengandung anak pria itu. Keluarga Brian tidak merestui hubungan mereka karena perbedaan status sosial. Lalu Brian meninggal sebelum Andara sempat menyampaikan tentang anak mereka. Harapan dan cinta Andara seketika kandas, ikut terkubur bersama kenangan pria itu. Yang Andara lakukan...

Terima kasih sudah membuka cerita ini

Kalau kalian suka jangan lupa tekan love dan tinggakan komen

***

 

PART 1

Sudah dua jam lebih Andara menunggu di samping gerbang rumah yang sejak tadi kosong. Dari keterangan satpam yang bertugas di depan perumahan itu, keluarga Himawan sedang berlibur ke luar kota. Tidak semua. Ada salah seorang dari mereka yang katanya tidak ikut, tapi orang itu biasa pulang pukul lima sore. Itu pun jika langsung pulang ke rumah.

Ponsel Andara sudah menunjukkan pukul tujuh, tapi tidak ada yang datang. Ia merasa konyol menunggu dengan harapan tidak jelas. Untung saja tidak turun hujan. Jika turun hujan, situasi itu mirip seperti sinetron tidak bermutu yang biasa ditonton ibunya. 

Semua ini karena keluarga itu tidak mengizinkannya bertemu Brian. Sejak dua minggu, Brian menghilang tanpa jejak seperti ditelan bumi setelah mengatakan akan membujuk keluarganya sekali lagi agar memberikan restu menikah. Pria itu tidak pernah menghubunginya lagi. Andara sudah mencarinya di tempat Brian biasa berada dan juga menghubungi Brian di semua kontak dan sosmed yang Brian miliki. Hasilnya nihil.

Tepat pada saat Andara memutuskan untuk menyerah dan memilih pulang, sebuah mobil berhenti di depan rumah itu. Lampu sorot mobil diredupkan, sebelum pengemudinya keluar dari mobil.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Axel, dia kakak kandung Brian.

"Aku ingin bertemu Brian."

Axel menuju ke gerbang dan membuka kunci. "Brian nggak ada di sini."

"Di mana dia?"

"San Fransisco."

Andara tidak tahu mengapa Brian bisa ada di sana, tapi sejak tadi Axel hanya memberinya jawaban singkat sehingga Andara juga ragu terlalu banyak bertanya. "Kapan dia pulang?"

"Mungkin enam bulan atau setahun lagi."

Andara terkesiap. "Enam bulan?!"

Di tengah kepanikan, Andara akhirnya memutuskan bertanya. "Untuk apa dia ke sana? Kenapa dia nggak ada bilang sama aku?"

Tidak ada jawaban yang Andara dapatkan. Pria di depannya tidak menggubris.

Axel selesai membuka gerbang sehingga ia kembali ke mobil. Andara terpaksa menghadangnya. “Tolong...mungkin kalian nganggap ini nggak penting tapi bagiku ini sangat penting.”

"Memang ada urusan apa?” Axel balik bertanya.

“Aku...d-dia nggak pernah berkabar selama dua minggu ini. Aku khawatir ada apa-apa sama dia."

"Brian baik-baik aja."

"Apa dia nggak ada nitip pesan buat aku?" 

"Nggak ada," sahut Axel singkat.

Andara terdiam sejenak, berusaha bertahan untuk bersikap tenang agar tidak mempermalukan dirinya sendiri. Tapi pada akhirnya, ia tidak tahan juga. Air matanya jatuh dan hidungnya terasa asin karena perih. Sekuat apa pun ia berusaha tegar, ia tidak bisa. “Kenapa kalian semua jahat banget?! Aku harap kalian bakal nyesel sudah misahin aku sama Bri!”

Selesai mengucapkan sumpah serapah itu, Andara berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Sepertinya pencariannya sudah berakhir dengan keputusan bahwa ia terpaksa harus menghadapi semuanya sendirian. Ia sudah lelah dengan penolakan-penolakan ini. Mulai dari Ibu Brian yang ketus hingga kakaknya. Mereka memang tidak mengata-ngatai Andara, t etapi sikap mereka yang hanya bungkam dan tidak menganggapnya membuat Andara sakit. San Fransisco. Bahkan mereka pun tidak segan menjauhkan Brian darinya ke tempat yang tidak mungkin Andara jangkau. 

***

Silver Lining--There is always a bright side in every difficulty

--Sebuah istilah, di mana selalu ditemukan garis cerah berwarna perak meski dalam awan yang tergelap sekalipun--

***

Enam tahun kemudian

"Sebenarnya Mama heran Natalie itu milih cerai dan malah sekarang punya calon baru yang boro-boro lebih baik dari kamu, ehhh, malah sama pemuda yang nggak jelas," komentar Meisya saat Axel berkunjung siang itu. “Apa kerjaannya? Kontraktor? Itu kerjaan berisiko, bisa bangkrut seketika kalau salah prediksi. Natalie itu mikir apa sih?”

Perceraian itu sudah lewat enam bulan yang lalu, tapi ibunya masih selalu membahas. Axel sudah terbiasa mendengar Meisya mengomel karena jarang ada hal yang bisa membuat ibunya puas, tapi kali ini ia agak gusar karena suasana hatinya belum sepenuhnya pulih sejak perceraian itu.

"Terus bisa-bisanya kamu mau mengabulkan permintaan cerai dia. Harusnya kamu pertahankan."

Axel mematikan rokoknya yang belum habis di asbak lalu berdiri dari kursi di teras halaman belakang menuju ke ruang keluarga yang berbatasan langsung. "Ma, please, nggak usah dibahas lagi. Semua udah terjadi. Itu keputusan akhir Natalie. Lagian, bukannya Mama juga nggak terlalu suka sama dia?" keluh Axel.

"Mama memang nggak terlalu sering berkomunikasi sama dia karena kita nggak tinggal satu atap, tapi Natalie serasi sama kamu. Dia cantik, anggun, dari keluarga baik-baik apalagi kita udah lama kenal keluarga Rimantara. Mama cuma mikir sayang banget kamu menyia-nyiakan wanita semacam itu."

"Sudahlah, Mei. Biarkan aja Axel menjalani hidupnya sendiri." Rudi Himawan, ayahnya yang sejak tadi diam sambil duduk membaca koran di sisi lain sofa sampai ikut berbicara. Biasanya ia tidak pernah turun tangan dan hanya manut pada istrinya, bukan karena takut, tapi malas berdebat seperti para suami pada umumnya.

"Tapi, Pak, usia kita sudah tua sedangkan belum ada satu pun anak kita yang punya keturunan. Harus menunggu berapa lagi sampai kita bisa menggendong cucu?"

Mendengar kata ‘cucu’, Axel mulai was-was. Sekarang hanya tinggal Axel dan Demmi setelah dua tahun lalu Brian meninggal akibat kecelakaan mobil di San Fransisco. Axel anak tertua dan satu-satunya lelaki sehingga ibunya yang patriarkis pasti akan mendesaknya. 

"Aku juga mau bilang sama Mama jangan terlalu ngarep cucu dulu. Aku nggak bisa punya anak," ungkap Axel. 

Tepat seperti dugaan, Meisya langsung menatap Axel penuh tanda tanya. Ayahnya yang selalu cuek juga ikut menurunkan koran.

"Apa maksud kamu? Kamu nggak mau punya anak?"

Axel menggeleng. "Aku nggak bisa punya anak. Aku sama Natalie sudah pernah cek ke dokter, tapi nggak ada hasil. Sekarang Natalie sedang hamil sama calonnya yang baru. Jadi, Mama simpulin sendiri siapa yang nggak bisa punya anak."

Sesaat suasana hening. Meisya ternganga di tempat sedangkan Rudi masih bersikap tenang.

“Bisa aja yang dikandung Natalie itu anak kamu.”

“Sebelum cerai, aku sama Natalie udah pisah rumah setahun lebih.”

"Axel, kamu pasti ngerjain Mama__"

"Aku serius." Axel menekankan ucapannya. 

"Ke-kenapa gara-gara itu aja Natalie sampai bercerai sama kamu? Sekarang tekhnologi sudah maju. Kalian kan bisa program bayi tabung! Nggak mungkin kalian nggak bisa bayar!"

“Apa pun yang Mama bilang sekarang, nggak akan mengubah keadaan. Dia udah punya kehidupan baru. Aku juga nggak bisa langsung nikah sekarang. Bahkan aku juga nggak yakin mau nikah lagi. Tolong Mama ngerti."

"Kenapa kamu bisa bilang nggak yakin mau nikah lagi?!"

"Nggak yakin aja. Entahlah. Aku masih nggak bisa mikir ke sana."

"Ini masalah serius, Axel! Kalau kamu nggak mau nikah lagi, itu artinya keluarga kita putus keturunan!" ucap Meisya setengah histeris.

"Masih ada Demmi..."

"Nikah aja dia nggak tau kapan, apalagi punya anak. Lagipula, Demmi itu perempuan! Anaknya nanti milik keluarga suaminya."

"Sekarang bukan zamannya lagi pemikiran begitu, Ma. Anak Demmi nanti adalah cucu Mama juga__"

"Apa kamu udah gila maksa Mama berpura-pura seperti itu?! Mama nggak akan bisa! Terserah kamu mau bilang Mama kolot atau apa. Kamu harus nikah lagi! Secepatnya! Jangan ditunda-tunda, kamu udah mau tiga puluh, belum lagi program anak__"

"Apa Mama pikir nyari istri segampang milih baju?!" potong Axel geram.

"Kalau kamu nggak bisa, biar Mama yang carikan__"

"Ma!"

"Sudah! Sudah!" Rudi melerai mereka berdua. "Masalah kecil semacam ini nggak perlu panik."

Meisya langsung menoleh pada suaminya dengan garang. "Masalah kecil?! Apa Bapak nggak dengar yang Axel bilang tadi? Kita nggak punya penerus!"

"Siapa bilang kita nggak punya? Kita malah sudah punya cucu meski kamu nggak tahu," imbuh Rudi dengan santai.

Kedua orang lainnya yang ada dalam ruangan itu terkejut bersamaan.

"Apa maksud Bapak?" Axel bertanya.

Rudi meneruskan membuka halaman koran dengan santai. "Kalian ingat Brian pernah memperkenalkan seorang wanita kemari?"

“Wanita yang mana?” tanya Axel karena Brian tidak hanya sekali dua kali membawa wanita ke rumah.

“Yang terakhir. Andara.”

"Wanita murahan nggak tahu malu itu?" Meisya bergidik jijik.

"Wanita itu sudah melahirkan anak laki-laki lima tahun lalu, jadi kamu nggak perlu khawatir lagi bahwa keluarga kita nggak punya penerus."

"Dia nggak nikah sama Bri," cetus Axel. 

"Yah, tapi itu anak biologis Brian," sahut Rudi enteng.

"Kenapa Bapak bisa tahu? Kapan Bapak lihat? Terus kenapa nggak bilang sama Mama?!" sembur Meisya yang baru saja pulih dari keterkejutan.

"Kalian nggak pernah nganggep wanita itu, jadi Bapak pikir ini bukan berita penting."

"Apa Bapak yakin itu cucu kita? Bisa aja dia punya pacar lagi setelah Brian."

"Dia nggak punya pacar lagi setelah Brian. Mama ini kenapa sih selalu nyebut dia wanita murahan?" Rudi berdecak.

"Buktinya dia mau tidur sama cowok sebelum nikah."

"Jangan menghakimi satu sisi aja. Almarhum anak kita juga tidur sama dia sebelum nikah."

"Tapi bener dia punya anak dari Bri?"

"Apa informasi itu penting?"

"Tentu saja penting. Kalau benar itu anak Bri berarti anak itu harus ada di sini."

***

PART 2

Petang harinya, Axel sudah ada di depan sebuah rumah yang berada di komplek perumahan umum untuk mengantar ibunya. Sebenarnya Axel tidak ingin ikut campur permasalahan ini, karena permasalahannya sendiri sudah cukup memusingkan. Namun, ibunya memaksa menyuruh mengantar. Ayahnya juga mendukung Axel mengantar ibunya agar tidak terjadi sesuatu yang buruk mengingat Meisya seorang wanita yang temperamen. 

Rumah tipe 36 itu tidak terlalu besar, tapi akses jalan di depannya cukup untuk berpapasan sehingga Axel bisa memarkir mobil di tepi jalan. Entah dari mana ayahnya tahu keberadaan dan alamat Andara, Axel curiga ayahnya diam-diam mengawasi selama ini. 

Tidak ada bel di depan rumah, tetapi pagar rumah itu tidak memiliki kunci sehingga Axel dan Meisya bisa masuk. Mungkin pintu rumah itu juga tidak terkunci, kebiasaan khas warga pemukiman. Meisya mengetuk pintu dengan tidak sabar.

"Siapa?" Terdengar suara wanita dari dalam. Seseorang menyibak gorden dan mengintip dari balik kaca jendela, lalu menutup gorden lagi.

"Kami keluarganya Brian," jelas Meisya. 

Terlihat gagang pintu bergerak dengan keengganan, sebelum daun pintu itu sedikit terbuka. Sepasang mata besar menatap mereka waspada. Dia adalah Andara, dalam tampilan yang lebih dewasa. Rambutnya yang dulu sebahu, kini panjang hingga mencapai siku. 

"Bisa saya bantu?" tanya Andara dengan suara sopan tetapi tidak mempersilakan mereka masuk. Wanita itu bersikukuh menahan pintu hanya terbuka secuil.

"Kami ingin membicarakan sesuatu yang penting," sahut Meisya.

"Baik, katakan saja langsung," balas Andara singkat.

"Di sini?" 

"Iya."

"Kamu tahu sopan santun tidak?!" bentak Meisya yang membuat Andara ancang-ancang hendak menutup pintu. Axel segera menahannya.

"Ma, biar Axel," sergahnya pada sang ibu. Meisya mengatupkan bibir dengan sedikit mencebik. Axel menoleh pada Andara. "Kami ingin bertemu anak Brian."

"Nggak ada anak Brian. Yang ada di sini cuma anak saya," jawabnya.

"Kalau begitu, boleh kami bertemu dia?"

"Maaf, nggak bisa. Sebagai ibunya saya nggak mengizinkan."

"Mamah!" Seorang anak lelaki menabrak kaki Andara dan memeluknya sambil menengadah pada mereka. Axel hanya diam sedangkan Meisya terkesiap. Kejadian itu begitu cepat karena Andara langsung menyembunyikannya.

"Danish masuk dulu ke dalam ya sama Eyang. Mama masih ada tamu," gumam Andara di balik pintu.

"Siapa, Nda? Kenapa kamu nggak suruh masuk?" Terdengar suara wanita yang lebih tua dari dalam rumah.

"Tamunya sudah mau pulang, Bun. Orangnya salah alamat," sahut Andara.

Meisya tidak tahan lagi. "Heh, kamu nggak berhak menghalangi kami buat lihat anaknya Brian! Sudah jelas-jelas itu anaknya Brian. Saya nggak mungkin salah karena saya lihat sendiri dia mirip Brian sama Axel waktu kecil. Kamu nggak bisa bohong!"

Andara menyipitkan mata tak kalah garang. "Kalian nggak punya bukti dia anaknya Brian. Dan nggak pernah juga ada bukti saya nikah sama orang yang namanya Brian. Sekarang silakan pergi. Kalian nggak diterima di rumah ini."

"Berani-beraninya kamu__" Meisya hendak memaksa masuk. Andara mendorong pintu untuk menahannya.

"Saya bakal teriak! Jangan salahin saya kalau kalian dihajar warga!"

"Sudah cukup, Ma. Kita pergi." Axel menarik lengan ibunya. Andara mengambil kesempatan itu dengan langsung menutup pintu dan menguncinya.

***

"Berani-beraninya dia ngusir kita!"

Suara Meisya yang murka terdengar menggelegar saat baru saja muncul di ruang depan. Rudi segera menoleh dari channel berita yang ditontonnya. "Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan wanita kampungan itu?! Dasar wanita udik nggak punya sopan santun! Memang dia pikir siapa dirinya?" omel Meisya.

Axel yang sudah terbiasa dengan tingkah ibunya hanya duduk di sofa dengan tenang.

Rudi terkekeh. "Sudah kuduga akan begitu reaksinya. Memang kalian mengharapkan bakal disambut seperti anggota keraton setelah perlakuan kalian dulu? Dia nggak bodoh. Dia tahu kalian dulu nggak suka sama dia."

"Kenapa Bapak malah jadi muji wanita itu?!" gerutu Meisya.

"Bukan muji. Hanya mengingatkan kenyataan."

"Aku akan mengambil anak itu."

"Dia nggak nikah sama Brian jadi kamu nggak punya kekuatan hukum apa-apa. Malah dia bisa melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan penculikan."

"Masa bodoh. Kita pasti menang. Wanita itu sudah kalah secara koneksi dan uang."

"Bisa-bisanya kamu punya ide kotor semacam itu, padahal masih ada cara baik-baik."

"Lalu bagaimana cara kita mendapatkan anak itu? Dengan cara baik-baik pun dia nggak menerima kita," keluh Meisya yang akhirnya duduk karena kakinya sudah pegal mondar-mandir.

"Dia memiliki anak tanpa pernikahan. Nikahkan saja dia sama salah satu keluarga kita, otomatis anak Brian jadi cucu sahmu."

"Memangnya siapa yang bakal menikahi dia?" tatap Meisya curiga.

"Siapa lagi? Tentu saja Axel. Masa Bapak?" Rudi tertawa tanpa mempedulikan Meisya yang melotot dan Axel yang tercengang.

"Apa Bapak sudah nggak waras?! Sejak dulu sampai sekarang, aku nggak mau menjadikan wanita nggak jelas itu sebagai menantu!" sembur Meisya. "Axel juga nggak mungkin mau sama dia! Kenal aja enggak! Masa Bapak mau jodohin dia sama wanita sembarangan!”

"Bapak hanya menyarankan saja. Kamu pengin anaknya Bri. Di sisi lain, Axel sudah bercerai, nggak mau nikah lagi, sedangkan kamu maksa dia harus nikah. Bukannya itu jalan keluar yang bagus? Meski wanita itu kamu bilang nggak jelas, dia anak yang baik. Bapak lihat kerjaannya lurus-lurus aja. Dia juga masih muda, cukup cantik__"

"Nggak ada alasan! Kalau cuma itu, Axel bisa dapat wanita yang lebih baik, lebih cantik, dan nggak kampungan kayak dia! Emang dunia sudah kiamat apa sampai nggak ada pilihan lain?!”

“Axel, coba kamu pikirkan.” Rudi beralih pada Axel yang masih diam karena sulit percaya apa yang mereka perdebatkan. “Anaknya Bri masih punya hubungan darah sama kamu, nggak akan sulit bagi kamu untuk menganggap dia anak kamu sendiri. Andara juga sudah punya anak dari Bri, jadi dia kayaknya nggak bakal masalah kalau nggak punya anak lagi dari kamu kalau kalian nikah__”

“Pak!!” Meisya berteriak kencang.

"Ya sudahlah," ucap Rudi menyerah. "Meski kalian setuju juga wanita itu belum tentu mau nikah dengan Axel."

Meisya mengernyit jijik. "Aku malah berpikir wanita itu akan setuju dengan siapa pun yang melamar mengingat dia perlu suami sebagai ayah anaknya," sungutnya. Lalu seketika tersadar dengan penalaran ucapannya sendiri, ia terhenyak. "Sial, jangan sampai dia punya rencana nikah sama orang lain sekarang dan membuat kita nggak bisa mengambil anak Brian! Axel!! Kamu lakukan cara apa aja asal anak itu jadi milik kita. Tawarin dia uang. Kalau dia nggak mau, cari pengacara buat perebutan hak asuh. Mama nggak peduli melanggar hukum atau nggak, yang penting anak Brian kita dapatkan. Kamu nggak mungkin tega kan ngelihat anak Brian hidup nggak punya masa depan jelas?!"

***

 

PART 3

 

"Kamu merid aja."

Andara melongo mendengar usul Vonny siang itu setelah ia menceritakan kejadian kemarin.

Vonny adalah teman akrabnya saat SMA dan sekarang mereka menjadi teman satu perusahaan di departemen yang berbeda. Vonny memegang jabatan manajer di divisi pemasaran yang mengharuskannya berpenampilan menarik, sedangkan Andara berada di divisi IT yang berpakaian lebih santai. Pemandangan mereka makan siang bareng mungkin terlihat aneh bagi sebagian orang awam. Andara meminta bertemu Vonny hari ini karena wanita itu yang tahu masa lalu Andara sehingga lebih mudah untuk curhat tentang kekhawatirannya.

"Pernah denger nggak sih, nikah bukan solusi hidup?" Andara menanggapi.

"But in your case, nikah itu solusi hidup. Biarpun kamu bilang mereka nggak bakal bisa ngambil Danish, deep in your heart kamu tetep takut kan? Kamu pasti ngerasa perlu setingkat lebih aman lagi. Dengan nikah, otomatis kamu sama Danish masuk KK suami. Voila! Mereka nggak bisa berkutik meski pake Hotman Paris sekalipun,” debat Vonny dengan bahasa campur-campurnya seperti biasa.

"Nggak semudah itu nikah buru-buru. Aku nggak punya pacar."

"Exactly! So from now on kamu kudu punya! Padahal circle kerja kamu itu di bagian IT, which is sebagian besar cowok. Nggak ada satu pun yang nyantol gitu?" Vonny berhenti sejenak sebelum terkesiap dengan dramatis. "Atau jangan-jangan kamu beneran naksir Andra?" Vonny menggodanya dengan menyebut salah satu karyawan bagian dalam yang sikapnya narsis dan sok iyes seperti Vicky Prasetyo. Semua karyawan kantor sering menggoda Andara, menjodoh-jodohkannya hanya karena kemiripan nama mereka berdua.

"Ngaco!" Andara tersenyum geli. “Sejak dulu aku cuma kepikiran…aku punya anak tanpa nikah.”

“Terus?”

“Yah, gitulah.” Andara menarik napas dan memilih menyantap pesanannya yang sudah datang.

Vonny terperanjat. “Please jangan bilang kalau kamu overthinking kalau nggak bakal ada yang mau sama kamu!”

“Bukan nggak ada yang mau sih__”

“Berarti ada yang mau?! Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku?!!” pekik Vonny berbalik senang.

“Aku juga nggak tahu mereka serius atau enggak. Tapi, rasanya aku yang lebih nggak pernah nanggapi mereka serius. Aku nggak yakin untuk melangkah. Mungkin ada yang bisa nerima aku apa adanya, tapi belum tentu keluarga mereka.”

“Kamu trauma sama keluarga almarhum Bri?”

“Entahlah."

“Harusnya jangan kamu pikirin. Tapi mereka emang jahat."

"Itu reaksi wajar mereka mengingat Bri sama aku dulu masih SMA. Aku baru sadar sekarang. Apalagi aku murid biasa yang bisa masuk sekolah elit karena beasiswa dari yayasan.”

“Yang menandakan kamu anak pinter. They didn’t see that.”

“Secara akademis. Tapi aku bego dalam kehidupan yang sebenarnya.”

Being human, it is natural to commit mistakes. Apalagi kamu sadar itu salah. Nda, they just care about Bri, but not you, padahal kalian sama-sama salah dan sama-sama menderita. Jangan biarkan mereka bikin kamu nggak bisa bahagia.” Vonny memberi tatapan prihatin sekaligus antusias. “Aku tahu masa lalu kamu berat tapi buktinya kamu bisa survive meski kamu nggak seperti dulu. Sekarang kamu juga pasti bisa. Yuk, nikah yuk. Cari cowok baik yang keluarganya juga baik.”

"Bentar, bentar...kamu nyuruh aku nyari cowok baik yang keluarganya baik, yang bisa diajak nikah kilat?" Andara mengernyit. 

"Bisaaa. Nggak ada yang nggak bisa. Kamu tau nggak sih, kamu itu cantik dan nyenengin. Banyak yang minat sama kamu di divisi kamu, Nda. Kamu kurang show off aja. Nanti aku bantu, deh."

"Biasanya cewek moderat kayak kamu malah nyuruh temennya nggak buru-buru nikah."

"Uuu, I'm cewe moderat yang happy ama pernikahan. Tentu saja aku harus mempengaruhi kamu biar nikah juga, dong. Apalagi setelah kamu bilang ada ancaman dari keluarga Brian, inilah saat yang tepat aku menghasut kamu cari pasangan." Vonny tersenyum mengedipkan sebelah mata.

“Dibanding mikir diriku, jujur aku malah senang tahu kamu bahagia,” ungkap Andara, sebelum mengalihkan perhatian pada denting whatsapp yang berbunyi di ponselnya.

“Pak Darmaji?” Vonny menyebut nama kepala divisi IT.

Andara mengangguk. “Disuru balik. Ada masalah.”

“Kamu masih jam makan siang, kenapa dia nggak nyuruh yang lain sih?” keluh Vonny.

“Kebetulan bagian aku.”

Impossible nggak ada yang bisa gantiin kerjaan kamu. Terus gimana kalau kamu cuti? How weird. Aku ngerasa nyesel ngasi tau kamu ada lowongan di sana.”

“Aku nggak nyesel kok. Malah aku berterima kasih sama kamu. Gajinya bagus.” Andara menghabiskan makanan dan minumannya secepat kilat.

“Tapi kamu beneran enjoy kerja di sana?”

“Aku nggak ada masalah sama pekerjaannya. Cuma memang Pak Darmaji aja yang bikin pusing sesekali. So far, di sana menyenangkan, orang-orangnya baik.”

“Syukurlah kalau gitu. Tapi tetep aja ini masih your lunch time.”

“Lebih cepat kelar lebih baik. Biar pulang tepat waktu, nggak lembur.” Andara berdiri dari kursi kantin.

“Takut keluarga itu datang lagi?”

Andara mengangguk dan tersenyum simpul. 

“Ya, udah. Take care, ya.” Vonny ikut berdiri dan merangkulnya untuk mendaratkan ciuman di pipi. “This too shall pass. Semua akan baik-baik aja.”

***

Tentu saja Andara berharap sebaliknya, bahwa keluarga Brian tidak akan datang lagi sehingga ia tidak perlu melakukan usul Vonny untuk menikah. Ide yang sangat nggak masuk akal dan tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat. 

Hari ini ia berpesan pada ibunya agar selalu mengunci pintu dan meneleponnya jika terjadi sesuatu. Andara juga sempat menelepon ke rumah dua kali meski ibunya tidak menelepon. Semuanya masih baik-baik saja, tidak ada tamu yang datang. Andara menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan berhasil pulang tepat waktu. Ia bahkan sudah mandi saat menyaksikan langit perlahan-lahan menjadi jingga di teras rumah. Danish sedang bermain di halaman depan dengan beberapa anak tetangga sehingga Andara mengawasinya. Tidak mungkin juga ia terus-menerus mengurung Danish di dalam.

“Apa mungkin kita harus pindah, Bun?” tanya Andara pada ibunya yang sedang menyapu. Mungkin ia bisa menghilang, memulai kehidupan baru seperti yang dilakukannya dulu saat hamil di luar nikah dan menjadi gunjingan tetangga.

“Lagi?”

Andara mengangguk. 

“Itu sama aja lari dari masalah tapi nggak menyelesaikan masalah kamu. Dulu Bunda setuju karena memikirkan kamu yang sedang hamil terus menerima banyak tekanan. Jual rumah itu lumayan lama, Nda. Belum lagi nyari rumah baru yang harganya sesuai, sekaligus lingkungannya baik.”

“Kita bisa ngontrak aja sementara.”

“Jangan tergesa-gesa. Lihat aja dulu keadaan ke depannya gimana.”

Andara menarik napas lelah. “Aku nggak bisa terus-terusan kerja sambil paranoid begini.”

“Kamu itu takut apa, sih?”

“Takut aja kalau keluarga mereka nekat ngambil Danish pake cara-cara yang nggak bener pas aku nggak di rumah.”

“Kamu mikirnya berlebihan. Bunda pasti jagain Danish. Kamu pernah denger nggak kalau sudah jadi nenek itu kita malah lebih sayang cucu dibanding anak sendiri?”

“Ishh, Bun!” Andara tertawa pelan. 

“Biar kamu agak tenang.”

Beralih mengamati Danish yang sedang bermain, Andara menopangkan dagu. “Kenapa Danish juga makin gede malah makin mirip sama Bri?” keluhnya.

“Hushh! Apa-apaan sih omongan kamu? Ya, kan Brian bapaknya.”

“Penginnya mirip aku aja. Biar mereka sangsi Danish anaknya Bri.”

“Daripada mikir gitu lebih baik kamu bersyukur aja Danish terlahir sehat.”

“Itu udah pasti, Bun. Tapi ini kan konteksnya beda...” 

Sebuah mobil yang berhenti dan terparkir di sisi jalan menarik perhatian mereka. Andara menegakkan tubuh melihat Axel keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arah pagar. 

“Bun...”

“Nggak pa-pa.” Ibunya menenangkan. “Ada Bunda. Tetangga juga masih banyak di depan rumah.”

Axel mengucapkan salam. Ibu Andara membalas salamnya sedangkan Andara hanya diam mengawasi. Pria itu melihat Danish di halaman dan membungkuk untuk menyodorkan kemasan bertuliskan Baskin-Robbins. Danish tidak langsung menerimanya, tetapi menoleh pada Andara penuh harap.

Dengan berat hati Andara menggeleng.

“Nggak apa-apa. Kalau Danish mau, ambil aja,” sela ibunya yang membuat Danish tanpa ragu menerima es krim itu dari tangan Axel. “Jangan lupa bilang makasi, ya.”

Danish mengucapkan apa yang diperintahkan eyangnya dengan wajah berbinar. Andara menoleh kesal. “Ish, Bun! Kok malah diterima?!” desisnya pelan.

“Kasian Danish udah berharap banget. Dia juga nggak mungkin ngeracunin Danish.”

“Aku juga nggak mikir sampai sana. Cuma harusnya kita kompak nggak nerima dia.”

"Sudah, kamu bicara saja baik-baik. Kalau masalah lebih cepat diselesaikan kan lebih baik daripada kamu repot melarikan diri terus,” cetus ibunya santai.

“Mamah! Danish dapet es krim!” Dengan riang Danish berlari menghampiri Andara sembari memamerkan bungkusan tadi bersama dua temannya yang mengikuti.

“Bagi sama temen-temennya ya di dalam. Minta bantuan Eyang bukain.” Andara mencoba tersenyum. Danish melakukan apa yang ia perintahkan. Semua anak-anak itu berbondong-bondong menaiki tangga bersama ibunya meninggalkan Andara berdua bersama Axel di sana. 

Axel melangkah menghampirinya. Andara merasa kesal karena posisinya berhadapan langsung dengan matahari sore sehingga ia harus memicingkan mata karena silau sedangkan Axel pasti bisa melihatnya dengan jelas. 

"Ibu Meisya?" Andara bertanya karena tidak melihat wanita bawel itu ikut serta.

"Aku datang sendirian,” sahut Axel. “Bisa kita bicara baik-baik?”

Sebenarnya Andara enggan melakukannya karena pria ini dulu juga sempat menolaknya saat mencari Brian. Ingin rasanya Andara melakukan hal yang sama sebagai balasan. Tetapi pada akhirnya, ia mengalah pada diri sendiri dengan berdiri dari undakan tangga dan duduk di kursi teras depan yang lebih teduh.

Tanpa dipersilakan, Axel mengikutinya dan ikut duduk di salah satu kursi juga.

“Apa yang mau diomongin?” todong Andara tanpa basa-basi.

"Danish umur lima tahun?"

Dengan sedikit ragu, Andara mengangguk.

"Udah sekolah?"

"Tahun ini."

"Nggak masuk pre-school?"

Andara menarik napas, sebelum melanjutkan. "Bisa langsung ke pokok pembicaraan aja?"

“Oke, baik.” Axel mengalah. "Ibuku menginginkan Danish. Dia nawarin sejumlah uang."

"Kamu udah tahu jawabannya. Meskipun di dunia ini memang ada ibu yang tega jual anaknya, tapi itu bukan aku. Nggak usah repot nyebut jumlahnya. Berapa pun, aku nggak mau," tegas Andara.

"Meski kamu nolak tawaran uangnya, dia bakal melakukan berbagai cara buat dapetin Danish. Kamu udah siap menghadapi tuntutan hak asuh?"

Andara mengangguk. "Kalian nggak mungkin menang. Nggak ada bukti Danish anak Brian."

"Kalau sudah masuk perkara, ibuku bisa maksa Danish tes DNA. Uji kekerabatan juga bisa dilakukan lewat saudara berhubung Brian sudah nggak ada. Keuangan kamu juga akan dianalisis untuk melihat apa kamu bisa menjamin pendidikan dan kesehatan Danish di masa depan."

Andara menyipitkan mata. "Kami nggak semiskin itu. Seenggaknya aku sudah kerja, punya gaji di atas UMR. Kami makan tiga kali sehari, bisa liburan tiap tahun meski nggak mewah, aku yakin bisa biayain sekolah sampai kuliah Danish. Semua orang di rumah ini juga sudah aku daftarkan asuransi kesehatan."

"Oke, aku yakin sama itu. Tapi kamu belum nikah sama Brian, sedangkan sebentar lagi Danish sekolah dan harus berinteraksi sama anak-anak seumuran yang sebagian besar dari mereka pasti punya keluarga lengkap. Sekolahnya juga pasti tahu karena akta kelahiran Danish anak di luar pernikahan. Nggak menutup kemungkinan informasi itu bakal bocor ke teman-teman dan juga orangtua murid."

"Sejak hamil di luar nikah, aku udah biasa menghadapi omongan orang-orang. Nggak masalah buat aku."

"Bagaimana sama Danish? Apa kamu yakin dia juga bakal sekuat kamu?"

Andara sedikit merasa kehilangan akal. "Please, aku sela dulu. Aku sudah pergi dari kehidupan Brian sesuai keinginan kalian. Kenapa kalian harus datang sekarang? Bisa nggak kalian juga pergi dari kehidupan aku? Aku cuma pengin hidup tenang sama ibuku dan Danish. Masalah-masalah yang kamu sebutin tadi, aku pasti bisa selesaikan sendiri."

Keheningan menyelimuti percakapan mereka. 

"Ada sebuah alasan,” gumam Axel dengan nada enggan. “Ibuku juga ngotot sama Danish karena alasan itu."

"Apa pun alasannya, aku juga nggak akan tinggal diam. Kalau Bu Meisya bisa melakukan cara apa pun untuk mendapatkan Danish, aku juga akan melakukan cara apa pun buat melawan rencananya. Aku akan nikah kalau perlu."

Axel menoleh penuh keingintahuan. "Kamu punya pacar?"

"Nggak, tapi aku bisa nekat nikah dengan sembarang orang."

Ancaman itu tampaknya efektif lebih dari yang Andara duga karena Axel tidak membalas lagi. Ia hanya tertegun menatap Andara. 

“Kamu tahu? Kamu suka banget bikin keputusan yang berisiko buat hidup kamu,” komentar Axel setelah beberapa saat.

“Nggak masalah kalau semua ini buat Danish.”

“Kamu nggak bakal nemu orang yang mau nikah cepat-cepat hanya untuk keperluan administrasi keluarga,” balas Axel remeh.

“Kamu nggak kenal aku dan kamu nggak tahu apa yang bisa aku lakukan."

Axel terlihat berpikir keras. Andara hampir berpikir pria itu tidak memiliki argumentasi lagi.

“Kalau kamu bisa nikah sama sembarang orang,” ujarnya datar. "gimana kalau nikah aja sama aku?"

 

***

Bagaimana menurut kalian? Komen yah

Jangan lupa menekan love juga

Follow akun penulis  di Karya Karsa : Matchamallow

Medsos lain :

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Silver Lining
Selanjutnya Silver Lining part 4,5,6
220
33
Kelanjutan Silver Lining. Baca dulu part 1,2,3 Silver Lining adalah sebuah istilah, di mana selalu ditemukan garis cerah berwarna perak meski dalam awan tergelap sekalipun. Enam tahun lalu, Andara Pradnya ditinggalkan oleh Brian Himawan tanpa mengetahui bahwa ia sedang mengandung anak pria itu. Keluarga Brian tidak merestui hubungan mereka karena perbedaan status sosial. Lalu Brian meninggal sebelum Andara sempat menyampaikan tentang anak mereka. Harapan dan cinta Andara seketika kandas, ikut terkubur bersama kenangan pria itu. Yang Andara lakukan setelahnya hanyalah bekerja keras untuk menghidupi ibunya dan Danish, putranya. Tidak ada keinginan untuk terjerumus dalam kebodohan bernama cinta lagi. Tapi ketenangan hidupnya terancam ketika keluarga Himawan tahu keberadaan Danish dan hendak mengambil Danish dari sisinya. Empat tahun pernikahan Axel Himawan berakhir setelah sang istri Natalie menuntut cerai. Kehamilan Natalie bersama kekasih barunya membuat Axel menyadari kenyataan bahwa ia tidak bisa memiliki keturunan sedangkan ia satu-satunya anak laki-laki dari keluarga Himawan setelah Brian meninggal. Ibunya memaksakan dirinya harus menikah lagi sementara Axel tidak memiliki keinginan untuk itu karena ia tidak yakin bisa mempercayai sesuatu bernama cinta lagi. Secara tak sengaja, ia terlibat perseteruan keluarganya dan Andara untuk perebutan hak asuh atas anak Brian. Dan ia menawarkan win win solution pada Andhara : pernikahan.~Every cloud has a Silver Lining~@2022 MatchamallowDesign cover by Papong Design
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan