Ternyata Kita Tetangga - 18. Luka Yang Menyakitkan

11
0
Deskripsi

Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.

Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. 

Dipta menganggap...

“Iya, ini aku lagi beres-beres. You don’t have to worry. Harusnya aku yang khawatir sama kamu karena kamu baru sembuh…” Mila mengapit ponselnya di antara telinga dan pundaknya karena dia sedang sibuk merapikan kopernya.


 

Besok pagi-pagi sekali Mila harus sudah ada di Bandara untuk penerbangannya ke New York selama kurang lebih lima belas hari. Mungkin ini akan jadi perjalanan bisnis terakhir Mila bersama dengan Cartier. Kontrak kerjanya akan berakhir enam bulan lagi dan dia tidak akan memperpanjangnya lagi.


 

Kalau menunggu koleksi yang akan datang, rasanya enam bulan terlalu singkat. Tapi siapa tahu dia akan memiliki project terakhir dengan Cartier setelah ini. Benar-benar yang terakhir.


 

“Sudah aku bilang nggak perlu. Aku bisa naik taksi. Kamu kalau masih seperti ini terus besok akan benar-benar aku ajak ke New York…” Lima belas menit yang lalu Yoga menelponnya, dan percakapan mereka belum membuahkan kesepakatan sama sekali.


 

Pesawat Mila berangkat pukul setengah enam pagi. Pukul setengah empat pagi Mila sudah harus berangkat dari apartemen dan Yoga bersikeras mengantarkannya ke Bandara dengan kondisi tangan yang baru pulih tiga hari lalu dan di pagi-pagi buta seperti itu. Mila tidak gila tentu saja dengan mengiyakannya.


 

Mila mengambil ponselnya dan membetulkannya di depan daun telinganya. Kegiatan menyiapkan barang-barangnya sudah selesai. Sekarang Mila benar-benar fokus mendengarkan kata-kata Yoga di seberang sana. Menunggu lelaki itu selesai dengan kalimatnya.


 

“Yoga…,” Mila menghela nafasnya sedikit kasar, berusaha mengontrol emosinya. Yoga terlalu overreacted terhadap kepergiannya kali ini. Padahal tidak ada yang perlu dicemaskan. Mila sudah biasa berangkat pagi-pagi buta begitu menggunakan taksi.


 

“Kamu terlalu berlebihan, aku sudah biasa ke Bandara sepagi itu. Please…” Lanjut Mila lagi. Kali ini gantian dia yang bisa mendengar helaan nafas Yoga. Akhirnya lelaki itu memilih mengalah, membiarkan Mila tetap dengan keputusannya untuk pergi sendiri.


 

“Terima kasih. Aku tutup dulu teleponnya. Kamu jangan telat makan, jangan lupa istirahat. Aku akan sibuk sekali di sana, jadi nggak bisa sering-sering mengingatkan kamu. Bye love…”


 

Ya, Mila tidak salah mengucap. Itu panggilan sayangnya untuk Yoga. Setelah dengan penuh pertimbangan dan kecanggungan sebelumnya, Mila memutuskan memanggil Yoga dengan sebutan love. Klise, tapi begitu manis didengar.


 

Awal-awal menyebutkannya Mila ingin menyembunyikan diri karena dia yakin pipinya sudah semerah kepiting rebus. Tapi ujung-ujungnya dia menikmati juga panggilan sayang tersebut.


 

Sementara Yoga, lelaki itu hanya memanggilnya dengan sebutan sayang, itu pun jarang digunakan. Yoga lebih sering memanggilnya dengan Mila. Atau kalau lelaki itu kesal karena ulah Mila dia akan memanggil Mila dengan nama lengkapnya. Karmila Haditama. Saat itu alarm tanda bahaya Mila berbunyi dengan kencang.


 

Mila akan diam, karena itu tandanya Yoga tidak ingin dibantah lagi. Selama ini dia sudah memahami sedikit banyak karakter Yoga. Lelaki itu mungkin punya tingkat ketenangan yang patut diacungi jempol, tapi kalau Yoga sudah marah juga kemarahannya patut diacungi jempol juga, kalau berani.


 

Mila merapatkan kopernya dan menutupnya. Semua sudah selesai. Sekarang Mila tinggal istirahat supaya besok pagi dia tidak bangun kesiangan. Mila merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya yang memang sengaja dia hias dengan stiker bintang dan bulan yang bisa menyala di dalam gelap.


 

Pikiran Mila kini terbang kepada tetangganya, Dipta. Setelah perbincangan alot mereka kemarin Mila tidak pernah bertemu dengan Dipta lagi. Sama sekali, bahkan berpapasan pun tidak, apalagi satu lift. Seolah-olah Dipta menguap hilang begitu saja.


 

Mila akui dia sedikit kejam terhadap Dipta. Tapi mau bagaimana lagi. Sikap lelaki itu saat reuni kemarin sangat menjengkelkan. Mila benci Dipta yang hanya diam saja tanpa memberikan pembelaan apa-apa.


 

Ditambah lagi dengan kata-katanya kemarin yang menganggap seolah mereka dulu pernah berteman. Sungguh DIpta pernah kecelakaan atau bagaimana sampai otaknya terluka. Dari segi mana mereka pernah berteman? 


 

Mila jatuh cinta pada Dipta dulu, dan lelaki itu tidak pernah membalas perasaannya. Bahkan mendekatinya hanya untuk sekedar melindungi Dior. Menolak cinta Mila mentah-mentah, menghina Mila, dan yang paling parahnya mempermalukan Mila di depan satu sekolah karena dia ketahuan menyatakan perasaannya pada Dipta.


 

Itu ulah Dior, dan tidak perlu diragukan lagi siapa yang menjadi sumber informasinya. Tentu saja Dipta. Hal pertama yang Mila lihat ketika neraka masa SMA nya dimulai adalah wajah Dipta yang begitu pongah, kemudian Dipta seolah jijik untuk menatap Mila. Dari situ Mila sadar, kalau selama ini dia dipermainkan.


 

Permintaan maaf Dipta tempo hari saat pertama kali pindah ke sini adalah hal yang membuat Mila terkejut sebenarnya, tapi Mila makin pandai menjaga ekspresi wajahnya sekarang. Datar dan biasa saja.


 

Kadang Mila berpikir, apakah karma itu ada. Apakah Tuhan benar-benar adil. Karena rasanya mereka-mereka yang melakukan kejahatan punya kehidupan yang baik-baik saja. Mereka bahagia-bahagia saja dengan kehidupannya. Dipta punya karir yang bagus dan dia tetap saja mempesona.


 

Sementara Dior, perempuan itu juga terlihat baik-baik saja. Belum lagi perutnya yang membuncit. Sepertinya dia sudah memiliki keluarga bahagianya sendiri. Lalu mereka yang ada di acara reuni kemarin, Mila tidak hafal apa pekerjaan mereka satu-persatu, tapi yang jelas semua orang punya kehidupan yang memuaskan. Lalu dimana letak keadilannya? Hanya dia saja yang merasa menderita selama ini.


 

“Huuuuhhh…, Menyebalkan. Tahu begitu langsung aku balas saja nggak perlu nunggu Tuhan yang turun tangan. Terlalu lama….” Rutuk Mila menyesali keputusannya untuk pergi begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Harusnya dia membuat mereka dikeluarkan dari sekolah supaya tidak lulus ujian.


 

Mila meraih ponselnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia punya inisiatif sendiri untuk membuka sosial medianya. Entah kenapa dia ingin saja setelah sekian lama membiarkan sosial medianya menjamur sanking terlalu lamanya dibiarkan.


 

Jemari lentik Mila membuka tombol notifikasi. Ada banyak orang-orang yang mengikutinya. Dia hanya mengulir-gulir layar sampai ketika dia melihat sebuah nama yang tidak asing muncul di notifikasinya. Dipta, lelaki itu mengikutinya. Ada beberapa foto-fotonya diberikan like oleh Dipta.


 

Entah setan apa yang merasuki Mila. Biasanya dia paling malas dengan kehidupan orang lain. Tapi kali ini jari Mila mengetuk layar dan membuka profil Dipta. Biodata Dipta sederhana. Menggambarkan kalau Dipta menyukai camping dan aktivitas di luar ruangan lainnya. Selain itu Dipta juga menjelaskan profesinya secara singkat.


 

Mata Mila tertuju pada foto-foto Dipta yang ada di sana. Kebanyakan fotonya bersama dengan teman-teman yang tidak familiar wajahnya bagi Mila. Mungkin teman kerja atau komunitas lainnya. Ada beberapa foto Dipta bersama Damas dan Marvo. Selebihnya adalah foto Dipta sendiri dan kebanyakan berada di luar ruangan.


 

Damas dan Marvo memang selalu jadi sahabat terbaik Dipta sejak dulu. Damas lebih usil. Beberapa kali Mila sempat jadi bahan bercandaan Damas. Hanya bahan ledekan, bukan perundungan. Sementara Marvo adalah tipe lelaki serius yang tidak banyak bicara. Dari antara mereka menurut Mila hanya Marvo yang paling waras dan bisa dikategorikan sebagai manusia.


 

Kening Mila berkerut. Dia berusaha mengingat sesuatu sambil terus melihat-lihat foto yang ada.  Masih ada satu orang lagi yang tertinggal, Alvin. Mila semakin gencar mencari, namun nihil. Dia tidak menemukan satupun jejak Alvin dalam sosial media Dipta.


 

Alvin, lelaki putih dan jangkung yang juga merupakan sahabat Dipta. Mereka berempat, tidak terpisahkan. Lucu rasanya tidak menemukan lelaki itu di antara Dipta dan kawan-kawan.


 

Mila ingat Alvin lebih cuek daripada Marvo dan pintarnya bukan main. Saingan Mila sejak dulu. Mereka tidak dekat, tapi tidak punya masalah juga. Setahu Mila Alvin siswa pandai dan cerdas. Dia mendapatkan beasiswa penuh sampai dengan lulus SMA. Setelah itu Mila tidak tahu lagi bagaimana kabar Alvin karena dia pergi lebih dulu setelah kelulusan tanpa berpamitan.


 

Mengingat otak encernya, Mila yakin kalau lelaki itu bisa menembus universitas ternama di luar negeri sekalipun bukan berasal dari keluarga yang berada. Ya, Alvin tidak seberuntung Mila yang kalau dia tidak pintar pun dia tetap bisa bersekolah kemana saja yang dia inginkan.


 

Pagi-pagi sekali Alvin akan datang ke sekolah sambil membawa makanan buatan ibunya untuk di titipkan ke kantin sekolah. Sepulang sekolah dia akan ikut pelajaran tambahan dengan Mila hingga sore, kemudian dia kembali ke kantin untuk meminta bayaran atas dagangan yang dititipkan tadi pagi.


 

Kalau masih ada yang sisa Mila akan membelinya dan membagi-bagikannya pada pekerja di rumahnya, atau kadang sekuriti dan tukang kebun di sekolah. Sebaik itu Mila dulu, sudah seperti malaikat malah.


 

Jemari Mila berhenti. Satu lagi yang dia sadari adalah Dior tidak ada di sana. Dior juga tidak ada di sana. Ternyata benar kalau Dipta dan Dior benar-benar sudah berakhir. Mila tahu sebuta apa cinta Dipta untuk Dior. Tidak mungkin lelaki itu tidak memajang satu foto pun dirinya dengan Dior kecuali mereka benar-benar sudah berakhir.


 

Entah apa yang membuat Dipta dan Dior berpisah. Mila tidak ingin ambil pusing. Bukannya dia senang karena dua sejoli itu berpisah, dia justru sedih. Dipta dan Dior adalah pasangan serasi dan sepadan, sama-sama iblis. Harusnya mereka berakhir bersama.


 

Mila melemparkan ponselnya di atas tempat tidur begitu saja. Matanya sudah mulai mengantuk karena terlalu keras berpikir malam-malam begini. Tidak butuh waktu lama Mila sudah terpejam, memasuki alam mimpi dengan kondisi kamar yang masih terang benderang.


 

***


 

Dipta menandaskan kopi yang dipesannya. Pagi ini dia memang ada meeting, untuk mengurangi suasana jenuh Dipta memilih tempat yang berbeda. Bukan di kantor, melainkan salah satu kafe dekat kantornya. Untungnya perusahaan tempat Dipta bekerja memang menerapkan sistem kerja yang fleksibel.


 

Setelah lima belas menit lalu agenda meeting selesai, Dipta masih tetap berdiam disana. Padahal sekarang sudah hampir menunjukkan pukul dua belas siang. Yang artinya sebentar lagi adalah jam makan siang. Tapi Dipta sama sekali tidak berniat beranjak dari tempat ini.


 

Setelah pertemuannya yang tidak baik dengan Mila, Dipta memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan. Pergi pagi pulang malam, atau kalau dia sedang tidak banyak pekerjaan dia akan dengan senang hati hangout bersama Damas di klub langganan mereka. Seteguk dua teguk alkohol mampu membuatnya tertidur lelap meskipun tidak sampai mabuk.


 

Lalu Marvo, mereka jarang berkumpul karena sahabatnya yang satu itu sedang repot-repotnya mempersiapkan pernikahan. Marvo memang tidak turun tangan langsung, ada Wedding Organizer yang membantunya. Tapi tetap saja dia selaku yang punya acara juga sama repotnya.


 

Marvo bisa dibilang dari keluarga yang cukup mampu, dan mendapatkan pasangan yang sama statusnya dengan dia. Jadi bisa terbayang seperti apa hajatan yang akan mereka gelar mengingat kedua belah pihak keluarga sama-sama akan mengundang tamu yang tidak sedikit.


 

Jadilah hanya Damas yang selalu bisa ada ketika Dipta sedang suntuk. Karena memang cuma Damas yang kurang kerjaan dan hidup sembarangan. Damas sama seperti dirinya, berasal dari keluarga yang sederhana. Tapi yang membedakan mereka adalah Damas tahu kehidupan seperti apa yang dia impikan. Punya penghasilan sendiri, mandiri, dan hidup sesuai dengan keinginannya tanpa ada yang melarang.


 

Dipta terlalu ambisius untuk mencapai segala sesuatunya. Dia terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan dan terlalu gegabah tanpa benar-benar mempertimbangkan risikonya. Hasilnya dia berakhir dengan kegagalan yang meskipun jadi pelajaran kehidupan baginya tapi tetap saja dia tidak bisa memutar waktu kembali dan memperbaiki semua kesalahannya.


 

Pundak Dipta disentuh pelan oleh seseorang, lembut, nyaris tidak terasa malah. Dia menolehkan kepalanya ke belakang untuk menemukan siapa yang baru saja menyentuhnya. Wajah Dipta biasa saja, tapi dia sempat berkedip beberapa kali berusaha meyakinkan kalau matanya tidak salah melihat seseorang yang baru saja menyentuhnya itu.


 

“Dior….” Ujar Dipta pelan. Pandangan Dipta menelisik cinta masa lalunya itu dari atas kepala, turun ke bawah, ke perut Dior yang membuncit, kemudian kembali lagi menatap wajah wanita itu yang menurut Dipta tidak berubah sama sekali.  Dari segi apapun Dior tidak berubah, bahkan potongan rambut, selera pakaian dan makeup nya pun juga masih sama seperti yang dulu.


 

“Aku nggak tahu kalau kamu sudah kembali ke Indonesia…,” Kata Dior yang juga sama pelannya seperti Dipta. Dior kaget ketika mendapati Dipta duduk di salah satu kursi saat dia memasuki kafe. Dior tidak pernah berharap dia bisa bertemu dengan Dipta lagi setelah mengetahui kepergian lelaki itu dua tahun yang lalu. Dan kali ini tidak ada angin, tidak ada hujan, mereka kembali dipertemukan dengan keadaan yang berbeda.


 

Tidak ada ekspresi berarti dari Dipta. Lain dengan Dior yang masih berusaha mengatur keterkejutannya. Kalau kemarin saat bertemu dengan Mila dia masih baik-baik saja, tidak dengan Dipta. Lelaki di hadapannya ini adalah manusia paling baik yang Dior kenal.


 

“Kamu sibuk? Aku boleh duduk? Kita bisa sedikit berbincang. Mungkin, kalau kamu tidak keberatan…” Lanjut Dior dengan hati-hati. Dipta berpikir sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk menyetujui ajakan Dior.


 

Perlahan Dior menempatkan dirinya duduk di hadapan Dipta. Setelah membuat dirinya nyaman, dia mulai memberanikan diri menatap lelaki itu. Kesalahannya di masa lalu terlalu besar dan dia tahu tidak sepantasnya dia menampakkan diri di depan Dipta lagi. Harusnya dia pura-pura tidak mengenal Dipta dan pergi dari sana secepatnya. Tapi ada satu hal yang ingin Dior katakan, meluruskan kisah mereka yang selesai dengan cara yang menyedihkan, tentu saja karena ulahnya.


 

Mereka terdiam. Baik Dior maupun Dipta tidak ada yang bersuara hingga Dipta terlebih dahulu yang memecah keheningan diantara mereka.


 

“Kamu tidak seharusnya pergi-pergi dengan kondisi seperti ini, tanpa siapapun…” Kata Dipta tenang. Tidak ada amarah, tidak ada nada tidak suka ataupun kesan perhatian yang diberikan Dipta. Dia hanya berusaha membangun suasana dari kesunyian mereka.


 

“Cuma sebentar, ada yang mau aku beli. Tidak disangka bisa bertemu kamu di sini. Aku nggak tahu kalau kamu ada di Jakarta. Untuk liburan saja? Atau memang sudah kembali ke Indonesia?”


 

“Untuk saat ini di Jakarta. Sampai berapa lamanya belum tahu.” Hening kembali setelah Dipta menyelesaikan kata-katanya. Dior beberapa kali mengelus perutnya, dan tentu saja tidak luput dari pandangan Dipta.


 

“Kamu masih marah?” Tanya Dior hati-hati. Tapi Dipta menggeleng dengan senyuman.


 

“Untuk apa? Kita sudah punya kehidupan masing-masing…” Dipta meninggalkan Dior tanpa salam perpisahan sama sekali. Bohong kalau Dipta tidak marah. Dia hanya tidak bisa meluapkan kemarahannya pada Dior dan lebih memilih untuk memendamnya begitu saja.


 

“Ta, maafkan aku. Sungguh… Kita sedekat itu dulu sebelum aku berulah. Tapi aku juga dihantui rasa bersalah. Kamu satu-satunya orang yang selalu ada buatku…” Pinta Dior dengan sungguh-sungguh.


 

“Nyatanya aku nggak bisa membuat kamu tetap bersamaku walaupun kamu bilang aku satu-satunya orang yang selalu ada untuk kamu. Itu saja nggak cukup kan? Dior, semuanya sudah berlalu. Kalau ditanya marah, aku sudah nggak punya rasa marah ke kamu. Kecewa, pasti, dan masih sampai sekarang. Bagaimanapun juga aku pernah benar-benar tulus mencintai kamu…,” Dipta menghela nafasnya sebelum kembali melanjutkan kata-katanya.


 

“Aku sudah melupakan semuanya dan aku tidak mau mengingat kembali kejadian di masa lalu. Rasanya seperti mengorek luka lama dan terlalu menyakitkan. Aku mendoakan yang terbaik untuk kalian, jadi mau apa lagi? Kamu nggak bisa mengembalikan semuanya seperti semula karena memang sudah berbeda. Cukup jalani kehidupanmu dengan baik, begitu juga denganku, itu sudah cukup.”


 

Dior mengangguk mengerti. Dia cukup tahu diri. Dengan Dipta yang seperti ini saja sudah cukup baginya. Dia memang ingin mereka kembali bersahabat, tapi Dior juga sadar hubungannya dengan Dipta di masa lampau terlalu rumit untuk kembali menjadi sahabat. Dia harus puas dengan statusnya yang hanya dianggap sebagai kenalan. Itu pun masih bagus ketimbang Dipta pura-pura tidak mengenalnya.


 

“Aku bertemu Mila kapan hari…” Dipta memicingkan matanya menatap Dior tajam. Dior bisa menangkap raut tidak suka dari Dipta ketika dia menyebutkan nama Mila.


 

“Jangan macam-macam. Kalau kamu mengganggu Mila lagi aku tidak akan tinggal diam…” Suara Dipta berubah menjadi dingin dan berat, sanggup membuat tubuh Dior menggigil. Dia tersenyum miris.


 

“Untuk apa mengganggu Mila lagi? Aku sudah berubah, bukan Dior yang seperti dulu lagi. Dan Mila, tentu aku tidak akan mengganggu dia. Kamu sudah bertemu dengan Mila? Dia jauh berubah dari yang dulu kita kenal. Mila selalu cantik, tapi kemarin dia luar biasa menawan. Harus aku akui. Kita ada di level yang berbeda dari Mila. Aku jadi merasa bodoh karena pernah mengganggu dia.” Dior tertawa renyah, tapi tidak dengan Dipta. Lelaki itu hanya memandang Dior tanpa bisa dimengerti arti tatapannya.


 

“Dia selalu seperti itu, dan tidak pernah berubah…” Gumam Dipta tapi masih bisa terdengar oleh Dior.


 

“Jadi kamu sudah bertemu dengan Mila?” Ingatan Dior kembali saat dia tidak sengaja bertemu dengan Mila. Mulut Dior kembali terbuka hendak mengatakan sesuatu sebelum Dipta lebih dulu bicara.


 

“Bukan urusanmu Dior. Kamu tidak perlu tahu apa yang terjadi padaku, atau pun dengan Mila. Seperti yang aku bilang, kita punya kehidupan masing-masing… ” Dior mengangguk mengerti, dia mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya. Dipta benar, mereka sudah jauh berbeda sekarang dan tidak mungkin kembali seperti dulu lagi walaupun sekedar bersahabat.


 

“Kalau tidak ada lagi yang ingin kamu bicarakan aku harus pergi. Kamu tidak perlu aku antar kan? Aku harus kembali ke kantor.” Tanpa menunggu jawaban Dior, Dipta langsung bangkit berdiri dan meninggalkan Dior begitu saja tanpa menoleh lagi.


 

***

post-image-66d1535c4bea7.jpg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ternyata Kita Tetangga - 19. Rindu
12
1
Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. Dipta menganggap dirinya bertemu dengan teman lama, sedangkan Mila tidak pernah menganggap lelaki sebagai itu teman. Dipta tidak tahu saja kelakuannya ketika menolak Mila mentah-mentah sambil mempermalukannya di depan seluruh kelas dulu menjadi trauma tersendiri untuk Mila.Mila kira bertetangga dengan Dipta sudah merupakan kutukan yang dia terima, tapi ternyata masih ada hal yang lebih mengerikan lagi selain itu. Benar-benar mengerikan karena bisa membuat Mila yang tidak punya riwayat asma jadi sesak nafas seketika.Happy reading semuanya, jangan lupa love dan commentnya. Terima kasih
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan