Mentari Dipersimpangan Hati - Part 31 Serius

10
4
Deskripsi

“Sudah semua? Ini aja?” Tanya Melvin ketika mengangkat satu tas terakhir dan memasukkannya ke dalam bagasi.

“Iya, segini aja, orang cuma beberapa hari doang. Lagian aku sama Kai juga masih punya baju di sana,” Melvin mengangguk, lalu menutup bagasi mobilnya. “Kamu yakin mau berangkat malam-malam begini?” Tanya Mentari ragu-ragu ketika melirik jam yang ada di ponselnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat sedikit.

Mentari menatap Kai yang ada di belakangnya, sudah lengkap dengan baju tidur sambil...

Mentari kembali meringis, Melvin saja baru pulang dari kantor pukul delapan malam tadi. Mandi dan makan di tempat Mentari, kurang dari satu jam istirahat, dan sekarang mereka sudah bersiap-siap menempuh perjalanan jauh.

“Yakin kamu nggak capek?” Tanya Mentari yang langsung dihadiahi tatapan lembut Melvin.

“Tenang saja, kalau aku nggak mampu aku nggak akan memaksa untuk berangkat sekarang juga.” Melvin beralih ke kursi di samping kemudi, membukanya, dan mempersilahkan Mentari masuk, yang mau tidak mau dituruti juga oleh Mentari. Kemudian Melvin beranjak ke belakang kemudi dengan sedikit berlari.

“Siap? Kita berangkat ya?” Tanya Melvin antusias.

“Iya pa…” Kebalikan dengan Kai yang sudah lesu karena mengantuk. Kai langsung merebahkan tubuhnya di kursi belakang, memeluk bantal guling kecil yang sempat dia bawa dari rumah. Tidak butuh waktu lama, Kai sudah terlelap ke alam mimpi.

Melvin, lelaki ini tiba-tiba datang begitu saja dalam kehidupannya secara tidak sengaja. Kalau dalam mode waras, Mentari tidak akan membiarkan dirinya didekati oleh lelaki manapun. Menjaga jarak adalah cara teraman bagi Mentari untuk membuat hatinya tetap kuat. Baginya, jatuh cinta hanya akan berujung dengan menyakitkan.

Dia kembali mengingat kali pertama pertemuannya dengan Melvin malam itu. Siapa yang menyangka mereka bisa berada disini sekarang. Malam singkat itu jelas membawa Melvin masuk terlalu dalam pada kehidupan Mentari dan Kai, dan Mentari tidak menyesalinya.

Mempercayakan hatinya sekali lagi pada seorang lelaki ternyata tidak seburuk yang dia kira. Meskipun Mentari tidak tahu akan seperti apa perjalanan kisah mereka ke depannya, tapi untuk terakhir kalinya, dia ingin kembali percaya pada seseorang.

“Kalau kamu ngantuk tidur saja…” Kata Melvin. Mentari tersenyum kecil. Lihat kan bagaimana lelaki di sampingnya ini memperlakukannya dengan baik. Hal sederhana yang sudah mampu membuat hati Mentari menghangat.

“Kalau kamu capek, gantian nyetirnya sama aku…” Jawab Mentari yang diiringi dengan tawa Melvin.

“Mana mungkin, Solo nggak terlalu jauh. Kamu pikir aku mau nyetir dari Jakarta ke Bali apa pakai acara gantian segala.” Lagi-lagi Melvin terkekeh.

“Dulu aku pernah lihat ibu bantuin bapak ngurusin sawah waktu bapak sakit, atau bapak yang repot-repot masak di dapur kalau ibu nggak ada. Aku selalu berpikir kalau pasangan yang tepat itu yang seperti itu, saling menopang,” Ingatan Mentari melayang pada masa-masa kecilnya dan keluarganya yang begitu menyenangkan.

“Kamu nggak perlu melakukan semuanya sendirian. Punggung kamu punya batasan seberapa kuat dia sanggup menanggung, bahkan untuk hal terkecil dan ter-remeh sekalipun. Aku maunya berjalan sama kamu, bukan digendong sama kamu. Kita harusnya saling meringankan, bukan malah memberatkan.”

Mentari tahu sebesar apa usaha Melvin untuknya dan Kai. Dia tahu kalau hari ini Melvin mati-matian menyelesaikan semua pekerjaannya hanya untuk bisa berangkat malam harinya, supaya Kai bisa punya waktu lebih banyak di Solo. Buktinya sepanjang pagi hingga siang tadi Mentari tidak menerima telepon maupun pesan dari Melvin.

Melvin jemari Mentari dengan tangan kirinya yang bebas, menggenggam erat tangan Mentari sambil sesekali menatap Mentari.

“Kamu bisa romantis juga ternyata. Aku pikir nggak bisa…,” Melvin terkekeh. “Aku juga nggak mau gendong kamu Tar. Kai aja udah bikin aku sakit pinggang kadang-kadang.” Kata Melvin lagi. Hilang sudah mood Mentari. Melvin keterlaluan masih bisa bercanda di saat dia sedang bicara serius seperti ini. Mentari menarik tangannya dari genggaman Melvin, menghempaskan tangan Melvin jauh-jauh dari tubuhnya.

“Jangan pegang-pegang, nanti nggak konsen nyetirnya. Bahaya…” Kata Mentari jutek. Yang terdengar selanjutnya adalah Melvin yang berusaha menahan tawanya supaya tidak terlalu kencang. Dia masih ingat kalau ada Kai yang sedang tidur di kursi belakang.


 

***


 

Melvin membuka pintu belakang mobilnya, tempat Kai masih terlelap nyaman. Dia langsung memeluk Kai dan menggendongnya. Setengah sadar, Kai sempat terbangun sebentar dan menatap Melvin sebelum akhirnya meletakkan kepalanya di bahu Melvin dan kembali terlelap.

Hampir pukul lima pagi dini hari mereka sampai di Solo. Mentari sudah mengabari ibunya satu jam yang lalu kalau mereka akan segera sampai. Darsih dan Karso yang memang sudah bangun langsung membuka pintu ketika mendengar suara deru mobil di depan rumah.

Putri mereka datang, dengan seorang lelaki muda yang menggendong cucu mereka. Jagad sudah bercerita walaupun sedikit. Darsih pikir Mentari hanya sekedar baru dekat, namun melihat mereka datang bersama seperti keluarga bahagia, hatinya sedikit menghangat.

Mereka memang belum mengenal siapa lelaki yang akan diperkenalkan putrinya ini, tapi siapapun itu, kalau dia bisa mencintai putrinya dengan tulus, orang tua mana yang tidak bahagia. Apalagi tahu sendiri bagaimana watak Mentari yang luar biasa itu.

“Ibu pikir pagi ini baru berangkatnya, kok ndak kasih kabar kalau semalam berangkatnya.” Ujar Darsih ketika dia sudah ada dihadapan Mentari dan langsung memeluk putrinya.

“Berangkatnya malam sekali bu. Takut mengganggu kalau kasih tahu malam-malam. Pak…,” Mentari beralih pada Karso dan memeluk ayahnya. Mentari bisa melihat kedua orang tuanya memandang Melvin yang hanya bisa tersenyum.

“Kenalkan ini Melvin, pak, bu…” Darsih tersenyum penuh arti.

“Ayo masuk, masuk. Langsung ke kamarnya Tari saja, kasihan Kai masih ngantuk begitu.” Darsih berjalan menunjukkan kamar Mentari pada Melvin.

Dengan hati-hati Melvin membaringkan Kai diatas tempat tidur berukuran seratus enam puluh sentimeter itu. Kai menggeliat kecil, tangan satunya memeluk bantal guling kecilnya lebih erat sementara yang satunya lagi masih menggenggam baju Melvin, seolah tidak rela membiarkan Melvin pergi. Mau tidak mau Melvin terpaksa duduk diatas tempat tidur. Dia menarik selimut, menutupi tubuh Kai kemudian berusaha melepaskan genggaman Kai dari bajunya.

“Istirahat disini dulu saja sebentar sambil disiapkan dulu kamar tamunya. Ibu pikir kalian baru berangkat pagi nanti, jadi belum dibersihkan kamarnya. Maaf ya, rumahnya begini, seadanya, ndak kaya di kota.”

“Sudah dikasih tempat untuk menginap saja sudah terima kasih bu.” Melvin tertawa ringan. Tidak ada yang salah dari rumah ini, meskipun tidak sebagus rumah-rumah di kota, tapi rumah orang tua Mentari tidak seburuk itu.

“Kalau begitu ibu keluar dulu.” Darsih meninggalkan Melvin bersama Kai.

Melvin yang sudah berhasil melepaskan pegangan Kai langsung bangkit. Matanya berkeliling menatap kamar tidur Mentari yang begitu sederhana. Cat temboknya berwarna putih, hanya ada satu meja belajar yang tidak besar, namun penuh dengan buku-buku. Bisa ditebak Mentari memang suka membaca sejak kecil, dan kebiasaan ini menurun pada Kai.

Ada beberapa foto yang terpajang. Kebanyakan foto saat Mentari masih sekolah, dan Mentari banyak tersenyum disana. Hal yang Melvin kira langka karena dia jarang melihat Mentari tersenyum selebar itu. Dia pikir karena memang Mentari seorang Pengacara, jadi pembawaannya serius dan tenang.

Setelah puas, Melvin beranjak dari sana, menghampiri Mentari yang sedang duduk bersandar di sofa sambil memainkan ponselnya. Melvin ikut duduk di samping Mentari.

“Kamu nggak jadi istirahat? Ibu bilang kamu istirahat di kamarku tadi…” Kata Mentari namun tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Melvin menggelengkan kepalanya seolah Mentari bisa melihat.

Dari posisinya Melvin bisa melihat apa yang sedang Mentari lakukan pada ponselnya. Membuka email, membaca sesuatu, yang pasti Melvin bisa melihat banyak tulisan disana. Dia menghela nafasnya, sepagi ini dan Mentari sudah seproduktif ini untuk bekerja, padahal kan hari ini dia sedang cuti juga.

“Kamu kerja?” Tanya Melvin. Tidak ada jawaban dari Mentari, namun beberapa detik berikutnya Mentari sudah menutup ponselnya dan menatap Melvin.

“Cuma baca beberapa berkas perkara yang baru. Hari Senin nanti aku mau ketemu dengan kliennya. Kalau nggak ngerti masalahnya apa yang mau aku bela nanti.” Mentari menguap, menutup mulutnya dengan tangannya.

“Kamu sibuk banget…” Gumam Melvin kecil. Dia juga mengantuk sebenarnya, tapi mau tidur juga sudah tanggung karena ini sudah terbilang pagi hari.

“Kadang sibuk, kadang nggak, tapi lebih banyak sibuknya. Kamu keberatan kalau aku sibuk begini? Jangan bilang kamu mau melarang aku kerja kalau kita sudah menikah nanti?” Entah mengapa mulut Mentari melontarkan pertanyaan itu begitu saja. Melvin menggeleng lemah.

“Aku nggak masalah kalau kamu mau berhenti bekerja, aku juga nggak masalah kalau kamu masih mau tetap bekerja. Apapun yang membuat kamu bahagia, lakukan, selama itu positif aku pasti akan selalu mendukung.” Mentari terkekeh. Melvin membelai rambut Mentari, sembari memainkannya. Menggulung-gulung kecil rambut Mentari dengan jarinya.

“Kamu bisa serius juga, kirain cuma bisa bercanda…” Ujar Mentari sambil tertawa kecil. Tangan Melvin berhenti memainkan rambut Mentari.

“Kalau aku bisanya bercanda doang nggak mungkin aku gerak cepat mau menikahi kamu…” Melvin mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Mentari hingga jarak wajah mereka begitu dekat. Mentari bisa merasakan hembusan nafas Melvin di wajahnya.

“Vin…,” Ujar Mentari pelan ketika melihat wajah Melvin makin mendekat, namun tidak digubris oleh lelaki itu. Melvin malah makin memajukan wajahnya.

Mentari tentu saja panik. Mereka sedang ada di rumah orang tuanya, pagi-pagi, dengan kondisi kedua orang tuanya sudah terjaga dan ada di sekitar mereka. Melvin malah dengan beraninya melakukan hal yang bisa membuat alarm tanda bahaya Mentari berbunyi nguing-nguing begitu kencang.

  “EHEEEEMMMM!!!!” 

Gerakan Melvin terhenti tepat ketika sedikit lagi bibirnya dapat menyentuh bibir menggoda Mentari. Dia bisa melihat wajah Mentari yang langsung memucat.


 

***

post-image-66d0b57b4f5ce.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mentari Dipersimpangan Hati - Part 32 Restu
13
2
Mentari menghela nafas, padahal yang dia lakukan hanya mencuci piring-piring bekas mereka sarapan tadi. Dia memejamkan matanya ketika teringat kejadian tadi pagi saat Melvin dan dirinya kepergok bapak hampir berciuman di ruang tamu. “Aaarrrggghhh…” Desah Mentari frustasi. Dia ingin menjerit melampiaskan emosinya, namun tidak mungkin juga disini. Yang ada dia dianggap gila oleh tetangga-tetangga mereka nanti.“Kalau capek ya istirahat saja. Sini biar ibu yang bersihin.” Darsih tiba-tiba saja sudah ada di samping Mentari, memaksa putrinya untuk sedikit bergeser, kemudian mengambil alih spons dari tangan Mentari.“Nggak apa-apa bu, biar Tari saja.” Mentari yang hendak mengambil lagi spons cuci piringnya malah dihalangi oleh Darsih.“Sudah ndak masalah, ibu tahu kamu capek. Ke depan saja sana, bapak sudah mau berangkat, kamu bawain makanan yang tadi sudah ibu siapkan.”Mentari tertunduk lesu. Dia jadi sungkan bertemu dengan ayahnya karena kejadian tadi. Karso sama sekali tidak memarahi mereka, tapi justru itu yang membuat dia makin tidak enak hati. Ayahnya memang mengerikan kalau sedang marah, tapi Mentari tahu kalau Karso jauh lebih mengerikan ketika tidak bisa lagi marah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan