
Karel jatuh cinta pada Hanina, perempuan yang terlalu tinggi untuk diraih oleh seorang anak pembantu seperti Karel. Dunia hanya akan berbaik hati pada mereka yang memiliki segalanya, bukan pada seorang lelaki seperti Karel.
Disaat Karel kira Nina juga menaruh rasa padanya, nyatanya lelaki itu hanya dipermainkan. Yang Nina tidak tahu adalah dia tidak boleh bermain dengan hati seorang lelaki seperti Karel. Sekali terluka, tidak akan bisa terobati.
Marah, dendam, sedih, semua jadi satu memuncak di dada...
Aku menatap beberapa berkas yang baru saja sampai di tanganku. Hasil pencarian dari orang kepercayaanku. Setelah sekian lama berpisah, akhirnya kami bertemu kembali. Perempuan itu, dia masih saja bisa angkuh dengan keadaannya yang sekarang?
Setelah semua yang dimiliki keluarganya habis, aku harus mengacungkan jempol dia masih baik-baik saja. Menjadi salah satu Asisten Manajer di perusahaan yang cukup bonafit. Bahkan saat dia melihatku, raut wajahnya sama sekali tidak menampakkan keterkejutan.
Hanina Olivia, pengendalian diri perempuan itu memang bukan kaleng-kaleng. Sebenarnya aku sudah melupakannya sejak lama. Mengubur semua tentang Nina, menganggap kalau perempuan itu sudah mati. Namun takdir sepertinya mempermainkan kami.
Bertemu kembali dengan Nina membuat aku semakin merasa kalau Tuhan sedang berpihak kepadaku, atau memang berpihak padaku setelah semua yang kulalui. Yang awalnya aku ingin melupakan semuanya jadi membuatku tertantang untuk mendapatkan Nina kembali. Perempuan angkuh yang tidak bisa hidup tanpa uang.
Aku kembali membaca beberapa informasi tentang Nina. Lulus dari universitas ternama di Jakarta dengan nilai yang lumayan bagus. Mengawali karir dari bawah hingga bisa seperti sekarang, rekam jejak yang bagus. Kehidupan yang cukup bagus sebenarnya, hanya saja terlalu biasa untuk Nina.
Aku melewatkan masa-masa kebangkrutan keluarga Nina karena aku sendiri juga sedang sibuk merintis beberapa bisnisku. Bisnis yang akhirnya berkembang pesat dan membawa aku bertemu kembali dengan cinta masa laluku.
Bergerak di bidang investasi dan pengelolaan dana, sangat amat kebetulan perusahaan tempat Nina bekerja mempercayakan pengelolaan dananya pada perusahaan ku. Itu artinya kami akan sering bertemu.
Ah, aku lupa. Mungkin Nina belum tahu kalau aku pemilik saham terbesar di perusahaan ini. Mungkin Nina pikir aku sama sepertinya, pekerja biasa. Aku tertawa sumbang saat membayangkannya.
“Nina, Nina, otak kamu memang gak pernah berubah dari dulu…” aku bergumam kecil.
Hanina Olivia, perempuan yang tujuh belas tahun lalu sudah mencuri perhatian dan perasaanku saat pertama kali kami bertemu. Dia perempuan yang paling cantik menurutku. Semua yang ada pada Nina sempurna. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi bertengger manis menghiasi wajahnya yang mungil.
Kulitnya putih, bersih, rambutnya hitam panjang bergelombang, kontras dengan kulitnya. Mata indah Nina adalah yang paling aku suka. Mata itu hitam pekat, begitu dalam seolah mampu menarik siapa saja yang menatapnya untuk masuk.
Nina punya sifat pemberani, dia tidak pernah takut pada apapun. Disaat perempuan-perempuan lain seusianya terlalu banyak mencari perhatian kaum Adam, tidak demikian dengan Nina. dia tidak perlu repot-repot mencari perhatian karena dunia berputar di sekeliling Nina.
Nina berasal dari keluarga yang berkecukupan, sangat malah. Ayahnya memiliki beberapa bisnis yang cukup terkenal di tanah air. Pertama kali aku bertemu dengan Nina, tujuh belas tahun lalu saat aku dibawa ibuku ke Jakarta. Saat itu usiaku baru enam belas tahun.
Ayahku sudah tiada sejak aku berusia lima tahun. Selama ini ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, di kediaman Nina. Kenakalan remaja membuatku terbaring koma selama satu tahun karena kecelakaan akibat balapan motor liar.
Karena itu ibuku tidak tenang meninggalkan aku bersama dengan kakek nenekku lagi. Jadi dengan izin Dewandaru, ayah Nina sekaligus majikan ibuku aku boleh ikut serta tinggal disana.
Aku pikir mungkin aku tidak akan melanjutkan sekolah lagi. Membantu ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga disana. Ibuku berjanji akan menyekolahkanku nanti. Dia akan mencarikan sekolahan untukku.
Namun ternyata sekali lagi, katakanlah aku orang yang beruntung. Dewandaru, lelaki tegas dengan wajah yang menakutkan itu dengan sukarela menyekolahkanku di sekolah yang sama dengan putrinya, Nina. Bukan sekolah biasa karena ini sekolah swasta terbaik dengan fasilitas dan biaya yang tidak main-main.
Ketika menginjakkan kaki di kediaman Dewandaru, aku terkagum-kagum. Rumah ini untuk ukuran orang kaya memang tidak besar, tapi bagiku ini luar biasa besar. Orang pertama yang menyambut kami adalah anak perempuan berusia lima belas tahun. Hanina.
“Kata Papa Bu Yuli pulangnya minggu depan. Kok sekarang udah disini?” suara Nina tidak lembut seperti kebanyakan perempuan lain. Nina punya suara yang sedikit cempreng dan besar, namun tegas di setiap katanya.
“Nggak jadi non, terlalu lama kalau minggu depan.” ibuku menjawab dengan sopan.
“Syukur deh! Aku pusing ngurusin semuanya sendiri. Mbak Icha nggak ngerti masak makanan yang bisa aku makan. Heran deh dia bisanya apa sih!” Aku tahu Nina kesal, tapi entah mengapa dia jadi terlihat semakin cantik di mataku.
Ibuku hanya tersenyum kecil. Sebelumnya aku sudah diberitahu kalau putri Bapak Dewandaru punya sifat yang sedikit tempramental. Mungkin karena kesepian karena Nina adalah anak satu-satunya, sudah ditinggal ibunya saat bertaruh nyawa melahirkannya. Jadi jangan heran kalau perempuan cantik ini kekurangan kasih sayang seorang ibu.
Pandangan Nina beralih padaku. Sepertinya dia sudah mulai menyadari keberadaanku yang ada di belakang ibuku. Tubuhku tidak pendek, jadi seharusnya dia sudah melihatku sejak tadi.
“Ini anaknya Ibu? Yang kecelakaan itu?” ibuku mengangguk, kemudian menyuruhku untuk sedikit maju dan memperkenalkan diri pada Nina. Aku bingung harus bagaimana aku memperkenalkan diri. Menjabat tangannya? Ah, aku hanya seorang anak pembantu, yang mungkin akan segera jadi pembantu Nina juga.
Tapi diluar pemikiranku, Nina lebih dulu mengulurkan tangannya padaku. Tangan itu begitu ramping dan rapi. Ya Tuhan, aku baru kali ini melihat wanita secantik ini. Langsung saja aku menyambut uluran tangannya.
Ada yang menggelitik perasaanku ketika melihat tangan kami berjabat tangan. Nina dengan kulit putihnya, sementara aku dengan kulit hitamku. Sangat tidak cocok.
“Hanina Olivia, kamu siapa?” pertanyaan Nina membuyarkan lamunanku. Aku menatap manik gelap itu.
“Karel Yunanda.” tepat ketika aku selesai mengucapkan namaku, Nina melepaskan tangan kami. Membuat aku merasakan kehilangan, namun buru-buru aku tutupi raut kecewaku. Tidak pantas aku kecewa.
“Bu, nanti masakin Nina ya, nggak usah banyak-banyak. Papa nanti sore berangkat ke Singapura soalnya. Jadi buat kita makan aja. Aku udah malas lihat Mbak Icha yang masak. Nggak karu-karuan bentuknya bikin nafsu makan hilang.” lagi-lagi raut kesal itu terlihat jelas di wajah Nina.
“Nanti Ibu bikin makanan kesukan non ya. Udang goreng tepung sama sop ayam mau?” Nina langsung mengangguk antusias. Tanpa berkata apa-apa dia langsung berlalu begitu saja, menuju lantai dua tempat kamarnya berada.
“Kita ketemu Bapak dulu di ruang kerjanya ya. Itu tadi non Nina, mata kamu jangan jelalatan begitu. Nggak enak nanti kalau kelihatan sama Bapak.” Aku cukup terkejut, ternyata Ibu mengetahui kalau pandanganku tidak bisa lepas dari Nina.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Nina. Kemudian aku bertemu dengan Dewandaru, ayah Nina. Lelaki yang dengan baik hatinya menyekolahkan ku di sekolah yang sama dengan putrinya. Naik mobil diantar oleh supir dengan Nina, dan menghabiskan banyak waktu bersama Nina karena kami satu sekolah dan satu rumah.
Di rumah itu juga aku disediakan kamar sendiri. Kamar yang sangat amat memadai menurutku. Ukurannya dua kali dua meter dengan tempat tidur, lemari dan meja belajar, dan jangan lupakan pendingin ruangan. Kamar yang terlalu mewah untuk seorang pembantu.
***
Ada dua orang pembantu rumah tangga di rumah ini. Ibuku dan juga Mbak Icha. kemudian seorang supir bernama Pak Kus yang memang khusus ditugaskan mengantar jemput Nina dengan semua kegiatannya.
Kalau ditanya seberapa kaya keluarga Nina, maka jawabanku adalah cukup kaya untuk memanjakan Nina. Namun kalau dibandingkan dengan yang lain, tentu yang jauh lebih berada dari keluarga Nina juga banyak.
Hari pertama bersekolah, karena kemurahan hati seorang Dewandaru aku bisa ikut masuk ke sekolah ini. Aku sudah mengenakan pakaian seragam lengkapku. Seragam khas anak SMA, putih abu-abu. Di hari-hari tertentu kami menggunakan seragam yang telah ditentukan sekolah. Ini yang jelas-jelas membedakan kami dengan anak-anak sekolah lainnya.
Ini baru pukul enam lewat lima menit, tapi aku sudah selesai sarapan. Aku pikir aku harus berangkat lebih dulu supaya tidak terlambat. Jarak dari sini ke sekolah lumayan jauh. Butuh waktu kurang lebih setengah jam pergi menggunakan kendaraan umum. Aku harus berjalan kaki lumayan jauh untuk bisa sampai ke depan perumahan dan menemukan kendaraan umum. Ibuku tentu sudah tidak mengizinkanku mengendarai motor lagi. Selain belum cukup umur juga dia pasti trauma setelah apa yang terjadi menimpaku saat itu.
Aku berjalan ke depan. Sekilas aku bisa melihat Nina duduk sendiri dengan sepiring roti tuna yang sudah habis dan segelas susu rasa kopi yang tinggal setengah. Pelan-pelan aku melangkah supaya tidak mengganggu Nina. Jujur aku sedikit takut dengan Nina. Dia bukan seperti anak perempuan kebanyakan, Nina punya aura yang mendominasi semua yang berada di dekatnya.
“Mau kemana?” suara Nina terdengar di telingaku saat aku sudah lumayan jauh dari tempatnya duduk. Aku berbalik, menoleh kebelakang dan terdiam sejenak.
“Ke sekolah.” jawabku singkat. Nina mengerutkan keningnya, menatapku tajam sambil menyipitkan mata.
“Pagi-pagi begini? Sendiri? Nggak tunggu aku?” kini gantian aku yang bingung.
“Non Nina berangkat dengan Pak Kus kan? Untuk apa saya tunggu? Nanti saya bisa kesiangan dan terlambat.” aku mendengar Nina tertawa dengan renyah. Membuatku malah semakin bingung.
“Kita kan satu sekolah, ngapain kamu mau berangkat sendiri? Bareng saja dengan Pak Kus,” Nina bangkit berdiri, mengambil tas dan semua barang bawaannya. Dia berjalan ke arahku dan melewatiku begitu saja. Baru beberapa langkah dia berbalik menghadapku. “Satu lagi, jangan panggil non. Panggil Nina saja. Kamu nggak mungkin manggil aku dengan sebutan itu di sekolah. Cukup di depan Papa saja…” Nina berbalik, lagi-lagi meninggalkanku sendiri. Tapi aku ingat jam semakin berdetak. Buru-buru aku melangkah dengan lebar menyusul Nina. untungnya aku bersyukur memiliki kaki yang panjang.
Nina masuk ke dalam mobil, duduk di kursi belakang. Sementara aku masuk dan duduk di samping Pak Kus. Lelaki yang berusia kurang lebih lima puluh tahunan itu tersenyum padaku. Yang aku tahu semua yang bekerja di rumah ini sudah cukup lama. Rata-rata semenjak Nina masih kecil.
Baru-baru ini pengasuh yang mengasuh Nina sejak Nina lahir baru saja mengundurkan diri, pensiun dan pulang ke kampung halaman karena sudah terlalu renta. Semenjak itu Nina jadi sedikit tempramental. Mungkin merasa kehilangan setelah seumur hidupnya bersama dengan pengasuhnya.
“Non berangkatnya bareng sama Karel? Pulangnya nanti bagaimana non? Jadwalnya memang sama?” tanya Pak Kus hati-hati sambil melajukan mobil.
“Kalau sama yang bareng aja Pak, beda sebentar ya tungguin aja. Kalau Karel mau pulang sendiri atau duluan ya terserah.” jawab Nina cuek.
“Kalau bisa ikut saya numpang Pak. Kalau non Nina pulang duluan ya tinggal saja sayanya. Makasih ya Pak.” jawabku dengan tidak enak hati. Aku tahu dan sadar dengan statusku disini.
Dua puluh menit kami sampai di sekolah. Masih satu setengah jam lagi sebelum kelas dimulai. Aku turun dari mobil, mengekori Nina di belakang. Mungkin karena risih atau tidak terbiasa dia langsung berbalik dengan cepat menghadapku.
“Ruang Tata Usaha di sana!” tunjuk Nina pada sebuah bangunan yang ada di depan sekolah. “Jangan panggil aku non di sekolah. Just Nina ok? Jangan permalukan diri kamu di sini. Ini bukan sekolahan biasa. Nggak seperti yang ada di dalam otak kamu. You need to survive, dan aku nggak bisa bantu kamu terus.”
Nina melangkah dengan cepat. Tanpa harus dia peringatkan juga aku tahu sekolah ini bukan sekolah biasa. Bukan tempat dimana aku seharusnya berada. Jujur, aku ingin menolak kebaikan ayah Nina menyekolahkanku di tempat ini, tapi aku juga tidak enak hati menolaknya.
“Baiklah Karel, kita lihat sampai sejauh mana kamu bisa bertahan di sini…” aku bergumam kecil pada diriku sendiri. Kemudian berjalan ke tempat yang tadi diberitahu Nina. Sementara wanita itu, aku sudah tidak melihatnya sama sekali.
“Selamat pagi Pak, saya murid baru di sini.” lelaki tua itu langsung mengangkat kepalanya yang sedang menunduk. Aku yakin tidak banyak murid baru saat ini karena ini bukan kenaikan kelas, hanya pergantian semester.
“Karel Yunanda? Yang didaftarkan oleh Bapak Dewandaru?” lelaki itu bertanya. Aku langsung mengangguk, kemudian dia menghampiriku. “Masuk dulu dan tunggu di sana ya, nanti masuk kelasnya dengan wali kelas saja sekalian diperkenalkan. Kamu bisa baca-baca dulu tata tertib dan peraturan yang ada. Siapa tahu belum dibaca semua karena kamu mendadak sekali daftarnya ini kalau saya lihat.” aku tersenyum kikuk.
Kalau bukan karena uang, mana mungkin bisa mendaftar sekolah dengan semudah ini. Tidak ada persyaratan khusus yang diperlukan. Hanya data diri dan tes masuk singkat sebagai formalitas.
Untuk yang ini aku akui, aku memang termasuk pintar tapi bukan yang jenius. Aku masih bisa meraih nilai delapan puluh tanpa belajar, hanya modal mendengarkan apa yang diterangkan oleh Guru.
Sambil menunggu aku bisa sambil melihat-lihat di ruangan tersebut. Ada beberapa gambar yang menerangkan sejarah sekolah ini. Kemudian beberapa piala dari murid-murid yang berprestasi. Terpampang jelas dan banyak. Bukan sembarangan, tapi piala dari turnamen bergengsi baik di bidang akademik maupun non akademik, nasional maupun internasional.
Aku menghela nafas. Pembelajaran di sini pasti akan jauh lebih sulit. Aku hanya berharap aku bisa mengikuti semuanya setelah satu tahun tidak bersekolah. Paling tidak aku tidak ingin mengecewakan orang-orang disekitarku.
***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
