
Jadi ini adalah special chapter atau mini extra part yang menampilkan interaksi Dian-Yoga setelah Little Baby tamat. Kalau kalian udah baca Extra Part di E-Book pasti nyambung dengan yang ini. >.<
Happy Reading!
MENDAPATI kenyataan bahwa ia harus memiliki kakak seperti Alin adalah sebuah kesialan. Begitu yang Dian rasakan selama hampir seperempat abad ia hidup di dunia. Dian merasa kodrat dirinya dengan Alin sudah tertukar entah sejak kapan. Sebagai adik, dia lebih sering mengalah dan Alin tidak pernah merangkulnya seperti seorang kakak.
Orang-orang berkata, tidak ada yang akan menolongmu selain saudara sedarahmu sendiri maka dari itu sebenci apa pun kamu dengan adik atau kakakmu, jangan pernah menyimpan dendam. Jika Dian mendengar kalimat itu, dia tidak akan ragu untuk berteriak bahwa kalimat tersebut adalah omong kosong belaka, sebelum akhirnya ia mendapati bahwa kakaknya bukan cuma Alin.
Hidup dengan sosok pria seperti sang Ayah membuat Dian bersyukur tak memiliki saudara laki-laki selain Gathan, sebab Dian tidak akan bisa membayangkan bila ada sosok lain dari Pradipto dihidupnya hingga pertemuan dia dengan Edgar mengubah segalanya.
Dari pria yang kini bisa ia sebut dengan lantang sebagai suami, Dian akhirnya bertemu dengan Yoga. Tidak pernah terbayangkan bahwa orang yang menolaknya mati-matian untuk menikah dengan Edgar adalah kakak kandungnya sendiri. Begitu pula tak terbayangkan bahwa Yoga adalah penyelamat hidupnya ketika ada di ujung tanduk.
Apakah ini rasanya dilindungi? Apakah ini rasanya disayang? Apakah ini rasanya diperhatikan? Semua berkumpul dibenak Dian dalam waktu bersamaan. Dia ingin menyangkal setengah mati namun hati tidak bisa berbohong. Semirip apa pun fisik Yoga dengan sang Ayah, siapa pun setuju bahwa Yoga 100 kali lipat lebih baik daripada Pradipto.
"Mas," panggil Dian.
"Kenapa?" jawab Yoga, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Mas," ulang Dian.
"Apa?" sahut Yoga, acuh tak acuh.
"MAS!"
"AKH--apa, sih?" Akhirnya Yoga menurun ponselnya setelah Dian menendang kaki pria itu.
Dian berdecak lalu melipat tangannya sambil menatap kesal pria yang duduk di hadapannya. Meja makan di antara keduanya berhasil menahan perang kakak-beradik tersebut.
"Lagian kalau orang manggil itu nyahut yang bener. Jangan sambil main ponsel! Coba kalau aku atau Edgar yang begitu, pasti Mas bakal ngomel, kan!" semprot Dian, tak mengindah perbedaan usia mereka.
Yoga menghela napas. "Kamu dengar tadi Mas udah bilang apa? Kamunya aja yang bertele-tele."
"Lho, kok jadi aku? Mas dong yang salah." Dian bersikukuh.
"Mana ada? Kalau mau ngomong, ya ngomong aja," kata Yoga.
"Aku nggak mau ngomong kalau lawan bicaraku nggak fokus apalagi sambil main ponsel. Nggak sopan tahu!" seloroh Dian, alisnya naik turun mengikuti pergerakan bibirnya.
"Udah. Jangan berantem terus." Suara lembut nan menyejukan itu datang menyudahi perkelahian kecil mereka.
Retna menahan Yoga untuk membalas ucapan Dian. Wanita itu berdiri di sampingnya suaminya dan memberi isyarat bahwa dia harus mengalah seperti yang selalu Yoga ajarkan pada anak-anaknya.
"Ngalah aja, Mas. Lagian emang nggak sopan main ponsel sambil ngobrol," ucap Retna, dengan nada lebih lembut.
"Mas Yoga itu emang ngeselin! Kok Mbak Retna mau menikah sama dia, sih? Mbak kebagusan tahu buat dia," tanya Dian.
Ibu dua anak itu hanya tersenyum. "Rahasia."
"Yang harus dipertanyakan itu kenapa Edgar mau sama kamu? Kamu itu terlalu aneh buat dia," balas Yoga.
"Ih, enak aj—"
"Udah, udah. Daripada ribut terus, mending Mas sama Dian ke supermarket beli daging sama sayuran. Tadi kurang slada sama bawang bombay," ujar Retna.
"Ih, males kalau sama dia," seru Dian.
"Pakai Go-Yur aja, Na," kata Yoga, menolak halus permintaan istrinya.
Retna tahu keduanya akan menolak serentak tetapi dia ingin kakak beradik itu lebih akur sedikit. Wanita itu merangkul suaminya lalu memegang pipi Yoga supaya pria itu melihatnya yang sedang berdiri.
"Aku minta tolong. Kan, Mas yang paling tahu bahan-bahan apa yang sering aku pakai buat masak. Ya, Mas? Apa aku perlu ikut juga?" pinta Retna. Hanya dengan satu mimik wajah, wanita itu langsung mendapat anggukan dari sang suami.
Yoga menggeleng. "Nggak usah. Kamu lagi hamil, jangan kebanyakan pergi-pergi. Mau beli apa lagi selain itu?"
Mana bisa ia menolak permintaan Retna. Itu sulit apalagi jika sang istri menyelipkan serangan manja diantara tutur katanya, ditambah kabar gembira beberapa minggu lalu yang menyatakan bahwa Retna tengah mengandung membuat Yoga jadi semakin protektif.
"Udah itu aja. Makasih, sayang." Retna menghadiahi satu kecupan di dahi suaminya.
Jujur Dian sudah sering melihat kemesraan antara kedua kakaknya itu disetiap kesempatan bersama. Rasa ingin menggoda Yoga naik berkali-kali lipat kala pria itu berusaha menahan mimik wajahnya untuk tetap biasa saja saat bersama Retna. Padahal Dian tahu seberapa besar keinginan Yoga untuk bermanja dengan istrinya.
Gengsi terus yang digedein. Begitu Dian mencibir dalam hati.
"Dian, Mbak minta tolong juga, ya."
Dian mengangguk. "Iya, Mbak tenang aja. Biar aku yang beliin."
Yoga bangkit dari kursi setelah mengantungi ponselnya. "Lima menit nggak keluar, Mas tinggal."
Dian menahan untuk tidak membalas. Dia tak enak hati dengan Retna. Wanita itu lalu buru-buru mengambil tas dan menyusul Yoga keluar.
"Tungguin, woi!"
Retna hanya memandang interaksi kakak beradik itu dengan senyum geli. Dia paham keduanya saling menyayangi tetapi dengan kepribadian seperti Dian dan Yoga, tentu saja tidak ada yang berani mengutarakan lebih dulu.
Sudah setahun berlalu semenjak insiden balas dendam Yoga pada Pradipto. Retna bersyukur keluarganya semakin akur dan bahagia.
•••
"Kamu itu tahu bentuknya slada nggak, sih?" tanya Yoga, sambil memegang sebungkus sayuran yang Dian sodorkan.
"Itu yang aku kasih," kata Dian.
Yoga hanya mengembuskan napas. Lelah, gregetan, kesal menjadi satu emosi.
"Salah. Ini lectus. Jelas beda sama slada yang hijaunya lebih pekat," ujar Yoga, kemudian menaruh kembali sayuran tersebut dan mengambil slada.
"Ooh, begitu. Aku kira sama kayak sayuran yang ada di kebab," ucap Dian, sedikit merasa malu tapi tak peduli juga.
"Ya, itu di kebab namanya slada."
"Ya, udah. Nanti aku beli buku jenis-jenis sayuran," sahut Dian, sambil melihat-lihat wortel.
"Kamu itu kalau dibilangin ada terus jawabannya," ucap Yoga, seraya mengacak-acak rambut Dian.
"Woi, woi! Berantakan, ih. Mas nyebelin banget." Dian kembali merapikan rambutnya dan jalan mengikuti Yoga.
Punggung pria yang dibalut kaus polos abu-abu itu mengalih pikiran Dian. Dulu sekali dia pernah membayangkan bagaimana rasanya punya kakak laki-laki? Akankah dia perlakukan lebih baik? Akankah dia mendapat pembelaan jika dimarahi Pradipto? Bagaimana rasanya jika Yoga saja yang tumbuh bersama dirinya dan bukan Alin?
Sungguh Dian penasaran, bagaimana rasanya menjadi adik kecil Yoga? Perbedaan usia mereka cukup jauh. Bukankah lucu jika Yoga remaja menggandeng tangan kecilnya? Apa jadinya Dian jika ia tumbuh bersama Yoga? Akankah mentalnya sekuat Edgar atau justru dia akan menjadi gadis baik-baik?
"Gimana rasanya, ya ...," gumam Dian.
"Rasa apa?" Yoga menoleh.
Dian terperanjat. Dia sudah berkhayal jauh sekali. Kemudian wanita itu hanya menghela napas dan menggeleng.
"Nggak ada."
Mendengar jawaban Dian, Yoga kembali berjalan sambil membawa keranjang belanjaan. Tetapi bukan Dian namanya jika hanya berdiam diri, rasa penasarannya harus dituntaskan. Ada banyak pertanyaan untuk Yoga yang ia tahan sejak setahun lalu.
"Mas sebenarnya udah tahu aku ada dari lama, kan?" tanya Dian, dia berjalan cepat untuk menyejajarkan langkah Yoga.
Pria itu menoleh lalu mengangguk.
"Terus kenapa Mas nggak pernah datangi aku?" tanya Dian, lagi.
"Mas nggak tahu kamu yang mana. Mas cuma tahu dia punya tiga anak. Satu laki-laki dan dua perempuan," kata Yoga, pria itu berhenti di depan koleksi daging segar.
Mendengar pernyataan Yoga, tak bisa dipungkiri Dian merasa sedikit kecewa.
"Mas lebih baik nggak tahu anak-anak dia. Karena Mas nggak mau jadi kasihan dan mengikhlaskan apa yang udah dia lakukan ke Mas," lanjut Yoga, memberi penjelasan. Mata pria itu fokus menyortir daging mana yang ingin dibeli.
"Padahal mungkin aja kehidupanku akan lebih baik kalau dari awal ... aku tahu, aku punya Mas Yoga," ujar Dian, pelan seraya memainkan pecahan es batu pendingin daging segar.
Yoga menoleh, dia kembali menaruh bungkusan daging sapi ditumpukan es batu. Sesungguhnya dia pun memikirkan hal yang sama. Kemungkinan-kemungkinan yang selalu ia bayangkan apabila memilih berdamai lebih awal dengan Pradipto dan menjalin hubungan akrab dengan Dian, Alin, atau bahkan Gathan. Tetapi hatinya tidak seluas itu.
Melihat Dian sekarang, dia baru sadar jika bukan hanya dirinya yang sengsara. Adik perempuannya pun juga. Jika saja dia bisa bersama Dian seperti Edgar, mungkin memang benar kalau kehidupan Dian pasti akan jauh lebih baik.
"Emang kamu senang punya kakak kayak Mas?" tanya Yoga, seraya menatap adiknya.
Dian mengangkat tangannya dari es batu. "Kalau bisa memilih aku penginnya ketemu Mas dulu, baru Edgar."
"Kenapa?"
Kenapa? Dian bahkan tak tahu jawabannya. Dia ingin bersama Yoga lebih awal. Mungkin ketika ia memasuki usia kepala dua atau disaat hidupnya mulai berantakan dan hilang arah. Dia ingin mencurahkan isi hatinya kepada orang yang tulus peduli padanya.
"Entah." Dian mengangkat kedua bahunya. Dia memalingkan tatapannya ke arah lain.
"Karena kamu sayang Mas?"
Dian sontak menoleh dan ingin membantah tetapi entah mengapa ada gejolak dihatinya yang sulit ia kendalikan. Dia terharu karena tebakan Yoga benar.
"Mas apaan, sih?! Masa ngomongin beginian di supermarket," sungut Dian.
"Lho? Kamu yang mulai," balas Yoga.
Dian hanya berdecak. Dia memilih asal daging segar kemasan dan memasukan ke keranjang belanjaan. Dian tak mau Yoga melihat matanya yang berkaca-kaca. Dia sangat menyayangi Yoga, sama besarnya kepada Edgar dan Gauri.
"Mas juga sayang sama kamu, Dian."
Sudah. Sudah lolos air mata yang Dian tahan ketika Yoga merangkul dan membawa ia ke pelukan pria itu. Ini bukan seperti dipeluk Edgar yang penuh cinta dan nafsu. Kali ini rasanya seperti dilimpahkan kasih sayang tanpa takut kehilangan.
"Mau kamu jadi pecicilan seumur hidup, Mas akan tetap sayang kamu. Kamu bahagia, sedih, kecewa, senang, Mas juga akan selalu ada buatmu. Kamu bisa jadi apa pun di depan Mas tanpa takut dihakimi," ucap Yoga. Baru kali ini Dian merasa senang sekali dengan ucapan Yoga. Tidak dengan nada datar atau acuh tak acuh seperti biasa.
"Jangan... bilang Edgar... aku nangis di sini," ujar Dian, sambil terus menangis.
Yoga tersenyum geli. "Dia juga bakal tetap cinta walaupun tahu kamu nangis di supermarket."
Dian menggeleng. "Nggak mau. Malu!"
"Ya, udah. Berhenti nangisnya," kata Yoga.
"Nggak bisaaa," sahut Dian, masih sesenggukan.
"Bisa."
"Nggak!"
"Bisa, Dian."
"Nggak bisa, Mas Yoga!"
"Coba dulu."
"Nggak bisa! Air matanya keluar sendiri," ujar Dian, sambil menyeka air mata di pipi.
Helaan napas Yoga meluncur lagi. Dia tetap merangkul Dian dan membawanya menuju kasir untuk membayar belanjaan mereka.
Yoga sudah paham apa yang dibutuhkan Dian. Wanita itu lemah terhadap siapa pun yang memberinya cinta dengan tulus. Itu yang Edgar lakukan tanpa henti selama berbulan-bulan hingga Dian dapat menyadarinya. Dian hanya ingin semua orang didekatnya mengakui bahwa mereka mencintai dirinya, sama seperti dia kepada mereka.
"Mas Yoga, beliin kebab dong!"
"Mana ada kebab di sini?" sahut Yoga.
"Nanti cari di jalan," kata Dian.
"Banyak mau kamu," ujar Yoga.
"Nggak boleh pelit sama adik sendiri, tahu!" seru Dian, sambil mengambil sebungkus permen karet di etalase dekat kasir lalu menaruhnya di keranjang.
"Terserah."
"Mas Yoga, kenapa kamu nggak mau ketemu sama Alin dan Gathan juga?" tanya Dian, tiba-tiba saja dia kepikiran hal tersebut.
"Nggak ada kewajiban untuk Mas akur mereka," jawab Yoga, singkat.
"Alin pasti kesenengan kalau tahu dia punya kakak laki-laki," lanjut Dian.
"Lagian dia udah puas disayang Bapakmu, tah?" tanya Yoga, seraya menaruh keranjang ke meja kasir.
Dian mengangguk. "Alin itu ngeselin banget! Selalu pengen jadi princess dan egois parah. Gathan juga nggak tahu diri, dulu suka pinjam uang sama aku tapi nggak dibalikin. Kenapa aku punya saudara otaknya cuma setengah doang, sih?"
"Mas otaknya penuh," sahut Yoga, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet.
"Aku tahu."
"Udah, nggak usah pikirin mereka. Satu-satunya cara buat bisa fokus sama masa depanmu adalah jangan pernah tengok ke belakang. Jangan pernah berandai-andai bisa mundur ke masa lalu. Kamu udah punya keluarga sekarang," kata Yoga.
Dian buru-buru menggandeng lengan pria itu saat Yoga telah menyelesaikan pembayaran.
"Kalau Retna terus-terusan ingat soal masa lalu Mas, mungkin sekarang dia baru sadar kalau dia menikah dengan orang yang salah. Dia mungkin cuma lihat dan percaya sama diri Mas belasan tahun lalu, diri Mas yang buruk. Tapi dia selalu yakin hidup akan jadi lebih baik kalau kita cuma fokus buat besok, lusa, minggu depan, tahun depan, dan seterusnya," tutur Yoga.
Bak seorang anak kecil yang baru diceramahi orang tuanya, Dian hanya mengangguk - angguk pelan. Yoga benar, dia harus terus berjalan ke depan.
"Mas beruntung banget bisa menikah sama Mbak Retna," kata Dian.
"Kamu juga beruntung bisa menikah sama Edgar," ujar Yoga.
"Tapi aku bingung kenapa Mbak Retna cinta mati sama Mas? Kok bisa Mbak tahan menikah sama Mas yang nyebelin begini, kalau diajak ngomong datar banget, nggak peka pula," cibir Dian.
"Lengkap banget nyindirnya."
"Ya, emang, kan? Masa waktu Mbak kasih tahu kalau dia hamil, Mas cuma iya iya doang? Kalau Edgar begitu pas aku hamil lagi, bakalan aku tendang dia dari kamar dan nggak mau tidur sama dia lagi. Terus nggak bakal aku kasih jatah berbulan-bulan dan dia ak—"
Lirikan Yoga menghentikan ucapan Dian. Wanita itu langsung menunduk dan menutup mulutnya.
"Padahal Mas yang hamilin Mbak Retna. Senang dikit gitu ...," lanjut Dian, dengan suara lebih pelan.
"Tahu dari mana Mas nggak senang?" tanya Yoga, sedikit kesal.
Tentu saja dia senang Retna hamil. Dia akan punya anak lagi dan Yoga berharap dia diberkahi seorang putri.
"Itu," Dian menunjuk wajah Yoga. "Muka Mas biasa-biasa aja. Kayak Edgar dong, dia itu pas tahu aku hamil senang bangett! Terus jadi super perhatian, super baik, aku selalu dimanjain emph—"
Yoga membekap mulut Dian. "Cukup. Kalau kamu tahu apa yang udah Mas lakukan ke Retna, kamu pasti iri mati-matian."
Kedua alis Dian berkedut. "Hah?! Nggak mungkinlah! Edgar 1000x lipat lebih romantis daripada Mas."
"Tanya Retna," sahut Yoga, lalu pria itu jalan lebih dulu dan Dian segera menyusul.
"Halah! Istri lagi hamil itu dimanjain gitu, lho. Jangan kerja terus. Nanti sakit yang ngurusin Mas juga Mbak Retna, bukan atasan Mas," ujar Dian.
"Mas tinggal, ya," ancam Yoga, lalu berjalan cepat menuju parkiran.
"MAS!! AKU BILANGIN EDGAR LHOOO!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
