Unfinished Goodbye

2
0
Deskripsi

Sebuah toko kue kecil mempertemukan Naren dan Puspa—dua jiwa yang sama-sama menyimpan luka dari masa lalu dan kehilangan yang belum selesai. Saat rahasia keluarga terbongkar dan perpisahan yang dipendam terlalu lama akhirnya terungkap, mereka dihadapkan pada kesempatan untuk memaafkan, menyembuhkan, dan mengucapkan selamat tinggal yang tak pernah sempat mereka tuntaskan. Tapi mampukah hati yang pernah terluka benar-benar berdamai dengan kenyataan?

Masih hujan ternyata, pikirnya. Laki-laki itu menatap kearah langit. Entah harus menunggu berapa lama lagi, hujan kali ini tidak kunjung berhenti. Mulai dari gerimis, hujan biasa, lebat dengan angin kencang, ke hujan petir, hingga hujan deras biasa tanpa angin kencang seperti saat ini. Meskipun begitu, ia tetap menyukai cuaca hari ini. Menurutnya hujan adalah obat penenangnya. Entah selebat apapun hujannya, ia merasa damai. Ada sensasi tersendiri baginya. Terutama saat mencium aromanya. Aroma saat hujan sangat beda baginya.

Alunan musik dari pengeras suara di dalam toko kue itu sangat pas dengan suasana sekarang. Sang pemilik toko memutar lagu bittersweet milik Mingyu dan Wonwoo Seventeen itu.

Sarangeun eojjeoda sarangi dwaesseulkka, Gakkawojimyeon meoreojyeoseo

Bagaimana bisa cinta berubah menjadi cinta, Ketika aku mendekat, kau semakin jauh

 

Dagaseoji mothaeseo deo mianhae, Ireon naega silta Umm, umm

Maafkan aku yang tak bisa mendekatimu, Maafkan aku yang seperti ini

 

Neo hanawa du gaeui dal, Jinsimeul sumgigoseo gwaenchaneun cheok

Kau dikelilingi dua bulan, Menyembunyikan kenyataan, aku berpura-pura baik-baik saja

 

Bitsoge nan sumeo neul utgo isseo, Woo chatji mothal geonman gateun dabeul barago isseo

Aku bersembunyi dibalik hujan dan tetap tersenyum, Aku butuh jawaban yang tak tertebak

 

Geudaeumeul baramyeonseo, Geu mueotdo geu mueotdo

Aku menantikan hal selanjutnya, Apapun itu

 

Saram maeum gatji anaseo, Gateun siseon dareun maeum, Neomu dalgo neomu sseuda

Karena setiap orang memiliki hati yang berbeda, Mata bertemu, namun hati terpisah, Sangat manis dan juga pahit

 

Nae soneul geonnejugoseo maeumeul gidaehamyeon, Igisimeun keojyeo gyeolhami dwae

Jika aku memberi tanganku dan mengharapkan hatimu, Keegoisanku bertumbuh menjadi kerusakan besar

 

Uri saiui binteumeul chaeugo, Chaeulsurok maeumui binkaneun deo biwojyeo

Semakin aku mengisi jarak diantara kita, Kekosongan di hatiku semakin besar

Geureoke seuchyeo gan gyejeorui gamchokgwa, Challaui hyanggireul du son ane jwiyeojugo

Sentuhan musim berlalu, Aroma sesaat ini memenuhi kedua tanganku

 

Nae ape inneun neo geu ape meomchwoseo, I'm okay, not okay

Aku berdiri di belakangmu yang sedang berdiri di belakangnya, Aku tak apa, aku tak baik-baik saja

 

Geu mueotdo geu mueotdo, Saram maeum gatji anaseo

Apapun itu, Karena setiap orang memiliki hati yang berbeda

 

Gateun siseon dareun maeum, Neomu dalgo neomu sseuda

Mata bertemu, namun hati terpisah, Sangat manis dan juga pahit

 

Urireul kkeuteopsi mangchil sangsangeun nal samkyeo, Deoukdeo dankkumeul kkuge hae

Imajinasi yang menghancurkan, menguasaiku, Memberiku mimpi yang semakin manis tiap malamnya

 

Nun gamado neoui saenggak ttaemune, Bami soranseureowo hyeonsilgwa kkumui neowa na

Aku menutup mata namun pikiranku tentangmu, Membawaku pada malam hari, kau dan aku di dunia nyata atau mimpi

 

Geu mueotdo geu mueotdo, Saram maeum gatji anaseo

Apapun itu, Karena setiap orang memiliki hati yang berbeda

 

Gateun siseon dareun maeum, Neomu dalgo neomu sseuda

Mata bertemu, namun hati terpisah, Sangat manis dan juga pahit

 

Nochyeo beorigi sileoseo neoreul noa, Gateun goseul barabodeon neowa

Aku melepaskanmu karena takut kehilanganmu, Kau dan aku, kita saling bersama

 

Seoroga maju bol su isseulkka, Nochyeo beorigi sileoseo neoreul noa, Gateun goseul barabodeon neowa

Akankah mata kita saling bertemu, Aku melepaskanmu karena takut kehilanganmu, Kau dan aku, kita saling bersama

 

              Biasanya saat hujan seperti ini, ia akan menutup toko kue miliknya. Namun saat hendak menutup toko kuenya kali ini ia kedatangan seorang perempuan muda menggunakan payung. Perempuan muda itu berhenti sejanak di depan toko. Menurunkan payungnya, mengeringkan seadanya, lalu masuk ke dalam. Tentu saja sang pemilik toko harus menyambut calon pelangggannya dengan ramah. 

              “Selamat datang di toko kue BitterSweet. Mau cari kue apa Kak?” ucap sang pemilik toko kue.

              “Saya cari kue yang rasanya pahit Kak. Ada?” tanya perempuan itu.

              Sang pemilik tentu saja Nampak kebingungan dengan permintaan pembelinya itu. Baru kali ini ia mendengar permintaan aneh itu. Biasanya orang-orang akan mencari kue-kue yang manis dengan berbagai toping menarik menurut tren. Tapi pembeli kali ini cukup unik.

              “Kita ada brownies dengan topping cokelat pahit kak. Kalau kakak suka cookies, kita ada juga kak yang toppingnya cokelat pahit sama yang rasanya green tea. Kakak mau yang mana?” tanya sang pemilik toko.

              “Saya mau kue yang paling pahit Kak. Cookies green tea-nya beneran pahit atau manis kak? Kalau manis saya gak mau. Saya mau yang pahit pokoknya!” tegas perempuan itu. Sang pemilik toko kue itu pun menyarankan cookies dengan topping cokelat pahit di atasnya. Lalu perempuan itu mengiayakan dan duduk di salah satu meja yang sudah disediakan di toko kue tersebut. Sang pemilik toko kue itu pun mengantarkan pesanan kepada pembeli ‘aneh’ itu dan mempersilahkan pembeli itu menikmati cookiesnya.

              “Kak, ini rasanya masih ada manisnya. Saya mau yang pahit.” Ucap perempuan itu ketika dia telah memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Sang pemilik yang berada di meja kasir segera menghampiri perempuan itu. “Maaf kak, tapi itu kue yang ada di toko kue kami yang rasanya pahit kak.” Ucap sang pemilik toko meminta maaf kepada perempuan itu.

              “Kalau saya minta dibuatkan lagi kue yang rasanya pahit bisa? Sedikit asin bolehlah. Pokoknya saya tidak mau ada rasa manis di dalam kuenya. Bisa kak?” tanya perempuan itu. Seperti kurang yakin dengan permintaan pelanggan kali ini, namun sang pemilik pun tetap mengiyakan permintaan ‘aneh’ pembeli itu. Segera ia pergi ke dapur dan membuatkan cookies pahit tanpa gula atupun apapun yang rasanya manis dengan cepat namun tatap penuh cinta. Ia percaya kue apapun yang dibuat dengan cinta akan mendatangkan kebahagiaan bagi siapapun yang memakannya. Dan ia berharap walaupun kue ini rasanya pahit, tapu tetap akan memberikan kebahagiaan dan kepuasan untuk pemebeli perempuan itu.

              Setelah cookies itu matang, segera ia kirimkan kepada perempuan itu. “Maaf mennggu agak lama kak. Hati-hati masih panas kak cookiesnya baru matang.”

“Oke, terima kasih Kak.” Perempuan itu tersenyum menerima cookiesnya. Sang pemilik toko kue itu pun pergi meninggalkan perempuan itu dan kembali ke posisinya di kasir. 

              Ia melihat dari kejauhan, perempuan itu Nampak puas sepertinya memakan cookies pahit buatannya itu. Walau terlihat ia meniup-niup cookies itu, tapi perempuan itu Nampak bersemangat menghabiskan cookies itu. Tak hanya sekali, namun berkali-kali kepalanya diayunkan ke kanan dan ke kiri, ciri khas perempuan jika bahagia mendapatkan makanan enak. Nampak menggemaskan bagi sang pemilik kue itu. Ia bahagia jika melihat ada orang yang makan kuenya dengan bahagia seperti perempuan itu. Ya, walupun dia masih tak menyangka dengan pesanan aneh perempuan itu.

              Bertahun-tahun ia bekerja di toko kue satu ke toko kue lainnya, menabung sedikit demi sedikit hingga ia bisa membuka toko kuenya sendiri. Walaupun masih kecil dan belum ada pegawainya. Semua masih ia lakukan sendiri, dari membuat kue, membungkus kue, menjadi kasir, melayani pembeli hingga mengirimkan paket kue jika ada yang memesan. Walaupun begitu, ia merasa bersyukur sudah bisa berdiri di kaki sendiri. Tak bergantung kepada kakak laki-lakinya lagi. Juga tak pada kedua ayahnya yang sudah membuang ibunya, ia dan kakak laki-lakinya.

              “Makasih ya kak, sudah buatin kue yang enak ini. Belum ada toko kue yang pernah kudatangin bisa bikin kue yang pahit tapi enak. Besok aku kesini lagi ya kak, siap-siap bikin kue yang pahit ya kak.” Ucap perempuan itu membayar cookies itu lalu pamit. 

              Sudah sering ia mendapatkan pujian dan permintaan dari pembeli seperti itu, tapi jarang sekali yang balik lagi untuk menepati janji itu. Biasanya mereka akan balik lagi dua atau tiga hari kemudian. Namun tidak dengan perempuan itu. Kali ini ia kembali dengan memakai setelan berwarna kuning dan membawa buket bunga matahari bersama seorang laki-laki. Perempuan itu tampak tersenyum bahagia bergandengan dengan laki-laki itu.

              “Ini buat Kakak. Saya pesan cookies pahit kayak kemarin ya kak. Kakak udah buat kan?” tanya perempuan itu. Beruntungnya ia mengikuti instingnya. Pagi ini selain membuat kue yang biasanya ia pajang di etalase toko kue. Ia juga membuat kue pahit itu. “Terima kasih kak, pesanan kakak sudah saya buatkan tadi pagi.” Ucapan pemilik toko kue itu membuat perempuan itu senang. “Tapi saya hanya membuatkan satu porsi saja hari ini.” Ucap pemilik toko kue itu lagi. 

“Gapapa Kak. Pacar saya cookies choco mint aja Kak.” Ucap perempuan itu. Pantas saja ia bahagia hari ini, gumam pemilik toko dalam hati. Mereka pun duduk di meja kemarin yang perempuan itu duduki. Pemilik toko kue itu pun mengantarkan pesanan kue-kue itu ke meja perempuan pahit dan pacarnya itu. 

Perempuan pahit, julukan yang diberikan Narendra Wijaya alias Naren, sang pemilik toko itu kepada perempuan yang memesan kue pahit tempo hari di toko kuenya itu. Ia merasa perempuan itu seperti nama toko kuenya Bitter Sweet. Perempuan itu penyuka kue yang pahit tapi memiliki senyum yang manis. Entah ia punya pengalaman hidup apa yang membuat perempuan itu menjadi menyukai kue yang pahit. Karena bagi Narendra, pengalaman hidupnya sudah cukup pahit. Namun karena ibunya, yang suka membuat kue manis mendorong ia ingin mempunyai toko kue sendiri. Karena ia ingin membagikan kue dan cerita yang manis kepada orang lain. Biar yang pahit ia telan sendiri. Maka dari itu, nama toko kuenya Bitter Sweet.

Entah ada apa dengan Naren hari ini. Dadanya agak sesak. Entah kenapa hatinya sedikit panas melihat perempuan pahit itu bermesraan dengan pacarnya. Kepala yang bersandar ke bahu laki-laki itu tersenyum melihat kearah ponselnya. Dengan berbagai ekspresi anggun, lucu, menggemaskan hingga pose muka jelek di mata Naren perempuan itu tampak cantik. 

Disaat Naren sedang menggagumi kecantikan perempuan pahit itu, seorang laki-laki masuk ke dalam toko kue itu. Secara otomatis, Naren menyambuut calon pembelinya itu. “Selamat datang di toko kue Bitter Sweet, mau nyari kue apa kak?” 

Laki-laki itu tertawa kecil. “Gak nyari kue apa-apa gue, nyari lu!” ucap laki-laki itu. 

“Kenyang gue makan kue lu mulu tiap hari. Nih, nasi goreng. Lu belum makan siang kan? Dah makan dulu, biar gue yang jaga.” Ucap laki-laki itu memberikan kotak bekal berwarna biru kepada Naren. 

“Makasih Bang, tapi gue nunggu pelanggan itu dulu.” Tunjuk Naren kearah meja perempuan pahit itu. 

“Itu pelanggan baru lu yang unik itu ya?” Naren mengangguk. 

“Ooh.. Eh, gue ke dapur dulu ya, minta minum, haus.” Ucap laki-laki itu pergi menuju dapur. Laki-laki itu ialah Mahendra Wijaya alias Mahen, kakak dari Naren.

Kini ia melihatt kearah luar tokonya. Melalui dinding kaca, ia melihat bahwa langit mulai menggelap. Sepertinya akan turun hujan lagi.  Biasanya ia berharap untuk segera hujan lebat. Namun kali ini, ia memohon agar ditunda dulu hujan lebatnya, bahkan gerimis sekalipun sebelum pelanggannya ini pulang. Mahen, kakak laki-lakinya keluar dari arah dapur sedikit berlari keluar toko untuk mengambil helm. Ia datang kembali ke dalam membawa dua helm. “Loh bang, lu gak kerja hari ini?” tanya Naren. Mahen menggeleng. “Libur hari ini.” Mahen pun berjalan masuk lagi kedalam sambil membawa kedua helm tersebut, tapi kali ini bukan ke dapur, melainkan ruangan di ujung dapur di sebelah kamar mandi, tempat untuk beristirahat sementara.

Hampir setengah jam menunggu, akhirnya perempuan pahit bersama pacarnya itu ke kasir untuk membayar kue mereka dan pulang. Seperti biasa, perempuan pahit itu mengucapkan terima kasih dan permintaan yang sama untuk dibuatkan kue pahit lagi keran besok dia mau ke toko kue milik Naren lagi. Doa Naren terkabul, beberapa menit setelah mobil berwarna hitam itu pergi hujan turun sangat lebat. Ia duduk di kursi perempuan pahit itu sambil membawa bekal nasi goreng yang dibawa Mahen, kakaknya tadi. Ia merasa seperti ada yang mengganjal pantatnya. Ia pun berdiri sebentar dan menemukan sebuah foto keluarga. Ia melihat dengan seksama. Ada sepasang suami istri dengan anak perempuan manis berusia mngkin 5 tahun sedang tersenyum kerana dicium oleh kedua orang tuanya. Anak perempuan itu benar-benar mirip seperti ayahnya yang memiliki hidung mancung dengan senyum manis yang khas. Anak perempuan itu mirip dengan perempuan pahit itu. Sepertinya ini foto masa kecilnya. Semakin dilihat entah kenapa ia merasa familiar dengan wajah ibu dari perempuan pahit ini. Di belakangnya tertulis nama lengkap dari masing-masing anggota keluarga itu. Malik Atmaja, di belakang gambar laki-laki dewaasa itu; Mayang Wulandari, di balik gambar perempuan dewasa itu; dan terakhir ada tertulis nama Puspita Atmaja, di balik gambar anak perempuan itu. Oh, Namanya Puspita, gumam Naren. Tapi entahlah. Naren hanya menyimpan foto itu. Ia akan mengembalikkan foto itu besok saat perempuan pahit itu datang lagi. Saat ini ia harus makan dengan cepat sebelum pembeli yang lainnya datang. Walaupun ada Mahen, kakaknya yang membantu ia hari ini, Naren tidak ingin merepotkan kakaknya. Ia berharap untuk kakaknya beristirahat saja hari ini.

***

Hari ini Mahen meminta Naren menutup toko kuenya itu lebih cepat. Ia bilang ingin mengajak Naren menuju makam ibu mereka. Mahen sudah sangat rindu kepada ibunya saat ini. Mahen membantu membereskan toko kue itu. Ia menyapu dan mengepel ruangan depan sedangkan Naren mengurus area dapur. Mahen juga membantu membungkus kue-kue yang masih tersisa. Rencananya akan mereka beri kepada pengurus-pengurus makam untuk dibagi-bagi ke keluarga mereka. Setelah semua sudah bersih dan rapih, Naren mengunci pintu toko kue itu. Ia melihat plastik besar sudah ada di atas motor depan Mahen yang mengemudi itu nampak lucu. Biasanya tak sebanyak ini. Kalau sebanyak ini ternyata jadi keliatan lucu juga kakaknya membawa banyak kuenya. Sudah jadi rejekinya bapak-bapak pengurus makam, biar makin banyak doa dan berkahnya toko kue gue, gumam Naren.

***

Nama Ayu Kirana terukir diatas batu nisan itu. Ayu Kirana, nama dari ibu Narendra Wijaya dan Mahendra Wijaya itu merupakan sosok perempuan yang hebat dan tangguh. Mereka masih ingat benar saat mereka pergi keluar dari rumah mereka hujan-hujanan membawa tiga koper mencari kontrakan. Setelah pergi dari rumah masa kecilnya itu, kehidupan mereka benar-benar berubah. Ibu Ayu yang biasanya hanya di rumah mengurus suami dan anak-anaknya jadi jarang di rumah untuk memenuhi kebutuhan ia dan anak-anaknya. Walau sudah bekerja dari dua-tiga pekerjaan hingga tengah malam juga sampai hari minggu pun sering juga ibu Ayu tidak mendapat gajinya. Tak jarang jika mereka suka pindah-pindah kontrakan karena telat membayar kontrakan. Walau begitu, ia tidak pernah menyerah dan berjuang demi anak-anaknya. Ia pun juga tidak mengajarkan anak-anaknya ntuk membenci ayah mereka. Walaupun ia tahu betul, anak-anaknya, terutama si sulung Mahen sangat membenci ayahnya.

Baru setahun Ibu Ayu bisa merasakan tinggal di rumah sendiri tanpa takut diusir lagi semenjak Mahendra, anak sulungnya berhasil membeli rumah baru, ya walaupun masih dicicil, tapi setidaknya sudah bisa ditinggali, ia menghembuskan napas terakhirnya tiga tahun yang lalu. Rasa kebencian terhadap ayahnya benar-benar meluap-luap. Ia menyalahkan ayahnya sebagai kematian ibunya, 

“KALAU SAJA AYAH GAK NIKAH SAMA NENEK SIHIR ITU, IBU GAK AKAN SAKIT-SAKITAN KAYAK GINI! GAK AKAN IBU MENDERITA LAMA KAYAK GINI! IBU HARUSNYA NGERASAIN RUMAH INI LEBIH LAMA, GAK CUMAN SETAHUN DOANG! HARUSNYA YANG MATI AYAH SAJA, BUKAN IBU!” Mahendra berteriak kencang saat ayahnya datang melayat mantan istrinya. Tidak. Ibu Ayu Kirana masih menjadi istrinya karena mereka belum sama sekali bercerai. Entah apa yang terjadi kepada Bapak Wisnu Wijaya, ayah dari Naren dan Mahen yang lebih memilih menikahi perempuan lain dibandingkan mempertahankan Ibu Ayu, istri pertamanya dan anak-anaknya itu. Perempuan itu ternyata juga memiliki anak perempuan seumuran dengan Naren. Mereka juga baru tahu setelah beberap tahun tinggal terpisah dari ayahnya. Itupun dari teman lama ayahnya, Om Barra. Namun sampai sekarang pun, mereka tidak pernah tahu apapun soal anak perempuan itu. Dari Namanya, mukanya, ciri-ciri fisiknya apalagi kesukaan-kesukaan anak perempuan itu. Yang mereka tahu hanya perkiraan umur yang sepertinya seumuran Naren.

Mahen selalu menangis saat berada di makan ibunya. Seperti saat ini. Berbeda dengan adeknya yang memilih untuk berdamai denggan keadaan, Mahen masih emosi dan masih menyalahkan ayahnya hingga saat ini. “Ibu, Mahen Kangen. Kok Ibu gak pernah muncul lagi sih di mimpinya Mahen. Ibu udah gak sayang Mahen ya? Apa Ibu lagi balas dendam ke Ayah ya sekarang, makanya Ibu sibuk gak bisa datangin Mahen lagi? Ayo Bu, balas dendam aja ke Ayah! Nanti setelah balas dendam, Ibu datang lagi ke Mahen yaa..”

“Udahlah Bang, kasihan Ibu lu suruh balas dendam gitu. Lagian pasti Ayah milih perempuan itu Ayah punya alasan yang kuat. Kita gak bisa maksain takdir juga. Ibu meninggal memang sudah waktunya.” Ucap Naren memeluk Mahen.

“Lu udah gak sayang apa sama Ibu sampai lu ngomong begitu?” tanya Mahen.

“Sayang lah bang. Kalau gak sayang, gue gak mungkin resign dari toko kue Om Barra buat buka toko kue sendiri. Itu toko kue gue mau gue kasih ke Ibu tadinya.” Jawab Naren. “Ayah kan kemarin udah mau jelasin, tapi keburu lu usir kemarin.” Ucap Naren.

“Lu jangan ngancurin mood gue depan Ibu ya Ren,” ucap Mahen menatap sinis Naren. 

“Maaf bang, kalau gue ngancurin mood lu, tapi Ibu kan ngomong jangann pernah benci Ayah.” Ucap Naren.

“Ibu, Mahen sebenernya masih kangen banget Bu sama Ibu. Cuman anak Ibu yang lain ini nih ngajak rebut mulu. Mahen ijin yaa barentem di rumah nanti. Ibu jangan marah, ini Mahen sama Naren udah bawain bunga tulip kuning kesukaan Ibu.” Mahen menaruh buket bunga tulip berwarna kuning yang sedari tadi ia peluk ke atas makam ibunya. “Mahen sama Naren pamit ya Bu.”

“Dih, apaan pamit? Gue belum curhat Bang sama Ibu.” Ucap Naren.

“Udah lu curhat lewat doa aja.” Jawab Mahen menarik paksa Naren pulang.

****

Kali ini perempuan pahit itu datang dengan membawa buket bunga tulip berwarna kuning. Sedikit terkejut melihat bunga tulip kuning, bunga favorit mendiang ibunya diberikan oleh orang asing, Tapi Naren tetap menerimanya. Kali ini perempuan pahit itu tidak lagi memesan cookies pahit seperti kemarin. Kali ini ia memesan cookies manis rasa green tea. 

“Tumben Kak Puspita, gak pesan cookies pahit?” tanya Naren saat mengantar cookies green tea itu kepada perempuan pahit itu. Perempuan itu agak kaget. Tahu darimana pemilik toko kue ini namanya? Dia kan tidak menulis nama sama sekali di pesanannya. Dai belum pernah juga meberi tahu namanya ke pemilik toko kue ini. 

“Loh, kakak tahu darimana nama Saya Puspita?” tanya perempuan pahit itu. 

“Maaf kalau saya tidak sopan kak, tapi kemarin saya liat foto ini kayaknya jatuh disini.” Ucap Naren menyodorkan foto keluarga perempuan pahit itu.

“Oh, terima kasih. Saya memang mencari-cari foto ini dari kemarin. Untungnya jatuhnya disini, bukan dijalan.” Ucap Perempuan itu sambil menerima foto itu. “Betul nama saya Puspita, tapi bisa dipanggil Puspa aja.”

“Saya Naren.” Naren menjulurkan tangan kepada Puspa. Puspa pun menerima uluran tangan Naren sehingga mereka pun berjabat tangan.

“Soal pertanyaan yang tadi, ceritanya panjang. Kakak mau dengerin?” tanya Puspa. “Gak masalah. Palingan kalau ada pembeli ya dijeda dulu.” Jawab Naren.

“Jadi, dua hari yang lalu itu ulang tahun saya. Biasanya memang beli kue yang manis. Tapi udah 17 tahun saya berhenti makan kue yang manis.” Ucap Puspa. 

“Kenapa?”

 “18 tahun yang lalu, ayah kandungku meninggal gara-gara ditabrak orang di hari ulang tahunku. Jadi semenjak malam itu, saat ngerayain ulang tahun saya sampai setahun kemudian, saya selalu muntah setiap makan kue yang manis. Kue apapun itu.” 

“Orangnya tanggung jawab gak?” 

“Untungnya, orang itu mau biayain hidup saya sama Bunda saya sampai saya lulus kuliah. Sampai sekarang juga masih sih Om Wisnu sama Saya. Sering jadi tempat curhat saya juga.” Jawab Puspa sambil memasukan sesendok cookies green tea itu kedalam mulutnya. 

“Terus kenapa hari ini beli kue yang manis? Mau coba tahun ini berhasil apa gak setelah belasan tahun?” tanya Naren. Matanya tertuju pada kue yang ia buat itu.

 “Cookies Green tea ini kesukaan mantan pacarku kemarin.” 

“Mantan? Bukannya kemarin ngomongnya pacar?” 

“Malamnya putus. Gara-gara foto ini hilang. Foto itu udah kayak jimatku. Karena itu foto satu-satunya keluargaku.” Jawab Puspa. Naren yang mendengar itu merasa iba kepada Puspita.

“Aku punya kebiasaan bakalan ngelakuin hal-hal yang pacar aku suka saampai aku muak sendiri.” Ucap Puspa menyuap cookies green tea itu lagi. 

“Kalau emang gak kuat, gak usah dipaksa.” Ucap Naren memberi saran. Naren melihat wajah Puspa yang sedari tadi menahan mual. 

“Gak. Gak apa-apa. Sayang ini kue kamu enak banget.” Ucap Puspa sambil menahan mual. Air matanya sudah keluar. Entah itu air mata karena mual atau air mata karena terlalu galau habis putus tadi malam. Mahen yang baru masuk ke dalam toko kue milik adiknya itu kaget melihat salah satu pelanggan adiknya menangis sambil memeluk adiknya. Ia mengira adiknya macam-macam dengan pelanggannya itu. “Lu apain anak orang ini Naren? Istighfar Naren, baru kemarin kita ke makam Ibu, bisa-bisanya lu bikin anak orang nangis gini?” tanya Mahen memukul punggung Naren.

“Bang, dia habis putus. Terus tadi curhat dan nangis. Minta tolong jaga kasir dulu ya Bang,” Pinta Naren kepada kakak laki-lakinya. 

“Mbaknya yakin gak di apa-apain dia Mbak?” tanya Mahen. Puspa mengangguk masih menangis sambil memeluk Naren. Fix! Puspa menangis karena galau. 

“Tampar aja si Naren ini Mbak. Anggap aja dia mantannya Mbak.” Ucap Mahen sambil tertawa dan berjalan menuju kasir. 

Beberapa menit kemudian, datang salah satu perempuan langganan Naren masuk. Naren cepat-cepat melepas pelukan Puspa. 

“Walah-walah Mas Naren ini gak pernah pacaran. Sekalinya pacaran, malah pacarnya dibikin nangis di tempat kerja,” Ucap langganan Naren itu. 

“Tahu tuh langganan banget bikin cewek nangis dari dulu,” Ledek Mahen. 

“Ini Kak, pesanannya. Totalnya 150 ribu.” Perempuan itu memberikan dua lembar uang 100 ribu. 

“Ini kak. Kembaliannya, terima kasih.” Ucap Mahen. Sesampai perempuan langganan Naren itu keluar dari toko, si Puspa masih menangis. Naren membiarkan si Puspa menenangkan diri terlebih dahulu. Ia pun menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada Mahen. Ia tidak ingin kakak laki-lakinya berpikir yang tidak-tidak kepadanya. Termasuk tentang foto keluarga itu.

Lima belas menit Puspa berusaha menenangkan diri sambil terus berusaha memakan sisa Cookies green tea miliknya. Terlihat sebuah mobil berwarna putih terparkir di depan. Agak lama baik penumpangnya maupun sopirnya belum turun juga dari dalam mobil. Setelah menghabiskan cookies green tea miliknya, Puspa pun berjalan ke kasir dengan lunglai. Ia membayar dan berjalan keluar toko. Saat ia menutup pintu toko kue tersebut, tiba-tiba Puspa jatuh tidak sadarkan diri. Ia pingsan. Naren dan Mahen yang melihat itu berlari menuju Puspa. Rupanya sopir mobil putih itu juga berlari keluar mobil untuk menolong Puspa. Betapa terkejutnya Naren dan Mahen, orang tersebut adalah Wisnu Wijaya, ayah mereka sendiri! Naren dibantu Mahen menggendong Puspa masuk ke dalam.

Puspa mereka tidurkan di sofa panjang tempat pelanggan menunggu antrian. Mereka bertiga hanya diam. Tapi terlihat jelas raut wajah Mahen menahan amarah. Naren tiba-tiba berdiri dan pergi meninggalkan Mahen dan ayahnya berserta Puspa yang sedang pingsan. Naren mengambil gelas dan mebuatkan teh hangat di dapur untuk Puspa dan ayahnya. 

“Jadi si Puspa, anak ayah juga?” tanya Naren saat kembali dari dapur. Memberikan segelas teh hangat itu kepada ayahnya.

“Bukan, tapi ayah berharap dia akan jadi anak Ayah.” Jawab ayahnya. 

“Maksud Ayah?” tanya Naren. Ayahnya pun menceritakan kejadian 18 tahun yang lalu. Saat itu, ayahnya sedang menyetir pulang ke rumah, tapi karena mengantuk, setir mobilnya malah mengarah ke jalur lain. Saat itu, ayah mereka kaget ketika mendengar bunyi klakson. Bukannya menginjak rem, ayah mereka malah menginjak gas dan menabrak ayah Puspa sampai tewas. Saat itu, ayah mereka hampir di penjara. Tapi keluarga Puspa menawarkan sebuah perjanjian damai agar ayah Wisnu, ayah mereka tidak masuk penjara dengan syarat harus bertanggung atas kehidupan istri dan anak korban minimal sampai anak korban alias Puspa lulus kuliah. Rupanya pada saat itu, Ibu Ayu, alias ibu mereka salah paham. Ia mendengar penjelasan dari Om Barra, teman suaminya itu kalau suaminya harus menikahi Ibunya Puspa. Ibu Ayu yang sedih dan marah langsung memutuskan untuk pergi meninggalkan suaminya dengan menagajak anak-anaknya. 

Ditengah cerita ayah Wisnu, Puspa mulai sadar. Penglihatannya masih samar-samar. Mahen sebenarnya sudah ingin mengusir ayahnya dari tadi, tapi karena ia kasihan kepada Puspa yang belum siuman, ia pun tidak tega. Ditambah Naren yang malah mengajak ngobrol ayah mereka, membuat ia mau tidak mau tidak bisa mengusir ayahnya pergi. Rencananya setelah Puspa sadar, ia ingin segera mengusir ayahnya dan Puspa dar sini dan mmeohon janggan pernah datang kesini lagi. Pandangan Mahen daritadi hanya kearah Puspa, berharap ia segera bangun. Mahen yang menyadari Puspa sudah sadar, menyenggol Naren memberikan kode untuk memberikan teh hangat itu kepada Puspa. “Terima Kasih.” Ucap Puspa. 

“Kamu belum makan dari tadi malam, siang-siang langsung makan kue manis.” Omel ayah Wisnu kepada Puspa. “Hehe.. maaf Om,” Ucap Puspa.

“Kenapa ayah gak pernah datang waktu kami masih kecil? Ayah beneran jadi nikah kan waktu itu sama ibunya Puspa?” tanya Naren. 

Ayahnya menggeleng. “Ayah gak pernah nikah kecuali sama ibumu Nak. Om Barra itu bohong. Om Barra itu suka sama ibumu dari dulu. Tapi ibumu sukanyya sama ayah. Makanya nikahnya sama ayah.” 

Rupanya, Om Barra ini memanfaatkan keadaan karena ia sudah lama suka dengan Ibu Ayu dari sebelum ayah dan ibu mereka menikah. 

Narren merasa lega keputusan resign dari toko kue milik Om Barra, teman ayahnya itu adalah keputusan yang tepat. Selain ia bisa mendirikan bisnis toko kue sendiri, ia akhirnya mengetahui kebusukan hari Om Barra. Untungnya sepanjang ibunya hidup, ibunya juga memilih untuk tidak menikah lagi. Bahkan untuk dekat sama laki-laki yang seumuran ibu aja ibu tidak mau jika bukan untuk urasan pekerjaan.

“Kenapa pas Ibu sudah gak ada baru datang yah?” tanya Mahen yang sudah tidak tahan lagi. Ia hanya ingin tahu apa alasan ayahnya tidak mau mengurus ibunya, ia dan adeknya saat ibunya menderita? 

“Sebenarnya saksinya Barra yang liat usaha ayah dulu gimana buat bujuk ibumu balik. Tapi Barra juga yang ngehasut ibumu untuk cerai dari ayah.” Jawab ayahnya. Mahen masih tidak percaya rasanya. Selama ini Om Barra, teman ayahnya itu selalu baik kepadanya dan adiknya. Bahkan perusahaan tempat ia bekerja dan posisinya ini berkat bantuan Om Barra, teman ayahnya.

“Maafin ayah kalian yang baru bisa jelasin dan minta maaf sekarang nak,” Pak Wisnu tiba-tiba berlutut di depan Mahen. 

“Waktu Ibu kalian meninggal tiga tahun lalu, ayah ngerasa harusnya ayah yang mati aja bukan ibumu,” Pak Wisnu mulai menangis. Puspa dan Naren yang melihat hal itu langsung memeluk Pak Wisnu berusaha untuk mendirikan badannya. Mahen yang kaget melihat ayahnya berlutut dan menangis, segera berjongkok. Ya walaupun ia masih marah. Ia sama sekali tidak mau melihat ke arah ayahnya.

“Kak, maafin Puspa ya.. gara-gara Puspa, hubungan kalian jadi enggak baik gini.” Tangis Puspa di depan Mahen. Naren yang bingung karena toko kuenya jadi tidak kondusif seperti ini. Ia pu segerra menutup tirai tokonya dan membalikan papan buka yang ia gantung di depan pintu. 

“Om Wisnu itu waktu kakak usir dari rumah kakak tiga tahun yang lalu, selama dua tahun itu Om Wisnu coba semua cara untuk bunuh diri. Dari gantung diri, berusaha nabrakin diri ke rel kereta sampai minum racun semua udah Om Wisnu lakuin biar dia cepat-cepat nyusul istrinya..”

“Sekarang kalau mau aku bisa mesen kue manis lagi yang banyak dan makan sekarang juga didepan kakak supaya aku juga ngerasain penderitaan Kakak.” Ucap Puspa.

“Lu sekeluarga memang menyebalkan banget yak dari dulu Pus,” ucap Mahen dengan nada datar. “Sekarang kalian pergi aja dari sini. Gak usah datang lagi kesini sampai kapanpun. Selamanya.” Ucap Mahen. Keduanya menangis memohon maaf kepada Mahen dan Naren. “KELUAR SEKARANG! Gue MUAK liat muka kalian!” usir Mahen.

****

“Lu kenapa sih biarin orang itu cerita?” tanya Mahen. 

“Kita kan harus mendengar dari kedua sisi kan biar adil?” jawab Naren.

“Terus sekarang gimana?” tanya Naren. 

“Kita udah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Terus Abang masih mau percaya Om Barra?” sebenarnya dari dulu Naren kurang suka dengan Om Barra yang selalu berlebihan kepada Ibu dan abangnya. Tapi abangnya malah berpikir bahwa Om Barra adalah orang yang tulus membantu mereka.

“Entahlah. Mungkin besok abang ajuin pengunduran diri.” Ucap Mahen.

***

Dua bulan setelah pengunduran diri Mahen dari perusahaan kenalan teman ayahnya itu, ia mulai fokus pada usaha adeknya. Ia yang bekerja pada bidang digital marketing di perusahaan sebelumnya, mengedit poster, membuat akun social media dan memasarkan toko kue adeknya itu melalui akun social medianya itu. Toko kue itu berkembang lumayan pesat, hingga harus mempekerjakan dua orang untuk baker dan kasir.

Sudah berbulan-bulan sejak ayahnya dan perempuan pahit itu diusir oleh kakak laki-lakinya, perasaan Naren agak galau. Ada sesuatu yang kosong rasanya di hatinya. Kecintaanya kepada kue-kue manis entah kenapa berkurang. Setiap hari ia pasti akan membuat cookies pahit itu dan berharap Puspa datang dan memakannya seperti biasa. Kenangan tiga hari itu sangat berbekas di hari Naren. Ia baru menyadari bahwa ia jatuh cinta kepada Puspa. Setiap hari Puspa tidak datang, ia akan memakan cookies pahit itu.

Hari ini ramai seperti biasa. Kedua pegawainya sangat bersemangat melayani pembeli di toko kue milih Naren itu. Mahen yang baru datang dan hendak memarkirkan motornya itu hampir ditabrak oleh sebuah mobil. Namapak pengemudinya seperti mengebut dan mengerem mendadak. Pengemudi mobil itu keluar. Baru saja Mahen hendak marah kepada pengemudi ugal-ugalan itu. “Sorry banget, gue harus bawa lu dan Naren pergi sekarang juga. Karen ini urgent banget!” Ternyata pengemudi itu ialah Puspa. Ia segera menarik tangan Mahen masuk kedalam toko mencari Naren. Rupanya Anren adda di meja kasir. Ia pun segara menarik kedua tangan kakak beradik itu masuk ke dalam mobilnya. 

“Om Wisnu sekarat! Ini gue bawa lu berdua ke RS sekarang,” Ucap Puspa tersengal-sengal. 

“Coba kamu tenang dulu, baru nyalain mobilnya.” Ucap Naren yang berada di kursi sampingg pengemudi berusaha menenangkan Puspa. 

“Udah gue aja yang bawa deh! Gak yakin gue kalau lu yang bawa, minggir lu,” Ucap Mahen. Puspa pun turun lewat pintu depan. Sedangkan Mahen segera pindah ke kursi pengemudi melompati tuas transmisi mobil. Puspa pun duduk di kursi pengemudi di belakang.

***

Di dalam ruangan itu terlihat ibunya Puspa, perempuan yang waktu kecil mereka lihat yang sempat dirumorkan akan dinikahi ayahnya nampak terlihat sedih. 

“M..ma..mah.. Maheeen.. N.. Naa. Naren..” Pak Wisnu dari tadi hanya memanggil-manggil nama kedua anaknya. 

Saat mereka sudah masuk, perempuan itu segera menarik tangan Mahen dan Naren ke dekat kepala ayah mereka yang sudah sulit bicara. Dengan susah payah, Pak Wisnu menoleh ke arrah mereka, kedua anaknya yang sudah datang. 

“M..Ma.. Maa.. aa… Maafin.. ay.. ayah.. naak..,” ucap Pak Wisnu. 

Sambil menangis Naren berkata “Iyaa.. Naren udah maafin ayah dari lama kok..Maafin Naren juga Yah..” 

Sementara Maren masih sulit untuk meminta maaf dan memafkan ayahnya sendiri. “M..Ma.. Maa.. aa… Maafin.. ay.. ayah.. naak..” berkali-kali Pak Wisnu meminta maaf dengan susah payah. 

”Bang, maafin ayah Bang..,” pinta Naren kepada Mahen, kakak laki-lakinya. 

“Iyaa.. Mahen minta maaf juga Yah.,.” ucap Mahen sambil berlinang air mata. 

“Ayah sayang sama kalian lebih dari apapun di dunia ini.” Ucap Pak Wisnu tersenyum. Tak lama kemudian, tanda alat di monitor holter terlihat segaris. Ayah mereka telah tiada. Puspa menekan sebuah tombol untuk memanggil suster ataupun dokter untuk datang ke ruangan ini. Saat mengetahui tanda di monitor holternya sudah segaris, mereka segera mengambil alat kejut jantung dan menyrruh keluargga pasien untuk keluar ruangan. Mereeka berusaha untuk menghidupkan kembali kerja jantung Pak Wisnu.

****

Kali ini Mahen menangis berteriak. Seperti halnya saat ibunya meninggal dulu, ia pun menangis meraung-raung meminta agar ayahnya bangun lagi. Ia merasa sangat bersalah kepada ayahnya. Dulu ia yang meminta ayahnya yang meninggal. Sekarang saat ayahnya meninggal, ia yang paling tidak terima jika ayahnya meninggal dunia. Ayahnya kini sudah terkubur disamping makam istrinya yang samapi akhir hayatnya salah paham akibat teman mereka sendiri.

Puspa yang sudah menganggap Pak Wisnu sebagai ayahnya sendiri menggantikan ayah kandungnya dulu pun tak kuasa menahan air mata melihat makam Pak Wisnu. Dibantu oleh ibunya untuk bergerrak, Puspa benar-bear lemas sekali.

Bagaimana dengan Naren? Sebenarnya ia sama lemasnya dengan Puspa, tapi ia berusaha untuk menguatkan diri. Karena dia mau ikut menguburkan ayahnya. Ia yang mau untuk mengantarkan jenazah ayahnya untuk terakhir kalinya setelah kesalahpahaman belasan tahun lalu itu.

Teman Pak Wisnu dan Bu Ayu, Pak Barra datang ke pemakaman Pak Wisnu. Tentunya setelah rombongan Mahen dan Naren pergi. “Kamu memang orang baik Nu. Maafin gue yang selalu iri sama lu Nu.” Pak Barra pun menaruh sebuah buket bunga tulip kuning diatas makan Pak Wisnu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya IV. PENELITIAN PEMBAWA MAUT - 1
1
0
Setelah tahu bahwa ia adalah anak angkat, Devano alias Bhumi Dirgantara hendak kabur dari rumah dan ingin mencari siapa orang tua kandungnya dan ada dimana mereka? Kenapa ayahnya yang jelas-jelas membencinya tetap tidak mau ia mencari orang tua aslinya dan tetap menyekolahkannya hingga ia kuliah? Siapa itu Pak Barata? Di tempat lain ada Nadine yang sedang berjuang dengan kehidupannya  yang rumit karena perceraian orang tuanya. Walau begitu Nadine adalah sosok ceria bagaikan matahari pagi yang mampu membuat siapa pun merasa nyaman di sampingya. Termasuk Kanaya, si putri es itu. Kanaya, Sahabat Nadine selalu menemani dan menolong Nadine dalam keadaan apapun terlebih saat Devano, saudara kembarnya itu pergi entah kemana. Akankah Bhumi berhasil menjawab semua pertanyaannya dan kembali kepada kehidupannya yang dulu setelah semua pertanyaannya terjawab?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan