L I A R ( TAMAT)

30
21
Terkunci
Deskripsi

Part 1

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi glowingku. Membuat rambut lurus berwarnaku sedikit tersibak. Aku tersenyum sinis, melihat laki-laki paruh baya bergaya necis yang kini berada di depanku, dengan wajah merah menahan amarah.

Mataku berkeliling mengitari mereka yang berlagak baik dan ingin membelaku, namun tak mampu. Mata mereka berkaca-kaca, mencoba memberikan isyarat bahwa aku harus meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahanku. Munafik betul makhluk-makhluk itu.

Aku terus menantang,...

47,296 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
570
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya CINTA DITOLAK DUKUN MENDEKAT (TAMAT)
4
0
Part 1-5Maaf ya, Sih. Bukannya aku nggak suka sama kamu. Hanya saja saat ini aku mau fokus kuliah dulu.Belum mau pacaran.Nggak papa Yal, aku sabar kok nunggu kamu. Kita jalani kayak biasa aja ya.Jangan ditunggu lah, Sih. Nanti kamu keburu bosan. Soalnya untuk waktu yang lama aku belum mau pacaran. Kita nggak usah ketemu lagi aja ya. Banyak mata kuliah yang harus aku kejar.Itulah kata-kata terakhir Riyal sebelum memutuskan untuk menjauhiku. Katanya belum mau pacaran nyatanya beberapa hari ini dia keluar berboncengan dan peluk-pelukan mesra sama Rani, mahasiswi dari fakultas ekonomi yang juga sering nongkrong di warung tenda es campurku.Dasar pembohong! umpatku dalam hati.Es campurnya satu ya, Mbak, ujar seorang laki-laki yang ntah kapan datangnya tiba-tiba sudah duduk di kursi belakang.Pakek durian nggak, Mas? Aku menawarkan.Hem... Begitu jawabnya, menandakan setuju.Aku mengantarkan semangkuk es campur ke mejanya, lalu ikut duduk di hadapannya.Mas bukan mahasiswa sini ya? Kok saya nggak pernah lihat, sapaku sok akrab, kepada pria yang rambutnya setengah gondrong ala-ala Oppa Korea jaman now.Memangnya, Mbak hapal semua mahasiswa di kampus sebesar ini? jawabnya sambil menyeruput es campurku dengan sendok bebeknya.Nggak juga sih, tapi kan biasanya wajah-wajah mereka familiar karena sering minum es campur di warung saya ini, jawabku cengengesan.Mbak ini lagi patah hati ya? Wajahnya menyiratkan kayak orang yang habis di tolak gitu sama cowok. Laki-laki di hadapanku ini bak dukun yang bisa menerawang.Loh, Mas kok tau? Mas dukun ya? Dengan polosnya aku bertanya. Masak iya orang biasa tau tentang masalahku, padahal dari tadi para pelangganku nggak pernah ada yang nanyakin.Iya, saya dukun, jawab laki-laki yang busananya serba hitam itu.'Benar juga, Mas-Mas ini memang mirip sama ciri-ciri mbah dukun pada umumnya. Rambut panjang, ย dan berpakaiannya yang serba hitam. Hanya penampilannya saja yang lebih muda dari dukun kebanyakan. Mungkin dia menggunakan ajian awet muda kali ya,' batinku dalam hati.Serius, Mas? Ada hal yang bukan-bukan bermain di pikiranku.Iya, Mbak mau saya tolongin buat balas dendam sama cowok yang udah nolak cinta Mbak? Bussettt....ย  Orang ini bisa membaca pikiranku. Nggak salah lagi, dia pasti dukun sakti.Aku celingak celinguk menoleh kekanan dan kekiri, untung warung lagi sepi saat ini. Untuk saat ini hanya mbah dukun di hadapanku ini satu-satunya pelangganku.Setelah memastikan semua aman dan terkendali, aku memajukan sedikit wajahku ke hadapannya. Dengan setengah berbisik aku bertanyaEmang bisa?Dia juga tak mau kalah, ย wajahnya juga dimajukan sedikit ke arahku. Sambil tersenyum dan setengah berbisik,Bisa aja, tapi nggak gratis. Lalu kembali memundurkan wajahnya.Iya, saya tau. Di dunia ini nggak ada yang gratis, sahutku membenarkan posisi dudukku kembali.Cintaku sudah setengah mati kepada Riyal. Rasanya sakit sekali hati ini dibohongi untuk beberapa waktu yang cukup lama.Bagaimana tidak, dia selalu minum es tanpa membayar di warungku. Bahkan dia juga sering meminjam uangku yang jumlahnya cukup lumayan untuk membayar biaya kuliahnya.Saat aku mencoba meminta kembali uang yang dia pinjam, dengan manisnya dia mengeluarkan kata-kata manis yang membuatku serasa melayang dan benar-benar jatuh cinta.Benar apa yang dikatakan sepupuku Tina, Riyal hanya memanfaatkan kepolosanku saja. Tadinya aku sama sekali tidak percaya dengan kata-katanya. Tapi melihatnya terus-terusan berduaan sama Rani membuatku sadar, aku benar-benar telah dimanfaatkan.Malah sekarang mereka berdua udah nggak pernah lagi minum es di tempatku. Salahku sendiri terlalu polos sehingga tidak menyadari kalau warung es campurku ini jadi tempat pedekatenya mereka.Rencanaku sudah bulat. Aku harus balas dendam. Mungkin takdir ini juga yang membuat Mbah dukun ini tiba-tiba muncul di hadapanku.Baik Mas, saya mau melakukannya. Berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk membalas dendam sama cowok yang udah menolak saya?Laki-laki di hadapanku sedikit berpikir. Matanya terpejam pelan lalu menarik nafas dalam-dalam.Sepuluh juta, sampai tuntas!Busett dah... sepuluh juta?? .Nggak salah itu Mbah, sepuluh juta? Kalau sepuluh juta, ya mendingan saya operasi pelastik aja biar cantik. Aku berujar kaget.Ya udah, kalau Mbaknya emang mau operasi plastik ya silahkan. Emang cukup sepuluh juta buat permak semua... Mbah dukun memandangku dari atas ke bawah.Idih ni orang, mau bilang aku jelek aja pakai segan-segan.Ya udah la Mbah, nggak jadi. Kemahalan, sahutku menyerah. Padahal jauh di dalam lubuk hati aku benar-benar ingin membalas dendam pada Riyal.Mungkin saja kalau aku bersikap jual mahal, Mbah dukun ini akan segera membujukku serta menurunkan tarif yang disebutkannya tadi.Kalau menurut penerawangan saya, aura Mbak ini sudah tertutupi. Sebenarnya mbak ini cantik, lelaki manapun pasti akan tergoda dengan pesona Mbak. Dia mulai merayuku.Kalau Mbak mau saya bisa bantu, dalam kurun waktu tiga bulan Mbak pasti menemukan laki-laki yang benar-benar tulus mencintai mbak.Wah, tawarannya benar-benar menggiurkan. Jadi kalau aku mengikuti sarannya, dalam waktu tiga bulan Riyal bakalan klepek-klepek sama aku.Kalau boleh tau, itu pakek ajian pelet apa ya, apa nggak ada yang instant aja gitu. Yang tiba-tiba besok ketemu langsung jatuh cinta ke saya. Aku mulai tak sabar membayangkannya.Semua butuh proses Mbak. Kalau mau, detik ini juga saya bisa buat laki-laki yang Mbak suka bertekuk lutut di hadapan Mbak.Masak sih Mbah. Kalau gitu saya mau dong, buat Riyal klepek-klepek sama saya.Bisa Mbak, tapi tarifnya seratus juta. Aku sampai tersedak mendengarnya .Mbah, yang sepuluh juta aja saya nggak sanggup, apalagi ditambahin satu nol lagi di belakang. Aku merendahkan suara, berharap dia iba dan berubah pikiran.Nggak bisa Mbak. Ini bukan kehendak saya. Saya cuman perantara aja. Aku jadi merinding mendengarnya.Pastilah yang dia bicarakan itu sebangsa jin atau roh halus tempatnya memuja.Ayolah Mbah, kurangin ya. Aku memelas. Cinta buta telah membuatku kehilangan akal sehat. Walaupun aku bukan orang yang alim-alim banget, ย tapi jelas aku tau ini adalah perbuatan syirik.Mbak kayak belik cabe aja ya, pakek nawar. Ya udah gini aja, kalau mau ya mau. Kalau enggak ya enggak. Lima juta net. No tawar!Oke, deal. Kamipun bersalaman tanda kesepakatan.******Aku memecahkan celengan ayam yang sudah hampir setahun ini menemani hari-hariku. Ku pungut selembar demi selembar uang kertas berwarna-warni tersebut.Pokoknya Riyal harus jadi milikku.Hahaha.... Aku tertawa sambil mata melotot-lotot ala pemeran sinetron antagonis.Mo beli apaan kamu, Sih? Tina sepupuku tiba-tiba muncul.Ada deh.... Aku merahasiakannya.Riyal morotin duit kamu lagi?Widih, nggak lah. Udah kapok aku dibohongi terus sama dia. Ini buat keperluan lain. Akupun ย nyelonong pergi.Keesokan harinya aku minta ijin sama bulek Wati untuk tidak berjualan. Hari ini posisiku akan digantikan oleh Tina, putri pertama bulek Wati yang tak lain adalah sepupuku sendiri untuk menjualkan es campur di depan kampus.Hari ini aku berjanji akan menemui Mbah dukun yang kemarin sudah memberikanku alamat rumahnya.Ayo masuk! ucapnya, setelah aku sampai di depan pintu pagar rumahnya yang lumayan baguslah menurutku.Sampai di dalam, aku celingak-celinguk mencari jejak-jejak perdukunan. Tapi nihil, rumahnya bersih dan rapi. Pakai pengharum ruangan juga. Nggak ada sedikitpun aroma kemenyan atau asap-asap dupa seperti yang aku lihat di film-film horor.Beneran dukun nggak sih ini? batinku dalam hati.Mbak belum yakin juga kalau saya ini dukun?Buset dah, aku lupa kalau dia bisa membaca pikiranku. Dalam sekejap dia langsung tau apa yang baru saja kupikirkan.Eng... Enggak kok Mbah. Aku kembali cengengesan. Sekarang aku yakin kalau dia benar-benar dukun sakti.Dia mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu yang super empuk itu. Sudah ada selembar kertas di atas meja yang di atasnya ada sebuah jarum pentul yang aku belum tau untuk apa.Jadi gimana Mbak? Mbak siapkan melakukan perjanjian sama _yang tidak terlihat_? Kalau Mbak yakin kita lanjutkan, ย kalau nggak yakin, Mbak ya pulang aja. Dia mulai tegas.Soalnya kalau sudah melakukan perjanjian, tidak boleh lagi membatalkan sampai waktu yang ditentukan. Kalau tidak, nyawa mbak sendiri yang menjadi ancamannya. Dia melanjutkan dengan wajah yang di tegang-tegangkan dan mata yang dibesar-besarkan.Hufftt.... aku benar-benar gugup.******Aku masih berpikir ingin meneruskan ini atau tidak. Tapi bayang-bayang Riyal saat berboncengan mesra dengan Rani, jadi lebih membulatkan tekadku.Baik Mbah, saya mau! seruku dengan yakin, walau jantung ini dag dig dug dag dig dig suara sepatu kuda.Mbak siap mengikat kontrak dengan _yang tidak terlihat_kan? Rambut-rambut halus di sekujur tanganku mulai berdiri mendengar kata-katanya.Siap, Mbah.Di sini ada selembar kertas putih yang sudah berisi perjanjian, dan pantangan-pantangan serta beberapa ritual yang harus Mbak lakukan.Mana Mbah, kok kertas kosong? Aku mengutarakan apa yang aku lihat karena kertas yang ada di atas meja tersebut memang benar-benar kosong.Hanya orang-orang sakti seperti saya yang bisa lihat Mbak. Mbah dukun beralasan.Kalau Mbak nya juga sakti ngapain minta pertolongan saya?Oh, begitu Mbah. Saya minta maaf.Sekarang Mbak taruh uang lima jutanya di atas meja, lalu tanda tangan cap jempol dengan darah di atas kertas perjanjian! Mbah dukun memerintah.Pake darah Mbah? Nggak bisa pake tanda tangan biasa aja?Nggak bisa! sergahnya.Itu ada jarum pentul, tusuk aja sedikit jempol Mbak, lalu tempel di kertas biar darahnya langsung menempel.Waduh Mbah, saya takut sama jarum. Aku menggerak-gerakkan kepalaku seperti merinding.Ya sudah, pakek darah saya aja. Tapi tetap pakek jempol Mbak ya?Oke Mbah.Kulihat Mbah dukun menusuk jempolnya dengan jarum dengan wajah yang sedikit di tekuk. Pasti dia juga kesakitan.'Kok ada ya, dukun rela berkorban demi pasien. Baik bener,' batinku dalam hati.Dia lalu mengacungkan ibu jarinya, dan memberi kode agar aku melakukan hal yang sama.Ibu jari kami saling menempel, sentuhan pertama yang membuat sekilas ada rasa yang lain di hati ini. Apa lagi Mbah dukun yang awet muda ini masih tergolong guanteng untuk ukuran seorang pria.Waduh, aku tersadar dan segera menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat untuk mengusir perasaan yang sekilas lewat tadi.Jangan sampai Mbah dukun kembali membaca pikiran nakalku itu.Akhirnya perjanjian selesai, meski aku tak tau isi kontrak yang baru saja aku stempel dengan darah tadi.Aku pun pulang dan menunggu kabar selanjutnya dari Mbah dukun.*****Seperti biasa, aku melayani pembeli es campur yang kebanyakan adalah mahasiswa, selebihnya ya mahasiswi karena aku memang membuka lapak jualan di depan sebuah universitas negeri di kota Medan.Tak lama Mbah dukun muncul, masih tetap sama dengan gaya berpakaiannya yang casual dan serba hitam.Dia menyodorkan sebuah bag papper berukuran sedang di atas meja. Aku menghidangkan es campur dengan durian yang langsung disambar olehnya.Apa ini Mbah? tanyaku sambil memeriksa isi dalamnya.Itu ramuan yang sudah saya buat tengah malam tadi. Di dalamnya juga ada secarik kertas sebagai petunjuk pemakaian. Harus ditaati, kalau sampai sekali saja kamu langgar, tau sendiri kan akibatnya? ujarnya sambil membesarkan mata ke wajahku, lalu kembali menghirup es buatanku.Nih, uang es nya. Saya masih ada urusan lain. Dia bangkit setelah meletakkan selembar uang sepuluh ribu.Eh, nggak usah Mbah. Ambil aja uangnya, cegahku sambil mengulurkan uang tadi.Lho, Mbak kan jualan. Saya ini profesional. Upah ya upah, kalau jajan tetap harus bayar.Saya jadi nggak enak Mbah. Oh iya Mbah, jangan panggil Mbak dong. Saya jadi segan nih, panggil aja saya Asih.Nah, kamu sendiri kenapa manggil saya Mbah? Kan biasanya kalau dukun emang maunya dipanggil begitu, pengen dihormati. Atau jangan-jangan... Ya udah, panggil Mbah juga nggak papa. Saya juga udah tua kok, gerutunya sambil melangkah dengan cepat meninggakanku yang belum selesai meneruskan kata-kata.Lagi-lagi Riyal lewat dan memilih mangkal di warung es campur seberang dengan pacarnya Rani. Dia menoleh sedikit ketika melewati warungku ku lalu dengan angkuh membuang mukanya dengan terus merangkul bahu Rani.Awas saja kamu ya, tunggu pembalasanku..... Aku menjalankan ritual pertamaku malam ini. Dengan menahan lapar aku berbaring dengan wajah penuh kerak, karena tertupi serbuk kuning yang sudah mengering.Tumben maskeran, ujar Tina yang baru masuk.Masker? Benar juga, benda ritual ini memang lebih mirip masker ketimbang sesajen. Aku mengiyakan saja, agar Tina tak curiga kalau aku sedang melakukan ritual perdukunan.Masker ini sudah mengering, sesuai instruksi si Mbah aku membilasnya. Kukeluarkan wadah polos selanjutnya yang bertuliskan _malam_ untuk kemudian kupoles di wajahku.Kamu makek skincare apa, Sih? Tina lagi-lagi bertanya.Ha, skincare? ย Eh iya, aku baru beli, ucapku berbohong.Tina mendekat dan langsung mengambil wadah di meja riasku.Kok nggak ada merknya sih. Kalau krim abal-abal gimana? Beli krim kayak yang aku pakai aja. Tuh liat mukaku, kinclong kan?Ogah, krim kamu bau. Lengket lagi. Ini tuh beda, krim nya wangi, dingin di kulit. Nggak lengket pulak. Aku menepuk-nepuk pipiku dengan jari.Aku merampas wadah krim hasil racikan Mbah dukun dan langsung menuju ke ranjang agar Tina tak lagi bertanya.Keesokan harinya seperti biasa aku melayani para pelanggan. Hari ini agak mendung, tak banyak mahasiswa yang datang.Tumben Kak, pakek masker penutup wajah. Lagi perawatan ya? seloroh salah satu mahasiswi langgananku.Hehehehe.. .. iya, sahutku yang memang sedari tadi memakai masker untuk ritual.Pengap rasanya. Tapi kata si Mbah, kalau tidak kulakukan bisa-bisa nyawaku.... hiiii..., aku bergidik ngeri.Sudah seminggu ritual ini kujalani, berat juga memang. Harus puasa, ngolesin segala macam racikan ke wajah, nggak boleh nunjukin wajah ke orang-orang. Aneh-aneh aja ritualnya.Tapi bagus juga sih, nggak terlalu seram-seram banget pakek mandi kembang tengah malam segala.Ntar malam kamu mandi kembang ya! Suara yang sudah tidak asing itu mengagetkanku.Yaelah Mbah, baru juga dibilangin.Oh, jadi kamu nggak mau? Nggak takut nih sama akibat melanggar perintah?He eh, iya Mbah, Takut. Aku nyengir kayak kuda Berastagi.####Sepulang berjualan aku kembali menemui si Mbah di tempat yang sudah di janjikan.Kami sampai di depan sebuah tempat spa dengan skor bintang empat yang lumayan mewah. Sebelumnya aku memang pernah ke tempat seperti ini, tapi tentu saja hanya untuk menemani sepupuku Tina yang terkadang rutin melakukan perawatan.Tina sering memaksaku malakukan treatment untuk memanjakan tubuh, namun aku selalu menolak dengan alasan ingin berhemat.Aku bahkan tidak ingin membuang-buang uang untuk sekedar membeli skincare untuk merawat wajahku yang banyak jerawat ini.Tapi anehnya, saat Riyal membujukku untuk meminjamkan uang, aku nya langsung ho oh aja tanpa pikir panjang. Itulah yang sering membuat Tina marah kepadaku.Untuk diri sendiri aja pelit, giliran cowok brengsek kayak Riyal minta duit, langsung aja kamu kasi. Dasar bego! gumam Tina kala itu.Dan saat ini, disinilah aku sekarang. Apa iya salon spa ini juga menganut ilmu hitam untuk tempat ritual mandi kembang praktek perdukunan?Ingat ya, nggak ada sesi tanya jawab. Nggak usah sok akrab ngajakin ngobrol segala. Pokoknya diem! Wejangan Mbah dukun tadi, menerorku dengan pesan whatsapp sepanjang jalan, sebelum sampai ke tujuan.Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.'Pantas saja tempat-tempat seperti ini selalu ramai pengunjung. Rupanya ada hal gaib dibalik semua ini,' batinku dalam hati.Kenapa? Takut? Tuk kesekian kalinya Mbah dukun satu ini berhasil menerobos isi dalam kepalaku.Aku menggaruk rambut bagian belakangku yang tidak gatal.Sedikit Mbah, jawabku yang sudah tertangkap basah olehnya.Kalau takut pulang aja, tapi ingat.... Wajahnya kembali dimajukan ke arahku sambil menaikkan sedikit alisnya.Iya Mbah, saya sudah paham.Ayo masuk! serunya, sambil memberikan kode dengan kepalanya.Aku menurut dan mengekorinya dari belakang...**** Aku memasuki ruangan yang cukup luas dan mewah ini. Si Mbah hanya mengantarku sampai lobi depan setelah sebelumnya ngobrol sekilas dengan Mbak-Mbak berbaju seragam batik itu.Kulirik sesekali wanita tersebut mengacungkan ibu jarinya ke arah si Mbah, seperti melakukan perjanjian ritualku kemarin.Tidak salah lagi, wanita itu pasti salah satu pasiennya juga. Kalau benar seperti itu, berarti Mbah dukun yang satu ini pastilah benar-benar sakti.Bagaimana tidak, wanita yang berdiri di hadapannya sekarang terlihat sangat menarik. Jangankan laki-laki, aku saja sampai sebegitu mengagumi kecantikannya.Yes, jangan ragu lagi. Sebentar lagi aku juga akan menjelma bak bidadari seperti itu. Hatiku girang tak karuan.Ayo Mbak, ikut saya! ucap gadis itu.Ba baik Mbak, ucapku tergagap.Aku mengikutinya masuk kesebuah ruangan untuk berganti pakaian, meninggalkan si Mbah dukun yang mengantar kepergianku dengan tatapan dalam sampai tak lagi terlihat.Beginilah ritual perdukunan secara modern. Aku benar-benar disuruh berendam dengan air yang ditaburi banyak bunga.Untungnya tidak harus kulakukan di rumah pada tengah malam. Selain menakutkan, seisi rumah juga bisa curiga atas perbuatan syirik yang kulakukan ini.Sudah kepalang tanggung, aku juga sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk bisa sampai ke tahap seperti ini.Lagipula selama aku tidak melanggar pantangan, tidak akan ada hal buruk yang terjadi padaku, sampai waktu yang di janjikan.Aku juga tidak perlu menumbalkan manusia atau salah satu keluargaku untuk menjalankan misi ini. Jadi kupikir, setelah berhasil mendapatkan Riyal, aku akan segera bertobat untuk mengurangi dosa-dosaku.Puas berendam, gantian tubuhku yang diurut wanita tadi. Sepertinya dia memang seorang therapist. Therapist ghaib pastinya.Si Mbah bilang dia bisa mengusir seluruh roh jahat yang sekarang ini bersemayam di tubuhku. Dengan bantuan wanita ini dia akan mengeluarkan ย semua hal-hal negatif yang kini sudah mengendap di seluruh aliran darahku.Hii... aku bergidik ngeri. Pantas saja tak seorangpun yang melirikku atau mengajakku kencan sampai saat ini. Padahal aku sudah bersikap ramah kepada mereka.Hanya Riyal saja yang setiap hari selalu setia mengeluarkan kata-kata manis. Tapi karena aura buruk di tubuhku, dia juga menjauh dan pergi.Tapi tentu saja ritual mengeluarkan aura negatif ini memang harus dilakukan oleh wanita. Kalau sampai si Mbah yang melakukan... Hihihi... Aku geli sendiri memikirkannya.Apa-apaan aku ini. Lagi-lagi pikiran nakal tentang si Mbah bermain di kepalaku.Untung dia tidak disini, dan kurasa dinding ini cukup tebal sehingga tidak bisa di tembus oleh kemampuannya membaca pikiran.****Aku keluar dari tempat spa setelah terlelap sebentar karena nikmatnya pijatan wanita tadi.ย  Si Mbah sampai tertidur di sofa, saking lamanya menunggu.Sudah selesai? tanyanya sambil membuka mata. Ternyata tidurnya tidak terlalu nyenyak.Udah, Mbah.Gimana? Enak, kan? Nikmat banget Mbah, kalau begini setiap hari juga saya mau. Lagi-lagi aku cengengesan.Kalau tiap hari tarifnya dobel! serunya sambil berlalu keluar.Udah jam delapan, Mbah. Saya pulang dulu ya, takut di cariin. Aku meminta ijin.Enak aja langsung pulang. Ada satu ritual lagi nih buat malam ini.Kami berboncengan naik sepeda motornya yang membuat bokongku nungging ke atas. Seumur-umur ini kali pertama aku di bonceng oleh laki-laki lain selain om Sugi suami bulek Wati dan Teri adiknya Tina.Itupun hanya mengantar dan menjemputku pulang dari jualan. Tidak pernah sampai keliling-keliling kota seperti ini.Aku juga baru tau kalau si Mbah punya motor beginian. Biasa kalau singgah ke warung selalu berjalan kaki, karena tak pernah sekalipun kulihat sepeda motor ini terparkir di depan warungku.Nih makan buat malam ini! serunya sambil menyodorkan sesisir pisang setelah kami sampai di kedai buah.Lho, kok pisang lagi? Aku memasang muka memelas. Sudah seminggu ini aku tidak boleh makan nasi saat malam. Benar-benar menyiksa.Jadi nggak mau? Tetap sama wajahnya seperti dizoom ke arah wajahku dengan alis yang masih naik turun.Dengan terpaksa aku menerimanya dan segera pulang.****Part 6-10Tidak terasa sudah hampir sebulan aku menjalani ritual yang hampir menyiksaku saat ini. Bagaimana tidak, celanaku yang biasanya lengket sampai menjepit paha, kini terasa kian melonggar.Ritual puasa ini terkadang membuatku lemas, tapi mau bagaimana lagi. Ini sudah jalan yang harus kutempuh.Mbak Asih, es campur duriannya dua, ya! seru salah seorang mahasiswa yang baru saja duduk.Oke! sahutku terbiasa.Makin langsing aja nih Mbak Asih. Diet, ya? celetuk temannya yang di samping.Iya dong, jawabku lagi, dengan percaya diri.Nah, gitu dong. Kalau begini kan enak diliatnya.Kalau begini, saya bisa naksir nih. Mereka sahut-sahutan menggodaku.Iya nih, malah sekarang wajahnya makin glowing. Mbak Asih ternyata cantik, ya.'Ha! Cantik? Mati aku. Aku sampai lupa memakai masker yang disarankan Mbah dukun. Gimana ini, malah lupa bawak lagi,' Aku menggerutu dalam hati.Ada perasaan takut menyelimuti, khawatir kutukan si Mbah kalau aku melanggar pantangan akan segera terjadi.Tapi mau bagaimana lagi, aku merasa senang kalau semua orang bisa melihat wajahku. Dan aku tidak merasa menyesal sama sekali karena baru kali ini aku menerima pujian dari para kelaki. Dua sekaligus.Mungkin ini bonus dari _yang tidak terlihat_ karena aku menurut, jadi sebelum tiga bulan reaksinya sudah terlihat.Lagi pula sudah beberapa hari ini si Mbah tidak datang untuk mengontrol ke warungku. Hanya pesan-pesannya yang seperti menerorku untuk mengingatkan ritual setiap malam. Kali ini aku pasti selamat.Mahasiswa datang silih berganti, namun yang kutunggu tak juga datang. Ugh, seandainya saja dia melihatku, mungkin pikirannya akan berubah dan mulai menyukaiku.Asih?Wah, baru juga dipikirin. Dia langsung datang menyapa.Duh, Riyal. Sudah lama tidak melihatmu dalam jarak sedekat ini. Rasanya jantungku mau copot dan melompat keluar.Tapi tidak, aku harus bersikap dingin dan jual mahal. Dia harus merasakan dulu apa yang aku rasakan.Ada apa? Tumben singgah ke sini. ย Aku berpura-pura.Idih, sombong amat. Baru juga di tinggal sebulan, udah makin cakep aja, gombalnya.Wih, cakep? Aduh, gimana aku bisa pura-pura cuek kalau kata-katanya semanis itu.Tumben nggak sama pacarnya. Abis diputusin, ya? sindirku.Gimana mo putus? ย Pacaran aja nggak pernah, sahutnya sembari duduk. Es yang biasa satu ya, Sih.Bayar nggak, nih? Aku menyindir.Bayar dong. Asih sukak gitu ih. Bercanda aja kerjanya, jawabnya, karena takut malu didengar pelanggan yang lain.Sengaja aku membesarkan volume suaraku hanya untuk memberi pelajaran karena sering morotin uangku. Aku pun mengantar pesanannya ke atas meja.Duduk disini aja dong, Sih. Kan kita udah lama nggak ngobrol-ngobrol. Kamu sakit ya, kok agak kurusan. Jangan sakit-sakit dong, bikin khawatir aja.'Ya ampuuunnm..., kenapa kata-katanya nggak bisa membuatku bersikap cuek untuk waktu yang lama. Mbah dukun, terima kasih. Mantramu memang sakti.' Aku berucap girang di dalam hati.Aku pun mengobrol santai dengan Riyal seperti biasa. Kali ini hatiku luluh lagi, bahkan aku tak berniat mengambil bayaran dari es campur yang diseruputnya hingga habis tak bersisa.Tiba-tiba terdengar suara gebrakan meja dari depan warung. Aku ternganga melihat siapa yang datang. Dia terus memandang ke arahku dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah, lalu berbalik dan melangkah pergi.Mbah! Aku mengejarnya sampai ke seberang jalan.Kamu melanggar pantangan, Asih! Kali ini wajahnya tidak maju ke arahku, hanya matanya saja yang melotot dan hampir mau keluar seperti hendak melopat dan menerkamku.Ma maaf, Mbah. Saya tadi kelupaan bawa masker.Selain itu, apa lagi yang kamu lupa, ha?Nggak boleh bicara sama Riyal sebelum tiga bulan. Aku langsung menutup mulut karena baru teringat bahwa itu juga salah satu pantangan.Terima sendiri akibatnya, Asih. Aku tidak dapat lagi menolongmu. Si Mbah pergi dengan wajah yang berapi-api meninggalkan penyesalan di hati..Aku membaringkan diri di ranjang setelah selesai membilas wajah dan memakai ramuan. Aku tidak tau lagi harus bagaimana membujuk si mbah agar mengampuni kesalahanku.Sudah puluhan pesan kukirimkan ke ponselnya, bahkan panggilan suara pun tak sudi dia mengangkatnya.'Dasar orang aneh,' pikirku. 'Kalau tidak mau membalas, kenapa harus di read.'Kulihat pesan yang kukirimkan sudah centang dua berwarna biru semua. Namun tak ada tanda-tanda tulisan sedang mengetik titik titik.Ternyata kemarahan si mbah lebih menakutkan dari bayangan taruhan melanggar perjanjian yang selama ini menghantuiku.Aku juga heran kenapa wajah si mbah sampai merah menahan amarah seperti itu. Padahal kalau aku mati, ya mati aja, toh uang udah aku kasi semua. Dia tidak akan merasa rugi apa pun juga.TringBunyi pesan masuk di ponselku.[Temui aku besok tepat jam dua belas. Akan kukirim alamatnya.][Jangan sampai terlambat.][Ingat ya, jangan pakai seragam kerja.]Setelah sekian lama akhirnya si mbah mau membalas pesanku.[Boleh bawa teman nggak, Mbah? Soalnya saya takut keluar tengah malam.] Aku membalas.[Jam dua belas siang, Asiiiih... ( emoticon wajah mengeluarkan asap dari hidung).][Oh, oke. Siap Mbah.]Aku merasa lega karena akhirnya si mbah mau berbaikan lagi denganku. Tapi ngomong-ngomong soal seragam kerja, apa maksudnya?Sejak kapan aku jualan memakai seragam. Walaupun setelan yang selalu kupakai memang tidak pernah berubah selain celana jins dan kaos distro yang biasa dipakai cowok.Terkadang baju itu pun aku terima dari Teri, adiknya Tina yang sudah bosan memakai baju yang itu-itu saja. Lumayan juga sehingga aku bisa berhemat.Tapi setidaknya dia tidak perlu mengejekku seperti itu. Dasar dukun cabul. Ups! aku langsung menutup mulut takut terdengar oleh telepati mbah dukun.******Aku mengobrak abrik isi lemari, setelah sebelumnya mewek meminjam baju kepada Tina.Dia percaya saat kubilang akan menghadiri pesta ulang tahun Sandra, tetangga lamaku dari pulau Jawa yang saat ini sudah pindah ke Medan.Kamu nggak pergi sama Riyal, kan? Ish apaan sih. Sejak kapan dia pernah ngajakin aku jalan. Aku minta diantar pulang aja, dia nggak pernah mau.Nah itu kamu tau sendiri. Awas aja ya kalau sampai ketauan kamu pergi sama dia.Iya, iya. Cerewet.Aku menatap diri di cermin, kemeja Tina berwarna krem sangat cocok dipadukan dengan rok katun di bawah lutut berwarna senada.Tina juga meminjamiku sepatu kets berwarna putih yang baru dibelinya kemarin. Aku sendiri yang melepas labelnya. Malu kalau sampai dilihat orang.Tak lupa Tina juga memoles sedikit riasan di wajahku yang mulai kinclong ini. Kurasa dia juga percaya kalau selama ini yang kupakai itu adalah skincare, sehingga dia tidak terlalu heran dengan perubahan wajah dan kulitku.Aku sampai di gedung bioskop di dalam sebuah mall yang di tunjuk si Mbah sebagai tempat pertemuan kami kemarin.Kamu baru sampai?Seorang pemuda tampan dengan tinggi menjulang memakai topi bertuliskan huruf N tertimpa Y memakai jaket hoodie berwarna putih agak krem dan bersepatu sneakers barusan sedang menyapaku.Aku terperangah heran.Kamu siapa? .Pemuda tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket lalu memajukan sedikit wajahnya ke arahku.Asih... Sambil memandang dengan alis yang sedikit dinaikkan.Si Mbah? Aku spontan berucap karena suara dan gaya bicaranya sudah tidak asing lagi di telingaku.Aku memukul lengannya dengan refleks seperti kami sudah berteman cukup dekat.Mbah kok beda banget, sih? Aku bersikap jujur.Beda apanya? Dia mengusap bekas pukulanku dengan tangan satunya.Mbahnya jadi guanteng, pujiku, sambil cengar-cengir.Emang biasanya enggak?Ganteng sih. Tapi ini, keliatannya beda aja gitu.Si mbah senyum-senyum sendiri atas pujianku sambil sedikit membusungkan dadanya.Si Mbah-nya ritual selama berapa bulan? Kok bisa berubah jadi ganteng kek gini. Sama nggak kayak ritual yang saya jalani selama ini?Perlahan senyuman di wajahnya mulai sirna, berganti dengan raut wajah kecut yang siap untuk menerkamku.Asih..! panggilnya dengan senyum seperti dipaksa.Iya Mbah. Aku menyahut lembut.Dari kecil saya udah ganteng. Titik. ย Lalu melangkahkan kaki tanpa menoleh.Aku segera berjalan cepat mengekorinya dari belakang.Tapi Mbah, saya kan juga mau... Diem ! Dia terus melangkah ke arah loket untuk memesan tiket film.Dua jam lamanya kami berada di ruangan luas yang gelap gulita tak bercahaya dengan suara speaker yang begitu kuat membuat jantungku berdebar-debar.Akhirnya lepas juga penderitaanku dan bisa menghirup udara segar lagi setelah sebelumnya abis teriak-teriak penuh ketakutan.Si Mbah memang keterlaluan. Bukannya milih film romantis atau film kartun animasi, malah nonton film horror yang betul-betul menakutkan.Berkali-kali aku menarik lengan jaketnya dan menutup wajah ke bagian dadanya. Anehnya dia tidak menghindar sama sekali dan makin asik dengan tontonannya.'Memang dasar dukun, ย hobinya nggak jauh-jauh dari yang serem-serem,' umpatku dalam hati.Itu perintah dari _yang tidak terlihat_ sebagai hukuman atas pantangan yang kamu langgar! jawabnya ketus, saat aku bertanya kenapa dia memilih film itu.Aku terpaksa percaya, setidaknya aku sudah membayar kesalahan dan bebas dari hukuman mengerikan.Mbah, kok tumben nggak pakek baju warna hitam? Aku memberanikan diri meraih lengannya seperti bergelayut sambil berjalan mengiringi langkahnya.Dia tak menghardik atau menyuruhku melepaskan tangannya dari rangkulanku.Masih di londri, jawabnya datar.Abis ini kita ke mana? Aku sudah merasa semakin akrab dengan guru spiritualku ini.Naik itu mau? Dia menunjuk ke sebuah sepeda motor berbentuk singa berbulu lebat yang di naiki seorang anak mengelilingi kami.Aku tertawa lepas tanpa beban, merasakan kebahagiaan yang kuingat terakhir kali kulakukan saat masih sekolah dasar.Dia juga terlihat tertawa bahagia, berbeda dengan wajah Mbah dukun yang selama ini selalu bersikap dingin dan ketus.Intinya hari ini ,kami adalah sepasang anak manusia yang berbeda. Aku dengan perubahanku, dan dia dengan perubahannya.ย  .Tak terasa sudah dua bulan aku menjalani ritual seperti ini, dan akupun sudah mulai terbiasa. Seiring berjalannya waktu semua semakin terasa mudah.Apalagi sekarang sikap si mbah sudah mulai manusiawi dalam memperlakukanku. Hanya terkadang _yang tidak terlihat_ tempatnya memuja, roh halus, jin iprit atau apapun namanya, suka memberi ritual yang aneh-aneh.Pernah dia menyuruh si mbah mengajakku melemparkan batu-batu kecil yang kami beli di toko akuarium ke danau buatan di Hairos Waterpark, sambil menaiki bebek dayung. ย Kita ini sedang mengusir roh jahat, Asih, ujar si mbah dengan suara khasnya sambil bersandar dengan kaki tetap mendayung di celah dada bebek.Bahkan dia juga menyuruhku menuliskan nama Riyal di secarik kertas, lalu membuangnya di kandang buaya kebun binatang Simalingkar.Biar sifat buaya Riyal hilang! Kata si Mbah lagi-lagi.Ritual yang aneh. Walaupun itu semua sepadan dengan hasil yang kuperoleh.Sekarang semua orang menatapku dengan pandangan yang berbeda. Penjaga minimarket dengan logo berwarna merah itu sekarang selalu tersenyum manis saat aku hendak membayar.Tak ada lagi kata-kata, Seratus rupiahnya boleh disumbangkan, Bu? Memangnya sejak kapan aku kawin dengan Bapaknya?****Kayak burung kamu, makan pisang setiap hari, sindir Tina saat melihatku melahap setengah sisir pisang di kamar.Emang pisang buat burung?Nggak juga sih, aku cuman segan aja bilangin kamu kayak monyet.Aku melempar bantal ke arahnya.Makan nasi sana. Biasa kalau mamak masak daun ubi tumbuk, kamu bolak balik nambah. Nanti kebuang itu kalau nggak kamu yang ngabisin.Udah, tadi siang, sahutku dengan pipi menggelembung penuh pisang.Aku hanya diperbolehkan makan nasi beserta lauk pauknya hanya pada saat siang hari.Om jin lagi tidur, kata si mbah menerangkan.Kalau makan pisang terus bisa mati nanti.Justru kalau pisang ini nggak kumakan, aku bisa mati. Si Mbah nggak bakalan bisa nolongin lagi kalau aku melanggar pantangan.Tina terdiam mencerna setiap ucapanku. Aku langsung menutup mulut dengan telapak tangan, merasa keceplosan dengan ritual si mbah.Kamu ngomong apa tadi? Tatapan curiga Tina mulai terlihat.Eh, aku ngomong apa? Enggak ada kok.Tina terus menatap dalam kepadaku dengan jurus tatapan mata elangnya. Dulu dia juga pernah melakukan jurus seperti ini agar aku mau mengaku kemana kuhabiskan uang yang selama ini kutabung.Dan aku segera mengakui bahwa uang itu aku pinjamkan sebagian besar kepada Riyal. Jurus tersebut memang sungguh dahsyat. Aku tak dapat berkutik dibuatnya.Tapi tidak saat ini, jurus itu tak kan bisa memperdaya aku lagi. Sampai matipun aku takkan pernah mengaku kalau aku ini main dukun.Dan saat ini, disinilah kami berada.Tok tok tok...Aku mengetuk pintu rumah berwarna coklat tua.Ngapain disini? tanya mbah dukun yang nongol setelah pintu terbuka.Aku terpaksa mengakui segalanya kepada Tina, kalau tidak dia mengancam akan mengadukanku kepada bulek Wati dan om Sugi, orang tuanya.Dan ternyata jurus mata elang Tina memang tidak bisa dikalahkan.Heh, kamu dukun palsu. Cepat balikin uang sodaraku. Kalau enggak aku teriakin nih biar orang-orang pada datang! Tina berkacak pinggang lalu menunjuk-nunjuk muka si mbah yang dari tadi hanya bersikap tenang.Ampun dah, matilah aku kali ini di buat si Mbah...Mbah dukun menatap tajam ke arahku sambil menaikkan salah satu alisnya, menunggu jawaban atas kekacauan yang dibuat Tina.Ampun Mbah, saya terpaksa ngomong. Ini Tina, sepupu saya. Dia.... Ayo masuk! Si Mbah segera memotong ucapanku yang belum selesai.Dia berlalu masuk ke dalam. Tina dan aku mengikutinya untuk segera menyusul.Kamu diluar aja, Asih! ujarnya tanpa menoleh ke belakang.Akupun mundur teratur dan kembali duduk di kursi teras depan. Tina tetap kekeuh mengikutinya masuk tanpa rasa takut.Jantungku berdebar-debar tak karuan. Apa yang akan dilakukan si Mbah? Apakah Tina dalam bahaya? Bukankah ini semua adalah salahku?Aduh, bagaimana ini? Kalau terjadi apa-apa sama Tina, aku harus bilang apa sama orang tuanya? ย Lima menit sepuluh menit lima belas menit, belum ada tanda-tanda pergerakan dari mereka.Aku harus bertindak. Aku akan mempertanggungjawabkan semuanya dan menyelamatkan Tina dari kemurkaan si Mbah. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab.Aku tidak mungkin membiarkan Tina jadi korban atas kesalahan yang kubuat. Aku harus segera masuk dan menolongnya meski harus melawan si mbah.Akupun bangkit dan bergegas hendak masuk. Lalu tiba-tiba keningku di sorong oleh si mbah dengan jari telunjuknya yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu, sepupuku Tina sudah berdiri di sebelahnya.Dibilangin jangan masuk, ngeyel! seru si mbah.Eh, anu Mbah.. Udah yuk pulang! ajak Tina tanpa disangka-sangka.Dia berjalan keluar dari teras si mbah. Aku yang terperangah menoleh kepada si mbah berharap mendapat jawaban. Si mbah hanya mengangkat bahu dan menyuruhku menyusul Tina dengan kepalanya sebagai kode.Saya permisi dulu, Mbah! Lalu berlari kecil menyusul Tina.Si Mbah ngomong apa, Tin? tanyaku penasaran saat kami sedang menunggu taxi online datang yang tak berapa jauh dari rumah si mbah.Nggak ada, sahutnya santai.Seperti bukan dia saja yang tadi ngamuk-ngamuk kayak emak-emak lagi ngelabrak pelakor.Aku pun lega karena masalah ini tidak terlalu dibesar-besarkan Tina. Si mbah memang super sakti mandraguna tiada tanding tiada banding.Jangankan ingin meluluhkan hati Riyal untukku, ย hati Tina yang sedari rumah tadi panas seperti api berkobar-kobar bisa langsung menjadi dingin, seperti es campur yang kujual sehari-hari.'Pokoknya ai lop yu lah Mbah.' Aku histeris sendiri di dalam hati. Eh apa-apaan lagi ini pikiranku. Ada-ada aja.Mbak Asih? Seorang gadis tiba-tiba menyapaku dari balik kaca jendela mobilnya.Eh, Sandra. Ngapain kamu disini? sahutku girang.Sandra pun turun dari mobil Honda Jazz putih yang sering dipakainya ke kampus.Sandra mo mampir ke rumahnya Mas Damar. Mbak Asih mau ikut? Kan udah lama banget nggak ketemu sama mas Damar. Sandra menawari.Loh, mas Damar tinggal di sekitar sini, ya?Iya Mbak. Mas Damar pasti senang ketemu lagi sama mbak Asih.Lain kali aja ya, San. Mbak Asih masih ada urusan.Terus Mbak Asih ngapain disini? Aku melirik ke arah Tina yang sedang menunggu jawaban asal dariku.Hehehe... Kami lagi nyasar, salah alamat, jawabku cengengesan.ย  .Sandra.Saat masih kecil, aku dan Sandra tinggal di kota Jakarta. Rumah yang kami tinggali tepat bersebelahan. Aku dan Sandra sering bermain bersama walau usia kami berbeda dua tahun.Sandra juga mempunyai seorang kakak laki-laki yang sangat baik kepadaku. Aku memanggilnya Mas Damar, karena usianya memang lima tahun lebih tua diatasku.Karena suatu alasan aku pindah ke rumah nenek di kota Yogyakarta. Setelah lulus sekolah menengah, ย tak lama Nenek meninggal karena penyakit tuanya.Tak ada siapa-siapa lagi di sana. Kakek yang sudah lama meninggal menjadikanku hidup sebatang kara.Lalu bulek Wati, adik kandung ibu mengajakku ikut serta bersamanya yang sudah lama merantau di kota Medan ini. Hingga sampai saat ini, disini lah aku tinggal.Beberapa bulan yang lalu, aku baru mengetahui kalau Sandra ternyata kuliah di tempatku berjualan. Awalnya aku tidak begitu nengingat, karena Sandra kini sudah tumbuh besar. Tapi karena dia ramah dan mau berbincang-bincang saat minum es di tempatku, sehingga terbukalah tentang cerita masa kecil kami.Dia tidak berubah, masih tetap baik dan selalu ramah. Hanya karena kesibukannya yang padat, sehingga terkadang kami jarang untuk mengobrol.*** Part selanjutnya berbayar ya. Hanya dengan 39 ribu kamu udah bisa baca sampai tamat ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜Š
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan