MENCINTAI ABANG ANGKAT (TAMAT)

23
8
Terkunci
Deskripsi

Part 1

"Bos baru. Bos baru," ucap mereka dengan setengah berbisik. Saling menyenggol dengan siku masing-masing.  

Penasaran, setampan apa wajah putra pemilik salah satu tempat makan ternama di kota Medan tempatku bekerja. Kabarnya dia akan menggantikan posisi Pak Ginting yang sekarang dipindahkan ke cabang lain.

Kami semua melakukan aktivitas sedari pukul setengah delapan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Bu Rini memberi aba-aba agar kami menghentikan aktivitas sejenak.

Wanita setengah...

46,109 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
560
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya L I A R ( TAMAT)
30
21
Part 1Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi glowingku. Membuat rambut lurus berwarnaku sedikit tersibak. Aku tersenyum sinis, melihat laki-laki paruh baya bergaya necis yang kini berada di depanku, dengan wajah merah menahan amarah.Mataku berkeliling mengitari mereka yang berlagak baik dan ingin membelaku, namun tak mampu. Mata mereka berkaca-kaca, mencoba memberikan isyarat bahwa aku harus meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahanku. Munafik betul makhluk-makhluk itu.Aku terus menantang, meski diam. Masih bergeming dengan sorot mata tajam, tanpa air mata. Aku lelah menangis sejak tujuh tahun yang lalu, di hadapan...nya.Bikin malu! Tidak punya harga diri. Kau senang ditonton semua orang? Kau sengaja mempermalukan Papa, ha? Dasar gadis liar. Bereskan masalahmu, atau angkat kaki dari rumah ini!Oh, good. Kenapa tak dari dulu kulakukan hal itu. Dengan begitu, aku punya alasan untuk pergi dari neraka ini.Aku berlalu, setelah kulihat pak tua itu pergi melangkah dan membanting pintu kamarnya. Aku berjalan pelan menapaki anak tangga yang terbuat dari marmer menuju lantai dua. Kamarku.Aku bersandar pada dinding ranjang sembari memeluk lutut. Melakukan yang tak bisa aku lakukan di hadapan mereka. Menangis. Hampir sesenggukan.Lalu derit langkah terdengar dari depan pintu. Sebuah ketukan menyapa, minta dibukakan. Aku bergeming. Sudah hafal betul siapa sesosok itu.Key, panggilnya dari luar sana. Aku masih diam.Key, bukalah! Biarkan Tante masuk.Lalu kudengar lagi suara ketukan yang berulang-ulang, tanda ia belum menyerah.Pergi, kau! Aku melempar kasar tas clutch, yang kubawa dari bawah tadi menghantam pintu.Hening. Mungkin dia sudah kapok, dan memutuskan untuk pergi. Begitulah jika selalu ikut campur urusan orang.Aku bangkit dan berjalan memunguti benda mahal yang kubuang tadi. Mungkin ada sebagian barang yang berada di dalamnya rusak atau patah. Damn! Aku lupa kalau ponsel berhargaku juga belum kupindahkan.Buka pintunya! Suara lain sedang berteriak sambil menggedor dengan begitu keras.Oh, shit. Ibu dan anak sama saja. Munafik dan sok perhatian. Menjijikkan.Buka pintunya, Keyra. Kenapa kau berlaku tidak sopan pada Mama! bentaknya lagi.Aku berjalan mendekat dan membuka pintu dengan kasar.Suruh siapa Mamamu ikut campur semua urusanku. Belum cukup kalian menumpang tinggal dan mengambil semua milikku, ha? Kutantang wajah itu dengan jarak yang hanya sejengkal.Kulihat dia terdiam dengan wajah yang masih tegang menahan emosi. Dengan sedikit kemerahan tentunya. Dia bergerak, mundur selangkah menghindari tatapanku. Aku tertawa sinis melihatnya.Mau apa kau kesini? Mengejekku? Kau merasa menang? Oke, ambil saja rumah ini. Aku tidak sudi lagi menempatinya.Hapus semua fotomu!Bukan urusanmu. Apa kau melihatnya? Begitu seksi, bukan? Aku tergelak, lalu melangkah masuk kembali ke kamar. Menghempas bokong seksiku di ranjang king size.Mana ponselnya? Biar aku yang singkirkan. Dia mengikutiku masuk, dan kini berdiri tepat di depanku dengan menjulurkan telapak tangan.Keluarlah! Kau tak berhak apapun pada hidupku.Berikan saja! Ayahmu tidak akan main-main dengan ucapannya.Kenapa? Kau takut aku benar-benar pergi dari rumah ini?Demi Tuhan, Keyra. Berikan saja ponsel itu! Dia semakin tersulut emosi.Aku semakin tertantang dengan sikap itu. Aku kembali bangkit dan berdiri di hadapannya. Tentu saja harus sedikit mendongak, agar bisa mengimbangi tinggi tubuhnya.Why? Jangan bilang kau tidak ikut menikmati poseku di situ. Cukup menantang, bukan? Kau ingin yang lebih menggoda? Aku mendekatkan wajahku sedikit lagi. Aku bisa memberimu yang lebih dari itu. Kau suka? Aku meniup telinganya, kemudian menjauh.Dasar gadis liar! umpatnya. Aku terkekeh.Lalu kau pikir adik perempuanmu itu lebih baik dariku? Aku melihatnya memasuki hotel, bersama pria tua seumuran Papa, ucapku setengah berbisik.Kau sudah kelewatan, Key. Hapus fotomu sekarang juga, atau temanku yang seorang hacker akan melakukannya.Ouch... kau mengancamku?Aku tak punya cara lain. Kalau kau ingin mengirimkan foto polosmu padaku, silakan. Tapi jangan biarkan khalayak ramai menikmatinya. Aku tak suka.Dia melangkah, dan berlalu meninggalkan kamarku dengan ancamannya, dan aku tahu dia tidak sedang bercanda. Damn!Kau benar-benar brengsek, Erik. Kulempar kembali benda yang baru kupungut tadi. Kali ini hanya ke atas ranjang.  . Aku menghempaskan diri di kursi panjang terbuat dari bambu. Mengambil sebungkus rokok yang terletak begitu saja, lengkap dengan koreknya. Mengeluarkan isinya, lalu menyulut api, begitu batang nikotin itu terjepit di antara bibir seksiku.Aku diusir, aduku, pada dia yang sedang memangkas rambut seseorang.Itu salahmu! jawabnya cuek.Percuma mengadu. Kau memang tak pernah membelaku. Aku meniup asap ke udara.Siapa yang akan mendukung, jika tingkahmu masih seperti itu.Oke! Tutup kedaimu. Temani aku minum!Dia merapikan kain pembalut tubuh laki-laki yang baru saja dieksekusinya. Lalu menggerbaskannya agar berjatuhan semua rambut yang tadi menempel di sana.Kahfi. Dia satu-satunya makhluk di bumi ini yang masih mau berteman denganku, dengan segala tingkah liar dan sikap kasarku. Kami berteman sejak masih kanak-kanak. Dan dia masih setia hingga sekarang.Atau mungkin kebalikannya. Ya, kurasa akulah yang masih bertahan dengannya. Dengan sikap jujur dan ceplas-ceplos segala ucapannya. Ah, ya. Satu lagi. Dia bukan penjilat, yang bergaul denganku hanya demi materi. Dia bahkan tak ingin membeli rokok dengan uangku.Ayo, minum! Aku kembali meminta, setelah pasiennya pergi. Dia kini mengambil tempat di sebelahku, juga menyulut rokok.Pipimu bengkak. Kau dipukul?Ya.Kenapa kau lakukan itu?Apa? Memajang foto polosku? Aku tergelak. Kau melihatnya? Aku seksi, kan?Gila! Dia berdecih.Yes, Fi. I am crazy. Aku benar-benar sudah gila tinggal di rumah itu.Kenapa? Kulihat mereka memperlakukanmu dengan baik.Oh, shit, Kahfi. Aku mendorong bahunya. Kau juga tertipu rupanya.Dia menggelengkan kepala, sembari membuang asap rokoknya.Apa lagi yang kau tunggu. Tutup kedaimu.Kau gila. Ini masih pagi. Kau mau minum apa? Jamu?Oh, ya ampun, Fi. Ini sudah hampir jam dua belas. Kalau tak mau minum, kau bisa temani aku makan.Kau saja, makan siangku sudah datang. Dia bangkit penuh senyuman, menyusul seorang gadis berseragam SMA yang berjalan menuju ke arah kami.Sepertinya gadis berambut panjang itu baru saja pulang sekolah, melihat sandal yang kini sedang dipakainya. Sudah beberapa bulan ini, pria yang selalu menemaniku memacari gadis ingusan seperti itu.Hai, Kak, sapanya, dengan ramah. Dan itu memuakkan. Aku benci berbasa-basi. Aku tak menyukainya.Aku pulang saja! ketusku, lalu bangkit dan keluar dari kedai itu.Ya, hanya kios biasa. Bukan barbershop, yang menjanjikan kenyamanan para pelanggannya.Makanlah dulu! Dia menghentikan langkahku. Kulihat wajah kekasihnya merengut, dan aku suka itu.Oke. Aku kembali ke posisi semula.Kita makan bersama, Ara, ucapnya lembut, pada pujaan hatinya. Memuakkan.Ibu menyuruh Ara cepat pulang, Bang.Oh, baiklah. Nanti malam Abang bawakan kembali kotak bekalnya.Gadis itu mengangguk. Good. Nanti malam dia akan ke sana, dan tidak ada waktu minum bersamaku.Kenapa tak memacari anak SD sekalian? decihku.Kau cemburu?Oh, yang benar saja, Fi. Aku? Dengan gadis itu? Dia hanya anak ingusan.Dia sudah dewasa. Selalu rutin datang bulan.Sialan, umpatku, mendorong bahunya kembali.  . Aku membaringkan diri di ranjang. Menghapus satu persatu foto topless di instagramku yang sudah bercentang biru.Ya, aku seorang selebgram. Merambah ke youtube dengan subscriber hampir mendekati angka dua juta. Putri konglomerat, anggota dewan yang baru saja kupermalukan dengan fotoku yang sedang viral.Bukan tanpa sebab, karena aku memang membenci dan sengaja membuatnya marah. Memang benar-benar sialan si Erik. Berani mengancamku dengan menggunakan hacker, yang bisa saja langsung menerobos dan merusak semua isi akunku.Ah, aku bosan. Benar-benar Kahfi keterlaluan. Sejak memiliki pacar, dia jadi tak punya waktu untuk menemaniku. Banyak memang, pesan dari teman-teman sosialitaku. Tapi tidak dengan suasana buruk hatiku saat ini.Hanya Kahfi saja yang bisa kuajak bicara, tanpa perlu menjilat dan merayu untuk membenarkan semua kelakuanku. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus pergi. Malam ini dia harus bersamaku.Mau kemana, Key? sapa wanita munafik itu, yang sedang bersantai dengan suami dan kedua anak kesayangannya.Oh, no. Kenapa aku harus melewati mereka. Keluarga yang begitu harmonis. Damn! Mereka bahkan tak menganggapku ada. Aku terus berjalan hingga keluar teras dan membanting pintu dengan sekuat tenaga. Kuharap setelah kutinggal, bangunan megah ini akan runtuh dan menimpa mereka semua. Aamiin.Kulihat kios Kahfi sudah tutup. Padahal ini baru jam delapan malam. Dasar keparat. Dia bisa menutupnya lebih cepat demi gadis ingusan itu. Apa dia pikir bisa bebas dariku begitu saja, ha?Aku hanya tinggal menyeberangkan mobil saja, dan langsung sampai ke rumahnya. Namun lagi-lagi dia sudah pergi berkunjung ke rumah kekasihnya, yang terhitung masih tetangga. Pacar lima langkah rupanya. Oke. Mari kita lihat, apa yang bisa kau lakukan dengan anak ingusan seperti itu.Fi! Aku berteriak dari pagar kayu yang sudah hampir tumbang.Aku terkekeh melihat dia yang shock melihat penampakanku. Ah, begitu rupanya gaya berpacaran mereka, hanya duduk dan mengobrol sembari mendengarkan suara jangkrik. Ya, aku bisa mendengar suara itu.Sedang apa kau di sini? Dia terlihat gusar, meninggalkan gadisnya menunggu di atas teras.Apa lagi? Ayo minum! Kau bisa ajak pacarmu. Biar aku yang bayar, sahutku santai.Kau gila! Dia bahkan tak pernah keluar malam. Pulanglah!Aku tak mau. Aku mau ikut masuk dan mengobrol. Makin ramai makin asik, pintaku.Haish.... Dia mengusap kasar rambutnya. Berhenti bersikap konyol, Key. Kau seperti anak-anak.Bukankah kau menyukai anak-anak? Kau sekarang lebih nyaman bersamanya.Karena dia kekasihku.Lalu aku bagaimana? Kau tahu aku sedang tak enak hati. Aku tak punya teman selain kau.Kalau begitu carilah pacar. Bila perlu menikah sekalian. Minta suamimu untuk membawamu pergi dari rumah itu, lalu berhenti menggangguku.Kau bilang aku pengganggu?Dia menarik napas kasar. Bukan itu maksudku. Dia meralat ucapannya.Kalau begitu, kau saja yang menikahiku. Bawa aku pergi dari rumah itu. Setuju? Aku menyengir, sembari mengacungkan ibu jariku.Oh, Tuhan. Apa sebelum ke sini kau minum alkohol? tuduhnya.Aku baru saja ingin mengajakmu. Aku kembali tersenyum dengan melebarkan deretan gigi putih yang selalu ku bleaching.Astaga, kau mabuk, Key. Pulang sana. Mana mobilmu?  Di rumahmu.Oke! Pergilah sekarang. Ambil mobilmu, dan jangan mengganggu acaraku.Acara? Dia mengadakan acara tanpa aku? Enak saja. Kau satu-satunya temanku. Kau milikku. Lalu kulihat gadis bernama Ara itu berjalan menyusul mendekati kami. Lalu dengan cepat aku menarik wajah Kahfi dan meraih bibir merah itu dengan mulutku. Lalu mengintip dari balik tubuhnya, menyaksikan gadis itu terpaku dan berhenti melangkah.Fix! Dia menyaksikannya.                             **************Part 2Dia sedikit terdiam, kemudian mendorong bahuku agar terlepas dari bibir seksinya. Uh, manis sekali.Apa yang kau lakukan? ucapnya, setengah membentak.Menciummu. Kau tak sadar? Aku tertawa geli.Lalu terdengar suara batu berbenturan, bekas langkah gadis yang tadi menyaksikan aksi kami. Kahfi langsung menoleh ke belakang. Raut wajahnya kembali gusar, melihat kekasihnya setengah berlari sambil mengusap air mata. Dasar cengeng!Pria berpostur tinggi tegap itu langsung mengambil langkah untuk menyusulnya. Meninggalkanku begitu saja tanpa bilang permisi. Dimana sopan santunnya. Tapi kurasa dia terlambat, pintu rumahnya sudah tertutup dari dalam. Ouh, kasihannya temanku itu.Pasti gadis itu sedang berdiri bersandar di balik pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar dari luar. Tempat si bodoh itu berdiri dan mengetuk dengan pelan. Klise, aku sudah sering melihat adegan seperti itu di drama-drama menyedihkan.Oh, shit. Aku memukul nyamuk yang menggigiti paha yang selalu kurawat. Kahfi sungguh tega meninggalkanku sendirian dengan nyamuk sebanyak ini. Mau berapa lama lagi dia berada di situ?Aku memutuskan untuk duduk di depan pagar. Seperti trotoar jalan yang di semen untuk menutup parit. Terhinanya aku. Yah, daripada kebas karena terlalu lama berdiri.Beberapa menit kemudian dia muncul dengan langkah pelan. Masih dengan raut wajah kecewa dan juga menyedihkan. Usahanya pasti tidak berhasil. Sayonara pacaran.Kau masih di sini? Kini kedua tangannya sudah bertengger di pinggangnya. Apa dia sedang memarahiku?Sure. Aku menunggumu. Kita bisa pulang bersama. Aku langsung melompat untuk berdiri. Kemudian mengaitkan tanganku ke lingkaran tangannya tadi.Minggir, kau! Dia mengelak, dan melepaskan rangkulanku. Kemudian berjalan duluan.Kau masih marah?Dia diam. Tak menjawab dan terus melangkah.Dia masih terlalu kecil, Fi. Sikapnya juga kekanak-kanakan, bujukku lagi.Kau yang kekanak-kanakan. Dia mengusap kasar rambutnya. Berjalan sambil menendang batu-batu kecil yang ada di depannya.Kenapa kau melakukan itu? tanyanya lagi.Yang mana? Menciummu? Aku kembali terkekeh. Kau sudah tahu aku sering berbuat gila. Kenapa tiba-tiba heran?Jangan mengorbankan aku dengan kegilaanmu. Astaga, Key. Kau baru saja menciumku. Kau pikir itu lucu, ha? Dimana harga diriku sebagai laki-laki! rutuknya dengan gigi merapat.Aku kembali tertawa. Entah kenapa hatiku begitu senang melihat dia marah seperti ketakutan.Hohoho, kau merasa ternoda, ya? godaku. Tenang saja. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu. Kau puas?Kau benar-benar mabuk, Key! Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat, lalu mempercepat langkahnya.Tunggu aku, Fi. Aku sangat lelah! Aku berlari, dan melompat. Menabrakkan tubuh, hingga sampai melingkarkan lenganku ke lehernya.Gendong aku! Aku naik begitu saja tanpa persetujuan darinya.Dasar gadis liar! Sakit jiwa. Kau tidak sadar kalau tubuhmu bertambah berat, ha?Dia terus saja mengoceh sepanjang jalan, menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya. Dan aku masih terus menyandarkan kepala dalam gendongannya.Hangat. Satu-satunya orang yang selalu menerima maaf dari kesalahanku. .Aku terbangun saat sinar matahari masuk dari sela-sela jendela dan menyilaukan mata. Aku memegangi kepalaku yang kini terasa berdenyut. Oh, tidak. Aku bahkan lupa jam berapa Kahfi mengantarku pulang malam tadi.Aku mengingat-ingat apa yang terjadi. Kami minum di sebuah bistro, dan mengobrol sepanjang malam. Seperti biasa, dia pasti bosan mendengar celotehku. Tentang kehidupanku yang tidak seberuntung dirinya.Kahfi bukan dari golongan kaya raya. Ayahnya dulu hanya supir yang mengantarku ke sekolah dari TK hingga lulus SMP. Kemudian meninggal, akibat penyakit tipes yang dialaminya. Tentu saja aku dan dia masih berteman, karena Papa masih memberikan kompensasi biaya sekolahnya hingga masuk kuliah.Namun itu tak bertahan lama, Mama mengamuk karena menganggap Papa ada afair dengan ibunya, yang notabenenya adalah seorang janda. Tuduhan yang akhirnya membuat malu diri Mama sendiri.  .Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kemudian terbuka, sebelum sempat aku mengijinkannya masuk. Dia berdiri memandangiku yang terlihat berantakan. Ada segelas jus guava di tangannya.Minumlah! Erik mengulurkan benda yang dipegangnya. Mama membuatkannya untukmu.Aku menerimanya dengan malas, kemudian meneguknya sampai habis. Kurasa sari buah ini bisa menghilangkan rasa pusing di kepalaku.Membuat apanya! Aku berdecih. Ini hanya jus buah dari kotak kemasan. Kau pikir aku tidak tahu, ha? Aku mengulurkan gelas kosong kembali padanya.Aku kembali menjatuhkan kepala yang masih terasa berat ke atas bantal. Memunggungi laki-laki yang berstatus sebagai kakak tiriku itu.Lain kali kalau mau pulang hubungi aku. Biar aku saja yang menjemputmu. Tak perlu selalu merepotkan orang lain.Aku membalikkan badan. Menyipitkan mata ke arahnya. Lalu bangkit dan meraih kerah kemejanya. Dia tak melawan. Hanya sedikit mengelak sambil menahan napas. Mungkin tidak tahan dengan bau alkohol dari tubuhku.Kahfi bukan orang lain. Jangan berani-berani kau menyebutnya seperti itu. Dia lebih berarti bagiku daripada kalian semua. Kau dengar itu? Aku melepaskan cengkramanku, dan mendorong tubuhnya.Ya, aku tahu.Baguslah, jadi jangan ikut campur lagi urusanku.Kau menyukainya?Oh, no. Pertanyaan macam apa itu? Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang dia menanyakannya. Bukan baru sekali ini saja dia mengantarku pulang dalam keadaan mabuk.Apa yang membuatmu bertanya? Kau iri, karena aku tak menelpon untuk menjemputku? Kau ingin menguasaiku saat aku sedang mabuk? Kau ingin mengambil kesempatan itu, Erik? Aku tertawa mengejek. Mengerti kalau selama ini dia masih tertarik padaku. Atau mungkin hanya tubuhku.Kalau iya, kenapa? Aku semakin tertawa.Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Kemana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku? Aku memukul dadanya secara brutal.Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya.Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya, geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang.Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu.Fiuhh... aku selamat.  . Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemotretan. Sebuah produk pakaian, yang memakai aku sebagai modelnya. Cukup memakan waktu. Karena ada puluhan baju yang harus aku kenakan. Yah, walaupun sebanding dengan hasil yang aku terima.Aku duduk bersantai di kursi pangkas yang sedang kosong. Menggoyang-goyangkan badan, layaknya menikmati kursi santai. Sebentar-sebentar kujatuhkan sandarannya agar lebih rileks, hingga terdengar tawa pasiennya yang tertahan melihat kelakuanku.Aku mengedipkan sebelah mataku pada orang itu dari balik cermin. Memajukan sedikit bibir untuk memberikan kecupan di udara. Lalu pria bertubuh ceking itu menelan saliva, menahan gugup. Aku kembali tertawa melihat sikapnya. Sambil melirik Kahfi yang juga melakukan hal yang sama dari bayangan cermin.Fi, sebaiknya tempat ini kau jadikan barbershop saja. Sediakan juga sofa empuk untukku. Aku menggoyang-goyangkan kaki.Kau tak harus selalu menggangguku di sini. Cari saja tempat lain, jika kau ingin merasa nyaman.Kalau tak ada kau, mana bisa nyaman, rayuku, menggodanya.Terserah.Apa Erik mengantarmu pulang tadi malam?Mmmm.Dia mengatakan sesuatu?Ya.Apa?Seperti biasa. Mengobrol tentang apa saja yang kau lakukan.Lain kali jangan ceritakan apapun lagi padanya.Kau takut dia mengadu? Kau sudah tau kalau dia dan keluarganya selalu menutupi kelakuan burukmu itu.Ya, benar. Tapi itu hanya modus. Mereka hanya ingin mengambil hatiku saja. Pokoknya jangan cerita apa pun lagi padanya.Lain kali kalau kau mabuk, aku akan memintanya menjemputmu.No, Kahfi! Tidak boleh. Akan kuhancurkan kiosmu ini jika kau sampai melakukannya! Aku benar-benar sedang mengancam.Aku yakin kalau itu adalah keinginan Erik. Berani sekali dia mengatur hidupku dan juga Kahfi. Apakah segitu ingin, dia menguasai diriku? Oh, tidak. Jika dia menginginkanku, setidaknya dari dulu dia bisa melarang Mamanya merayu dan menikah dengan Papa. Dengan begitu, aku bisa mempertimbangkan perasaannya.Dia melihat kita berciuman, aduku kemudian.Ups! Seketika alat cukur yang berada di tangannya terlepas, hingga jatuh ke lantai. Semoga saja tidak rusak. Dia terlihat gugup. Apalagi melihat pasiennya kembali menelan saliva.Sorry, keceplosan. Aku menutup mulut dengan telapak tangan.  .Dia membersihkan lantai bekas rambut berserakan dengan sapu, setelah pria ceking itu pulang. Aku masih tetap bersantai sambil mengamati kegiatannya dari bayangan cermin.Fi, bagaimana gadis itu? Dia tak mengantarimu makanan lagi? Aku lapar, tanyaku, menggodanya.Kalau lapar pulanglah. Dia yang kini duduk di kursi bambu, sedang menyulut batang nikotinnya. Aku masih memandanginya dari depan cermin.Apa kalian putus?Menurutmu?Dia masih terlalu muda. Masih sekolah. Belum lagi kuliah. Dia juga ingin bekerja. Sampai usia berapa kau baru bisa menikahinya. Itupun kalau dia tidak tertarik pada teman sekelasnya. Teman kuliah, atau bahkan rekan kerja.Dia hampir lulus, setelah itu kami akan menikah. Orang tuanya tidak keberatan.Apa?Aku melonjak kaget. Langsung berdiri dan menghampirinya. Menghentakkan bokongku ke samping, di mana dia berada. Aku mengambil rokok dari mulutnya, kemudian menghisapnya.Tega sekali kau melakukan itu padaku, rutukku padanya.Melakukan apa?Kenapa menikah secepat itu?Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Usianya kini sudah menginjak dua puluh enam tahun. Hanya dua tahun di atasku. Meski tak mewah, kehidupannya sudah terbilang stabil. Dengan kedai pangkas miliknya sendiri. Hasil dari menabung bertahun-tahun.Dia sudah terbiasa bekerja serabutan kesana kemari. Dia bahkan enggan menerima bantuan dariku untuk memulai sebuah usaha. Meski kusuruh dia mengembalikannya saat sukses nanti.Dimana lagi aku bisa mendapatkan seseorang seperti itu. Seseorang yang selalu menjadi pelindungku, sejak kanak-kanak dulu. Selalu membela, saat aku berkelahi dan dikeroyok beramai-ramai. Bahkan hingga kini, dia yang selalu menjagaku dari laki-laki nakal saat aku dalam keadaan mabuk.Bagaimana dia bisa menikah dan meninggalkanku sendirian. Mana mungkin istrinya kelak membiarkan dia terus-terusan bersamaku saat aku butuh. Aku tak mau kehilangan itu. Tidak akan pernah aku ijinkan.Fi?Hemmm.Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku padamu.Tanggung jawab apa?Aku tidak akan membiarkan kau jadi jomlo lagi.Kau akan bicara padanya? Mengatakan kalau itu hanya kesalahpahaman? Apa kau pikir dia akan percaya? Lagi-lagi dia berdecih.Aku tidak sedang membicarakan Ara, sanggahku.Hem? Lalu?Kau tenang saja. Aku yang akan menikahimu.Seketika suara batuk terdengar dari mulutnya. Cukup lama, sampai keluar air di pelupuk matanya. Apakah dia sedang terharu padaku? Atau terlalu gembira?                        **********Part 3Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu? Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam.Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku, sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya.Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya.Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan.Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar. Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya.Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan! umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu.Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik hati menggantikan posisi anak ingusan itu.Tapi aku sama sekali tidak tertarik. Aku menolak. Sudah? Dia menekan kepalaku seperti anak kecil.Aku menyingkirkan tangannya dengan kasar.Kau tidak normal, ya? Kau menolak gadis secantik dan sepopuler aku? Aku punya jutaan penggemar di luar sana. Kau beruntung karena tidak perlu susah-susah bersaing dengan mereka. Dasar bodoh! Aku merapikan rambutku yang sudah acak-acakan.Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka. Dia kembali duduk dan menyandarkan diri.Tidak mau.Kenapa?Aku tak mengenal mereka.Kenalan saja dulu, ucapnya santai.Kau ini kenapa? Aku memukul pahanya dengan kuat. Dia meringis sambil menggosok-gosok bekas pukulanku.Sakit, Key. Dasar gadis barbar.Tak lama masuk seorang pelanggan, dan dia bangkit untuk beraksi kembali. Cih, menganggu saja.Dengan sabar aku menungguinya, sambil mengerjakan pekerjaanku. Inilah keuntungan menjadi artis di dunia maya. Aku bisa melakukan pekerjaanku dari mana saja. Hanya tinggal mengedit foto dan vidio yang  kuambil sebelumnya, lalu bisa diupload kapanpun aku mau.  .Fi! Dia kembali menyapu lantai bekas potongan rambut tadi.Hmmm.Aku bosan tinggal di rumah itu.Berhenti mengeluh, Key.Ayo menikah! Aku ingin tinggal di rumahmu, rengekku.Rumahku tidak semewah rumahmu. Lupakan ide konyol itu.Tapi aku menyukainya.Carilah pria lain.Tidak mau! Mereka hanya menginginkan uangku saja.Kalau begitu carilah yang lebih kaya darimu.Sudah pernah. Mereka semua itu, Badboy. Suka berganti-ganti pacar dan punya banyak simpanan. Kau sampai hati membiarkan aku hidup dengan pria semacam itu? Aku juga punya hati, Fi.Serba salah bicara padamu. Sudahlah, aku lelah.Kalau begitu menurut saja. Aku akan bicara pada Papa. Aku tak perduli jika dia keberatan. Kalau kau tak mau, aku akan bilang kalau aku sedang hamil. Kau yang menghamiliku! Aku menunjuk tepat di hidung mancungnya.Hei, kau... Hish!  . Suara sendok dan garpu saling beradu di atas piring masing-masing. Aku yang jarang-jarang berkumpul, sengaja untuk ikut makan malam kali ini. Wajah Papa terlihat lebih tenang, setelah tahu aku menghapus semua masalahnya.Seleraku tak begitu bagus sebenarnya. Merasa menjadi orang asing di rumah sendiri. Papa menikahi istri dari sahabatnya, setelah wanita itu bercerai dari suami yang ketahuan berselingkuh dengan Mamaku.What the fuck!Hubungan macam apa itu. Semacam balas dendam, yang akhirnya membuatku malu dan dibully oleh seluruh teman-temanku. Untung saat itu Papa belum mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Hanya seorang pebisnis, yang punya pengaruh besar di kota ini.Aku akan menikah, Pa, ucapku tanpa berbasa-basi.Hening sesaat. Tak ada lagi suara gesekan besi dan piring batu seperti tadi. Kulirik wajah mereka satu persatu. Erik, Elena adiknya, dan juga Mama mereka. Semuanya terlihat tegang. Karena tahu sebelumnya aku tak pernah membawa laki-laki ke rumah ini. Apalagi sampai mengenalkannyan pada mereka.Menikah saja, ucapnya tanpa disangka-sangka. Kau sudah punya calonnya? Jika belum, biar Papa carikan yang bisa cocok denganmu.Oh, God! Apa dia pikir ini sinetron, atau kisah-kisah dalam novel? Perjodohan? Ciss. Dia masih saja berpikiran kuno.Ya. Aku sudah punya. Aku akan menikah dengan Kahfi.Papa terdiam. Yang lain juga sama. Great! Aku berhasil membuatnya marah. Kurasa dia cukup terkejut, karena nyatanya Kahfi bukan dari kalangan atas seperti anak-anak dari kolega bisnisnya.Ayo marah, Pak tua! Tolak saja permintaanku ini. Aku punya kejutan lain yang akan membuat semua yang hadir akan ikut shock, dan kuharap langsung kena serangan jantung dan juga stroke. Hore.Hmm... sudah tidak sabar rasanya mulutku ini, mengatakan bahwa aku sedang hamil dan akan kembali mencoreng nama baiknya.Oh, Kahfi. Baguslah. Dia laki-laki yang cocok untukmu. Papa rasa, hanya dia saja yang sanggup mengendalikan semua sikap liarmu itu. Besok malam suruh dia dan keluarganya datang. Menikahlah secepatnya. Jangan pikirkan apa pun soal biaya.What? Semudah itu? Dia tak lagi marah dan mengamuk? Apa itu artinya aku membuatnya senang? Oh, shit. Damn! Dia pasti akan segera merasa bebas dari tanggung jawab terhadapku.  . Aku kembali melakukan live instagram di kamar. Dengan baju tidur seksi, tentunya. Ratusan ribu mata memandang dan memberikan komentar bernada menggoda. Banyak pujian yang aku terima, meski terkadang ada netizen julid yang kerap berkata kasar dengan komentar barbar yang memojokkanku. Dasar sampah!Belum lagi saat foto topless yang baru saja aku hapus. Beberapa dari mereka langsung mengunfollowku begitu saja. Dasar netizen plinplan. Secepat itu mereka merubah perasaan terhadapku.Aku terkejut, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku langsung menarik napas, kemudian pamit dari dunia maya.Hentikan kebiasaanmu itu, Erik. Belajar sopan kalau mau masuk ke kamar orang. Kau mau memergokiku sedang tel*nj*ng? umpatku geram.Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan? cercanya tanpa basa-basi lagi.Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu.Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka.Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia.Pikirkan lagi, Key, ucapannya sedikit melunak. Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya.Oh, my brother. Mulia sekali hatimu, sindirku dengan nada mendayu. Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu? Telunjukku kini telah menempel di dagunya.Aku mendekatkan wajah, merasakan hembusan napasnya yang terasa bergemuruh. Matanya sedikit terpejam, menikmati sentuhan meski hanya dari sebuah jari.Kau cemburu, Erik? Dia kembali membuka matanya. Memandangku dengan tatapan penuh harap.Ya. Kau sudah tahu tentang itu.Hmmm... itukah sebabnya kau memintanya untuk melapor padamu, saat aku sedang mabuk?Ya. Aku memang memintanya.Aku meniup wajahnya dengan kasar, kemudian mendorong tubuhnya menjauh. Aku tertawa melihat wajah penuh hasrat itu sedang menatapku.Kumohon, Key. Hentikan niatmu itu.Alasan apa yang harus kukatakan pada Papa? Bahwa anak tiri kesayangannya, begitu tertarik pada putri kandungnya? Aku semakin tertawa sambil menepuk kedua tanganku.Key, aku...Keluar! bentakku kemudian. Aku muak mendengar suaramu.Seperti biasa, dia selalu menarik diri agar tak lepas kontrol saat bersamaku. Dia langsung menurut begitu aku mengusirnya. Kuakui, dia cukup sopan ketimbang pria-pria lain yang berusaha mendekatiku. Hingga aku pun pernah jatuh hati dibuatnya.Tapi itu dulu. Dulu sekali. Saat keluargaku, dan keluarganya masih menjalin hubungan yang begitu harmonis.  .Kahfi! Aku melompat girang saat baru saja turun dari mobil.Dia tengah duduk bersantai sambil menghisap rokok, karena sedang tak ada pelanggan. Dia melirik sekilas, kemudian membuang pandangan.Hei, kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Aku punya kabar bagus.Kenapa? Kau berhasil membuat Papamu mengamuk dengan berita kehamilanmu? sindirnya dengan nada mengejek.Kau salah, Kahfi, ucapku, sembari duduk di sebelahnya. Yah, walaupun aku sedikit kecewa karena kenyataannya dia terlihat bahagia.Kau mau bilang apa? Jangan bertele-tele.Papa menyetujui pernikahan kita. Kau senang?  Dia menyukaimu, Kahfi. Ajak Ibu dan Sifa datang malam ini.Jangan bercanda, Key. Kau pikir itu lucu?Come on, Fi. Ini bukan lelucon. Tutup kedaimu, ayo pulang. Aku ingin bicara pada Ibumu. Aku menarik lengannya untuk segera bangkit.Kau benar-benar sakit jiwa rupanya. Minggir! Dia menepiskan peganganku.Tapi dari raut wajahnya aku tahu kalau dia percaya dengan kata-kataku barusan. Dia terlihat gelisah, kurasa dia benar-benar gugup dengan semua ini.Tolong, Key. Demi apapun itu, hentikan semua permainanmu. Carilah cara lain untuk melampiaskan kemarahanmu pada mereka, tapi jangan libatkan aku.Ayolah, Fi. Aku hanya ingin seseorang membawaku keluar dari rumah itu. Aku ingin sekali tinggal bersamamu. Aku menyukai masakan Ibumu, dan aku juga menyukai Sifa. Aku ingin tinggal di sana. Aku akan jadi istri, menantu, serta kakak ipar yang baik. Aku melebarkan senyum di depan wajahnya.Selama ini kau selalu datang ke rumah. Tak perlu sampai menikah.Tapi Papa selalu melarangku menginap. Dia pasti mengancam, akan menyuruh Erik menyeretku pulang.Memang seharusnya begitu, kan? Tidak baik seorang gadis menginap di luar rumah.Terserah kau saja. Papa ingin kita cepat-cepat menikah.Dasar gila. Aku tidak mau.Kenapa? Kau tidak mau karena sikapku selama ini? Ayolah, Fi. Aku tidak seburuk itu. Aku masih perawan.Haish... apa lagi yang kau bicarakan?Kau pasti meragukanku, kan? Kau bisa membuktikannya saat malam pertama kita nanti. Kalau tak ada noda darah di pahaku, malam itu juga kau boleh menceraikan aku.Astaga, Key. Bicaramu semakin tak karuan. Kau tidak malu bicara seperti itu di depanku, ha?Aku tertawa geli. Seolah baru pertama kali ini aku membicarakan hal pribadi kepadanya. Dia bahkan pernah berlari ke warung, saat tiba-tiba aku datang bulan saat berada di rumahnya. Saat itu aku masih kelas satu SMP. Belum terlalu hafal, kapan jadwalnya akan datang bulan.Aku bahkan pernah melihat sarungnya terjatuh saat luka bekas khitannya belum mengering. Apa lagi yang mau dia sembunyikan?Oh, Tuhan. Kenapa kau mengungkit-ngungkit hal itu lagi? Kita sudah dewasa, Key. Dia semakin tak karuan.Biar kau selalu ingat, sudah tak ada jarak lagi di antara kita. . Aku makan siang dengan sangat lahap. Kahfi sengaja meminta Sifa untuk tak mengantarkan makanan ke kedai, karena aku ingin ikut ke rumahnya.Ingat, kau diam saja. Biar aku yang bicara pada Ibu! ancamnya, sebelum sampai di pintu.Well, biarkan saja. Yang penting keluarganya akan datang malam ini.Vlog kakak di Bali kemarin masuk trending. Bagus. Puji Sifa, adik perempuan Kahfi yang masih duduk di kelas tiga SMA.Kau menyukainya? sahutku senang. Sifa mengangguk penuh senyuman.Oke, good. Lain kali kita bisa pergi bersama sekeluarga.Nak Keyra mau jalan-jalan sama Bapak? Ibunya Kahfi telihat senang. Karena yang seperti yang dia tahu selama ini, aku dan keluarga baru Papa tak pernah cocok dan selalu saja berselisih paham.Tidak, Bu. Maksudku, keluarga kita. Sebentar lagi aku akan jadi menantu Ibu. Aku akan menikah dengan Kahfi. Aku tersenyum riang sambil membentuk huruf v di samping telingaku.Key... Suara bariton itu muncul dari belakangku.Ups! Aku keceplosan lagi.                            ************Part 4Aku menoleh ke belakang, dan kulihat laki-laki berambut lurus lagi lebat itu, tengah berdiri menatapku.Kak Key serius? tanya Sifa tiba-tiba.Hush. Jangan sembarangan! bantah Ibunya.Aku hanya bolak balik memandang mereka secara bergantian, lalu mengangkat bahu. Kuserahkan padamu, Fi.  . Kahfi mengantarku keluar hingga menuju ke mobil. Meminta aku menunggu, karena dia akan berbicara pada Ibunya. Padahal apa susahnya tadi, ia hanya tinggal menyambung saja ucapanku. Atau ada ritual khusus, yang aku tidak boleh tahu?Oh, ya ampun. Dia membuatku menjadi pusing saja. Kupikir membicarakan sesuatu itu adalah hal yang sangat mudah. Hanya mengatakan kami akan menikah, sudah. Dasar lamban.Aku terpaksa pulang, setelah dia menjanjikan pasti datang malam ini. Yeah, ternyata dia masih takut dengan ancamanku. Tentu saja dia akan kehilangan muka di depan Papa, jika aku sampai benar-benar mengatakan bahwa aku sedang hamil.Selama ini, Papa adalah salah satu orang yang diseganinya. Yang sejak dulu selalu memberikan kepercayaan penuh untuk selalu melindungiku. Bukan malah 'memakan', bahkan sampai menghamiliku.Kau benar-benar menjebakku, Key! umpatnya lagi, sebelum aku pergi.Aku hanya menyelamatkanmu dari drama patah hati, sialan, balasku tak mau kalah.  . Seperti sebuah persidangan, kami duduk saling berhadap-hadapan di ruang tamu. Kahfi benar-benar datang sesuai janji. Meski tanpa kehadiran Ibunya.Jadi, sejak kapan kalian mulai menjalin hubungan? tanya Papa tanpa berbasa-basi. Kurasa aku mulai paham, sifat siapa yang sedang menurun padaku saat ini.Sama sekali tidak pernah, Pak, sahut Kahfi dengan tegas.What the... haish! Benar-benar kurang ajar kau, Fi. Membuatku malu saja. Aku seperti kehilangan muka saat sekilas melirik wajah Erik. Sialan. Terlihat senyum seringai di sudut bibirnya. Dia pasti mentertawakanku setelah acara ini.Kulihat dahi Papa mengernyit. Merasa bertolak belakang dengan pernyataan konyolku saat itu.Kalian sedang mempermainkanku? Papa menatap tajam ke arahnya. Kahfi? Sepertinya Papa tak sabar menunggu jawaban.Aku dan Keyra tak pernah memiliki hubungan apa-apa. Seperti yang anda ketahui selama ini, Pak. Aku hanya menjalankan permintaan anda untuk selalu menemani dan melindunginya.Hem.... Papa mengangguk-angguk, tanda mengerti. Lanjutkan!Aku dengar anda telah memberikan restu untuk menikahkanku dengan Key. Untuk itu, aku memberanikan diri datang menemui anda. Jika anda benar-benar tidak keberatan dengan keadaan keluargaku saat ini, izinkan aku melamar Key untuk menjadikannya istri.Oh, man! Wow. Dia keren sekali. Apa itu Kahfi? Aku tidak salah dengar? Dia melamarku dengan mulutnya sendiri?Dengan jantung yang tiba-tiba berdebar, aku langsung menoleh ke arah Papa. Sedikit tegang. Namun sejurus kemudian dia tertawa dengan sangat kuat. Meski tak ada yang terdengar lucu dari kata-kata Kahfi.Kau benar-benar berani, Kahfi, ucapnya di sela-sela tawa. Tiba-tiba saja aku jadi teringat dengan Ayahmu. Seorang laki-laki tegas dan juga penuh wibawa. Juga bertanggung jawab tentunya. Kurasa ini untuk pertama kalinya Key tidak salah dalam memilih jalan hidupnya. Oke, oke. Aku tak perlu berpikir lama-lama lagi untuk menerimamu. Menikahlah. Kuserahkan putriku padamu. Dia kembali tertawa dengan bahagianya.Oke. Baiklah. Kurasa aku tak perlu mengumpat siapapun kali ini.  .Kau sungguh keren, Kahfi. Aku meloncat girang saat mengantarnya ke halaman depan.Kau sungguh keren, Kahfi. Dia menirukan ucapanku dengan memajukan bibir bawahnya untuk mengejek.Sialan, umpatku, mendorong bahunya.Kau benar-benar tidak menyesal dengan keputusanmu, kan? ucapnya. Kali ini dia terdengar serius. Aku memukul bahunya.Ayolah, Fi. Kita sudah saling mengenal hampir seumur hidup. Bukankah kita sudah saling tahu satu sama lain? Kurasa berteman ataupun menjadi suami istri tak akan ada bedanya.Kau benar-benar sakit jiwa rupanya. Dia kembali menggelengkan kepala seperti biasa.Tidak. Aku masih waras dengan mengajakmu menikah. Kalau aku gila, mungkin aku akan mengajakmu untuk kumpul kebo saja. Kau pilih yang mana, ha? Aku menaik-naikkan alisku, kemudian melompat untuk menabrakkan bahuku ke bahunya.Dia hanya berdecih dan terdengar menggumam, memaki-maki sikapku. Mengacak-acak rambutnya sendiri juga tak ketinggalan, saat sedang tak bisa berbicara apa-apa lagi. Saat-saat seperti itu selalu membuatku merasa menang.Kahfi! Suara Erik memanggil, saat ia hendak menunggangi motor besarnya.Hai, Erik. Kahfi langsung turun dari kendaraannya.Selamat. Dia mengulurkan tangan kepadanya. Sesosok laki-laki yang akan segera menjadi suamiku itu menyambut uluran tangannya dengan hangat.Terima kasih. Mulai sekarang, kau tak perlu khawatir lagi tentang Key. Aku yang akan selalu menjaganya.Oh, my God! Mati kau, Erik.Oke. Hanya itu yang mampu dia ucapkan.Aku mengantar kepergian Kahfi hingga menghilang dari balik gerbang. Aku kembali berjalan sampai tangan Erik menarik paksa dan menyeretku.Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan, brengsek? Aku memukul-mukul genggaman tangannya. Marasa tak sudi jika dia menyentuh kulitku.Dia diam saja. Menyeretku ke arah samping, menuju halaman belakang.Kau mau apa, sialan! Aku menggigit tangannya, hingga dia menarikku dan merapatkan tubuhku ke tembok.Berani sekali kau! teriakku dengan emosi. Tak ada siapa pun di sini. Apa aku sudah, bilang kalau halaman rumahku ini luas sekali?Kudengar suara napasnya yang begitu memburu. Terlihat dia benar-benar sedang berjuang menguasai dirinya sendiri.Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Key. Aku cemburu. Benar-benar cemburu melihat kau bersamanya, ucapnya dengan napas yang naik turun.Lepaskan aku, bodoh! makiku, menggerakkan kedua tanganku yang kini terkunci di tembok. Tangannya terus menekan hingga aku tak bisa melepaskan diri.Kumohon. Belum terlambat untuk kita, Key. Aku tak mau lagi menjadi kakak tiri bagimu. Kau tahu sendiri bagaimana perasaanku.Si alan kau bajingan. Beraninya bicara seperti itu setelah kau dan keluargamu menghancurkan keluargaku. Menghancurkan seluruh hidupku. Kau brengsek Erik. Kalian semua bajingan! Aku berteriak histeris.Tanpa sadar aku mulai menangis. Mengeluarkan air mata, yang selama ini kutahan agar tak terlihat di hadapan mereka.Maafkan aku, Key. Bukan hanya kau saja. Aku dan Elena juga sama hancurnya seperti perasaanmu saat ini. Kita semua korban, Key.Kulihat matanya memerah, ada yang ikut menggenang di pelupuk matanya. Menatapku dengan perasaan iba dan juga memohon.Aku masih mencintaimu, Key. Masih sangat mengharapkanmu.Dia mendekatkan wajahnya ke arahku, menempelkan keningnya ke keningku. Sejurus kemudian keluarlah suara rintihan itu, saat lututku telah mendarat ke bawah perutnya.Dia mengaduh, lalu melepaskan tanganku dan memegangi bagian mana yang sakit.Tapi aku tak mencintaimu, Erik. Aku akan setia pada calon suamiku. Dasar benalu! Kuinjak kuat kakinya sebagai serangan terakhir.Aku berlalu pergi, sembari mengusap kasar air mata dengan punggung tanganku. Meninggalkannya terbungkuk sendiri, dengan menahan rasa sakit di tubuh, dan mungkin luka di hatinya.Sayonara masa lalu.  . Sungguh aku tak pernah berpikir sampai melakukan hal sejauh ini. Memaksa seseorang yang selama ini telah kuanggap sebagai teman, sahabat, bahkan kakakku sendiri. Namun aku tak takut menyesal, dan salah pilih. Tak ada pria sebaik dia yang pernah kutemui. Selalu mengkuti setiap keinginanku, bahkan sampai saat seperti ini.Suasana pestaku sangat meriah. Papa tak segan-segan mengeluarkan uang yang banyak untuk acara ini. Tentu saja ditambah endorse yang aku terima dari banyak produk. Kuyakin video pernikahanku akan masuk trending, begitu aku upload ke chanel youtubeku.Aku langsung mengajak Kahfi memasuki kamar hotel, begitu malam tiba. Kamar yang diberikan Papa di tempat yang sama dengan berlangsungnya pesta. Aku langsung melompat ke ranjang dan berbaring dengan keadaan telungkup. Merasa lelah, setelah seharian berdiri menyambut ribuan undangan yang datang.  Fi, apakah kita harus melakukannya malam ini? Aku membalikkan tubuhku hingga terlentang. Aku sangat lelah.Kalau lelah, tidur saja.Kulihat dia duduk di tepi ranjang, tempat aku berbaring. Membuka sepatu, setelah sebelumnya melepas jas yang dipakainya tadi.  Aku bangkit dan melingkarkan tanganku ke lehernya dari belakang.Kenapa membuka jasnya? Kau sangat gagah jika memakainya, ucapku tepat di telinganya.Benarkah? Apa aku harus memakainya juga, saat memotong rambut pelanggan? Aku tergelak.Kau sedang melawak, my husband? ledekku.Aku mau mandi. Gantilah bajumu, baru kemudian kau bisa tidur.Aku lelah. Aku melepaskan rangkulanku dan menjatuhkan diri ke belakang. Untuk mengganti baju pun aku tak punya tenaga.Dasar manja. Dia kemudian berjongkok dan melepaskan high heelsku. Aku diam saja, karena hal seperti itu sudah sering dia lakukan. Melepas sepatu, lalu menggendongku di atas punggungnya. Baik sedang mabuk, ataupun sedang lelah karena terlalu lama menangis.Apa kau juga akan membantu membukakan bajuku, Fi? tanyaku dengan mata terpejam. Lalu sebuah pakaian terlempar, menutupi wajahku begitu saja.Aku membuka mata, meraba benda yang ternyata adalah singlet yang baru saja dibukanya.Brengsek kau, Fi. Ini bau! makiku, melemparnya ke lantai.Kudengar tawa renyahnya, sembari melangkah masuk menutup pintu kamar mandi.  . Wangi harum sabun, menyeruak hingga ke rongga hidung. Membuatku menatap ke arahnya, setelah tadi mengganti baju dengan setelan baju dan celana pendek sepaha.Kau terlihat segar. Apakah kita akan melakukan malam pertama? Aku duduk berlutut di atas ranjang.Kau bilang lelah. Kenapa belum tidur? Dia berjalan menuju ke arahku, dan langsung mengambil posisi berbaring.Aku mengikuti dan ikut berbaring di sampingnya. Kami berdua dalam keadaan terlentang, menghadap langit-langit kamar.Fi?Hemmm?Tidakkah ini terasa aneh? Kita juga pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.Hemmm.Ya. Kami memang sering melakukannya. Tidur sejajar di atas rumput taman, sambil melihat bintang di langit malam. Mencurahkan beban hatiku yang mungkin hanya dia yang mau mendengarkan.Fi?Hmmm.Kau marah padaku?Kenapa?Karena aku memaksamu, untuk terus hidup denganku.Tak apa. Aku tidak merasa terpaksa. Seumur hidup, aku memang sudah menjadi pelayanmu. Aku tertawa.Kau tidak menyesal?Justru aku takut kau yang akan menyesal.Kau masih berpikir, aku ini bocah labil seperti pacar ingusanmu itu?Mantan.Ah, ya. Aku lupa kalau dia sudah membuangmu. Dia berdecih.Erik tidak muncul sama sekali. Hubungan kalian sudah berakhir?Fi! Jangan ungkit masalah itu. Aku ingin melupakan rasa sakit itu. Aku benci mereka. Suaraku tiba-tiba saja tercekat.Tak apa. Ada aku. Sekarang kau sudah terbebas dari semua itu.Kau berjanji tidak akan pernah meninggalkankanku?Apa kau pikir aku ini bodoh, mengundurkan diri sebagai menantu konglomerat? Air mataku tertekan saat tertawa mendengar perkataannya.Fi?Hmmm.Terima kasih.Hmmm.Kau tidak punya kata-kata lain?Ada. Tidurlah!Hmmm.Kami terus saja mengobrol sepanjang malam. Sampai akhirnya tertidur dengan posisi yang tidak berubah sama sekali.                             **********Part 5Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini, juga para penghuninya.Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi? Ibu mertua menyambut kedatangan kami.Key ingin langsung pulang ke sini, sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku.Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana.Kamar yang mana? Nanti aku rapikan.Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar.Tidak mau! sanggahku segera. Aku mau tinggal di kamar Kahfi. Aku kembali melebarkan senyumku.  .Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sekali tak mengerti, kenapa dia sampai berani melakukan itu terhadapku.Kupikir dia menyembunyikan sesuatu, atau mungkin memiliki teman baru. Hingga sampai aku dewasa baru saja mengerti, bahwa dia baru mulai mengalami masa pubertas dan mungkin sudah memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Itu berbahaya sekali, jika sampai dia membawa seorang gadis kecil masuk ke kamarnya.Aku duduk di ranjang yang hanya bisa ditempati satu badan saja. Kasur nya pun sudah tak lagi empuk.Aku akan membeli ranjang yang lebih besar, ucapnya, sambil memunguti beberapa celana panjang dan handuk yang masih menggantung di balik pintu.Jangan! Biarkan saja kamarnya begini. Aku menyukainya. Tidak berubah sama sekali.Aku bukan seorang gadis yang punya waktu untuk berbenah kamar, atau mengganti dekorasinya setiap saat, sahutnya, sembari ikut duduk bersamaku.Ini sudah bagus. Aku marasa nyaman.Tempat tidurnya sempit. Lalu bagaimana kita akan melakukan banyak gaya, saat melakukan malam pertama? Aku tergelak, sambil mendorong bahunya.Dasar mesum! umpatku padanya.Dia menjatuhkan diri ke belakang, dengan kaki yang masih terjulur ke bawah. Aku langsung bangkit, untuk menyisir setiap sudut ruangan. Di seberang tempat tidur, masih ada meja belajar dan kursi kayu berwarna coklat. Dulu dia sering membantuku membuat PR di sana.Sebuah lemari kecil dua pintu terdapat di sisi sebelah kiri. Hanya itu saja. Begitu sederhana, namun aku yakin bisa betah berlama-lama di dalamnya, ketimbang kamarku yang seperti istana.Aku akan membeli karpet bulu saja, Fi. Kita bisa tidur berdua di bawah. Kelihatannya akan lebih menyenangkan.Baiklah, nanti aku belikan. Kau mau warna apa?Tidak usah. Aku akan memesannya di onlineshop langgananku.Tidak boleh. Aku saja yang membeli.Memangnya kenapa? Aku punya uang.Simpan saja uangmu. Gunakan uang yang kuhasilkan untuk keperluanmu.Kenapa kau tak pernah mau nenerima pemberian dariku? Sekalipun?Itu sudah dari dulu kulakukan. Kenapa baru tanya sekarang?Karena aku istrimu. Tak boleh lagi ada rahasia.Baiklah.Kenapa?Karena aku bukan pria simpananmu.What? Kau sungguh mengira aku berpikir seperti itu? Oh my God, Kahfi. Kau orang gila, umpatku kesal. Lalu menghempaskan bokong ke sampingnya.Kau marah?Kenapa kau bisa berpikir sampai sejauh itu? Aku tak seburuk itu menilaimu, Fi.Aku tahu.Lalu kenapa kau melakukannya?Karena aku laki-laki.Yes, i know. You are a realman. Kau memang berbeda, Fi.Aku ikut berbaring di sampingnya, dengan kaki yang juga ikut menjuntai ke bawah. Dia benar. Ranjang ini, benar-benar tak bisa membuat banyak gaya rupanya.  . Menjelang malam, Kahfi pulang dengan membawa gulungan karpet dengan dua buah bantal super besar. Aku baru saja keluar dari kamar, setelah selesai mandi dan mengganti pakaian.Letakkan saja di situ, ucapnya, seraya memberikan selembar uang pada seseorang.Apa kau tidak punya uang lagi untuk membeli tempat tidur, Fi? Seharusnya kau bilang. Ibu masih punya simpanan. Mertuaku tampak merasa tidak enak, melihatku yang masih berdiri di ambang pintu.Menantu Ibu ingin mencoba hal-hal yang baru. Turuti saja keinginannya. Dia melirikku, sambil mengedipkan sebelah mata memasuki kamar.Cisis...Sejak kapan dia terlihat nakal seperti itu.Kau langsung membelinya malam ini juga. Kau sudah tidak sabar ingin tidur denganku, ya? Aku merebut bungkus rokok yang terselip di kantong belakang celananya.Dia menjatuhkan gulungan itu begitu saja, kemudian berdiri di hadapanku.Kembalikan! Dia mengulurkan telapak tangannya. Menyadari bahwa rokoknya kini sudah berpindah padaku.Isinya masih banyak, Fi. Kenapa kau jadi pelit? protesku, sembari mengeluarkan sebatang isinya.Aku bilang kembalikan. Kau ingin aku merampasnya?Hish, kau sungguh pelit. Kuletakkan dengan kasar benda itu ke tangannya, kemudian melangkah, untuk duduk di atas ranjang.Aku memperhatikan dia yang sedang memasang karpet berwarna coklat muda. Bulunya terlihat begitu tebal, dan sepertinya sangat halus. Disusunnya dua buah bantal, kemudian duduk bersantai di atasnya.Ke sini! Dia menepuk sisi di sebelah kanannya. Aku membuang pandangan, masih tak terima dengan sikapnya tadi.Kau marah?Menurutmu?Berhenti merokok. Tak baik untuk kesehatanmu.Are you crazy? Kenapa baru sekarang? Sudah bertahun-tahun kau membagi rokokmu padaku.Sekarang berbeda. Aku melarangmu.No, Kahfi. Aku tidak mau. Aku akan membelinya sendiri, dan aku tidak akan membaginya denganmu. Aku memutar bola mata, malas.Coba saja lakukan itu. Akan kupatahkan rahangmu itu.What? Kau sedang mengancamku? Aku langsung bangkit dan mendatanginya.Kau bicara apa tadi?Kau sudah dengar dengan jelas. Aku tak mau mengulanginya. Dia menjatuhkan kepalanya ke bantal super besar itu.Kau masih bisa bersantai setelah melakukan itu, ha? Aku mengambil bantal yang satunya, lalu memukulkan ke wajahnya.Sakit, Key. Dia tergelak.Atau kubunuh saja kau sekalian.Aku menaiki tubuhnya dan menekan wajahnya dengan bantal. Dia terlihat meronta, kemudian dengan sekuat tenaga membalikkan keadaan.Oh, shit! Tentu saja aku kalah. Tenaganya jauh lebih kuat. Kini aku yang berada di bawahnya.Cari kesempatan! makiku. Dia tersenyum, kemudian melepaskanku.Aku membetulkan posisi, dan berbaring miring memunggunginya.Kau sudah menikah, Key. Bersikaplah lebih dewasa.Kau berlebihan. Kalau kau peduli, seharusnya kau bisa lakukan dari dulu.Aku tak punya hak. Maka kubiarkan kau melakukan hal yang kau suka. Meski itu salah.Kau takut aku tak akan menurut, jika kau melarangku saat itu?Aku hanya ingin menemani saat terpurukmu, Key. Tak ingin terlibat lebih jauh dan membuatmu merasa tak nyaman denganku.Dia benar. Dia hanya menuruti semua keinginanku. Tak pernah merasa sok bijak dengan mencoba menasehatiku seperti orang-orang itu. Membuatku lebih merasa didengar, tanpa harus membuatku merasa bersalah. Dia benar-benar membuatku merasa nyaman.Kau benar-benar peduli padaku?Kau sendiri yang bisa merasakan itu.I know. Only you. Maaf untuk yang tadi.Yang mana?Menekanmu dengan bantal.Kau yakin hal itu bisa membunuhku?Hish, Fi. Kau meremehkan aku. Aku berbalik dan ingin sekali mencekiknya. Namun baru saja aku hendak melakukannya, tubuh ini kembali didorong hingga kembali ke posisi semula. Lalu ia memelukku dari belakang.Aku terdiam. Merasakan sesuatu yang begitu hangat. Tak seperti sentuhan-sentuhan sebelumnya.Fi?Hemm.Kau ingin melakukan malam pertama?Diamlah. Aku mengantuk.Oh, baiklah. . Pagi ini aku dan Kahfi ke rumah Papa untuk mengambil pakaian dan segala keperluanku. Kami menumpang taksi online karena aku akan membawa mobilku turut serta. Mobil mewah yang kubeli dengan uang yang kuhasilkan.Sulit bagiku untuk ikut terjun mengurusi bisnis Papa. Selain tak punya keahlian di bidang itu, aku juga tak memiliki titel sarjana. Aku langsung di DO sebelum genap dua semester, karena menghajar senior kampus yang mengatai Mamaku jalang. Entah dari mana dia mendapat kabar itu, aku pun tak tahu.Lalu Papa mengirimku ke luar negeri, dan itu juga bertahan hanya selama enam bulan. Aku kabur dan kembali ke Indonesia. Tinggal di rumah Kahfi tentunya. Sampai si keparat yang menjadi suamiku ini, mengadu. Dia benar-benar tidak membiarkan aku menginap di rumahnya, walau seharipun.Key? Kahfi? Tante sudah masak yang banyak untuk kalian. Kita makan siang bersama, ya. Aku hampir mual mendengar suaranya yang terdengar seperti dibuat-buat.Elena baru saja tiba saat kami datang, dia melirik ke arah Kahfi sekilas, lalu berlalu pergi menuju kamarnya di lantai yang sama dengan kamarku. Sejak menjadi saudara, kami nyaris tak pernah bertegur sapa. Aku bahkan tidak tahu apakah dia masih bisa berbicara atau tidak.Kami hanya mengambil barang-barangku. Makanlah sendiri! Aku berjalan cepat menaiki tangga. Kudengar langkah kaki suamiku mengikut dari belakang.Kau tak menunggu Papamu dan Erik? Mungkin mereka akan pulang untuk makan siang begitu tahu kau datang, ucapnya setelah sampai di kamar.Diamlah, Fi. Aku tak ingin membahas mereka. Setelah ini aku akan bebas, dan tak akan pernah kembali ke neraka ini lagi.Kau yakin ingin menukar ruangan mewah ini dengan kamarku yang sempit itu?Itu menguntungkan bagimu, Fi. Setidaknya kau bisa tidur nyenyak dengan memelukku sepanjang malam. Apa kau tidak tahu, kalau tanganmu itu sangat berat? Aku hampir kehabisan napas.Dia tertawa, lalu duduk dengan perlahan di atas ranjang king size itu.Berapa harganya? Dia mengusap lembut posisi di sampingnya.Kau ingin membelikannya untukku? Sory, Fi. Aku mulai menyukai karpet bulu itu.Oke.Kau ke sini hanya untuk menikmati ranjang itu? Tak ada niatan untuk membantu memasukkan semua barang-barangku? Aku berdiri membuka lemari, sembari menenggerkan kedua tangan di pinggangku.Ya, baiklah tuan putri. Kau cerewet sekali. Ia bergegas bangkit dan mendekat ke arahku.Fi.Hmmm.Kau tak pernah ada hubungan apapun dengan Elena, tanpa sepengetahuanku, kan?                            ***********Part 6Mataku menatap sinis kepadanya.Kau bicara apa? tanyanya datar. Tangannya meraih koper besar di atas lemari.Kau sudah mendengar pertanyaanku.Kau menuduhku, hanya karena dia menatapku?Oh, shit. Kau bahkan tahu dia sedang menatapmu. Kalian saling berpandangan di hadapanku, ha?Hentikan omong kosongmu, Key. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang cemburu.Kau benar! Aku tak ingin kau akrab dengan keluarga itu, apalagi dia.Jangan berlebihan. Aku bahkan tak pernah bicara padanya.Semoga saja itu benar. Kau tak ingin aku membuat masalah baru lagi, kan?Cepatlah! Kau bilang tak ingin berlama-lama di sini.Oke! Ini sudah sangat cepat.Kau yakin semua barang-barangmu muat di kamarku?Kamar kita. Jangan serakah, Fi. Sekarang itu juga kamarku.Terserah kau saja. . Aku bernyanyi riang dengan irama musik 'Senorita'. Mengikuti tiap bait lirik yang dibawakan oleh Camila Cabello dan Shawn Mendez. Tubuhku ikut bergoyang dengan irama yang berasal dari mobilku.Kahfi tampak tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala sembari mengemudikan kendaraan. Membawaku pulang ke rumah yang begitu aku impikan.Kau terlihat sangat senang. Suasana hatimu sedang baik rupanya, ucapnya.Tentu saja. Aku merasa seperti baru terbebas dari penjara. Dia tertawa.Apa lagi rencanamu selanjutnya?Aku mengangkat bahu, tak tahu harus menjawab apa. Aku sudah merasa cukup puas bisa terbebas dari semua masalahku, dan lagi-lagi itu karena Kahfi.Kau tidak ingin kita berbulan madu, Fi? Kita bisa ke Paris kalau kau mau.Dia kembali tertawa. Aku tak punya paspor.Bagaimana kalau Bali?Kau sudah sering ke sana.Papua? Dia semakin tertawa. Kau mentertawakanku, Fi. Aku serius. Ini pernikahan sungguhan. Kau bahkan selalu mengelak saat aku membicarakan malam pertama.Kita sudah melewatkan dua malam. Tak ada lagi yang namanya malam pertama.Kau masih meragukanku? Sudah kubilang kau bisa langsung membuktikannya.Haish... hentikan cerita seperti itu. Kau sungguh tidak punya malu.Hello...my dear. Kau sungguh kekanakan. Atau kau masih membayangkan bisa menikmati tubuh gadis ingusan itu? Kau masih berharap bisa kembali padanya?Diamlah, Key. Bicaramu semakin tak karuan.Dia pasti sangat shock begitu tahu kau langsung menikah setelah dicampakkan. Apa dia berpikir kau akan datang lagi dan mengemis-ngemis cinta kepadanya? Oh, my God. Dia pasti terlalu banyak menonton sinetron. Aku tertawa geli.Kau sudah puas?Ayolah, Fi. Kalian memang tidak berjodoh. Jangan terlalu menyalahkanku.Dia menghela napas. Kurasa dia tak bisa lagi membantahku dengan ucapan apapun.Setahuku Kahfi memang tidak pernah menjalin hubungan serius dengan siapa pun. Hanya ada beberapa wanita saja yang mencoba mendekatinya. Entah mereka berpacaran atau tidak, yang jelas gadis-gadis itu tak pernah menerimaku sebagai temannya Kahfi.Dasar sialan. Sudah untung dikasi pinjam, malah ingin menguasai. Tentu saja aku harus turun tangan, dan membuat mereka menjauhinya. And then... Kahfi kembali kepadaku. Hanya untukku.Sampai saat gadis bernama Ara itu muncul. Teman sekolah Sifa. Sering datang ke rumah dan kerap menitip salam pada Kahfi. Berlagak lemah, dan sering minta diantar pulang.Oh, shit. Kecil-kecil sudah pandai menggoda pria. Anehnya Kahfi mau saja dan menjadi terbiasa. Entah siapa yang memulai, hingga akhirnya mereka berpacaran. Dasar lelaki.Aku benci saat-saat itu. Saat di mana dia terlihat seperti orang yang benar-benar sedang jatuh cinta. Namun jelas aku tak bisa mengatur perasaan seseorang. Kahfi telihat lebih rajin bekerja. Dia terlihat serius, dan aku merasa terabaikan.  .Kapan kau mulai membuka kedai? tanyaku, sembari berbaring di atas ranjang.Semua barang sudah tersusun rapi, dengan bantuan dia, tentunya. Pria berkulit putih itu, duduk di atas karpet, dengan tubuh menyandar di dinding ranjang, tempatku berbaring.Kalau kau tak ingin kemana-mana lagi, besok aku akan mulai buka. Kalau kau bosan di rumah, kau bisa ke sana.Besok aku ada colabs bersama Ladyfood. Kami akan membuat video mukbang.Dimana?Di rumahnya. Dia punya studio mini untuk kontennya.Oke. Pulang jam berapa?Entahlah. Mungkin sore, atau bisa sampai malam.Jangan sampai malam. Sore saja.Yes, Sir. Tapi, tak bisakah kau libur sehari lagi? Kita bisa pergi jalan-jalan. Aku bisa menunda jadwalku untuk besok.Aku sudah tutup selama beberapa hari. Para pelangganku mungkin sudah serupa tarzan dengan rambut gondrong mereka. Aku tertawa lebar.Omong kosong. Kau memang rajanya bullshits, Fi.Kulirik dari tadi dia bolak-balik menggeser layar ponsel. Aku bangkit, dan melingkarkan tanganku ke lehernya. Menempelkan dagu, dan mengintip dari balik bahunya.Sedang apa?Dia menaikkan sedikit, benda pipih yang dipegangnya agar terlihat jelas olehku. Foto-foto pernikahan kami yang aku kirimkan tempo hari.Kau benar. Aku sangat tampan saat memakai jas ini, pujinya terhadap diri sendiri. Aku terkekeh.Kau masih saja narsis.Kau akan memajangnya di akunmu?Sure.Tidak takut?Kehilangan fans? No, Kahfi. Mereka pasti berdoa yang terbaik untukku.Maksudku... takut mereka akan kagum dan mulai ngefans denganku.Aku kembali terkekeh dengan ucapannya. Kau benar-benar narsis, Fi. Menjijikkan. Aku mengacak-acak rambutnya.Yang ini bagus. Ah tidak yang ini saja. Bukan, bukan. Lebih baik yang ini. Ah, aku terlihat tampan dari semua sisi. Bagaimana kalau semuanya saja?Whatever! . Aku kembali ke rumah setelah selesai mengambil video. Dengan perut kekenyangan, karena harus menghabiskan semua makanan. Damn! Rasanya ingin memuntahkan semua yang ada. Membayangkannya saja membuatku ingin berhenti makan dalam waktu seminggu.Aku baru saja turun dari mobil, saat melihat Sifa baru saja melepas sepatunya di teras rumah. Masih dengan seragam sekolah yang dipakainya pagi tadi.Kau baru pulang? Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam lima.Iya, tadi jenguk Ara di rumah sakit.Ara? . Seperti biasanya aku menghentakkan bokongku ke kursi bambunya. Pasiennya baru saja pergi. Kurasa dia kedatangan banyak pelanggan hari ini, melihat banyaknya sisa potongan rambut di tempat sampah.Dia mengambil posisi di sebelahku. Mengapit rokok di sela bibirnya, kemudian menyulutnya dengan api. Mataku berkedip-kedip memandangnya.Apa? sinisnya.Aku mau."Kau tidak ingat kata-kataku kemarin?Hanya sebatang saja, Fi.Kau benar-benar tak takut rahangmu bergeser, ha?Oh, shit! Aku memukul keras pahanya.Hish...sakit, Key. Dasar kau. Dia mengusap bekas pukulanku.Kau curang. Kau melarangku merokok. Tapi kau malah melakukannya di hadapanku. Tahu bagaimana rasanya? Itu sama saja saat kau sedang berpuasa, lalu seseorang seenak jidatnya makan dan minum di hadapanmu. Kau mengerti?Kau berceramah seperti pernah berpuasa saja, decihnya.Fi! Aku kembali memukul di tempat yang sama."Iya, iya. Baiklah. Kau tidak ingin melihat aku merokok, kan? Oke, kau lihat ini? Dia menekan bara api itu ke pinggiran kursi hingga padam. Sedang aku, hanya bisa menelan ludah menyayangkannya.Kemudian sisa rokok di dalam bungkusan dia remas hingga remuk dan hancur. Lalu melemparnya ke tempat sampah.What the fuck. Sialan kau, Kahfi. Kenapa kau lakukan itu? Kali ini giliran bahunya yang kutinju dengan kasar.Dia mengaduh, sembari mengusap kembali bekas pukulanku.Kau ingin sekali membunuhku rupanya, ya. Dia kembali berdecih.Kenapa kau membuangnya? Dasar kau memang bodoh!Kau sendiri yang menginginkannya. Kenapa malah menyalahkanku?Terserah kau sajalah. Awas saja kalau kau ketahuan merokok. Aku juga bisa merontokkan gigi-gigimu itu, balasku tidak mau kalah. Dia tertawa, sembari menyandarkan punggungnya ke belakang.Terserah maumu saja.Sialan, kau.Berhenti mengumpat, Key.Fuck you. . Aku menghela napas. Mencoba menetralkan rasa kesal, dan kembali berbicara dengan normal.Kau tidak menjenguknya?Siapa?Ara, ketusku. Kata Sifa, dia dirawat di rumah sakit setelah seminggu tak masuk sekolah. Kurasa dia benar-benar drop, begitu tahu kau menikah. Aku tertawa.Aku tak tahu. Sifa tak bilang.Ya, Sifa juga ragu-ragu saat tadi bercerita padaku. Mungkin merasa tidak enak menceritakan tentang mantan pacar kakaknya di hadapanku. Dia bisa juga menjaga hati, dan menghormati orang lain. Good girl. Aku meyukainya.Sekarang kau sudah tahu. Apa kau merasa bersalah?Kenapa kau membahasnya? Atau jangan-jangan kau yang merasa. Kalau begitu kau saja yang datang menjenguk, dan meminta maaf padanya.What? Kau sudah gila? Aku? Memohon maaf pada gadis itu? No, Kahfi. No! Aku tidak bersalah. Gadis itu yang tiba-tiba berada di antara kita. Kau tidak benar-benar serius ingin menikah dengannya, kan?Ah, sudahlah. Kenapa kau terus membahasnya?Kenapa? Kau masih berharap bisa menikahinya?Sudah kubilang jangan membahas hal itu lagi. Dia menarik leherku dengan lengannya, menariknya paksa seperti biasa saat merasa terpojok karena ulahku.Hentikan, Fi. Kau merusak rambutku. Baiklah. Aku setuju. Kita tak perlu membahas mantanmu itu lagi. Oke? Aku menyerah.  . Menjelang malam aku sudah kembali ke rumah. Menunggu Kahfi di kamar. Dia biasa menutup kiosnya hingga jam sepuluh malam. Aku berbaring di karpet yang benar-benar begitu nyaman, sambil berselancar di dunia maya.Tiba-tiba saja ponselku berdering. Nama seseorang yang tak ingin kutemui muncul di depan layar. Ingin sekali mengabaikannya. Tapi tentu saja hal itu tak bisa kulakukan.[Yes, Mom.] Akhirnya aku menggeser layar berwarna hijau.[Kau masih melanjutkan pernikahan itu, meski Mama melarangmu?]Ya, seminggu sebelum menikah, mau tidak mau aku harus memberi tahukan Mama tentang pernikahanku. Ya, hanya memberi tahu, bukan meminta restu. Karena kutahu, ia pasti membenci itu.Kahfi bukan salah satu kriteria menantu idamannya. Hanya anak dari seseorang, yang dulunya hanya sebagai supir. Ditambah lagi tuduhannya tentang Ibu mertuaku. Mama yang sekarang tinggal menetap di Bali, mewanti-wanti agar aku mengurungkan niatku itu.Tapi dia sama sekali tak berhak mengatur apapun tentangku lagi, sejak ia pergi meninggalkanku demi laki-laki lain. Aku sangat membenci itu. Skandal memalukan, yang membuatku jadi korban bullyan dari berbagai kalangan.Teman-teman yang seharusnya memberikan dukungan, malah terkesan jijik dan masing-masing menjauhiku. Ah, ya. Apa aku sudah bilang, kalau Mamaku adalah mantan seorang model? Wanita keturunan, dengan darah campuran Jawa dan Inggris. Bayangkan betapa indah parasnya, dan kata orang, itu menurun padaku.[Aku hanya memberi tahu. Bukan meminta restu. Jadi jangan mengajakku berdebat, Mom. Aku lelah. Lagipula, apa perduli Mama, Mama bahkan tak menghadiri hari bahagia dalam hidupku.][Sorry, sweety. Bukan itu maksud Mama. Kau pasti hanya ingin membalas dendam pada Mama dan Papa dengan mempermalukan kami, kan?][Stop, Mom. Menikahi suamiku bukanlah hal yang memalukan. Dia lebih baik dari kalian semua. I hate you!] Aku mematikan dan melempar asal ponselku.Sakit. Selalu saja mereka memperlakukanku seperti itu. Tak pernah perduli dengan apa pun yang aku inginkan. Yang mereka pentingkan hanya harga diri, dan juga nama baik. Dua hal yang telah mereka hancurkan sendiri dengan perbuatan mereka.Oh, shit. Aku benci situasi ini. Aku butuh rokok dan sebotol minuman. Aku mengusap kasar air mata dan kembali mendatangi Kahfi di kedainya.Kau kenapa? Dia melihatku dalam keadaan yang sudah sangat dikenalnya.Tutup kedaimu, temani aku minum.                               *************Part 7Ada masalah apa? tanyanya lagi.Cepatlah. Aku tunggu di mobil.Tak butuh waktu lama untuk ia membereskan kiosnya. Hanya menyusun beberapa barang, dan meletakkan kantong sampah di luar. Esok hari, akan ada yang memungutnya. Sebentar saja, dia langsung masuk ke bangku kemudi. Lalu diam, dan membiarkan aku sedikit menenangkan diri.Aku memejamkan mata sambil bersandar. Kupikir setelah menikah dan menghilang dari rumah itu, tak ada satu pun lagi masalah yang mengganggu. Namun kenyataannya, Mama membenci Kahfi dan keluarganya. Itu sangat menyakitkan. Aku benar-benar tak rela, suami pilihanku diperlakukan seperti itu.Erik menghubungimu?"No.Papa?No.Apa yang mengganggu pikiranmu?Entahlah. Jalan saja. Aku benar-benar butuh minuman.Mobil kembali melaju membelah malam. Jalanan masih terlihat ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang, meski tak sepadat saat siang. Kali ini dia kembali membawaku ke bistro seperti biasanya. Kurasa penjaga parkir dan pelayan di sana sudah hafal dengan wajah kami berdua.Dua orange jus, dan satu kentang goreng.Aku melirik ke arahnya, memastikan kalau aku tidak salah dengar.Kau...memesan apa?Orange jus.Kau bercanda, Kahfi? Kita masuk ke tempat seperti ini hanya untuk minum jus?Sudah, menurut saja. Dia mengangguk pada sang waiters, agar membuat pesanannya.Jangan mengada-ada, Fi. Kalau cuma jus jeruk, kita bisa singgah ke minimarket dan membelinya di sana, protesku.Kenapa tidak bilang dari tadi? Haruskah kita membatalkan pesanannya?Oh, shit, Kahfi. Kau kenapa? Jangan katakan kalau kau juga melarangku minum dengan alasan kesehatan.Ya. Tumben kau pintar.Dasar brengsek. Aku mau pulang! Aku mengambil tas dan langsung bangkit untuk meninggalkan tempat ini. Sialan orang itu.Aku berjalan dengan sangat cepat, menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Lalu bergegas keluar ke parkiran.Oh, man! Aku lupa, dia masih memegang kuncinya. Shit! Aku menendang pintu mobil. Aku hanya bisa berjongkok menunggu sampai ia datang. Dia pasti akan segera keluar dan menyusulku.Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua puluh....ouh, oke. Dia baru muncul setelah dua puluh menit, membiarkan aku bolak balik berjongkok dan berdiri. Mungkin saat ini, dia yang sedang mabuk.Kini aku sedang berkacak pinggang sambil menggoyang-goyangkan sebelah kakiku. Kuharap dia segera berlutut dan memohon maaf. Itupun kalau aku tidak khilaf dan menendang dagunya dengan lututku.Sedang apa kau di dalam? Kau tidak tahu sudah hampir setengah jam aku menunggu kau di sini, ha? rutukku padanya.Kau pikir aku bisa menghabiskan dua gelas jus dengan sekali teguk? Belum lagi kentang gorengnya, sahutnya santai.Apa? Kau masih bisa bersantai meski tahu aku menunggumu di sini?Aku pikir kau butuh waktu sendiri. Biasanya kalau sudah selesai, kau akan datang sendiri atau menghubungiku.Dasar brengsek. Hish... Aku melemparkan tasku padanya. Lalu berjalan sambil mengehentakkan kaki keluar dari area parkiran.Aku berjalan menyusuri trotoar jalan di tengah kota. Dengan keadaan malam semakin naik, banyak toko-toko yang sudah mulai tutup. Terkadang berjalan kaki seperti ini bisa membuat moodku kembali membaik. Tentunya aku marasa aman, karena laki-laki yang kini menjadi suamiku itu, selalu mengikuti setiap langkahku.Selalu saja seperti itu. Tanpa pernah berniat mengganggu air mataku yang kini semakin membanjiri pipi. Oh, my God. Aku benar-benar butuh rokok dan juga alkohol. Dasar Kahfi sialan!Perjalanan ini membuatku merasa sangat lelah. Kurasa kakiku lecet karena sepatuku yang terlalu tinggi. Aku duduk di trotoar jalan yang sudah sepi dan tak banyak kendaraan yang melewati. Membuka sepatu, dan meletakkannya asal di sampingku.Kenapa hanya sampai di sini? Suamiku muncul dengan tasku yang masih berada di pelukannya.Kakiku lecet. Ini sudah terlalu jauh, keluhku lemah. Lalu dia pun ikut duduk di sampingku.Kau lelah?Ya.Masih mau di sini?Mobil kita tertinggal jauh, ucapku lagi-lagi.Tak apa. Nanti kita ambil. Kau mau pulang sekarang? Aku mengangguk.Sudah selesai menangisnya? Aku kembali mengangguk, sembari menyeka air mata.Dia kemudian mengalungkan sling bagku ke lehernya, memungut sepasang sepatu, kemudian berjongkok membelakangiku.Cepat naik. Sebentar lagi akan turun hujan, perintahnya.Aku menurut, dan langsung merangkul leher dan naik ke punggungnya.Kami kembali berjalan melewati jalan yang kulalui tadi. Cukup jauh, dan dia kini berbalik arah sambil membawaku sebagai bebannya.Kau pasti lelah, selalu saja melakukan ini kepadaku. Aku selalu saja merepotkanmu, kan? Aku berbicara tepat di telinganya.Ini belum seberapa. Saat mabuk, perjalananmu bisa semakin jauh.Dan kau masih kuat menggendongku seperti ini?Kenapa? Kau ingin aku menghubungi Erik saja, dan menjemputmu pulang?Cisis... hentikan itu.Ada apa lagi? Kenapa kau menangis?Aku kembali terisak. Kali ini dengan menyandarkan kepalaku ke punggungnya.Mama menelponku tadi.Lalu?Aku membencinya. Aku menyesal bicara padanya. Aku terus merengek.Dia memarahimu karena kau menikahiku?Kau sudah tahu? Dia malah tertawa.Semua orang tahu Mamamu tidak menyukai keluargaku. Kenapa mempermasalahkannya?Kau tidak marah?Tidak. Melihatmu bahagia saja aku sudah merasa senang.Kau tidak menyesal menikahi wanita sepertiku, kan?Maka jangan buat aku menyesal, dan sia-sia mengorbankan diri. Berbahagialah. Bukankah itu tujuanmu menikah?Tapi aku tak suka jika ada yang menghinamu.Tak apa. Aku baik-baik saja. Kau sudah merasa lega sekarang?Kenapa aku tak boleh minum? Apa karena sekarang aku istrimu? Dan kau merasa punya hak mengatur hidupku?Ya.Sekali pun?Kalau kau mabuk, bagaimana aku membawamu pulang ke rumah Ibu? Kau ingin kuantar kembali ke rumah Papamu?No, Kahfi. Kau benar. Maaf.Kau baik-baik saja meski tanpa alkohol, kan?Air mataku kembali mengalir. Sesekali terbang tersapu angin. Dia terus saja berjalan tanpa mengeluh. Dan aku begitu menikmati perjalanan kali ini.Kalau kau lelah, turunkan saja. Aku bisa berjalan sendiri, pintaku. Merasa tak tega padanya.Kakimu masih lecet. Biasanya kau meronta-ronta saat aku hendak menurunkanmu.Benarkah?Kau bahkan menarik dan menggigit telingaku kalau kesal. Rambutku juga tak luput dari amukanmu.Aku sekejam itu?Kau juga berteriak sepanjang jalan.Apa aku gila?Ya. Kau memang orang gila. Sakit jiwa. Gadis liar. Binal. Tidak punya sopan santun.Aku tertawa. Kubiarkan saja dia terus mengumpat sepanjang jalan. Mungkin dengan begitu, bobot tubuhku sedikit berkurang dan akan meringankan bebannya.  . Hari ini aku ada pertemuan dengan teman-teman sosialitaku. Seperti sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan semingu sekali, meski hanya untuk sebuah pencitraan buatku. Bertemu dan berkumpul dengan mereka sungguh memuakkan. Hanya membicarakan kelebihan masing-masing, atau barang-barang branded yang baru saja mereka beli. Unfaedah sekali.Namun sebagai salah satu selebgram, tentu aku harus menjalin hubungan baik dengan banyak orang. Karena dengan citra yang baik, orang-orang lebih bisa menerima, dan bersikap manis di depanku.Kami berkumpul di sebuah restoran mewah di sebuah mall. Tentu saja, dengan penampilan dan dandanan semenarik mungkin. Membahas apa saja yang membuat semuanya terkikik geli. Apa pun itu, meski harus menceritakan aib teman sendiri.Tentu pernikahanku juga tak ketinggalan untuk dibahas. Mereka sudah tidak asing lagi dengan sosok Kahfi. Mereka menganggapnya sebagai bodyguard yang selalu datang saat kupanggil.Tak jarang dari mereka juga menitipkan salam, dan terang-terangan menggoda Kahfi di depanku, dan aku benci itu.Aku menatap keluar dari balik dinding kaca. Melihat seseorang yang sepertinya sudah tidak asing lagi.Oh, sorry. Aku mau ke toilet, ucapku untuk pamit.Aku mengikuti langkah mereka dari belakang. Seorang gadis, dengan pria setengah tua hampir seusia Papa. Pria itu mengantar hingga ke pintu, sedang gadis itu masuk ke dalam toilet.Well, jadi ini anak tiri kesayangan Papa? Aku berdiri dengan menyilangkan tangan ke dada di depan wastafel. Menunggu Elena keluar dari kamar kecil.Wajahnya tampak terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan memergokinya di sini.Apa kau seorang wanita simpanan? Apa Papaku tidak memberikanmu cukup uang? decihku.Tutup mulutmu. Jangan ikut campur urusanku. Dia terlihat ketakutan.Haruskah aku mengadu pada Erik tentang kelakuanmu? Setidaknya dia tak lagi mengurusi hidupku. Kurasa sekarang foto toplessku bukan satu-satunya skandal untuk Papa Aku tergelak. Dia semakin ketakutan.Kau belum puas juga, ha? rutuknya.Apa?Kau sudah mendapatkan segalanya. Semua yang seharusnya menjadi milikku. Semua orang memperhatikanmu. Mamaku, Erik, bahkan Kahfi. Kau belum puas juga? Jangan merasa selalu menjadi korban. Kau yang merebut semuanya dariku. Matanya terlihat memerah menahan sesuatu. Mungkin air mata.Kahfi? Apa hakmu menyebut namanya. Kau sudah tahu dia kini menjadi suamiku. Ada hubungan apa antara kau dengannya? Tiba-tiba saja ada getaran aneh di dada ini.Mendengarnya menyebut nama Kahfi membuatku merasa terluka.Katakan Elena! Ada apa antara kau dan Kahfi! bentakku.Kalau kau ingin tahu, tanyakan sendiri padanya. Dan ingat, jangan pernah ikut campur lagi urusanku.Dia berjalan melewatiku, hingga menyenggol bahuku dengan kuat. Apa yang sedang dibicarakannya? Dasar jalang! . Aku membanting tasku ke atas ranjang. Memikirkan kata-kata Elena barusan. Perasaan apa ini? Kenapa aku membenci saat dia menyebut nama Kahfi. Sejak kapan? Kenapa aku bisa sampai tak tahu? Apa yang kulewatkan dari mereka berdua?Aku berbaring miring di atas ambal, menghadap ke dinding ranjang. Lampu sengaja kupadamkan untuk menyamarkan air mata yang entah sejak kapan terus mengalir. Kudengar suara pintu terbuka. Langkah kakinya terdengar kian mendekat.Kau sudah tidur? ucapnya, tanpa menyalakan lampu.Aku ingin sekali diam. Berpura-pura tidur dan melupakan semua kata-kata Elena. Namun debaran jantungku kian bergemuruh dan tak dapat lagi kutahan. Aku tak pandai menutupi suasana hatiku saat ini.Fi? Kupanggil dia yang kini telah berbaring di sampingku.Kau belum tidur?Kau yakin, tak pernah ada hubungan apapun dengan Elena?                             ************Part 8Apa yang kau katakan? Kita sudah pernah membahasnya, ucapnya dalam kegelapan.Jujurlah. Apa yang tidak kutahu. Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?Aku masih tetap dalam posisi semula. Tak berani bergerak, atau berbalik memandangnya, meski kamar dalam keadaan remang dan minim cahaya. Aku takut dia melihatku menangis kali ini. Entah kenapa.Sudah kubilang tak ada apa pun. Kenapa kau tiba-tiba bertanya?Benarkah? Apa kau takut aku akan marah, jika mengetahui sesuatu di antara kalian?Kurasa kini suaraku tampak berbeda. Oh, shit. Aku tak dapat lagi menahannya. Aku benci terlihat cengeng, hanya karena masalah ini.Dia bangkit dan menghidupkan lampu, lalu kembali mendekatiku.Astaga, Key. Kau menangis lagi. Apa yang terjadi? Dia menarikku untuk bangkit dan duduk menghadapnya.Mataku kini telah sembab oleh air mata. Dan aku tak tahu kenapa. Ada rasa sakit yang berbeda. Yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Kau berbohong soal Elena. Ada sesuatu yang kau sembunyikan. Kau membuatku takut, Fi. Aku seperti tak mengenalmu, lirihku.Tenanglah, Key. Jelaskan apa yang terjadi. Dia merapikan rambutku yang kusut, menyelipkannya ke belakang telingaku. Lalu mengusap air mataku dengan kedua ibu jarinya.Aku menceritakan saat pertemuan dengan Elena, dan semua yang dia katakan tentang mereka. Aku ingin memaksanya bicara, tapi dia terlanjur pergi dan memintaku untuk menanyakan langsung pada Kahfi.Kau dan Elena berpacaran? tanyaku menatap matanya.Pikiran konyol macam apa itu? Kau mengenal semua wanita yang pernah dekat denganku. Mungkinkah Elena bisa luput dari perhatianmu? Dia menyangkal semua ucapanku.Kalau begitu jelaskan! ucapku histeris, sembari menepiskan kedua tangannya dari wajahku.Tenanglah, Key. Jangan marah-marah. Aku akan jelaskan.Katakan!Elena pernah datang menemuiku. Dia meminta tolong sesuatu. Aku sudah menolak, dan minta ia mengadu pada Erik. Tapi dia bilang Erik tak boleh tahu.Apa? Air mataku mengucur tanpa henti.Seseorang memperlakukannya dengan kasar. Pria itu terus-terusan mengejar, meski berulang kali dia menolak. Dia hanya memintaku untuk memberi pria itu pelajaran, dan....Dan apa? Mataku liar menatap matanya, menunggu jawaban. Dan aku merasa tidak sabaran.Kenapa dia mengadu padamu? Kenapa aku tak tahu? Bagaimana kalian bisa sedekat itu? Aku berteriak dan memukul dadanya dengan keras.Dia diam tak menghindar. Membiarkanku menumpahkan kekesalan. Sepertinya dia tahu kalau aku memang akan semarah ini. Dia tak lagi berusaha membela diri.Apa yang kau lakukan dengannya? Apa dia juga pernah memintamu menikahi, dan bertanggung jawab atas perbuatan orang lain? Apa dia hamil? Aku meracau.Astaga, Key. Tidak sampai sejauh itu. Aku hanya memberi laki-laki itu pelajaran. Elena hanya menginginkan itu, dan memintaku untuk berpura-pura menjadi kekasihnya, agar pria itu menjauh. Hanya sekali saja, setelah itu aku tak pernah lagi bicara padanya. . Aku keluar pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Kahfi berangkat membuka kiosnya. Kutinggalkan dia yang masih melakukan aktifitas di kamar mandi.Kukemudikan mobil hingga memasuki halaman rumah yang begitu luas. Tak kupedulikan siapa pun yang melihat caraku berjalan. Aku bergegas naik ke lantai dua, dan membuka paksa pintu kamarnya. Kudapati Elena tengah duduk di depan meja rias.Tanpa ba bi bu, aku menyapu semua yang ada di meja itu hingga jatuh dan berserakan di lantai. Aku menarik rambut, kemudian menampar pipinya.Apa yang kau lakukan? Dia berteriak kesakitan.Tutup mulutmu jalang. Beraninya kau melibatkan suamiku dalam masalahmu. Dasar sialan. Keparat kau. Aku melempar botol parfum yang masih tersisa ke dinding tempat dia berdiri.Jadi dia sudah cerita? Baguslah. Setidaknya kau harus tahu diri. Dari dulu dia bukan milikmu sepenuhnya. Dia juga pernah ada di dalam hidupku, dan juga pernah menjadi penyelamatku. Dia tak kalah histeris.Brengsek. Kau hanya menjebaknya. Dasar pelacur. Kau selalu ingin memiliki apa yang aku punya, ha? Kau menyukai suamiku? Apa kau lebih tertarik dengan milik orang lain seperti apa yang kulihat kemarin, ha? Tidak cukupkah kau mengambil semuanya dariku?Berhenti berlagak jadi korban. Kau selalu saja mencari perhatian. Kau mempermainkan perasaan semua orang. Dasar serakah. Kau lebih pantas menjadi pelacur dari pada menikah dengan laki-laki sebaik Kahfi. Aku yakin, kau juga merayu Erik dan pernah tidur dengannya. Benar, kan?Jaga mulutmu jalang. Aku kembali menarik rambut dan berulang kali memukulnya. Dia juga melawan, hingga terjadi pergumulan di antara kami.Apa yang kalian lakukan? Suara Erik terdengar dari depan pintu. Sebentar saja dia sudah berada di antara kami. Menarik paksa aku menjauh dari adiknya.Lepaskan aku brengsek. Adikmu harus kuberi pelajaran! Aku meronta dan minta dilepaskan.Apa yang terjadi? Kenapa pagi-pagi membuat keributan? ucapnya, setengah membentak.Tanyakan pada jalang yang ada di sana.Jaga mulutmu, Key. Berhenti mengumpat orang.Key? Elena? Ada apa ini? Mamanya langsung mendekati putri semata wayangnya.Damn! Sudah masuk, satu lagi keluarga mereka. Aku merasa seperti sedang dikeroyok. Sebentar lagi pun Papa akan hadir, dan jelas membela mereka semua. Shit. Damn. Sialan betul keluarga ini.Elena memasang wajah marah dengan rambut yang sudah tidak karuan. Di sudut bibirnya terlihat berdarah bekas pukulan.Suruh anakmu jangan suka mengganggu suami orang, makiku. Elena melotot tajam ke arahku.Apa maksudmu, Key? Apa yang sudah dilakukan Elena? Erik kembali bersuara tanpa melepaskan pegangannya.Dia merayu suamiku. Selama ini dia menginginkan Kahfi. Kau tahu itu? Aku meneriaki wajahnya.Erik terlihat gusar. Menarik rambutnya ke belakang dengan kasar. Lalu menoleh ke arah adiknya.Kenapa kau menatapku? bentak Elena kepada kakaknya. Apa hanya dia saja yang berhak mendapat perhatian? Kau juga Erik. Kau begitu memujanya. Selalu saja membela dan terus memperhatikannya. Aku ini adikmu. Seharusnya kau lebih peduli padaku. Dia sering bertindak gila hanya ingin mencari perhatian saja. Lalu bagaimana dengan perasaanku? Dia menangis menutup wajahnya. Menjijikkan.Ell... Mamanya mencoba mendekati untuk menyentuh bahunya. Namun kulihat dia menepisnya dengan kasar.Mama sama saja. Tak pernah mengerti perasaanku. Yang Mama tahu hanya berusaha mengambil hati Key saja. Mama melupakan bahwa putri kandung Mama juga butuh perhatian. Dia semakin histeris.    Kisah apa ini? Siapa yang sekarang sedang menjadi korban?Sudah selesai kalian semua? Suara itu kini membuat kami semua menoleh. Di ambang pintu, Papa berdiri dengan wibawa yang selalu membuat lawan bicaranya menjadi segan dan begitu menghormatinya. Kecuali aku, tentunya.Pria yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban itu, memperhatikan kami secara bergantian. Menyisir ruangan yang keadaannya sudah seperti kapal pecah karena ulahku.Kenapa kalian berkumpul di kamar ini? Cepat keluar! Elena, bereskan kamarmu. Erik, hubungi Kahfi. Suruh dia menjemput Key. Ada-ada saja. Membiarkan istrinya datang sendiri, pagi-pagi begini.Pak tua itu lalu beringsut pergi. Aku tak mengerti. Dia tak lagi peduli dan mencari tahu, apalagi memarahiku. Dia hanya diam kali ini. Apa dia pikir tanggung jawabku sekarang sudah beralih ke Kahfi?Aku membanting pintu kamar dan merebahkan diri di ranjang lamaku. Memikirkan ulang setiap peristiwa yang tidak kutahu. Sejak kapan Elena menaruh hati pada Kahfi. Apa mungkin, sejak dari kami remaja? Dia merasa iri, karena Kahfi terus menerus mengikuti kemanapun aku pergi?Oh, shit. Elena sialan. Dasar wanita murahan. Kenapa dia baru bilang sekarang? Apa dia sengaja ingin membuatku marah?Apa-apaan kau ini? Lagi-lagi Erik muncul tanpa permisi.Aku tak peduli. Aku tak mesti menjawab pertanyaan tak penting itu. Dia pasti sudah bertanya terlebih dahulu dengan adiknya.Kemarilah! Biar kuobati lukamu. Dia duduk di tepi ranjang.Oh, shit. Aku bahkan lupa bahwa Elena tadi sempat memukulku. Aku bangkit dan berjalan menuju meja rias. Menatap diriku di cermin. Oh, my God. Gadis sialan itu juga berhasil mengenai pipi, dan juga bibir atasku.Keluarlah! Aku tak butuh bantuanmu.Kau benar-benar cemburu pada Kahfi? Atau ini hanya sebagian dari sifat ingin menguasaimu saja, Key?Sudah kubilang jangan ikut campur urusanku. Urus saja adikmu itu. Kau mungkin akan terkejut dengan apa yang dia lakukan di luaran sana.Dia baik-baik saja, Key. Kau yang bermasalah.Oh, shit. Damn! Aku begitu bodoh. Seharusnya kurekam saja saat kemarin aku memergokinya jalan bersama pria tua itu. Dia pasti sedang menggoda suami orang. Dengan begitu, dia tak lagi dapat bersembunyi di balik wajah malaikatnya.Aku melihatnya berjalan mendekatiku dari pantulan cermin. Membawa kotak P3K yang tadi tak sempat kulihat. Aku berusaha menghindar dan menjauh, sampai tangan itu menarikku mendekati sisi ranjang.Lepaskan aku, bodoh! Aku menepiskan tangannya dengan kuat, hingga kotak itu terlepas dan jatuh berserakan begitu saja.Kenapa kau begitu kasar. Apa kau juga bersikap seperti ini pada Kahfi? Kau tidak takut suatu saat dia akan pergi, karena lelah dengan sikap aroganmu itu?Kubilang berhenti mencampuri kehidupanku! Aku menarik kerah kemejanya.Seperti biasa, dia selalu bersikap pasrah, hingga jarak di antara kami begitu dekat. Sudah kubilang, jangan sekali-kali memberi penilaian terhadapnya. Dia berbeda dari bajingan seperti kalian. Dan dia tidak akan pernah meninggalkanku. Kau tahu itu?Dia diam mematung. Menantang mataku yang terus menatap geram padanya.Kau masih terus ingin di sini, Key? Suara bariton itu tiba-tiba muncul.Aku menoleh, dan melihat suamiku sudah berdiri di ambang pintu. Dengan tergesa, aku melepaskan dan mendorong tubuh Erik agar menjauh.Kau sudah datang, sahut Erik, menyapanya.Aku bergegas, begitu kau hubungi.Oke. Dia menepuk pundak Kahfi, kemudian berlalu keluar.Aku menatap Kahfi sekilas, lalu membalikkan badan, membuang pandangan.Temui Papamu dulu, baru kita pulang. . Brenksek kau, Kahfi. Kau membohongiku selama ini. Kenapa kau tidak pernah mengatakan apapun padaku tentang hal itu?Aku kembali menghempaskan tasku ke atas ranjang, setelah Kahfi membawaku pulang ke rumah. Merasa kesal dengan apa yang baru saja kubicarakan dengan Papa.Apa Kahfi tidak pernah bilang, kalau Papa pernah memintanya menjadi supir pribadi untuk Elena? ucap Papa tadi.Orang tua itu berpikir, hal itulah yang membuat aku marah, dan merasa Elena sudah menggoda suamiku. Dan menganggapku cemburu karena kejadian itu.Kupikir itu tidak penting. Aku sudah menolak permintaannya. Apa lagi yang salah? Kini suara Kahfi telihat sedikit ketus. Seolah dia ikut marah atas kejadian yang kulakukan.Kapan? Kapan kalian melakukan itu di belakangku?Tak ada yang kulakukan di belakangmu, Key. Sudah kubilang aku menolaknya, dan aku tak pernah lagi bicara pada Elena. Berapa kali harus kukatakan agar kau percaya? Semua itu terjadi saat kau tinggal di luar negeri. Kau puas?Kau pikir aku percaya begitu saja? Bagaimana mungkin, Papa tiba-tiba menjadikanmu supir Elena, kalau bukan si jalang itu yang memintanya. Apa kau menggodanya? Memberi perhatian, seperti kau memperhatikanku selama ini? Apa kau memperlakukan semua wanita seperti kau memperlakukan aku, sialan?Berhenti mengumpatku, Key. Aku suamimu sekarang! Kau marah-marah seperti ini hanya karena persoalan sepele seperti itu. Itu sudah terjadi lama sekali.Selama apa pun itu, jika kau terus-terusan bertemu dengannya dia akan terus mengingatnya. Aku bahkan tak tahu apakah selama ini kalian saling jatuh cinta atau tidak. Aku bahkan tak tahu bagaimana perasaan suamiku sendiri.Kau memang tak pernah mau tahu bagaimana perasaanku, ketusnya lagi.Aku seperti tak mengenalmu, Fi.Lalu bagaimana denganmu? Apa aku pernah mengijinkanmu, berada dalam satu kamar dengan Erik?                                ************Part 9Aku langsung memandang wajahnya. Ingin melihat bagaimana ekspresinya saat mengucapkan kata-kata itu. Tak pernah selama ini dia melarangku berhubungan dengan lelaki manapun. Tapi sekarang? Apa perasaan yang kualami saat ini juga mulai dirasakan olehnya?Oh, Tuhan. Apa kami sedang merasakan cemburu? Beginikah efek dari suatu ikatan pernikahan? Hal-hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan membuat kami bersikap gila. Itu sebabnya dia terlihat ketus, dan terkesan marah sejak menyusulku tadi.Kurasa hatiku mulai melunak. Bukan hanya aku yang sakit, rupanya. Dia juga sama. Seperti bagaimana aku mencurigainya dengan Elena, begitu juga dia menilaiku dengan Erik. Hanya mungkin, dia bisa bersikap sedikit lebih tenang.Aku menghela napas, mencoba meredam emosi yang nantinya bisa melebar kemana-mana. Aku terduduk di ranjang kecil itu, sambil mengalihkan pandangan darinya. Aku sungguh malu.Kenapa diam? Apa yang akan kalian lakukan, andai aku tadi tak segera masuk? tanyanya lagi.Tak ada. Memangnya apa yang mau kulakukan bersama sialan itu? sahutku, tanpa melihat wajahnya.Kurasakan langkahnya semakin mendekat. Ekor mataku menangkap, bahwa kini dia sudah berdiri di sampingku.Kau terluka. Kurasa dia akan senang hati menyentuh bibirmu dengan alasan ingin mengobati. Aku melihat kotak obat yang berserakan.Ya. Kurasa juga begitu. Kau tahu dia suka mengambil kesempatan.Kau senang?Hish.... Aku berbalik, dan menantang matanya. Sejak kapan aku merasa senang berada di dekatnya?Jangan lagi ke sana, tanpa izin dariku.Atau?Atau jangan kembali lagi ke rumah ini.Fi! Kau mulai berani mengancamku?Kalau tak suka, kembali saja ke rumahmu. Mereka tak memperlakukanmu seburuk itu. Kulihat dia melangkah menuju pintu.Kau mau kemana, Fi? Aku belum selesai!Oh, shit. Dia tetap keluar tanpa menjawabku. Haruskah masalah Elena kuselesaikan sampai di sini, agar dia tak lagi membahas soal Erik? Oh, yeah. Begini rupanya rasanya sebagai tertuduh. Oke! Kita satu sama.Aku bergegas bangkit, ingin segera menysulnya. Namun baru saja hendak memegang handel, pintu kembali terbuka dan menegenai keningku.Ouch, shit. Damn! Brengsek kau... Kahfi? Kulihat dia mengernyitkan dahi dengan sebuah kotak bekal di tangannya.Apa dia membawakanku makanan, tanpa memperbolehkan aku keluar kamar? Ugh, dia terlihat seperti mafia di film action yang menjadikanku tawanan.Kau mau kemana? tanyanya, masih berdiri di ambang pintu.Menyusulmu, bodoh! Dan kau menabrak keningku dengan pintu. Apa kau sengaja? umpatku, sambil mengusap kening.Ada senyum di wajah manisnya. Kelihatannya kesakitanku membuat hatinya sedikit terhibur. Oke. No problem. Yang penting masalah kami selesai.Masuklah! Aku tidak kemana-mana. Dia bergerak masuk dan langsung duduk di atas karpet. Aku kembali menutup pintu, dan menyusul, duduk manis di hadapannya.Aku pikir kau akan langsung membuka kios tanpa berpamitan, gumamku.Itu milikku. Bisa kubuka kapan saja.Ah, ya. Kau seorang CEO rupanya. Dia terkekeh.  Kau membawakanku makanan?Ini? Dia menunjuk kotak yang di pegangnya. Kemudian membukanya. Ouh, kotak obat rupanya. Kemarikan wajahmu.Dia menuang cairan berbau menyengat ke dalam kapas, lalu menekannya di wajahku. Aku sedikit meringis, namun tak lagi ingin mengumpat.Sakit?Tak apa. Aku sudah terbiasa menerima pukulan.Gadis seperti apa, yang hobinya hanya berkelahi.Orang-orang jahat memang harusnya diberi pelajaran, you know?Jadi, kau itu orang baik? Dia menekan bibirku sedikit lebih kuat. Aku kembali meringis sambil melotot ke arahnya.Kau mau mati, ya? rutukku. Dia kembali tersenyum.Maaf.Hmmm. Tidak terlalu sakit. Aku masih bisa menahannya.Soal Elena. Aku tertegun, dan kembali menatapnya. Aku meminta maaf soal itu.Apa kau sengaja tak bilang?Aku tahu kau membencinya. Tak ingin aku terlibat lebih jauh dengan keluarga mereka. Namun aku tak punya pilihan lain. Dia terus menangis seperti ketakutan.Bitch! Dia hanya bersandiwara untuk mencari perhatianmu.Entahlah. Kupikir setelah itu dia akan bungkam. Aku tak tahu kalau dia akan mengadu padamu.Kenapa kau menolak tawaran Papa untuk menjadi supirnya? Bukankah kau menurutinya, saat dia memintamu menjagaku? Saat itu, aku juga sedang tak ada. Kenapa? Aku begitu penasaran.Aku menunggumu. Aku tahu kau pasti akan kembali. Ternyata benar, kan? Kau mengendap-endap pulang, dan tiba-tiba muncul di rumahku.Dan kau si pengadu. Lagi-lagi dia tertawa.Ah, betapa bodohnya aku. Kenapa bisa menuduhnya sampai sebegitu parah. Tentu saja dia menolak. Dia pernah berjanji tidak akan pernah meninggalkanku saat itu.Janji yang dia ucapkan saat kami beranjak remaja dulu, saat Mama dan Papa bertengkar. Saat Mama pergi setelah membanting barang-barang dan meninggalkanku dalam tangisan. Sementara, Papa hanya sibuk dengan pekerjaan dan juga urusan partainya. Aku benar-benar sendiri.Saat itu, aku berlari dan menangis di pekarangan rumah Kahfi. Duduk sambil memegang lutut di halaman samping, di depan sebuah kolam ikan hias. Dia duduk mendampingiku tanpa suara. Mendengarkan suara tangis dan juga semua keluh kesahku.Mama pergi, Fi. Dia sama sekali tak menyayangiku. Papa bahkan tak tahu saat anak-anak lain mengejekku. Mama memang jahat. Dia memang seperti yang orang-orang katakan. Aku benci Mama, rengekku saat itu, dengan linangan air mata.Nanti juga kembali, sahutnya lembut. Saat itu dia masih memakai seragam SMA yang baru beberapa bulan dipakainya.Kata Papa, Mama tidak akan kembali. Kalaupun kembali, mereka selalu saja bertengkar. Aku bosan. Mereka berdua selalu berucap kata-kata kasar. Mereka sama sekali tidak peduli, meski aku berteriak.Tidak usah dipedulikan. Harusnya kau berada di dalam kamar saja. Kau bisa membaca buku atau belajar. Kalau nilaimu membaik, mungkin mereka akan lebih memperhatikanmu.Papa bahkan tidak tahu, kalau hari ini aku menerima rapot. Bertanyapun tidak. Perhatian apanya?Sudah, tidak apa-apa. Bukankah Ayahku sudah mengambilkan rapot untukmu?Hm. Aku mengangguk. Aku ingin menjadi anak Ayahmu saja. Dia terlihat senang saat melihat nilai-nilaiku. Papaku bahkan tak pernah bertanya, Fi. Aku kembali menangis.Papamu sedang sibuk. Bukankah dia mencari uang untuk memenuhi semua kebutuhanmu?Aku tak butuh itu. Kau juga tak butuh, kan? Kau bahkan bisa pergi sekolah dengan berjalan kaki. Aku juga bisa. Aku suka berjalan. Itu lebih menyenangkan. Aku tinggal bersamamu saja. Kita bisa pergi sekolah bersama. Aku terus menangis, sementara dia tertawa mendengarnya.Kalau kau suka berjalan, nanti aku temani. Kemanapun kau ingin pergi, aku pasti akan mengikuti. Kau jangan takut. Sampai kapanpun aku tak akan pernah meninggalkanmu.Kau berjanji?Hem..Tidak akan pernah pergi?Aku dan keluargaku sudah menjadi milikmu. Aku mau pergi kemana lagi? Aku tertawa, sembari mengusap air mataku menatapnya.Terima kasih, ya, Fi. Kau memang sahabat terbaikku.Masih kuingat senyum manisnya, menyambut bahagia ucapan terima kasihku waktu itu. Senyum yang sama saat kulihat di pagi ini.Fi?Hemm... Tangannya masih setia mengompres pipiku.Terima kasih.Jangan senang dulu. Aku belum selesai dengan  Erik. Apa yang kalian....Dia terdiam, saat mulut itu kubungkam dengan sebuah kecupan. Sedikit menyakitkan, namun kemudian rasa perih itu kunikmati saat ia membalas pagutanku. Cukup lama, hingga kurasakan dia mulai menguasai permainan.Aw, sakit, Fi. Aku melepaskan diri, memegangi bibirku yang sedang terluka. Sepertinya kembali mengeluarkan darah.Ma_maaf. Dia mencoba menyentuhnya. Sudah tahu sakit, masih juga menyerangku.Kau menyalahkanku? protesku. Kalau bukan kau yang terlalu berambisi, lukaku tidak akan mungkin bertambah parah seperti ini. Dasar kau maniak. Berpura-pura terpaksa, tapi kau sendiri yang terlalu bersemangat. Kalau begini, bagaimana aku bisa mengambil foto dan melakukan live instagram untuk....Baiklah! Kali ini giliran dia yang membungkam mulutku hingga tak lagi bisa bicara. Setidaknya, kali ini dia melakukannya dengan perlahan dan sedikit lembut. Hanya sedikit, hingga rasa perih itu masih juga terasa. Tapi tak apa, aku menyukainya.  . Aku baru saja pulang ke rumah, setelah menyelesaikan urusanku di luar. Bertemu seseorang, dan menandatangani sebuah kontrak. Aku pulang dengan menenteng beberapa papper bag, berisi barang-barang yang akan kupasarkan melalui story instagramku.Suasana hatiku yang tadinya begitu baik, dengan membawa barang-barang yang bisa kubagi dengan adik ipar dan mertuaku, nyatanya menjadi berubah setelah melihat siapa yang kini tengah bersamanya.Sifa terdiam. Mengerti kalau aku merasa tak nyaman. Lantas kutinggalkan mereka dan langsung masuk ke kamar. Untuk apa lagi gadis itu datang. Sungguh tidak tahu malu. Masih ingin mencari perhatian dengan pria yang jelas-jelas sudah sah menjadi suami orang.Kupikir kehidupanku dan Kahfi akan berjalan seperti biasa saja. Tak ada yang berbeda saat kami hanya berteman maupun setelah menikah. Harusnya aku bersikap biasa saja melihat gadis itu. Bukankah sebelumnya, aku juga sering melihat dia datang?Oh, Damn! Aku hampir gila dengan semua pikiranku. Dia tak boleh lagi seperti itu. Sepertinya harus ada yang memberikannya nasehat, agar tahu diri dan tak lagi mencari perhatian.Apa kalian sedang kerja kelompok? tanyaku, yang saat ini sudah menghampiri mereka di dapur. Ibu mertuaku yang sedang duduk bertugas di depan mesin jahitnya, bangkit dan ikut bergabung menatap kami.Maaf, Kak. Tadi Ara minta diajarin membuat kue. Sifa mejawab dengan gugup.Kau bisa mempelajarinya melalui youtube, Ara. Kau tidak punya kuota? sahutku ketus. Tak suka dengan alasan yang dibuat-buat dan tak masuk akal.Aku sudah terbiasa di rumah ini. Kenapa Kakak melarangnya? Gadis itu menyahut dengan berani.Oh, my God. Terbiasa katanya? Hanya beberapa kali datang dan menggoda Kahfi, dia bilang terbiasa?Kahfi tidak akan lagi memperhatikanmu. Jadi jangan lagi bersikap kekanakan. Pulanglah! Atau kulaporkan pada orang tuamu bahwa kau sedang berusaha menggoda suami orang!Kulihat wajahnya pucat. Dia ketakutan, lalu tiba-tiba saja menangis.Kakak jahat. Kakak sudah merebut Bang Kahfi dariku. Aku benci kalian semua. Dia bergegas mengambil tasnya, kemudian berlari keluar sambil mengusap air mata. Dasar abege labil.Aku menatap Ibu dan Sifa secara bergantian. Mereka menunduk dan mungkin merasa bersalah. Tapi mungkin aku sudah kelewatan dengan lancang mengusir tamu mereka. Well, kurasa aku harus meminta maaf.Oke, aku...Maafkan Sifa, Kak. Belum sempat aku bicara, Sifa sudah menyela ucapanku. Ibu sudah melarang Sifa untuk tidak mengijinkan Ara datang, tapi Ara memaksa, meski Sifa sudah melarangnya.Ouh, baik sekali Ibu mertua dan adik iparku ini. Fix, gadis itu memang licik.Oke! Aku juga bersalah. Kuharap kalian tidak marah dengan kelancanganku ini.Sifa mengerti, Kak. Kakak pasti cemburu dengan Bang Kahfi. Sifa janji tidak akan membawa Ara ke sini lagi.Cemburu? Oh, ya! Mungkin saja aku cemburu. Ah, pernikahan konyol ini membuat pekerjaanku menjadi bertambah-tambah saja. Berapa banyak lagi, wanita yang harus kusingkirkan dari kehidupan Kahfi?Whatever!                        ***********Part 10Siang ini aku datang ke kios Kahfi membawakan makan siang. Memberikan senyuman kepada seorang wanita paruh baya yang sedang menunggui anak laki-lakinya memotong rambut.Aku meletakkan rantang yang sudah disiapkan Ibu mertua di atas meja kecil, di samping kursi bambu. Hari ini, dengan senang hati aku membantunya memasak. Meski hanya mengupas bawang dan memetik sayuran. Karena hal itu, aku jadi menuai banyak pujian dari para netijen, tentu saja karena aku melakukannya sambil melakukan live di akunku. Keren bukan?Ayo makan! Aku memeluk pinggang Kahfi dari belakang.Haish.... Dia begitu terkejut hingga sisir yang dipegangnya terjatuh. Apa yang kau lakukan? Dia menggeram, dengan setengah berbisik.Aku melirik wanita itu dari pantulan cermin, matanya melotot sebentar, lalu berkedap-kedip melihat adegan kami. Bibirnya dimiringkan kesana kemari. Aku tersenyum, dan memutar tubuh tanpa melepaskan suamiku.Kami ini pengantin baru. Ibu tidak keberatan melihatnya, kan? sapaku penuh senyuman.Dia juga membalas senyumanku, meski hanya terpaksa. Mungkin merasa risih. Aku tak peduli. Lagipula, itu bukan urusannya. Kecuali, kalau suaminya yang sedang kupeluk saat ini.  . Ada-ada saja tingkahmu. Kenapa kau melakukan itu? protesnya, saat mereka sudah pergi.Tidak ada. Aku hanya ingin memelukmu saja. Apa tidak boleh?Tidak perlu di tempat umum juga, kan? Dasar barbar.Cepat makan! Ada campur tanganku di masakan ini. Rasanya pasti lebih istimewa, ucapku bangga.Ikut campur apanya? Kalau hanya memetik sayuran, tidak akan mengubah rasa masakan Ibu.Aha, kau menonton siaranku rupanya. Kau lihat komentar-komentarnya? Aku menantu yang baik, bukan? Kau pasti begitu bangga memiliki istri sepertiku.Kau begitu bangga pada dirimu sendiri, ya? Siapa sekarang yang narsis, ha? Aku tergelak.Sesaat kemudian, matanya mulai liar menyisir setiap tempat. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu, lalu menatapku dengan mata menyipit. Kurasa dia mulai menyadari sesuatu.Apa? tanyaku, salah tingkah.Kembalikan! perintahnya.Tidak mau! Aku langsung bangkit untuk menghindar, namun dengan cepat tangannya menarikku hingga jatuh kepangkuannya.Ampun Kahfi! Aku meronta.Berani sekali kau, ya. Cepat kembalikan.Sudah kubuang. Dia terus memelukku dalam pangkuannya.Aku tak melihatmu membuangnya. Dimana kau sembunyikan, ha? Kau ingin aku mencarinya sendiri? Apa kau menyembunyikannya di dalam bajumu, ha?Kahfi! Kau mulai nakal. Ini pelecehan namanya. Aku tertawa geli saat dia meggelitiki tubuhku.Cepat kembalikan. Kau benar-benar tidak takut dengan ancamanku, ya? Kesinikan wajahmu. Biar kupatahkan rahangmu itu.Kau curang, Fi. Egois. Mau enak-enak sendiri.Oh, ya? Jadi tetap tidak mau menyerah, ha? Akan kucari sendiri saja.Baiklah, baiklah. Akan kukembalikan! Dia melonggarkan pelukannya, kemudian kurogoh sebungkus rokok dari kantong celanaku.Aku berbalik arah, dan memasukkan ke dalam kerah bajunya. Ambil ini! Dasar pelit. Kau puas?Dasar gadis nakal. Kau pikir baik melawan kepada suami, ha? Dasar liar.Whatever! Aku akan menggigit lehermu! Akan kuhisap darahmu. Biar kau juga ketularan liar sepertiku. Dia tertawa.Apa kau sejenis vampire?Vampire cantik, tentunya. Bersiaplah, aku akan segera menyerangmu.Aku ingin segera memulai aksiku, sebelum akhirnya kami berdua menoleh ke arah luar.Lagi, terdengar suara sesuatu seperti botol plastik terinjak. Oh, shit. Gadis itu. Mau apa lagi dia kesini? Aku menatap mata Kahfi, dia diam saja tak bereaksi.Segera selesaikan urusanmu dengannya! bisikku tepat di telinganya. Lalu dengan sukarela turun dari pangkuannya.Aku duduk bersandar di kursi bambu itu. Memperhatikan mereka yang saling diam. Kahfi tak berani bergerak dari tempat duduk, meski aku telah memberikan izin. Rupanya gadis itu tak akan berhenti jika hanya aku yang memintanya.Ara ingin bicara, Bang. Sebentar saja. Dia memberanikan diri bicara, dengan memeluk sebuah boneka kelinci sebesar bayi. Apa itu kado pernikahan untuk kami? Jelek sekali!Masuklah! sahut Kahfi.Ara mau bicara berdua.Fiuhh... jantungku berdesir mendengarnya. Tidak punya sopan santun.Di sini saja. Tak apa. Nanti pun Abang akan ceritakan juga padanya.Aku mengulas senyum. Not bad. Kahfi akhirnya bisa menghargai perasaanku.Gadis berkulit kuning langsat itu, melangkah dengan ragu. Lalu masuk sambil menyodorkan boneka itu.Apa ini? Suara khas Kahfi bertanya dengan nada heran.Ara mau mengembalikan ini. Kulirik mata Kahfi yang sedikit terpejam. So, boneka itu dia yang berikan? Sialan. Sudah sejauh apa rupanya hubungan mereka?Buat Ara saja. Kenapa dikembalikan?Tidak mau. Ara tidak mau lagi menyimpannya.Tidak apa-apa. Sudah Abang berikan. Tak baik mengembalikan barang yang sudah diberi. Kalau tidak suka, Ara bisa berikan pada orang lain.Tidak mau. Abang jahat. Ara benci sama Abang. Dia meletakkan boneka itu di pangkuan Kahfi, lalu berlari pergi. Sambil menangis tentunya. Hanya itu saja senjatanya.Coba saja kejar dia, Fi. Biar kupatahkan kakimu itu. Bitchi!Cis... aku membuang pandangan.Kau bisa romantis juga, rupanya, sindirku.Romantis apanya? Kudengar dia berdecih.  Dia mengeluarkan sebatang rokok yang keberikan tadi. Menyulutnya, kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.Kau menyesal karena putus darinya?Diamlah!Apa kau marah padaku? Kau terlihat begitu kecewa melihat sikapnya tadi. Kau pasti belum bisa terima karena berpisah darinya, kan?Sampai kapan kau akan terus membahas ini?Entahlah. Aku hanya merasa kalau kau membenciku karena masalah itu. Kau punya niatan untuk kembali padanya?Oh, jadi sekarang kau yang menyesal telah menikahiku? Tanggung jawab macam apa itu? Dia meniup asap dari mulutnya.Fi! Jangan bicara sembarangan. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Kau pikir pernikahan itu mainan?"Pegang saja ucapanmu.Sure! Kau pikir, aku mau jadi janda?Dia terkekeh, lalu kembali meniup asap dari mulut dan juga hidungnya. Aku menelan ludah melihat aksinya itu.Fi?Hem...Aku mau.Apa? Ini? Ia menunjuk batang nikotin yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.Sehisap saja. Tidak akan kuhabiskan.Tidak boleh. Kalau mau, kau boleh menghisap yang lain saja.Wah... kau sudah mulai ketagihan rupanya, ya? Dia tertawa.Kau keberatan?Tidak. Tapi berikan dulu yang itu. Air liurku hampir menetes melihatnya. Aku ingin merasakannya sedikit saja.Tidak.Sekali saja, sialan! Aku tidak mungkin bisa berhenti begitu saja.Tidak boleh!Sedikit saja, brengsek!Kapan kau akan berhenti mengumpat orang?Tidak akan, dasar bodoh.Hentikan itu! Kau juga kularang mengumpat orang lagi.Fuck you!Haish. . Usai membantu Sifa mencuci piring bekas makan malam, aku langsung masuk ke kamar. Menunggu Kahfi yang belum selesai dengan pekerjaannya.Setelah menyapu lantai kamar, aku langsung membentangkan karpet berbulu coklat itu. Aku senang karena Kahfi selalu mengikuti keinginanku. Tak pernah bertanya kenapa menginginkannya. Asal aku suka, dan mampu, maka langsung dilaksanakannya.Aku menyusun kedua bantal, lantas berbaring, dan memeluk bantal yang satunya. Tempat untuk tidur yang begitu nyaman. Hanya saja, aku masih belum memahami. Kenapa Kahfi hanya mau memelukku dari belakang. Mencium pun harus aku duluan yang memulai, tanpa pernah meminta hal yang lebih.Apa dia benar-benar tidak tertarik padaku? Menikahiku pun, apa hanya karena merasa kasihan, dan ingin membantuku merasa bebas dari rumah itu?Mungkinkah masih ada perasaannya yang tersimpan untuk gadis kecil bernama Ara? Gadis berambut hitam, panjang dan begitu lebat. Sangat alami tanpa polesan make up. Sesederhana itukah gadis yang diinginkan Kahfi?Oh, no. Apa aku terlalu egois? Atau terlalu percaya diri, bahwa semua pria menginginkan dan tak kuasa menolakku. Para bajingan itu, bahkan ingin sekali menyentuhku meski aku berulang kali aku menolak mereka. Lalu apa yang salah dari Kahfi? Atau jangan-jangan.... . Sudah hampir pukul sepuluh malam. Tak lama dia muncul dari balik pintu. Aku menyambutnya dengan penuh senyuman.Kau sudah makan? tanyanya, begitu masuk.Sure. Aku bahkan mencuci piring, sahutku penuh kebanggaan.Oh, ya? Pelangganku ramai saat malam. Aku tak sempat melihat siaran langsungmu kali ini, sindirnya.No, kahfi. Aku memang tidak melakukannya. Kau sedang mengejekku, ha? Dia tertawa. Kau mau mandi?Ya.Oke. Buka pakaianmu. Aku akan mengambilkan handuk.Berikan saja handuknya. Aku akan ganti di kamar mandi.Why? Kau masih malu membuka celana di depanku?Ada-ada saja kau ini.Aku sudah pernah melihatnya dulu. Apa ukurannya tidak bertambah, hingga kau harus malu jika aku melihatnya?Hei! Kau bicara apa? Jangan bicara sembarangan. Kau tidak punya rasa malu, ha? Dia menunjuk-nunjuk wajahku.Kau tidak perlu malu. Meski ukurannya masih seperti dulu, aku akan memaklumi dan menerimamu apa adanya. Ayo buka! Aku mencoba menarik ikat pinggangnya. Namun dengan cepat dia menepiskan tanganku.Kau ini apa-apaan? Dasar gadis liar. Kau habis nonton vidio mesum, ha? Dia menusuk-nusuk keningku dengan ujung jarinya.Ish... kenapa kau harus malu? Bukankah kita ini suami istri? Lalu pada siapa lagi mau kau tunjukkan itu?Kau sedang mengigau rupanya. Tidurlah kembali! Dia melangkah mengambil handuk di belakang pintu, kemudian keluar dengan tergesa-gesa.Benar-benar aneh. Mana ada laki-laki pemalu seperti itu. Dia pasti hanya berpura-pura, agar terkesan aku yang duluan meminta. It's oke! Itu bukan masalah. Ini jaman modern. Bukan lagi jamannya wanita harus menunggu.Tak lama dia kembali. Aku sudah berbaring di atas karpet sambil memainkan ponselku. Kulihat dia sudah mengenakan celana pendek, dan kaos tipis.Matikan lampunya! Aku ingin tidur! perintahku.Baiklah.Dia membaringkan diri di sampingku setelah memadamkan lampu. Wangi shampo dan sabun terasa begitu menggodaku untuk segera memeluknya. Segera aku mendekatkan diri, menarik tangan kanannya untuk kujadikan sebagai bantal. Lalu menempelkan tangan kananku di dadanya.Kau kedinginan? tanyanya, merapatkan pelukanku. Ini bukan hal yang aneh. Sejak dulu aku sudah berani sedekat ini padanya.Aku selalu meminjam dada dan punggungnya saat sedang menangis. Hingga bukan suatu hal yang asing bagiku untuk memberikan sentuhan itu.Justru aku ingin menghangatkanmu, sahutku menggoda.Oh, ya? Aku tidak merasa kedinginan. Malah mandi malam membuatku merasa segar.Seharusnya kau mandi air hangat saja. Tidak baik mandi air dingin malam-malam. Mulai besok, aku akan menyiapkan air panas, begitu kau pulang. Dia tertawa.Ya, dia selalu tertawa mendengar semua kata-kata manis yang terucap dari mulutku. Seolah-olah semua itu hanya sebuah lelucon untuk menggodanya.Apa kau akan membuat konten lagi? Ah, kurasa sebentar lagi aku akan mulai terkenal karena menjadi suamimu.Aku serius, Fi.Tidak usah. Kau tidak perlu melakukan itu. Buatlah dirimu senyaman mungkin berada di rumah ini. Aku bisa mengurus diriku sendiri.Aku sangat nyaman. Kau tahu dari dulu aku begitu menginginkannya. Andai Ayahmu masih ada. Aku semakin mengeratkan dekapanku.Kau rindu pada Ayahku?Kau juga?Tentu saja. Setiap hari aku merindukannya.Dia sudah seperti Ayah bagiku.Terima kasih, Key.No, Kahfi. Aku yang seharusnya mengucapkan kata itu. Karena kalian, aku masih bisa melewati hidupku sampai hari ini.Kurasakan tangannya membelai lembut rambutku. Membuat aliran darahku semakin berdesir. Kuberanikan diri naik sedikit ke atas untuk mensejajarkan kepala kami. Kembali kuraih pipi itu untuk mendapatkan sentuhan dari bibirnya.Aku semakin terlena, hingga tanpa sadar kakiku bergerak naik ke atas tubuhnya. Namun saat aku bergerak lebih jauh, sebentar saja dia langsung tersadar. Lantas melepaskan pagutanku, kemudian mendorong tubuhku hingga jatuh ke sisinya.Kenapa? Aku yang kini telah terjatuh di sampingnya mulai bertanya.Tak apa, kau tidurlah.Dia membalikkan tubuhku hingga memunggunginya, lalu kembali memelukku dari belakang. Sungguh benar-benar terasa hangat. Tapi kenapa?Fi....Tidurlah, Key. Aku mengantuk.~~~Bersambung….                                                                                                                                                                        
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan