BUKAN SALAH RESTU ( TAMAT )

38
7
Terkunci
Deskripsi

BUKAN SALAH RESTU

Harusnya restu ibu itu, menjadi restu ilahi, bukan? Tapi ini tidak berlaku bagiku.

Usiaku baru lewat delapan belas tahun. Ijazah SMA belum lagi genap satu bulan aku raih. Ibu memintaku menikah dengan kenalannya dengan dalih untuk membantu ekonomi keluarga kami.

Ibu bilang laki-laki itu sedang mencari istri. Usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Sudah matang untuk menjadi kepala dalam rumah tangga.

Usahanya maju pesat. Punya tiga cabang rumah makan di kota Medan. Di usia tiga puluh,...

51,777 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
590
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya ABANG IPARKU ( TAMAT )
65
8
ABANG IPARKUTurun ranjang? Aku setengah melotot menatap tajam pada ibu. Wanita paruh baya itu mengangguk membenarkan.Maksud Ibu, menikah sama Bang Akmal?Lagi-lagi wanita yang sudah melahirkanku itu menggerak-gerakkan kepalanya. Bahkan semakin kuat untuk meyakinkan bahwa ungkapan yang baru saja dia ucapkan benar adanya.Ya ampun, Bu. Demi apa Ibu sampai tega berkata seperti itu? Baru empat puluh hari Kak Mey berpulang. Ibu tega nyuruh Bang Akmal menikah lagi? Aku mengingatkan akan acara tahlilan malam tadi.Demi satu-satunya Abang iparmu lah, Pril. Kasihan. Nanti tidak ada lagi yang mengurus kebutuhannya.Bu, di mana-mana turun ranjang itu demi alasan anak. Kalau Ibu nyuruh April menikah sama Bang Akmal biar bisa ngerawat anaknya, masih masuk akal. La, ini apa? Kan Ibu tahu sendiri janinnya almarhumah juga tidak selamat.Hatiku jadi begitu sedih mengingat mendiang kakak perempuanku meregang nyawa saat hendak melahirkan. Entah apa istilah medisnya, yang jelas ibu dan calon bayinya tidak bisa terselamatkan.Sama saja lah, Pril. Biar Abang iparmu itu tidak ke mana-mana. Biar tetap jadi keluarga kita. Ibu beralasan.Aku menaikkan separuh bibir sembari merengut. Mengendus aroma-aroma modus dari maksud dan tujuan ibu. Seperti aku tidak paham saja ketakutannya dengan ultimatum keluarga Abang iparku malam tadi.Aku, Ibu dan Bapak sengaja dipanggil ke teras belakang agar Bang Akmal tidak mendengar.Mey kan sudah tidak ada. Anak sebagai pengikat juga tidak sempat dilahirkan. Jadi hubungan kita cukup sampai di sini. Saya beri waktu satu minggu. Tinggalkan rumah anak saya. Sebelum menikah, rumah ini saya yang berikan. Bukan harta gono-gini. Apalagi warisan! Anak kalian cuma bawa badan saat menikah dengan anak saya. Begitu yang diucapkan besan ibu tanpa perasaan.Sebenarnya hubungan Kak Mey dan suaminya yang sudah terjalin sejak di bangku kuliah memang tak pernah direstui. Latar belakang keluarga dan ekonomi jadi alasannya.Meski kakakku saat itu juga seorang calon dokter, orang tua Bang Akmal tetap saja lebih mementingkan bibit, bebet dan bobot. Sedang kakakku bisa berstatus menjadi mahasiswa hanya karena beasiswa atas prestasi-prestasi yang dia dapatkan selama bersekolah.Jadi bagaimana, Pril? Kamu mau, kan? Ibu kian mendesak. Seolah semua keputusan ada di tanganku.Bu! Bang Akmal itu seorang dokter. Masih muda. Ganteng. Banyak duit. Ada banyak wanita di luar sana yang bisa dia pilih. Ibu pikir kalau April mau, Bang Akmal langsung setuju? April ini jauh berbeda dari Kak Mey. Bukan levelnya Bang Akmal! Aku memasang wajah garang.Lagipula kenapa juga aku harus menikah dengan laki-laki yang sudah aku anggap sebagai kakak kandungku sendiri. Apalagi Bang Akmal sudah begitu baik dan perhatian pada keluarga kami.Berbeda apanya? Wajah kalian mirip begitu. Kalian itu kan sama-sama anak Ibu. Ibu tak mau kalah.Semua orang mengatakan bahwa aku dan Kak Mey memang begitu mirip. Siapa pun yang melihat sudah bisa memastikan bahwa kami memang memiliki hubungan darah. Namun dari segi penampilan dan status sosial, sangat jauh berbeda.Setidaknya kak Mey bisa menamatkan sarjana atas kemampuannya sendiri hingga berhasil menjadi seorang dokter. Bukan sepertiku yang hanya sanggup lulus SMA saja. Selain itu kakakku juga selalu tampil modis dengan gaya hijabnya. Terlihat anggun dan begitu muslimah. Sedangkan aku masih terjebak dengan gaya cuek dan memakai jilbab jika ada acara keagamaan saja.Jelas hal-hal luar biasa Kak Mey itu yang membuat Bang Akmal jatuh cinta, hingga sanggup menentang keluarganya agar merestui hubungan mereka hingga ke jenjang pernikahan. Dua tahun yang lalu.Dicoba saja dulu. Nanti pelan-pelan Ibu akan bicara sama Akmal. Siapa tahu dia setuju. Kamu juga mau ya, Pril? Ibu memelas.Ogah! Geli, Bu. Masa nikah sama Abang sendiri. Aku berucap jujur tentang perasaanku.Kalau kamu tidak menikah sama Akmal, kita semua harus segera angkat kaki dari rumah ini. Kita harus tinggal di mana? Laki-laki yang duduk di sebelah ibu akhirnya berkata apa adanya.Ya wajarlah, Pak. Kita di sini kan cuma numpang. Bang Akmal sudah sangat baik mau membawa kita tinggal bersama. Padahal kalau dipikir-pikir saat itu mereka masih pengantin baru. Lagi mesra-mesranya.Terus kita harus ke mana?Balik ke kontrakan lah. Memangnya Bapak punya rumah? Aku mendengus pada laki-laki yang sudah lebih dari sepuluh tahun mendampingi ibuku sebagai suami.Ibu menarik napas. Lalu mengembuskannya pelan sembari menempelkan punggung di sandaran kursi makan tempat dirinya mengajak kami berdiskusi. Bapak cepat-cepat memijat lengan ibu. Seperti tak ingin istrinya lelah dan naik darah.Yang pusing itu kepalaku. Bukan bahu! hardik Ibu. Tangan kekar yang menempel di lengannya dengan sigap berpindah tempat.Tak lama terdengar suara langkah kaki dari arah ruang tamu. Ibu cepat-cepat membenahi posisi demi mengambil hati menantu yang tak tahu menahu dengan ide konyolnya tadi.Akmal? Sudah pulang? Seperti biasa Ibu bersikap super ramah pada menantu kesayangannya.Bang Akmal membalas dengan senyumnya yang begitu tulus. Hanya saja sejak kematian Kak Mey, sikapnya jadi lebih pendiam. Meski tak pernah menunjukkan kesedihan yang mendalam, aku bisa merasakan kalau laki-laki berusia hampir tiga puluh tahun itu begitu memendam luka karena kehilangan.Pril! Buatin teh! Perintah Ibu.Aku langsung bangkit untuk melayani Bang Akmal.Tidak usah, Pril. Abang mau istirahat saja. Penolakan halus dari Bang Akmal membuat gerakanku terhenti.Lihatlah! Duda muda itu terlihat seperti tak punya semangat hidup. Tubuhnya yang biasa kekar kini terlihat lebih kurus dibanding saat kakakku masih ada.Bang Akmal berlalu pergi meninggalkan kami.*Malam ini aku mendapati ibu sedang duduk di ruang tamu saat aku baru pulang dari bekerja. Sorot matanya mengarah tajam. Terlihat jelas jika dia sedang menungguku.Bagaimana kalau malam ini Ibu bicara sama Akmal, Pril? Mumpung Abangmu ada di rumah. Ibu masih berharap kalau kamu yang menggantikan Mey sebagai istrinya. Ibu memelankan suara sembari melirik ke atas plafon. Mengisyaratkan bahwa Bang Akmal berada di kamarnya di lantai dua.Sudahlah, Bu. Kita pindah saja dari sini. Biarkan Bang Akmal tenang. Bang Akmal sudah tidak punya kewajiban apa-apa lagi menanggung hidup kita. Aku masih berusaha menyadarkan ibu.Lagipula apa yang diucapkan ibunya Bang Akmal itu benar. Bagaimana kalau nanti Bang Akmal dapat istri baru. Mana mau dia tinggal di sini kalau ada kita.Tiba-tiba saja ibu menangis. Ibu pasti begitu terluka membayangkan Bang Akmal suatu hari akan menggantikan posisi putrinya dengan wanita lain. Sebagai istri yang senantiasa dimanja dan disayang seperti yang pria itu lakukan pada Kak Mey. Aku pun bisa ikut merasakan sakitnya. Melihat suami yang kita cintai memiliki kehidupan yang baru bersama orang lain.Suara langkah Bapak terdengar dari belakangku. Laki-laki itu baru saja muncul setelah memarkir becak motornya untuk menjemputku tadi. Mempercepat langkah agar segera mendekat pada ibu. Dengan lembut dia mengusap bahu istrinya agar lebih tenang dengan tatapan penuh cinta.Sabar ya, Sayang. Mungkin rejeki kita tinggal di rumah bagus hanya sampai di sini. Ucapan pria yang usianya lebih muda dari ibu itu terdengar pasrah.Makanya kerja! Kerja! Cari duit! Bukannya tenang, ibu malah terdengar kesal sembari memukul-mukul lengan berotot suaminya.Aku menaikkan bola mata ke atas. Lalu bergegas meninggalkan kedua sejoli itu.Saat hendak menuju kamar, aku tersentak melihat Bang Akmal sedang berdiri di dapur. Membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Seketika aku mematung saat pandangan kami saling beradu.Ya, Tuhan. Apa dia mendengar ocehan ibu tadi?                                ~~~ABANG IPARKU (2)Kenapa kamu melihat Abang seperti itu? Aku langsung tersadar saat Bang Akmal menegurku.Eh, tidak kok. April cuma terkejut. Abang sedang apa di sini?Lelaki dengan kaos putih dan celana training itu mengernyit.Eh, bukan, bukan. Maksud April, Abang sudah lama di bawah? April pikir Abang masih di kamar. Aku gelagapan sendiri gara-gara pembicaraan dengan ibu tadi. Khawatir Bang Akmal sudah mendengarnya dan mulai merasa risih pada kami yang tidak tahu diri ini.Baru saja. Abang haus. Dia mengangkat botol air mineral yang baru saja dipegangnya.Hatiku masih ketar-ketir. Takut kalau Bang Akmal diam-diam menguping pembicaraan kami di ruang tamu tadi.Ibu sama Bapak mana? tanya Bang Akmal lagi. Kok tidak kelihatan?Mataku mengerjab, kemudian menarik napas lega. Setidaknya pertanyaan Bang Akmal membuatku yakin bahwa dia tidak melihat keberadaan ibu saat menuruni tangga tadi.Oh, itu. Lagi di ruang tamu, Bang. Ngobrol berduaan, jawabku dengan senyuman yang paling manis.Bang Akmal tertawa kecil. Sudah terbiasa dengan sikap dan perilaku orang tuaku. Dia bahkan sama sekali tidak merasa terganggu dengan keberadaan suami ibu yang ikut menumpang di rumahnya. Bahkan tak jarang memberikan sekadar uang rokok karena Bapak rajin bersih-bersih di rumah.Kamu baru pulang?Iya. Tadi dapat shift siang. Abang mau minum apa? Biar April buatin. Aku menawarkan diri.Tidak usah. Tadi sore sudah dibuatin Ibu.Oh. Kalau begitu April ke kamar dulu, ya.Aku tersenyum sembari berjalan melewatinya menuju kamar. Untunglah malam ini aku dan orang tuaku selamat dari rasa malu.Entah bagaimana jadinya jika tadi dia mendengar keinganan ibu. Seumur hidup aku pasti akan kehilangan muka dan tak berani lagi berdiri di hadapannya.*Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Jam kerjaku baru saja berakhir. Kali ini becak Bapak belum muncul. Biasanya begitu keluar dari toko, kendaraan roda tiga itu sudah setia menungguku bak kereta kencana menjemput Cinderella.Aku melirik jam mungil di pergelangan tangan. Di menit ke lima belas, yang aku nanti-nantikan akhirnya muncul. Kali ini dengan sang permaisuri duduk manis di dalamnya.Tumben Ibu ikut. Dari mana? Aku langsung naik dan mendaratkan bokong di samping ibu. Becak melaju satelah posisi dudukku sempurna.Nyari kontrakan lah! Ibu terdengar kesal.Dapat? Kontrakan yang lama bagaimana?Masih ada orangnya. Lagipula kalau kita kembali pindah ke sana, tempat kerja kamu jadi jauh. Kalau Ibu mungkin bisa kembali bekerja di kedai nasi. Tadi singgah ke tempat Uni Salma, katanya satu anggotanya baru saja berhenti.Sebelum almarhumah kak Mey memboyong kami ke rumahnya, ibu bekerja di rumah makan nasi Padang sebagai tukang masak. Dengan uang itulah ibu membiayai kebutuhan aku dan kakakku selepas kematian ayah. Aku bahkan tak terlalu ingat kenangan bersama ayah kandungku. Suami pertama ibu yang pergi saat aku masih sangat kecil.Hingga usia remaja, aku dan Kak Mey tak lagi memiliki sosok ayah sebagai pelindung. Hingga akhirnya ibu bertemu Bapak yang hingga saat ini masih kuanggap sebagai sosok seorang ayah.Untuk apalagi Ibu bekerja? Sudah, santai-santai saja di rumah, usulku.Matamu! Memangnya gaji kamu cukup buat makan kita? Skinkermu saja masih minta sama kakakmu!Aku menoleh ke arah samping. Melirik Bapak yang sedang mengemudikan setang motor. Sesekali dia ikut melirik, kemudian langsung mengalihkan pandangan begitu melihat mataku yang menatapnya sinis. Laki-laki pengagguran itu pasti merasa bersalah.Padahal laki-laki itu memiliki becak motor yang bisa dipakai untuk mengangkut sewa. Tapi sejak menikah dengan ibu, dia jadi lebih banyak bersantai dan mengharapkan penghasilan dari ibu saja. Untungnya dia masih memiliki sifat yang baik. Hingga aku dan kakakku merasa nyaman memiliki ayah tiri sepertinya.Memangnya tidak ada rumah kosong lagi di sana?  tanyaku lagi. Tak berani membantah ucapan ibu yang benar adanya.Sejak kuliah kak Mey memang pintar mencari uang. Mulai dari jualan online hingga mengambil upah dari mengerjakan tugas kampus yang diberikan oleh teman-temannya. Hingga dirinya lulus dan diterima bekerja di Rumah Sakit yang sama dengan Bang Akmal, uang jajanku tak pernah putus dia berikan.Kini aku dan ibu benar-benar kehilangan. Bukan hanya sebagai anggota keluarga yang kami cintai, tapi juga sebagai tulang punggung keluarga.Ah, andai saja dulu aku bisa mengikuti jejaknya, aku dan ibu mungkin tidak akan sesusah ini. Sayangnya otakku tidak sampai berpikir sejauh itu.*Sepulang dari bekerja, kulihat ibu berdiri tertunduk di ruang tivi. Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis sepertinya berhasil membuat ibuku merasa terpojok.Aku dan Bapak cepat-cepat mendekat agar bisa bergabung dengan mereka.Tante? Sudah lama? tanyaku pada Tante Sonia, ibunya Bang Akmal.Aku mencoba bersikap seramah mungkin. Bukankah harusnya sebagai seorang adik, aku harus ikut menghormati mertua kakakku?Tidak usah basa-basi. Wanita itu menyahut dengan wajah datar seperti biasa. Sikap manis kalian tidak akan merubah keputusan saya. Saya cuma mengingatkan. Kalian tidak lupa kalau ini hari terakhir kalian di sini, bukan?Aku dan ibu saling berpandangan.Tentu saja kami tidak lupa. Bahkan sejak ultimatum  itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Memikirkan bagaimana kehidupan kami selanjutnya setelah selama ini tak kekurangan apa pun karena uluran tangan Kak Mey dan suaminya.Hanya saja hingga saat ini belum ada rumah yang kami dapatkan. Bahkan satu pun dari kami tak ada yang berani bicara pada Bang Akmal tentang niat kepergian kami dari rumahnya. Sejak aku menolak tawaran ibu untuk menikah dengan Bang Akmal, ibu seperti orang yang berputus asa.Bahkan melihat Bang Akmal dari belakang saja pun air matanya sudah menetes. Bukan hanya persoalan materi yang diberikan Bang Akmal selama ini. Sejak masih berpacaran dengan Kak Mey pun ibu sudah jatuh hati padanya. Sikap santun pria itu membuat ibu begitu menyanyanginya layaknya anak sendiri.  Teringat saat dulu Kak Mey menangis karena bertengkar dengan Bang Akmal dan hampir putus. Bukannya mendapat pembelaan, ibu malah marah-marah dan meminta kakakku untuk meminta maaf pada kekasihnya itu.Sebenarnya yang anak Ibu itu, siapa? Tangis Kak Mey semakin menjadi. Membuatku tertawa geli melihatnya.Tante, bisa minta waktu beberapa hari lagi, tidak? Kami sudah mencari kontrakan ke mana-mana. Tapi belum ada yang cocok. Aku mewakili ibu meminta keringanan.Alasan! Kalian pasti ingin mengulur-ngulur waktu untuk mencari perhatian Akmal, bukan? Biar Akmal merasa ketergantungan dengan keberadaan kalian. Memangnya Akmal akan menahan kalian agar tidak pergi? Kalian itu hanya menjadi beban untuk anak saya. Pokoknya besok kalian harus segera pergi. Untuk sementara, biar Risa yang tinggal di sini sampai Akmal mendapatkan pembantu baru. Wanita yang wajahnya terlihat glowing itu bersungut.Pembantu baru katanya? Apa selama ini dia hanya menganggap ibu dan Bapak hanya sebagai pembantu? Hanya karena kedua orang tuaku bertanggung jawab atas kebersihan dan melayani kebutuhan anaknya di rumah ini?Keterlaluan sekali.Aku melirik gadis di samping Tante Sonia. Dia tersenyum sinis. Seolah menikmati setiap perlakuan ibunya terhadap kami. Tanganku sampai mengepal saking kesalnya.Tapi kami benar-benar belum mendapatkan rumah, Bu. Beri kami waktu beberapa hari lagi, ya? Kami janji akan pergi dari sini secepatnya. Kali ini ibu seperti memohon. Membuat rasa kesalku semakin menjadi-jadi.Keluargaku sudah seperti tak punya harga diri lagi di hadapan mereka.Tidak bisa! Tante Sonia bersikeras. Kurang baik apa saya. Dua bulan saya biarkan Akmal menanggung hidup kalian meski istrinya sudah tidak ada. Harusnya kalian yang tahu diri. Bukan malah nunggu diusir. Saya tidak mau tahu. Mulai besok, saya tidak ingin kalian berada di sekitar Akmal lagi.Aku dan Ibu hanya terdiam. Pasrah karena sudah tak ada harapan lagi.Tidak akan ada yang pergi! Mereka akan tetap tinggal di rumah ini.Suara seseorang tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu. Membuat kami semua serempak menoleh ke arahnya.                                  ~~~   ABANG IPARKU (3)Bang Akmal sudah berdiri dengan sikap berwibawa di hadapan ibu dan adik perempuannya. Lalu mendekat dan berdiri tepat di sebelahku. Membuat aku salah tingkah dan menjadi serba salah.Kedua wanita itu pasti semakin membenci kami karena sikap yang ditunjukkan oleh Bang Akmal.Apa-apaan kamu, Akmal! Tante Sonia langsung menghardik pernyataan putranya tadi.Mama sudah dengar, kan?! Mertua Akmal dan April akan tetap tinggal di sini. Pria berkemeja lengan pendek itu terlihat tegas.Mertua apa lagi? Istri yang mana? Mey sudah tidak ada, Mal. Jadi mereka itu bukan lagi keluarga kamu.Harusnya Mama lebih tahu. Tidak ada yang namanya mantan mertua. Meski Mey sudah tidak ada, mereka tetap keluarga Akmal.AKMAL! Tante Sonia berteriak. Membuat aku menelan ludah menyaksikan pertengkaran ibu dan anak itu. Dan itu terjadi karena keluargaku yang bukan apa-apa lagi.Kenapa, Ma? Mama ingin mengungkit soal rumah ini? Kalau Mama keberatan dengan keberadaan mereka hanya karena menempati rumah Mama, Akmal akan mencari rumah lain untuk kami tempati bersama. Mama puas?AKMAL! Tante Sonia terlihat semakin berang. Langkahnya sedikit gontai ke belakang sembari memijat pelipisnya. Mungkin pusing karena Bang Akmal selalu saja membantah keinginannya.Risa refleks memegangi lengan ibunya. Takut terjadi apa-apa karena permasalahan yang sedang terjadi.Sudah, Bang. Sudah. Jangan berdebat lagi. Biar April sama Ibu Bapak saja yang pergi. Abang jangan bertengkar lagi, ya? Aku terpaksa menyela perdebatan itu. Tak ingin melihat Bang Akmal terus-terusan dimarahi karena membela kami.Dasar penjilat kamu! Kini Risa ikut-ikutan menyerangku. Pandai sekali kalian mempengaruhi Abangku untuk melawan Mamanya sendiri. Kamu dan kakak kamu itu memang tidak ada bedanya. Murahan. Jangan-jangan kamu juga punya niatan untuk menggoda Bang Akmal seperti yang dilakukan kakakmu dulu. Iya, kan?Risa! Tutup mulut kamu. Kini giliran Bang Akmal yang berteriak.Aku jadi tersentak dibuatnya. Tak pernah sebelumnya aku melihat dia semarah ini. Namun ada rasa puas, karena sikap Bang Akmal mewakili sakit hatiku mendengar almarhumah Kak Mey dihina seperti itu.Berani sekali kamu menghina orang yang sudah tenang di alam sana. Apa kamu tidak punya hati nurani, hah?! Baik Mey ataupun April, kamu tidak punya hak menilainya. Jadi jangan berani-berani lagi kamu menghina istri Abang!Kulihat Risa tersentak mendengar amarah kakak laki-lakinya itu. Lalu terdiam sembari mengeratkan pegangan ke lengan ibunya. Mencari perlindungan.Aku melirik wajah Bang Akmal yang memerah. Merasa kagum sekaligus terharu melihat sikapnya yang begitu tegas melindungi kehormatan kakakku. Dan juga.......aku.Cukup Akmal. Kamu sudah kelewatan. Tante Sonia kembali bersuara.Lalu bagaimana dengan Mama? Apa tidak kelewatan namanya mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuan Akmal?Tante Sonia menatap tajam wajah putranya.Akmal sudah dewasa. Segala sesuatu tentang hidup Akmal, Akmal sendiri yang putuskan. Mama tidak berhak ikut campur.Keterlaluan kamu, Mal. Apa tidak takut kamu jadi anak durhaka karena melawan terus sama Mama ?Lalu apa bedanya dengan mengusir mertua Akmal dari rumah? Apa itu juga bukan durhaka namanya?AKMAL!Keputusan Akmal tidak akan berubah. Kami akan tetap tinggal bersama.Aku menatap ibu dan bapak secara bergantian. Bisa kulihat binar mata pasangan suami istri itu menunjukkan kelegaan, meski sebisa mungkin mereka sembunyikan.Sedangkan aku? Hanya ketakutan dan rasa khawatir yang menjalar hingga ke tenggorokan. Takut akan ketegasan Bang Akmal hanya bersifat sementara.Saat ini bayang-bayang Kak Mey pasti belum dapat dia lupakan. Tapi bagaimana dengan esok hari? Lusa, atau satu dua tahun lagi. Lambat laun perasaan Bang Akmal akan berubah. Berbagai macam tipe wanita di luar sana pasti menginginkannya. Dan dia pun laki-laki normal yang pasti belum puas merasakan nikmatnya berumah tangga.Saat hari itu tiba, akankah dia masih menganggap kami keluarganya seperti ini lagi?Akmal. Dengarkan Mama. Lamunanku terhenti begitu mendengar suara Tante Sonia. Kali ini dia menekan cara bicaranya agar terdengar lebih tenang dan lembut.Kamu masih muda, Nak. Kamu tidak boleh selamanya terjebak dengan keluarga almarhumah istri kamu. Kamu harus segera memikirkan masa depan kamu juga. Cepat atau lambat, kamu juga akan menikahi wanita lain yang kamu temui di luar sana. Bukankah dengan begitu kamu akan mendapatkan keluarga baru lagi?Aku terdiam. Ucapan Tante Sonia sama persis dengan apa yang baru saja aku pikirkan. Tiba-tiba mata ini mulai terasa hangat. Perih, seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Ruang di hati seketika terasa kosong. Sepi sekali. Membayangkan laki-laki yang bertahun-tahun sudah memperlakukanku layaknya adik sendiri, akan memiliki keluarga baru lagi dan menggantikan posisi kami.Tanpa terasa bulir bening lolos begitu saja dari sudut mataku. Melirik wajah tirus Bang Arman yang masih menantang dengan tatapan tajam pada ibunya.Akmal, jika nanti__.Tidak ada wanita lain dari luar sana, Ma. Bang Akmal menyela ucapan Tante Sonia dengan cepat. Akmal akan menikahi April. Dia yang akan menggantikan posisi Mey menjadi istri Akmal.                                     ~~~ABANG IPARKU (4)Mataku membesar menatap wajah Bang Akmal dari arah samping. Lalu bergantian melirik wajah yang lainnya satu persatu. Tak ada bedanya raut muka orang-orang itu. Bahkan mata Tante Sonia hampir keluar saking terkejutnya.Bicara apa kamu, Akmal? Suara lembut Tante Sonia tadi kini sudah tak ada lagi. Berganti dengan amarah yang semakin menjadi-jadi.Ucapan Akmal sudah jelas, bukan? Akmal akan menikahi April. Bang Akmal mengulangi ucapannya dengan datar. Membuat semua orang yakin bahwa kami tidak salah dengar.*Jangan mondar-mandir seperti itu, Pril! Ibu pusing melihatnya! Ibu mengomel saat kami bertiga berkumpul di kamarku.Setelah Tante Sonia pulang usai pertengkaran tadi, aku memutuskan untuk masuk ke kamar demi menenangkan hati yang sedang jedag-jedug. Ucapan tegas dari Bang Akmal membuat jantungku jadi tidak karuan.Belum lagi aku mendapatkan napas dengan lega, Ibu dan Bapak sudah ikut masuk menyusul ke dalam.Memangnya April tidak pusing dengan semua ini? sahutku tak kalah kesal.Bisa-bisanya Bang Akmal meninggalkan kami begitu saja tanpa penjelasan setelah membuat keluarganya geger dengan ucapannya. Belum lagi tuduhan Tante Sonia dan putri bungsunya Marisa yang semakin di luar batas.Keluarga kalian itu makai pelet, ya? Bisa-bisanya anak saya terjebak dengan dua anak perempuan kamu. Kalian pasti sudah merencanakan ini sejak awal, bukan? Tega-teganya kalian main dukun seperti itu. Apa kalian tidak takut dilaknat Allah, hah?! Tante Sonia begitu histeris dengan membawa-bawa nama agama.Aku yang tidak tahu apa-apa tentang keputusan Abang iparku itu merasa kian terpojok. Merasa kesal karena ibu sudah melanggar janjinya. Ibu benar-benar lancang telah meminta Bang Akmal untuk menikah denganku. Bisa kubayangkan kalau ibu pasti mengiba dan mengemis-ngemis pada menantunya itu.Kini ibu dan adik Bang Akmal itu pasti akan mengadu pada anggota keluarganya yang lain. Membuat harga diri kami sudah tak bersisa lagi di mata mereka.Hish! Aku mendengus kesal sembari mengentakkan kaki. Menunjukkan amarahku pada Bapak dan Ibu.Sudahlah, Pril. Kamu jangan seperti itu terus. Kan malah bagus kalau kamu menikah sama Akmal. Doa Ibu akhirnya terkabul. Akmal akan tetap jadi menantu Ibu. Binar mata Ibu memancarkan kebahagiaan yang hakiki.Kenapa Ibu harus berdoa seperti itu? Posisi kita jadi kian buruk di mata keluarga Bang Akmal, Bu. Sejak awal mereka sudah membenci kita. Harusnya setelah Kak Mey tiada, kita harus tahu diri dan menjauh dari keluarga itu. April tidak mau lagi berurusan dengan mereka. Lagipula untuk apa Ibu mengatakan ide konyol Ibu itu? Bang Akmal pasti setuju dan menyanggupi keinginan Ibu hanya karena merasa tidak enak dan kasihan pada kita. Tega sekali Ibu kembali membebani Bang Akmal agar melawan pada Tante Sonia. Ibu juga sudah menjatuhkan harga diri April di hadapan Bang Akmal. Ibu pikir April sudah tidak laku lagi? Aku uring-uringan dan tak bisa mendiamkan tubuhku yang terus berjalan ke sana ke mari.Tapi Ibu tidak ada bilang pada Akmal kok, Pril. Kan kita sudah sepakat. Berarti itu murni dari keinginan Akmal sendiri. Ibu membela diri. Senyumnya semringah seperti saat pertama kali Bang Akmal meminta restunya untuk melamar Kak Mey.Tubuhku spontan berhenti. Memandang wajah ibu yang benar-benar tidak menunjukkan perasaan bersalahnya.Benarkah pengakuan ibu itu bisa dipercaya?Tapi bagaimana mungkin Bang Akmal punya pikiran yang sama dengan Ibu? Menikah dan menjadikanku sebagai pengganti Kak Mey. Bagaimana bisa laki-laki yang aku lihat sangat setia itu memilihku, sedang selama ini tidak ada yang aneh dengan sikapnya bila bertemu denganku.Pikiranku terus berkecamuk. Apa Bang Akmal hanya asal bicara saja? Berbohong pada Tante Sonia karena sudah tidak punya cara lain untuk membantah keinginan wanita itu yang bersikeras ingin mengusir kami.April mau bertanya sama Bang Akmal, Bu. Bang Akmal harus memberi penjelasan!Tanpa berpikir lagi, aku langsung keluar dari kamar. Berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua. Baru sampai di ujung tangga, aku berpapasan dengan laki-laki yang baru saja ingin aku minta penjelasannya.Bang. April mau bicara. Aku langsung mengutarakan maksud kedatanganku begitu bertemu dengannya.Ada apa? tanya dia dengan tenang. Seolah lupa dengan ulahnya belum lama tadi.Kenapa Abang berbohong sama Tante Sonia?Dahinya mengernyit.April sama Ibu tidak masalah pergi dari rumah ini. Ucapan Abang itu malah akan menambah ketidaksukaan keluarga Abang pada kami. Abang cepat hubungi Mama Abang, ya? Besok April akan bawa Ibu dan Bapak pergi. Abang tidak perlu khawatir. Pindah dari rumah ini memang sudah keinginan April dan Ibu. Abang jangan bertengkar lagi dengan Tante. Aku terpaksa berbohong demi kedamaian masing-masing pihak.Abang sudah bilang tidak ada yang akan pergi. Kamu, Ibu dan Bapak akan tinggal di rumah ini seperti sebelum-sebelumnya. Bang Akmal terlihat sungguh-sungguh. Seperti keputusannya mutlak dan tidak boleh diganggu gugat.Tapi, Bang__Kalian tega meninggalkan rumah yang penuh kenangan dengan Mey? Secepat itu kamu dan yang lainnya ingin melupakan dan menjauh dari bayang-bayang kakak kamu? Atau Abang sudah tidak ada artinya lagi bagi kalian setelah istri Abang tiada? Begitu?Aku terdiam, sembari menelan ludah. Kulihat wajah Bang Akmal seperti memendam rasa kecewa. Bukankah seharusnya kami yang merasa ketakutan seperti apa yang dia rasakan saat ini?Tapi tidak dengan mengarang cerita tentang pernikahan, bukan? Abang lihat sendiri kalau Tante Sonia dan Risa salah paham dengan alasan Abang. Apa Abang tidak punya alasan lain yang lebih masuk akal? Dari mana Abang bisa dapat ide konyol seperti itu? Aku berpura-pura tak pernah mendengar ide ibu yang sama persis dengannya.Siapa yang berbohong? tanya dia. Membuatku lagi-lagi harus menelan ludah.Ma__maksud Abang apa? Suaraku tiba-tiba terbata. Gugup. Takut salah mengartikan kalimatnya.Bang Akmal menarik napas berat, lalu mengembuskannya perlahan. Terlihat jika dia ingin meyakinkan sesuatu.Ucapan Abang di depan Mama bukanlah kebohongan. Abang benar-benar akan menikahi kamu.Untuk ke sekian kalinya aku menelan ludah. Lagi-lagi di hadapkan pada kalimat-kalimatnya yang nyaris membuatku terlonjak saking terkejutnya. Mana bisa dia memutuskan sesuatu yang besar seperti ini secara sepihak tanpa mendengar apakah aku setuju atau tidak.Kenapa Abang sampai berpikir sejauh itu? Hubungan kita tidak pernah mengarah ke arah sana, Bang. Mana mungkin pernikahan itu terjadi pada kita. Lagipula Ibu pasti tidak akan setuju. Ibu jelas-jelas akan menentang keinginan Abang. Ibu tidak akan mungkin membiarkan April mengambil tempat Kak Mey di hidup Abang. Aku kembali bersandiwara untuk menyadarkan Abang iparku itu.Mertua dan menantu memang sama-sama berpikiran pendek dan tidak masuk akal.Bang Akmal tersenyum sumbang.Tidak setuju? Tarikan dari sudut bibirnya seperti sedang mengejek. Bukankah Ibu sendiri yang mengusulkan istilah 'turun ranjang' ini?Gleg!Sepertinya aku kekenyangan karena berulang kali menelan ludahku sendiri.                              ~~~ABANG IPARKU (5)M__maksud Abang apa? Aku kian terbata mendengar penjelasan Bang Akmal. Ibu... itu, maksud April__.Ibu tidak mengatakan apa-apa! Bang Akmal langsung menyela ucapanku. Seolah sudah mengira bahwa aku yang kini salah tingkah mempertanyakan dari siapa dia tahu.Bapak? Alisku menyatu penuh tanya.Bang Akmal menggeleng pelan.Abang mendengar percakapan kalian waktu itu.Aku langsung terdiam. Pipiku tiba-tiba merasa panas karena menahan malu. Ingin sekali rasanya segera pergi dan menghilang dari hadapan Abang iparku ini.Tapi bagaimana mungkin. Aku sendiri yang mendesaknya untuk memberi penjelasan. Kini aku seperti tak punya apa-apa lagi untuk disampaikan.Abang minta maaf atas perlakuan Mama. Harusnya sejak awal kalian bilang. Bukan malah sembunyi-sembunyi merencanakan sesuatu.Aku mulai mengatur napas agar tidak gugup lagi.Maaf, Bang. Kami hanya tidak ingin menambah pikiran Abang saja. Abang tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah. Memang sudah seharusnya kami pergi dari rumah ini. Aku kembali meyakinkannya. Tak ingin dia merasa sungkan atas perlakuan ibunya terhadap kami.Maafkan Ibu juga ya, Bang. Saat itu pikiran Ibu sedang buntu. Ibu jadi berpikir yang bukan-bukan hanya agar bisa tetap tinggal di rumah ini. Tapi sekarang Ibu sudah sadar kok. Jadi Abang tidak perlu mengambil hati lagi ucapan Ibu waktu itu. Batalkan niat Abang itu, ya. Asal Abang ijinkan, April dan Ibu pasti akan sering-sering berkunjung ke rumah ini. Mana mungkin kami bisa melupakan alamarhumah Kak Mey begitu saja. Jelaskan juga pada keluarga Abang, ya. Bilang saja kalau Abang hanya asal bicara tadi. April tidak mau dituduh yang macam-macam. Lagipula, sejak kapan April jadi gadis genit yang berani menggoda Abang? Selorohku agar bisa mencairkan suasana.Raut wajah Bang Akmal terlihat datar-datar saja. Aku tak tahu ekspresi apa yang dia tunjukkan. Harusnya dia merasa lega karena kesalahpahaman ini sudah berakhir. Aku dan Ibu sudah baik-baik saja meski tak tinggal lagi di rumah ini.Kenapa kamu tidak mau menikah sama Abang? Bukankah kamu bilang tidak punya pacar?Heh? Kenapa Bang Akmal masih membahas pernikahan? Harusnya dia sudah mendengar dengan jelas alasanku.Kamu sudah mengenal Abang lebih dari tujuh tahun. Itu lebih dari cukup dari laki-laki yang akan kamu kenal di luar sana. Abang tidak tahu lagi caranya melindungi kamu setelah kakak kamu tiada. Kamu mengerti maksud Abang, bukan?Mataku selalu saja menghangat tiap kali mengingat kenangan bersama kak Mey. Selama ini kakakku itu memang sangat posesif terhadapku. Selalu memantau dengan siapa aku bergaul. Apalagi jika ada teman laki-laki yang mendekatiku.Mau tak mau Bang Akmal juga turut andil dengan sikap kakakku yang saat itu masih menjadi kekasihnya.Apa-apaan teman kamu itu, Dek? Pakai anting kok di bibir. Kalau tetanus bagaimana? Awas ya kalau kamu sampai ikut-ikutan. Tidak ada lagi uang jajan! ancam Kak Mey saat itu.Boleh pacaran. Tapi di rumah. Kakak takut kalau laki-laki itu tidak sebaik Bang Akmal. Kalau kamu nanti diapa-apain bagaimana? Di lain waktu dia menetapkan peraturan saat aku meminta izin untuk pergi bersama teman laki-lakiku.Kakakku bahkan lebih memerhatikan tumbuh kembangku dibanding ibu yang saat itu sudah memiliki suami baru.Bahkan perhatian Kak Mey tidak berubah sedikit pun meski dia telah menikah. Selalu saja memantau jam berapa aku pulang. Laporan pemberitahuan aku di mana dan bersama siapa, jadi aturan wajib jika aku sedang tak ada di rumah. Dan ingatan itu membuat mata yang tadi berkabut kini menjadi titik-titik air mata.Seketika wajah wanita berusia dua puluh enam tahun itu melintas di hadapanku.'Kak Mey....'Abang sudah berjanji pada Mey untuk menjaga kamu dan Ibu. Kamu ingin Abang melanggar janji itu agar Mey membenci Abang? Begitu?Aku tersadar dari lamunan saat Bang Akmal kembali bersuara. Aku memandang wajahnya yang benar-benar memancarkan ketulusan.Tapi tidak harus dengan menikah juga kan, Bang? Aku masih membantah sembari mengusap air mata.Memangnya Abang masih punya hak setelah kalian pergi menjauh seperti ini?Tapi__.Abang akan membatalkan niat Abang jika ada laki-laki lain yang berniat menikahi kamu. Kalau kamu punya pacar, kenalkan pada Abang. Abang sendiri yang akan mengurus pernikahan kalian. Dengan begitu Abang akan merasa tenang melepaskan kamu!Lagi-lagi ucapan itu seperti perintah. Membuatku kembali tak bisa berkutik. Semakin lama perhatian Bang Akmal seperti Kak Mey saja. Selalu membuat lidahku kelu dan tak bisa melawannya.*Serius, Pril? Kenapa tidak kamu terima saja? Bang Akmal kan defenisi pria sempurna. Ganteng, kaya, sayang keluarga. Harusnya kamu itu bersyukur, bukan malah sok jual mahal, ujar Alin, sahabatku.Gila kamu! Aku berdecak. Bukannya mendapat jalan keluar, malah dapat dukungan dari gadis seusiaku itu.Belum lagi ucapan ibu malam tadi. Setelah aku menceritakan alasan sebenarnya dari Bang Akmal, ibu malah memohon-mohon agar aku menerimanya saja.Lagipula kamu kan tidak punya pacar, Pril. Di mana lagi kamu bisa dapat laki-laki seperti Abang iparmu itu. Ibu setengah memaksa.Tidak mau! April dan Bang Akmal tidak saling cinta, Bu. Ibu tidak kasihan melihat kami?Cinta bisa datang belakangan, Pril. Yang penting kalian menikah saja dulu. Lagipula usia kamu kan memang sudah pantas menikah. Apa lagi yang kamu tunggu? Nunggu Sarjana, kamu tidak kuliah. Nunggu naik pangkat, kamu juga bukan PNS. Jadi ini adalah jalan terbaik untuk kamu.Nunggu ada laki-laki lain yang mau melamar April! sahutku tegas. Lagipula ini bukan yang terbaik buat April, tapi buat Ibu!Bibir ibu manyun lima senti.Memangnya ada yang naksir sama kamu? Setahu Ibu kamu tidak pernah pacaran tuh, sindir wanita yang semangatnya menggebu-gebu mendengar Bang Akmal seperhatian itu pada kami.Bu, April tidak pernah pacaran itu bukan karena tidak laku. Tapi karena takut sama Kak Mey. Mulai dari tukang parkir, Abang gojek, montir bengkel, sampai tukang masak di dapur banyak yang naksir sama April. Harga diriku mulai terpancing dengan sindiran wanita yang telah melahirkanku itu.Ada yang profesinya lebih tinggi, tidak?Ish, Ibu! April kan cuma lulus SMA. Mana mungkin pekerja kantoran mau sama April. Ibu jangan bermimpi kalau April akan mendapatkan dokter seperti Kak Mey.Nah, itu kamu tahu sendiri. Makanya jangan jual mahal. Menikah dengan dokter seperti Akmal adalah kesempatan langka buat kamu. Tidak akan datang dua kali. Kalau kamu masih mengukur jodoh dari segi ijazah, paling-paling yang kamu dapat ya seperti Bapakmu itu. Ibu menunjuk suaminya dengan dagu.Tidak mau! Aku langsung menolak tegas. Ibu kan cuma tamat SD. Wajar kalau dapat tukang becak. Ijazah SMA itu masih standart, Bu. Kalau pun harus bekerja mencari sewa, paling tidak supir greb. Naik mobil! Aku mendengus kesal.Kali ini bibir Bapak yang ikut-ikutan manyun. Begitulah laki-laki yang berstatus sebagai ayah tiriku itu. Tak pernah protes meski sering kali kami menjadikannya bulan-bulanan. Selalu saja berusaha menjadi ayah yang baik untuk aku dan Kak Mey.Lagipula Tante Sonia juga aneh. Bisa-bisanya menuduh Ibu main dukun untuk memelet Bang Akmal. Kalau sejak dulu Ibu tahu jampi-jampi, tidak akan mungkin mendapatkan Bapak, bukan? Wlek.... Aku menjulurkan lidah untuk membalas ejekan ibu yang secara tidak langsung mengatakan kalau aku ini tidak laku.Aku berlalu begitu saja, tak ingin terlibat perang yang tidak ada habisnya.*Terus, kamu mau menikah sama siapa? Memangnya cari suami itu gampang? Alin kembali bertanya saat kami sedang tidak memiliki pelanggan.Aku dan Alin sudah berteman sejak masa SMP. Rumah kami dulu berdekatan. Bahkan sekarang pun kami bekerja di toko kue yang sama.Kalau cari jodoh di aplikasi online, aman tidak, ya? tanyaku putus asa. Hal itu lebih baik daripada menikah dengan Abang sendiri.Alin mengernyit.Maksud kamu, aplikasi Mantan?                                   ~~~    ABANG IPARKU (6)Aprilia. Seorang pemuda menyebut namaku sembari tersenyum. Apa hanya itu?Kalau yang kamu maksud gelar atau titel, aku memang tidak punya. Bukankah aku sudah menjelaskan secara detil siapa aku dan juga latar belakangku? Aku menjelaskan pada laki-laki yang aku kenal lewat aplikasi pencari jodoh.Ini adalah pria ke lima yang aku temui setelah empat yang lainnya ditolak oleh Bang Akmal.Kurang dewasa! Nanti sedikit-sedikit dia akan mengadu pada ibunya. Yang lain saja! Bang Akmal melontarkan penilaiannya pada laki-laki pertama yang aku ajak bertemu dengannya.Percuma saja punya gelar sarjana kalau masih pengangguran. Kamu mau, kerja banting tulang menanggung kebutuhan suami kamu? Lagi-lagi Bang Akmal keberatan.Terlalu tua, April. Jangan-jangan suami orang!Fiuhhh!Aku mendengus kesal karena tak seorang pria pun yang berhasil membuatnya mau melepaskanku.Bang, kali ini April ingin mengenalkan laki-laki yang dewasa, sudah bekerja, juga perjaka ting-ting. April sudah memeriksa KTP-nya. Katanya dia serius dengan April. Pokoknya kali ini Abang tidak punya alasan lagi menolaknya! ucapku penuh keyakinan.Hampir satu bulan aku berselancar dengan berbagai tipe laki-laki di dunia maya. Saling bertukar nomor pribadi dan berbincang lewat udara. Hanya dalam hitungan hari aku memberanikan diri, nekat bertemu dengan orang-orang asing yang baru saja aku kenal. Berharap Bang Akmal setuju dan membatalkan niatnya untuk menikah denganku.Aku tahu dia juga tidak menginginkan hal itu. Rasa cintanya masih begitu besar pada kakakku. Menikah dengannya hanya akan membuat kami terluka dan tersiksa dengan perasaan masing-masing.Tampan, dewasa, dan juga punya pekerjaan. Sepertinya dia juga serius sama kamu. Ucapan Bang Akmal dengan pria ke empat membuatku merasa lega.Menikah dengan laki-laki yang baru dikenal sepertinya akan lebih baik. Setidaknya seiring berjalannya waktu, aku dan dia bisa saling jatuh cinta. Tentunya setelah mengenal satu sama lain. Kupikir ini jalan terbaik, daripada harus menikah dengan pria yang mustahil bisa mencintai kita.Sebenarnya secara batin aku juga belum siap menikah. Di usia dua puluh tiga, aku masih ingin merasakan hidup bebas tanpa ikatan. Tapi demi membebaskan Abang iparku dari rasa tanggung jawab dan beban amanah yang dititipkan alamarhumah kakakku, mau tak mau aku harus ikhlas mengikuti keinginannya.Paling tidak aku akan terlepas dari mertua toxic yang selama ini membuat Kak Mey selalu tertekan batin.Jadi, Abang setuju? April tidak salah pilih, kan? Aku mulai bersemangat.Laki-laki itu memang serius. Tapi serius jadi pacar. Bukan suami! Bang Akmal melanjutkan penilaiannya.Eh? Maksud Abang apa?Dia minta waktu tiga tahun. Padahal Abang memintanya menikah sama kamu sebelum akhir tahun. Apa itu yang dinamakan serius? Lagi-lagi Bang Akmal menemukan kesalahan dari calon suamiku.Tapi, Bang__.Itu terlalu lama.Jadi?Tidak lulus!Ish, Abang! Aku mendengus kesal. Duda muda itu berlalu tanpa menghiraukan rengekanku.Terlalu lama apanya? Dia bahkan memacari kakakku selama lebih dari lima tahun.*Bukan seperti itu. Maksudku, nama kamu hanya Aprilia? Tidak ada nama tengah, atau nama belakang? Pemuda yang duduk di hadapanku meralat pertanyaannya.Oh. Iya. Hanya Aprilia, sahutku.Memang hanya itu. Terlihat jelas bahwa aku lahir di bulan yang sesuai dengan nama panggilanku. Ibu hanya menambahkan dua huruf di belakang. Sama sekali tidak kreatif.Jika orang tua yang lain sibuk memikirkan nama anak hingga sepanjang rel kereta api demi mendapatkan arti yang baik, tidak dengan kedua orang tuaku.Yang penting selamat dan sehat. Begitu alasan ibu saat aku bertanya kenapa namaku tidak aestetik seperti teman-temanku.Tidak ada bedanya dengan kakakku. Ibu juga hanya menambahkan huruf R dan A di belakang nama Mey. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan jika aku dan Kak Mey lahir di bulan kemerdekaan. Entah huruf apa yang akan ibu tambahkan di belakang nama kami.Apa kriteria calon istrimu harus memiliki nama yang panjang? Dimas Abimana Sarjana Komputer? Aku kembali bertanya dengan menyebut nama lengkap beserta gelar pendidikannya.Laki-laki berkacamata itu tertawa kecil.Aku hanya bertanya. Masa tidak boleh. Pria yang mengaku berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat sungkan.Boleh. Tentu saja boleh. Kamu bukan orang pertama yang bertanya. Sejak masih SD guruku juga selalu bertanya, apa aku punya nama belakang yang mungkin saja lupa ditulis oleh ibuku.Dimas semakin tertawa. Sepertinya dia terhibur sekali dengan ketidak beruntunganku dalam memiliki nama.Aku mau tanya. Aku langsung pada duduk persoalan yang belum sempat kami bahas di aplikasi whatsapp. Kamu itu kan masih muda. Juga sudah punya penghasilan tetap. Kamu juga terlihat tampan. Gadis-gadis di sekitar kamu pasti dengan mudah suka sama kamu. Lalu, kenapa kamu mencari jodoh lewat aplikasi?Alisnya bertaut memandangku. Mungkin belum mengerti dengan maksud ucapanku.Aku sudah bilang sebelumnya. Meski usiaku masih muda, tapi aku mencari calon suami, bukan pacar. Keluargaku menginginkan aku menikah secepatnya. Kenapa kamu setuju dan malah mengajak bertemu?Dimas tersenyum, lalu membetulkan letak kacamatanya. Padahal tidak ada yang berubah sedikit pun dari tempatnya semula.Aku juga tidak mau pacaran, jawab dia. Membuat hatiku kembali bertanya-tanya. Soal aplikasi pencari jodoh.... Dimas menjeda ucapannya.Aku sampai memajukan sedikit wajahku saking penasaran dengan alasannya.Kenapa? Kenapa kamu mencari pasangan di dunia maya? Apa tidak takut tertipu? Atau kamu ini memang sudah ahlinya menjerat gadis-gadis yang kamu ajak kenalan? Aku merasa tidak sabaran dengan membuat tuduhan yang bukan-bukan.Asal kamu tahu, ya. Aku ini tidak punya apa-apa. Kamu tidak akan mendapatkan uang sepeser pun dengan menjadikanku korban. Aku sudah bilang kalau aku ini hanya penjaga toko. Gajiku hanya cukup untuk__.Ayo bertemu keluargaku!Heh? Dia menantangku?*Aku dan Dimas menunggu di sebuah kafe. Tempat Bang Akmal dan aku membuat janji bertemu dengan calon suamiku. Setelah pertemuanku dengan Dimas kemarin, sepertinya aku yakin, pemuda pemilik konter hape itu bukan penipu.Dimas bilang hanya iseng mendolot aplikasi 'Mantan'. Lalu secara acak menemukan fotoku. Dia bilang langsung tertarik begitu melihat aku yang sedang tersenyum.Akhirnya ada juga yang menyadari kalau aku ini memang semanis itu. Hanya memasang satu foto saja sudah banyak yang tergoda. Tunggu saja sampai aku memamerkannya pada ibu yang waktu itu mengataiku tidak laku.Selain itu, aku juga merasa beruntung mendapatkan Dimas. Sudah ganteng, sarjana, punya usaha pula. Walau pun hanya usaha kecil-kecilan seperti yang dia katakan, setidaknya dia juga punya mobil walau tak sebagus milik Bang Akmal. Ibu pun pasti setuju-setuju saja dengan pilihanku.Kali ini kupastikan Abang iparku tidak akan bisa menolak lagi.Kenapa harus Abang ipar? Harusnya aku meminta restu sama orang tua kamu. Dimas protes saat aku mengatakan akan mengenalkannya pada Bang Akmal lebih dulu.Iya. Itu perintah Abangku. Jika tanpa persetujuannya, Ibuku juga pasti tidak akan mengizinkan aku menikah.Apa Abang ipar kamu sepenting itu? Bukannya kamu bilang kakak kamu sudah meninggal? Harusnya laki-laki itu tidak berhak ikut campur lagi urusan keluarga kamu. Dimas terlihat seperti merasakan sesuatu yang tidak wajar.Tidak apa-apa, Dim. Almarhumah kakakku dan suaminya itu sama-sama posesif. Mereka hanya ingin yang terbaik buat adiknya. Agar aku tidak salah dalam memilih jodoh demi masa depanku. Aku mencoba menjelaskan tentang kedudukan Bang Akmal di keluarga kami.Tapi tetap saja tidak masuk di akal. Kita pergi saja. Aku akan langsung bicara sama Ibu dan Bapak kamu.Kalau kamu merasa tidak masuk akal, mundur saja! April tidak butuh suami yang tidak bisa menghargai anggota keluarganya! Suara Bang Akmal tiba-tiba muncul dari arah belakang.                                ~~~    ABANG IPARKU (7)Aku spontan menoleh ke belakang sembari bangkit dari kursi. Lalu menarik lengan Dimas agar ikut berdiri demi menghormati Abang iparku tempatnya meminta restu.Dimas memandangku, lalu ikut berdiri. Seketika pandangan kedua lelaki itu bertemu. Tentu saja dengan tatapan tidak saling menyukai satu sama lain.Kalau sebelumnya pemuda yang aku bawa langsung mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri untuk mencari simpati, tidak demikian dengan Dimas. Pria itu malah seperti menantang. Tak peduli apakah akan mendapatkan persetujuan dari Abang iparku itu untuk bisa bersamaku.Apa-apaan ini!Di detik pertama pertemuan saja, mereka sudah seperti orang bermusuhan. Bagaimana mungkin Bang Akmal akan mengabulkan keinginanku untuk menikah dengan orang itu.Bang, ini Dimas. Dia __.Tidak lulus! Bang Akmal langsung menyela begitu saja ucapanku. Padahal aku berusaha untuk mendinginkan suasana dan meluruskan kesalahpahaman.Tapi, Bang__.Ikut Abang pulang! Abang iparku memberi perintah sembari memeriksa arloji di pergelangan tangan. Dia pasti tahu kalau hari ini aku shift pagi dan sudah pulang dari tadi.Laki-laki bertubuh tinggi itu langsung berbalik dan hendak pergi. Dia juga tahu kalau aku tidak akan berani membantah dan akan segera mengekor dari belakang.Kalau mau pulang, pulang saja. Baru saja hendak melangkahkan kaki, gerakan Bang Akmal langsung terhenti saat mendengar ucapan Dimas yang tidak disangka-sangka. April biar pulang sama saya.Bang Akmal kembali membalikkan tubuh, matanya menyipit menatap tajam ke arah Dimas. Aku yang tidak ingin acara perkenalan ini berujung masalah, akhirnya berinisatif mengentikannya. Aku langsung mengambil tas gendong belakangku dari atas meja, lalu berpindah tempat ke sebelah Bang Akmal.Sudah, sudah. April ikut Abang. Kita pulang, ya. Aku mengalah saja. Lain waktu akan meminta maaf pada Dimas seperti yang sudah aku lakukan pada kandidat-kandidat sebelumnya.Anda hanya ipar. Itu pun jika dalam waktu dekat belum memutuskan untuk menikah lagi. Ipar itu bukan mahram. Jadi tidak perlu memaksakan diri menjadi walinya. Nanti timbul fitnah. Dimas terus berbicara tanpa memedulikan tindakanku.Besar juga nyali pria itu. Aku melirik Bang Akmal, lalu menelan ludah melihat wajahnya yang terlihat geram. Sedang Dimas menatapnya dengan tenang.Bang Akmal melirikku. Aku tahu pria santun itu tak suka dengan keributan. Apalagi sampai membuat onar di hadapan banyak orang.Melihat mimik wajahku yang memohon agar dia tak meladeni ucapan Dimas, Bang Akmal menghela napas. Dia tahu caranya menenangkan diri.Abang tunggu di mobil! perintahnya lagi, lalu berlalu pergi dengan wajah tegang.Napasku yang tadi tertahan, kini merasa lega. Meski harus menahan kecewa karena pria pilihanku lagi-lagi mendapat penolakan.Dimas, aku duluan ya. Nanti aku hubungi. Aku segera pamit, lalu meninggalkan Dimas tanpa menunggu jawaban darinya.Aku setengah berlari menyusul Bang Akmal ke parkiran. Tak ingin Abang iparku itu menunggu terlalu lama.Aku langsung mengentakkan bobot tubuh di samping Bang Akmal, lalu menutup rapat pintu mobil. Seperti apa pun kebaikannya selama ini, tetap saja aku merasa kecewa. Dia bahkan belum menanyakan apa pun tentang latar belakang pemuda itu.Dimas pria yang nyaris sempurna yang pernah aku temui. Seperti pengakuannya kenapa pria itu memilihku, aku pun mulai merasakan desiran halus saat sedang bersamanya. Berharap bahwa ini adalah jalan jodoh kami.Kenapa kamu cemberut? Kecewa? Bang Akmal menoleh ke arahku dari balik kemudi. Laki-laki itu tidak baik. Tidak punya sopan santun.Aku semakin merengut.Lihatlah. Belum lama kakak kamu pergi, tapi kamu sudah sebebas ini. Sejak kapan kamu menjadi liar? Bisa-bisanya membawa lima pria dalam waktu kurang dari satu bulan. Sebelum aku protes, Bang Akmal sudah melakukannya lebih dulu.Itu... April.... Aku jadi gugup sendiri dengan tudingannya.Belakangan ini kamu sudah luput dari pengawasan. Kakak kamu pasti kecewa melihat Abang yang sudah lalai menjaga kamu. Kata-kata itu membuatku kembali tak berkutik.Hatiku selalu saja melemah saat membicarakan alamarhumah Kak Mey. Membuat aku yang ingin marah menjadi merasa bersalah.Dari mana kamu kenal mereka semua? Sering bertemu? Apa Ibu tidak menasihati kamu selama Abang dalam keadaan berkabung? Abang hanya butuh waktu sebentar untuk bisa menerima kepergian kakak kamu. Harusnya kamu mengerti dan tidak membuat ulah seperti ini. Kalau Ternyata semua laki-laki itu hanya memanfaatkan kamu saja bagaimana?Ish, Abang! Sudah cukup. Kenapa marah-marah terus? Aku memberanikan diri menyela ucapannya. Meski sedikit takut karena selama ini aku tak pernah meninggikan suara di hadapannya.Aku mengerti dengan masa berkabung yang dia ucapkan. Masa di mana dia lebih banyak diam saat jenazah istrinya baru saja di 'kebumikan'. Jarang ikut makan bersama karena selalu mengurung diri di kamar selepas pulang dari bekerja. Aku dan Ibu tak berani mengganggunya. Takut menyinggung perasaannya.Bang Akmal memang tak menangis di hadapan kami, tapi mata sembabnya setiap keluar dari kamar membuat kami yakin dia memendam sendiri rasa kehilangannya. Dan itu lebih dari cukup membuat kami yakin dia benar-benar mencintai kakakku.Kenapa? Kamu kecewa karena kali ini Abang juga menolak laki-laki yang kamu kenalkan? Menyerah saja, sahutnya dengan datar.Apa maksud Abang menyerah?Abang tidak percaya pada laki-laki lain. Abang akan meminta Ibu untuk mengurus berkas-berkas kamu.Aku mengernyit. Heran.Berkas-berkas apa?Tidak perlu lagi mengenalkan pria lain. Bulan depan kita menikah!Mataku langsung membesar menatapnya.Mana bisa Abang memutuskan secara sepihak seperti itu? April tetap tidak mau! Aku bersikeras. Bang Akmal balas menatapku.Jadi kamu lebih suka menikah dengan pria tidak sopan itu? Hari ini Abang. Besok-besok Ibu dan Bapak yang dia abaikan.Dimas tidak bermaksud seperti itu. April sudah dewasa, Bang. April juga berhak mengambil keputusan. Lagipula....Lagipula apa?Sebenarnya... April belum siap menikah, ucapku lirih dengan mulut mengerucut seperti anak kecil.Bang Akmal balas menatapku. Kali ini lebih dalam. Detik berikutnya dia tertawa kecil.Lama-lama kamu semakin mirip sama kakak kamu. Sok dewasa. Tapi manja! Bang Akmal lalu memalingkan wajah. Kemudian menghidupkan mesin mobil dan melaju pergi membawaku.Aku tertegun, melihat sebuah senyum tersungging dari bibirnya.                                ~~~  ABANG IPARKU (8)Bu, kita pindah saja dari sini. April tidak mau menikah sama Bang Akmal. Aku tetap teguh pada pendirianku.Kamu itu memang tidak ada kapok-kapoknya! Ibu yang sedang menyiapkan makan malam bersungut-sungut.Laki-laki mana lagi yang mau kamu temui? Jangan buat Abangmu marah lagi. Malam tadi dia meminta Ibu untuk mengawasi kamu. Awas saja kalau kamu kenalan dengan sembarang orang lewat aplikasi-aplikasi tidak jelas itu.Tapi Dimas itu baik, Bu. Bang Akmal cuma salah paham.Baik apanya? Kenal juga baru hitungan hari. Ketemu juga baru sekali. Kamu itu polos atau bego?Hish, Ibu! Aku memekik kesal. Ibu terus saja mendukung Bang Akmal agar menjadi menantunya lagi. Padahal sudah kujelaskan bahwa Dimas juga cukup mapan.Sudah. Kamu terima saja! Ibu sedih kalau harus meninggalkan rumah ini. Apa nantinya kamu tidak akan sakit hati, kalau Akmal membawa wanita lain ke rumah ini? Kalau Ibu jelas tidak sanggup. Ibu mulai mengeluarkan jurus meweknya.Benar, Pril. Bapak juga betah tinggal di sini. Lagipula Akmal juga tidak keberatan. Berarti keluarga kita ini sangat istimewa di mata Akmal. Bapak yang selalu saja mendukung Ibu ikut-ikutan mempengaruhiku dengan senyum kaku.Sebenarnya aku juga tidak bisa menyalahkan orang tuaku. Tinggal di rumah bagus adalah impian kami sejak dulu. Kak Mey sudah berjanji akan membelikan Ibu rumah dengan penghasilan yang akan dia dapat. Sayangnya gaji sebagai dokter magang belum cukup untuk membeli rumah.Mau tak mau Kak Mey memboyong kami semua untuk ikut bersamanya setelah menikah. Bang Akmal mengerti, kakakku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak meski di rumah yang nyaman, sementara adik dan kedua orang tuanya masih tinggal di kontrakan yang sempit.Lagipula Ibu dan Bapakku bukanlah orang yang tidak tahu diri seperti yang dituduhkan oleh besannya. Menjadi mertua dari anak orang kaya tak serta merta membuat mereka bertingkah layaknya Tuan dan Nyonya besar.Ibu dan Bapak dengan senang hati mengurus rumah berlantai dua ini layaknya rumah sendiri. Pernah Bang Akmal berniat mencari asisten rumah tangga agar Ibu dan Bapak bisa bersantai. Namun dengan tegas ibu menolaknya. Tak ingin sepasang pengantin baru itu kembali mengeluarkan anggaran yang tidak perlu.Uangnya ditabung saja. Urusan rumah biar Ibu dan Bapak yang kerjakan, ucap ibu saat itu.Aku pun turut mengikuti sikap tahu diri orang tuaku. Memasak dan mencuci bukanlah hal yang sulit untuk aku kerjakan. Hatiku pun tulus melayani sepasang suami istri yang sama sekali tak pernah perhitungan pada kami.Namun keadaannya sekarang sudah berbeda. Kakakku sudah tak lagi ada. Menggantikan posisinya pastilah sangat berat. Bukan hanya untukku. Tapi juga Bang Akmal yang hingga detik ini belum bisa melupakannya.Pernikahan seperti apa yang akan kami jalani nantinya?Tak lama suara langkah terdengar. Bang Akmal baru saja pulang rupanya. Tepat sekali saat hidangan makan malam sudah tersedia di meja.Sudah pulang? Ayo makan! Ibu langsung menyapa laki-laki yang jadi topik pembicaraan kami itu.Ibu tetap saja menawarinya makan bersama, meski akhir-akhir ini Bang Akmal selalu menolak dan langsung masuk ke kamarnya. Aku yang masih merasa kesal, melirik wajahnya. Ingin melihat raut wajah pria yang tiba-tiba saja menjadi diktator pengganti kakakku.Hanya sedetik saja, aku langsung mengalihkan pandangan. Tak kusangka mata itu juga sedang melihat ke arahku. Aku langsung memasang wajah masam. Setidaknya menghindar membuatku melupakan rasa kesalku padanya. Lagipula dia juga tidak akan makan malam bersama kami seperti sebelum-sebelumnya.Aku mengambil pergedel buatan ibu, pura-pura tak melihatnya.Kebetulan, Bu. Akmal juga lapar, sahut Bang Akmal tanpa disangka-sangka.Sontak aku tersedak mendengar jawaban dari Abang iparku itu. Ditambah lagi kini dia mendekat dan duduk tepat di seberangku. Mau tak mau aku dan dia kini saling berhadapan.Makanya jangan asal comot! omel Ibu yang melihatku memukul-mukul dada karena kentang halus tadi tersangkut di tenggorokan. Bukannya nunggu, malah makan sendiri!Aku langsung meraih gelas berisi air putih yang disodorkan oleh Bapak. Lega rasanya setelah terbebas dari penderitaan ini. Bapak tiriku itu memang selalu sigap jika sesuatu yang buruk terjadi pada kami.Aku kembali melirik Bang Akmal, penasaran juga seperti apa raut wajahnya saat ini. Namun lagi-lagi pandangan kami saling beradu. Membuatku harus menunduk karena malu.Jadi tanggal berapa pastinya pernikahan kalian, Mal? Biar Ibu siapkan semua keperluannya. Ibu kembali membahas pernikahan di sela-sela makan tanpa memikirkan perasaanku.Pertengahan bulan saja, Bu. Tidak apa-apa kan kalau kita adakan acara sederhana saja? Bang Akmal menyambutnya dengan tenang. Juga tanpa meminta pendapatku.Iya. Tidak apa-apa. Lagipula kita baru saja kemalangan. Tidak enak juga kalau langsung  mengadakan pesta.Kompak sekali pemikiran mereka.Tapi, soal Mama kamu....Tidak apa-apa, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Itu akan menjadi urusan Akmal.Aku semakin kesal. Sama sekali tak dianggap meski mereka sedang membahas kelangsungan hidupku. Tak ada yang bertanya apa mauku, atau bagaimana pendapatku.Aku merasa seperti batu.Aku langsung menyudahi makan, lalu memundurkan kursi agar bisa berdiri.Mau kemana kamu? Habiskan nasinya! Ibu protes melihat piringku yang masih terisi.Sudah kenyang! Aku berlalu tanpa menghiraukan mereka. Berjalan menuju kamar.Benar-benar tak ada yang peduli dengan perasaanku. Rasanya ingin sekali kabur dan meninggalkan rumah ini sendirian.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sedari tadi kerjaku hanya uring-uringan di atas ranjang. Lalu terdengar suara ketukan pintu dari luar.Tumben sekali ibuku bersikap sesopan itu. Biasanya langsung nyelonong masuk meski belum kupersilakan.April sudah tidur! Aku setengah berteriak. Malas bertemu ibu. Kalau bukan membahas pernikahan, dia pasti ingin memarahiku karena bersikap tidak sopan di depan Bang Akmal tadi.Bukannya pergi, ibu kembali mengetuk pintu.Aku berdecak kesal.Masuk saja! Aku menyerah dan akan membiarkan wanita itu berbicara sesuka hatinya.Namun pintu tak juga terbuka. Untuk ke tiga kalinya suara ketukan kembali terdengar. Manja sekali ibuku malam ini. Mau tak mau aku harus bangkit dan membukakan pintu untuk Ibu Suri di rumah ini.Ibu mau ap__pa. Aku mengerjab mendapati Bang Akmal sedang bersandar di dinding dengan kedua tangan menyilang di dada.Hah!Belum apa-apa dia sudah berani muncul di depan kamarku. Jangan-jangan saat ini dia sedang berpikiran mesum. Bukankah sudah tiga bulan dia menyandang status sebagai duda? Apa semua lelaki itu sama saja?Argghh....Kenapa pikiranku jadi kacau seperti ini?                              ~~~ABANG IPARKU (9)Bang Akmal bergerak dari tempatnya bersandar. Sedikit menunduk agar bisa memandangku. Membuatku curiga kalau ibu mengutusnya untuk memarahiku secara langsung.Kamu menghindar sejak kejadian kemarin. Masih marah? tanya dia sebelum aku bertanya apa tujuannya datang ke kamarku.Itu... tidak. Bukan seperti itu. April hanya sedang tidak enak hati. Aku menjawab dengan gugup.Seberapa besar pun rasa kesalku, tetap saja tak bisa berkutik atau marah-marah di hadapan Abang iparku ini. Semakin hari aura kepeduliannya sama persis seperti kakakku.Abang tahu kamu merasa diperlakukan tidak adil. Tapi ini satu-satunya cara agar keluarga kita bisa bersatu lagi. Abang tidak bisa membayangkan suatu hari nanti kita akan terpecah belah dan tidak saling peduli satu sama lain. Kamu dengan kehidupan baru kamu. Juga Ibu dan Bapak yang akan lebih menyayangi dan memperhatikan menantu barunya. Suami kamu.Aku tertegun. Ungkapan hati macam apa itu. Seperti anak kecil yang sedang mengadu.Abang bicara apa? Ucapan Abang terdengar seperti orang yang sedang cemburu. Aku bergumam pelan.Cemburu? Dia mengulang ucapanku. Seketika pipinya terlihat berwarna merah jambu.Iya. Abang seperti sedang cemburu. Apa hebatnya mertua Abang itu. Sampai-sampai Abang takut kehilangan kasih sayang dari Ibu. Aku memperjelas ucapanku.Ibu? Ah, ya. Ibu rupanya. Bang Akmal terlihat salah tingkah sembari mengusap tengkuknya. Tentu saja. Kamu tahu sendiri kalau Ibu begitu penyayang. Abang masih berharap jadi menantunya.Kan, kan. Lagi-lagi ini masih tentang pernikahan.Tapi tidak harus secepat ini kan, Bang? Aku merengek seperti orang yang memelas.Biar tidak timbul fitnah! Bang Akmal mempertegas kata 'fitnah' karena ucapan Dimas sore kemarin.Tapi April benar-benar belum siap. April bingung bagaimana caranya menjadi istri. Lagipula.... Aku menjeda ucapanku.Membuatkan minuman dan menyetrika baju Abang saja sudah seperti tugas seorang istri. Itu kan yang sudah kamu lakukan setiap hari?Aku kembali tertegun.Hanya itu? tanyaku lagi.Kalau yang kamu takutkan harus melayani Abang di kamar seperti kakak kamu, kamu tidak perlu khawatir. Kita bisa tidur di kamar masing-masing.Deg!Apa yang dia maksud itu adalah urusan ranjang? Bagaimana bisa dia membahas masalah itu pada gadis polos sepertiku. Jangankan melayani suami, berciuman saja aku belum pernah. Tiba-tiba pipiku terasa panas karena pembicaraan aneh ini.Abang bicara apa? Bukan itu maksud April. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Dengan perasaan malu tentu saja.Kamu tahu apa yang Abang maksud. Jadi tidak perlu takut lagi atau berpikiran macam-macam.Ya. Tentu saja aku sudah mengerti. Tapi tidak harus diterangkan sejelas ini juga, kan?Tapi, Bang. Tetap saja April tidak merasa bebas. Aku berujar pelan. Masih berharap Abang iparku berubah pikiran.Kalau yang kamu maksud dengan bekerja atau bergaul dengan teman-teman kamu, lakukan saja. Abang tidak akan melarang. Tidak akan ada yang berubah. Asal bisa jaga diri dan menjaga nama baik keluarga.Ish, Abang. Aku berdecak pelan.Percuma saja bicara panjang lebar, kalau ujung-ujungnya mereka juga yang menang.*Cie... cie.... Calon pengantin, ledek Alin saat kami menyusun kue tart di etalase.Berisik! protesku.Alin terkikik geli. Puas sekali dia menggodaku seharian ini. Meski aku memasang wajah murung dan kecewa, tak henti-hentinya dia mendukung dan membenarkan keputusan Bang Akmal dan kedua orang tuaku.Tapi sayang juga ya, Pril. Pernikahan kamu tidak akan dirayakan. Padahal waktu Kak Mey menikah, pestanya begitu mewah. Di hotel lagi. Aku puas makan sampai kenyang di sana. Tak henti-hentinya gadis bermata sipit itu membahas curhatanku tentang malam tadi.Benar apa yang Alin ucapkan. Tante Sonia memang tidak begitu menyukai pernikahan Kak Mey dan putra ke duanya. Namun demi menjaga nama baik keluarga dan juga status sosialnya sebagai keluarga terpandang, wanita yang sudah ditinggal mati suaminya itu tetap mengadakan pesta besar-besaran.Mengundang banyak kolega dan teman-teman sosialita tentu saja jadi alasan utamanya. Selain itu dia juga harus menunjukkan kesahajaannya di hadapan semua orang. Mampu menerima gadis dari keluarga biasa seperti kakakku. Otomatis semua orang melemparkan puja-puji pada wanita pemilik klinik kecantikan itu sebagai kaum sultanah yang tidak membeda-bedakan status sosial.*Aku dan Alin bersiap-siap hendak pulang. Ransel kulit sintetis yang aku beli online pun sudah menggantung di kedua bahu. Alin pamit lebih dulu karena kakak laki-lakinya sudah menjemput dengan sepeda motor. Sedangkan Bapak yang belum muncul dengan becaknya membuatku harus menunggu lebih lama.Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Lalu sebuah mobil melintas dan berhenti tepat di depanku.Sorang pria yang tidak disangka-sangka muncul dari pintu sebelah kanan. Melempar senyum manis kepadaku.Dimas? Aku setengah berbisik. Lalu melihat pria itu berjalan menghampiriku.Sedang apa? tanyaku penasaran.Kamu melupakan sesuatu, sahutnya dengan tenang.Aku?Ya. Kamu bilang akan menghubungiku. Tapi sudah dua hari aku tunggu tidak ada satu pun chat yang masuk dari kamu.Mataku mengerjab. Merasa bersalah.Ah, ya. Aku menepuk pelan keningku. Maaf. Aku benar-benar lupa. Aku tersenyum kikuk.Lupa? Dimas mengangkat alis.Kamu tahu sendiri apa yang terjadi waktu itu. Pikiranku jadi kacau. Karena itu aku tidak ingat untuk menghubungimu.Dimas kembali tersenyum.Tidak apa-apa. Aku mengerti. Maaf juga karena aku terlalu lancang.Ouh, manisnya.Dimas bahkan tidak segan-segan untuk mengakui kekhilafannya.Mau pulang, kan? Ayo. Aku antar. Sekalian ingin bertemu orang tua kamu.Eh? Apa? Kenapa? Aku langsung salah tingkah mendengar tawarannya.Kamu mau pulang, kan? Dimas mengulangi ucapannya.Iya. Tapi dijemput Bapak. Aku berucap dengan nada kecewa. Berharap Bapak sakit perut dan tidak jadi menjemputku.Dimas mengedarkan pandangan, seperti mencari sesuatu.Oh, maaf. Harusnya tadi aku menghubungi kamu lebih dulu.Ternyata bukan hanya aku yang merasa kecewa. Duh, senangnya.Tidak apa-apa. Aku yang harusnya meminta maaf. Kamu jadi repot-repot datang menemuiku.Dimas kembali tersenyum. Manis sekali.Kami mengobrol sembari menunggu kedatangan Bapak. Biasanya pria bertubuh kekar seperti preman itu selalu datang tepat waktu. Kali ini keterlambatannya bagai sinyal keberuntungan agar aku dan Dimas bisa berbicara lebih lama.Harusnya setelah mendapat penolakan dari Bang Akmal, aku hanya perlu meminta maaf melalui pesan whatsapp seperti kandidat-kandidat sebelumnya. Lalu memutuskan untuk tak berhubungan lagi dengan mereka.Namun kali ini berbeda. Bukannya mencari gadis lain di aplikasi, Dimas malah kembali menemuiku. Membuat aku merasa dihargai. Lalu desiran yang pernah kurasakan saat itu muncul kembali.Masih ada harapan untuk kita, kan? Aku serius dengan hubungan ini. Kalau belum ada yang melamar kamu, keluargaku akan datang untuk bertemu orang tua kamu.Eh? Hatiku semakin klepek-klepek dibuat pria yang satu ini. Dia benar-benar dewasa dan luar biasa.  Caranya melamarku benar-benar seperti pria sejati. Tidak jauh berbeda dengan gaya Bang Akmal saat meyakinkan Kak Mey untuk menjadi istrinya.Bagaimanapun, ibu harus berkenalan dengan Dimas. Mungkin setelah bertemu, ibu akan berubah pikiran dan membiarkan Bang Akmal bebas dari rasa tanggung jawabnya.Bagaimana? Kamu belum menemukan calon suami lain lagi, kan?Iya. Eh, itu....April akan menikah bulan depan. Jadi jangan coba-coba lagi menemuinya!Ya, ampun!Demi apa adegan romantis ini harus terganggu karena ulah pria itu.                                  ~~~ABANG IPARKU (10)Bang Akmal?Sejak kapan dia ada di sini? Aku bahkan tak menyadari kalau mobilnya sudah terparkir di belakang kendaraan roda empat milik Dimas. Akhir-akhir ini dia selalu saja muncul dengan tiba-tiba dan menguping apa yang sedang aku bicarakan.Bang Akmal berjalan mendekati kami sembari menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Seperti hendak memukul orang saja gayanya itu.Abang sedang apa? tanyaku heran. Tidak biasanya dia muncul di toko tempatku bekerja.Tadi Ibu menghubungi Abang. Katanya Bapak terkena diare. Jadi tidak bisa menjemput kamu. Bang Akmal menjelaskan padaku. Namun bisa kulihat matanya melirik pada Dimas.Sebentar, sebentar.Bapak diare? Apa kutukanku tadi benar-benar terjadi?Ish, Ibu! Harusnya cepat-cepat mengabari agar aku bisa pulang dengan Dimas sedari tadi. Bukannya meminta Bang Akmal menggantikan Bapak jadi sopir pribadiku.Atau ini hanya akal-akalan ibu saja untuk mendekatkan aku dan menantu kesayangannya itu?Tunggu apa lagi? Kali ini perintah Bang Akmal terdengar ketus.Abang tidak perlu repot-repot seperti ini, sahutku sungkan. April bisa naik gojek tadi. Aku beralasan.Untung Abang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin kamu sudah entah dibawa ke mana-mana. Lirikannya masih mengarah pada Dimas.Bang Akmal seperti sudah mencium aroma-aroma dustaku agar bisa pulang dengan pria di hadapannya.Dimas terdengar menghela napas. Pria berkacamata itu tampak berusaha tersenyum pada laki-laki yang baru saja menyindirnya tadi.Maaf kalau saya menyinggung perasaan anda tempo hari. Saya tidak bermaksud seperti itu.Aha!Ada harapan untuk kedua lelaki itu bermaaf-maafan. Dimas benar-benar bisa meluluhkan hati setiap orang dari caranya bersikap dan mau mengakui kesalahan. Benar-benar pria idaman.Aku yakin Bang Akmal juga akan memaafkan. Lalu mereka akan berjabat tangan dan mungkin saja bisa berteman. Dengan begitu dia akan mempercayakan adik iparnya yang cantik jelita ini pada lelaki itu.Lagipula aku sudah tahu sifat Abang iparku itu. Tidak bisa marah-marah terlalu lama, apalagi menyimpan dendam. Jadi kupikir semuanya akan baik-baik saja.Menyinggung bagaimana? Maksudnya, mengatakan kalau saya bukan siapa-siapa dan tidak berhak mengatur April? Begitu? Bang Akmal kembali melemparkan sindiran.Eh? Kenapa tiba-tiba dia menjadi ketus?Ah, tentu saja tidak. Anda Abangnya. Tentu saja saya harus meminta restu anda lebih dulu. Saya tidak tahu kalau selama ini April dan orang tuanya tinggal di rumah anda. Dimas mengulangi informasi yang aku berikan saat mengobrol tadi.Tidak perlu! Kamu dengar sendiri apa yang saya bilang tadi. Bulan depan April akan menikah.Huft!Tebakanku ternyata meleset. Bang Akmal tetap saja marah dan menunjukkan rasa tidak sukanya.Dimas menoleh ke arahku. Tatapannya menyiratkan pertanyaan. Aku memasang wajah memelas. Meminta agar dia tidak terpengaruh, lalu memilih mundur dari niatnya untuk mempersuntingku.Aku sengaja tak menceritakan tentang rencana Bang Akmal yang akan menikahiku. Berharap Abang iparku itu masih mau mempertimbangkan jika ada laki-laki baik yang bersedia menggantikannya. Menjaga dan mengambil alih tanggung jawabnya terhadapku.Aku tahu jika kecemburuannya hanya alasan. Tidak mungkin dia se'kanak-kanak' itu pada mertuanya. Kecuali jika dia benar-benar jatuh cinta pada ibuku.Aku menahan tawa di dalam hati. Geli sendiri dengan pikiran burukku mengingat berita yang sedang viral akhir-akhir ini.Secepat itu? Dimas kembali melayangkan pertanyaan pada Bang Akmal karena tak mendapatkan jawaban dariku.Ya. April akan menikah dengan__.Ayo pulang! Lekas aku memotong ucapan Bang Akmal.Ini gila. Benar-benar gila. Menikahi Abang ipar sendiri? Bagaimana mungkin aku membiarkan Dimas mengetahui rencana konyol ini. Dia pasti akan menganggap keluargaku lebih aneh lagi.Tanpa menunggu jawaban dari Bang Akmal, aku langsung meraih lengannya. Bang Akmal gelagapan. Ini kali pertama aku menyentuh bagian tubuhnya. Dia berusaha mengelak, namun aku terpaksa mendorong tubuh proporsional itu menjauh dari Dimas. Mau tak mau kakinya ikut melangkah membelakangi tubuhku.Dari balik punggung Abang iparku, aku menoleh ke arah Dimas.Maaf. Aku berucap pelan. Namun aku tahu Dimas mengerti apa yang keluar dari mulutku ini.Lagi-lagi aku tidak enak hati karena meninggalkan Dimas begitu saja seperti ini.*Belum menyerah juga? Sudah Abang bilang tidak perlu lagi mencari pria lain! Bang Akmal terdengar ketus saat mengemudikan kendaraannya. Kali ini dia terlihat benar-benar marah.Tapi Dimas benar-benar serius dengan April, Bang. Dia juga sudah mengakui kesalahan karena tidak menganggap Abang waktu itu. April sudah jelaskan semuanya. Dan Dimas sudah mengerti kenapa Abang meminta April cepat-cepat menikah. Aku mencoba membela diri.Kenapa? Kamu bilang apa? Menjelaskan apa? Bang Akmal terdengar tidak sabar mendengar alasan yang aku berikan pada Dimas.Karena tidak ada lagi yang akan menjaga April seperti Kak Mey.  Bang Akmal menarik napas kasar.Tapi kamu tidak bilang kalau Abang yang akan menikahi kamu? Kenapa? Kamu malu menikah sama duda?Ish! Kenapa Bang Akmal jadi marah-marah seperti ini? Apa salahnya kalau aku berharap menikah dengan bujangan seperti Dimas.April menyukainya. April jatuh cinta pada Dimas! Aku memberanikan diri mengakui perasaanku dengan tegas.Lalu tiba-tiba saja wajahku menempel di laci mobil dengan begitu keras. Aku memekik sembari memegang keningku yang terbentur. Sakit sekali.Kamu tidak apa-apa, Pril? Suara Bang Akmal terdengar khawatir.Aku memandangnya dengan tatapan amarah. Lalu mendadak hidungku terasa hangat. Seperti dialiri oleh cairan kental.Pril. Hidung kamu berdarah. Bang Akmal tampak panik, lalu menarik beberapa helai tisu dari dashboard. Menekannya tepat di lubang hidungku. Seketika pandangan kami bertemu. Membuat degub jantungku berdetak tak menentu.Belum pernah aku berjarak sedekat ini dengan lelaki mana pun. Apalagi dengan Abang iparku sendiri. Aku buru-buru mengambil alih tisu dari tangannya dan memundurkan tubuh menjauh darinya.Kenapa Abang berhenti mendadak? Aku setengah berteriak karena tak tahan dengan rasa sakitnya. Kalau menabrak mobil orang bagaimana?Itu... Abang tidak melihat kalau lampu merah sedang menyala. Dia terlihat kikuk. Salah tingkah sembari mengusap tengkuknya.Aku hanya bisa mendesis.Tadi kamu bilang apa? Jatuh cinta? Dia kembali membahas ucapanku sesaat sebelum insiden.Iya. April jatuh cinta pada Dimas. Kenapa? Cemburu lagi? Abang norak! Aku membuang muka  ke arah jendela.Apa hebatnya ibu. Diperebutkan oleh calon dan mantan menantu.*Lho, kamu kenapa, Pril? tanya Bapak, begitu kami sampai di rumah. Bapak yang sedang duduk di teras bersama ibu terlihat lemas.Pak, lain kali kalau mencret kasi tahu April. Jangan sama Bang Akmal. Alih-alih menjawab, aku malah memarahinya.Memangnya kamu dokter? Ibu sewot membela suaminya.Bu. Anak SD juga tahu. Kalau mencret itu pergi ke warung, beli entrostop. Tidak perlu ke dokter! Aku mengentakkan kaki dan berjalan menuju kamar dengan kesal.Sial sekali aku hari ini. Terlihat kacau di hadapan Bang Akmal dengan tisu tersumbat di lubang hidung.*[Pril, Abang pesan kue tart. Tolong pilihkan, ya.] Bang Akmal mengirimkan pesan Whatsapp padaku.[Pakai ucapan, tidak?] Aku membalas dengan cepat.[Jangan datang lagi.]Aku tersenyum geli membaca isi pesan yang akan ditulis di atas kue tart pesanan Abang iparku itu. Ini untuk ke sekian kalinya dia memesan kue dari toko tempatku bekerja. Pasti untuk orang yang sama.[Kamu masuk pagi, kan? Tolong bawa sekalian, ya!]Seketika senyumku berubah kecut melihat tanda seru yang dia imbuhkan. Bukannya meminta tolong, malah memberi perintah seenaknya.Akhirnya aku mengundur waktu lagi untuk menghubungi Dimas. Berharap dia mengerti dengan apa yang aku hadapi saat ini.*Aku sampai di Rumah Sakit tempat Bang Akmal bekerja. Dulu kakakku pun juga bekerja di sini meski hanya sebagai dokter pemula. Rasa rindu kembali menyeruak kala mengingat binar mata Kak Mey yang terpancar saat membawaku ke tempat di mana dia bekerja. Lagi-lagi membuat mataku menghangat menahan perih.Aku berjalan menyusuri koridor yang panjang. Lalu tanpa sengaja melihat Bang Akmal berbincang akrab dengan seorang wanita yang aku kenal. Wanita yang kini memakai jas putih yang sama dengan Abang iparku.Ada sesuatu yang membuat hatiku merasa tak nyaman melihat keakraban kedua orang itu.April! Rupanya Bang Akmal melihatku. Lalu melambai agar aku mendekat ke depan ruangan yang dia tuliskan di pesan tadi. Kenapa lama sekali? Orangnya sudah pulang.Heh? Aku seperti baru tersadar dari pikiran yang bukan-bukan. Maaf, Bang. Tapi tadi kena macet. Aku merasa bersalah.April? Wah, sudah lama kita tidak bertemu, ya? Wanita yang membuatku merasa tak nyaman itu menyapa dengan sangat ramah. Sama seperti dulu dia selalu bertandang ke rumah bersama kakakku.I__iya, Kak Mel. Kak Mel apa kabar? Aku membalas sapaannya dengan senyum kaku.Alhamdulilah sehat. Sekarang Kakak juga bekerja di sini. Sayang, ya. Harusnya dari dulu Kakak di sini saat kakak kamu masih ada. Wanita yang rambutnya dikuncir ke belakang itu terlihat bersedih.Aku hanya bisa tersenyum sembari menelan ludah. Merasakan perasaan yang membuatku tak ingin bicara apa pun lagi padanya.Usai pamit pada wanita yang kupanggil Kak Mel, Bang Akmal mengajakku pergi. Katanya mau mengantarkan kue yang aku bawa, langsung ke rumah yang punya.Sejak kapan Abang dekat sama Kak Melani? Dengan muka masam aku bertanya hal yang sejak tadi mengganjal di hati ini.Bang Akmal masih fokus mengemudi. Lalu menoleh dan menyunggingkan senyum aneh kepadaku.Kenapa? Kamu cemburu?Heh, heh? Apa-apaan ini? Apa dia sedang mengejek dan membalas dendam padaku?                               ~~~ABANG IPARKU (11)Ish, Abang! Untuk apa April cemburu? April cuma bertanya. Sejak kapan Kak Mel bekerja di sana?  Aku memasang wajah cemberut.Bang Akmal tertawa kecil. Dia terlihat senang karena sudah berhasil membuatku salah tingkah.Belum lama. Baru satu bulan, sahutnya dengan santai.Bukannya dari sebelum Abang dan Kak Mey menikah, Kak Mel sudah pindah ke luar kota? Dia bahkan tidak hadir saat pemakaman Kak Mey. Aku menggerutu mengungkapkan isi hatiku.Hem. Bang Akmal membenarkan. Dia jadi relawan di pedalaman Kalimantan. Katanya di sana susah dapat jaringan. Hapenya baru bisa dihubungi kalau sedang di kota saja. Satu bulan setelah kakak kamu meninggal, dia baru mendengar berita. Bang Akmal menjelaskan dengan sangat detil. Meski bagiku terdengar tidak masuk akal.Sepertinya sekarang mereka memang cukup dekat, hingga bisa bertukar cerita sebanyak itu. Padahal setahuku Bang Akmal tidak terlalu akrab dengan teman-teman wanita kakakku.Teman macam itu? Mengucapkan belasungkawa  saja tidak. Aku masih merasa tidak nyaman dengan kehadiran dokter wanita itu.Jangan berburuk sangka seperti itu. Begitu mendengar kabar, dia langsung menghubungi Abang. Mengucapkan turut berduka cita dan merasa kehilangan. Kamu tahu sendiri kalau mereka itu bersahabat.Sahabat?Sahabat macam apa yang meninggalkan temannya sebelum acara pernikahan digelar. Seperti enggan mengucapkan selamat pada kakakku.Teringat pembicaraan Kak Mey dan Kak Mel yang tanpa sengaja aku dengar dari bilik kamar kontrakan kami dulu.Jangan pergi dulu ya, Mel. Kamu tahu sendiri pernikahanku akan diadakan sebentar lagi. Kamu sendiri yang bilang belum tahu kapan akan kembali. Kalau nanti kamu tidak bisa pulang, bagaimana? Kak Mey seperti memohon pada teman kuliahnya itu.Bukannya aku tidak mau, Mey. Tapi rombongan yang aku ikuti harus berangkat malam ini juga. Kak Mel menjawab dengan mimik wajah yang tak aku suka.Kenapa mendadak seperti ini? Kamu tidak pernah bilang sebelumnya.Kamu juga tidak bilang kalau Bang Akmal sudah melamar kamu. Tahu-tahu sudah mau menikah saja. Bukankah kamu bilang sudah menyerah karena keluarga Bang Akmal tidak suka sama kamu? Kenapa masih kamu terima?Iya. Tadinya memang seperti itu. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana Bang Akmal. Berapa kali pun aku berusaha untuk mundur, dia tetap memaksa dan berjanji akan meyakinkan Mamanya. Dan sekarang dia benar-benar membuktikan ucapannya. Tante Sonia dan kerabatnya sudah datang melamar pada orang tuaku.Aku yang mengintip dari balik tirai kamar bisa melihat dengan jelas raut wajah Kak Mel. Dia terlihat tidak senang dengan pernikahan kakakku.*Ayo turun! Suara Bang Akmal menyadarkanku dari lamunan. Belum sempat aku menjawab, pintu di sisinya telah terbuka. Sebentar saja dia sudah berada di luar sana.Dengan menenteng kantong berisi kue, aku mengikuti langkahnya. Berjalan melewati halaman luas menuju rumah mewah. Kami berdiri bersisian saat Bang Akmal berdiri di depan pintu sembari menekan bel.Tak berapa lama pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya sedikit terkejut, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kami.Dokter Akmal? Mari masuk. Wanita itu mempersilakan.Terima kasih, Tante. Maaf tadi tidak sempat mengantar Nenek. Saya sedang menangani pasien.Tidak apa-apa. Nenek pasti maklum kalau dokter juga sibuk. Dokter jadi repot-repot seperti ini. Wanita itu terdengar sungkan, lalu melemparkan senyum padaku. Ini....Dia adik ipar saya, Tante. April. Adiknya Mey.Wanita yang dipanggil Bang Akmal dengan sebutan Tante itu sejenak menatapku, kemudian kembali tersenyum.Benar-benar mirip, ucapnya, seolah sudah berpikir sebelum Bang Akmal memberitahunya.Saya bawakan kue tart pesanan Nenek. Bang Akmal sedikit berbisik, mimik wajahnya terlihat sedang menggoda lawan bicaranya.Wajah itu juga yang sering aku lihat saat dia bersikap mesra pada mendiang istrinya.Dokter ada-ada saja. Wanita itu memukul pelan bahu Bang Akmal. Masih saja mau menuruti permintaan Nenek. Sudah tahu dia tidak bisa memakannya.Tidak apa-apa, Tante. Membuat Nenek senang akan membantu kesehatannya cepat pulih. Nenek juga tidak akan berani melanggar pantangannya. Bang Akmal terdengar yakin.Benar. Paling yang kenyang ya kami-kami ini. Keduanya tertawa lepas.Mereka terlihat sangat akrab.Wanita yang memakai jilbab berwarna navy itu menuntun kami ke sebuah kamar. Terlihat seorang wanita tua sedang berbaring di atas ranjang besar.Dokter Akmal? Dokter Mey? Ah, kenapa baru datang? Nenek tua itu berusaha bangkit seskuat tenaga.Aku terpaku mendengarnya menyebut nama kakakku. Membuatku harus menoleh pada Bang Akmal.Ibu. Itu bukan dokter Mey. Tapi adiknya. Wanita yang menyambut kehadiran kami tadi menjelaskan.Lalu tiba-tiba saja orang tua itu menangis.Dokter Mey anak yang baik. Dia juga masih sangat muda. Kenapa dia harus pergi secepat itu. Harusnya si tua renta ini saja yang mati lebih dulu. Nenek tua itu kelihatan begitu bersedih.Aku merasa terharu dengan apa yang aku lihat. Begitu banyak orang yang mencintai kakakku. Hingga bukan hanya aku dan keluargaku yang merasa kehilangan.Nenek Hanum punya penyakit jantung. Sudah langganan masuk Rumah Sakit sejak dua tahun terakhir. Bang Akmal menjelaskan saat aku bertanya dalam perjalanan pulang.Aku mengangguk tanda mengerti.Bang Akmal lalu melirik arloji di pergelangan tangannya.Sudah malam. Abang lapar. Kita makan dulu, ya. Tadi Ibu mengirim pesan. Katanya tidak sempat masak untuk makan malam.Kan, kan. Ibuku mulai lagi. Dia pasti hanya beralasan agar aku dan Bang Akmal bisa berlama-lama berduaan. Memangnya pekerjaan apa yang membuat kedua orang itu tidak sempat memasak?*Hari ini hari liburku. Aku bersiap-siap hendak pergi. Ibu dan Bapak pun sudah kelihatan rapi.Harusnya tadi Akmal kita suruh masuk malam saja ya, Pak. Biar bisa ikut kita siang ini. Ibu merasa kecewa karena menantu kesayangannya tidak ikut serta.Iya, Bu. Padahal saat Mey masih ada, Akmal terus yang bayar kalau kita makan di luar. Bapak ikut-ikutan.Memangnya Bapak sama Ibu pernah nanam saham di Rumah Sakit tempat Bang Akmal bekerja? Seenaknya saja nyuruh-nyuruh orang. Aku mulai sewot tiap kali mereka mengelu-elukan menantunya di depanku. Seolah-olah menegaskan kalau di mana ada aku, Bang Akmal juga harus ada.Tak lama ponselku berdering, bersamaan dengan taksi online yang berhenti di depan pagar.*Buang-buang duit saja. Ongkos sekali jalan kok mahalnya minta ampun. Tahu begitu mending naik becak tadi. Ibu mengomel saat kami memasuki sebuah restoran.Jangan keras-keras, Bu. Malu didengar orang. Aku yang berjalan di samping Ibu setengah berbisik. Lagipula ini restoran mahal. Bisa-bisa becak Bapak kena tilang nanti sama Abang parkirnya.Ngarang! pekik ibu yang terdengar begitu kesal.Dari kejauhan terlihat seorang pria tersenyum dan melambai ke arah kami. Aku membalas lambaian tangannya, dengan senyum tak kalah lebar tentu saja.Aku langsung menggandeng tangan ibu menuju meja tempat pria itu menunggu kami.Saya Dimas, Tante, Om. Pria berkaca mata minus itu langsung memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan. Mau tak mau Ibu dan Bapak menyambutnya.Dimas lalu menempelkan punggung tangan Ibu ke keningnya, lalu melakukan hal yang sama pada Bapak.Ibu langsung melotot ke arahku.Apa-apaan ini, Pril? Suaranya seperti setengah berbisik dengan gigi merapat agar tidak terdengar jelas oleh Dimas.Aku hanya cengengesan melihat tampang ibu yang menakutkan.Aku dan Dimas memang sudah membuat janji malam tadi. Aku menghubunginya untuk memberi penjelasan, pernikahan yang diucapkan Bang Akmal tempo hari belum mendapat persetujuanku. Itu hanya keputusan sepihak yang diambil oleh Bang Akmal dan orang tuaku.Namun aku masih belum berterus terang tentang siapa calon suamiku. Takut Dimas akan merasa ilfil karena menganggap ada hubungan tak wajar antara aku dan iparku seperti yang dia tuduhkan waktu itu.Lagipula menikah dengan Abang ipar itu masih terdengar tabu. Meski boleh secara agama, tetap saja aneh di kalangan masyarakat. Bisa saja nantinya terdengar berita-berita tak sedap. Mengatakan kalau aku dan Bang Akmal sudah menjalin hubungan saat kakakku masih ada. Apalagi aku dan dia masih tinggal serumah hingga saat ini.Jadi kamu memilihku? tanya Dimas malam tadi.Aku langsung mengiyakan. Hingga membuat Dimas mantap untuk bertemu orang tuaku siang ini.Bapak dan Ibu hanyut dalam obrolan bersama Dimas. Hingga tanpa sadar hidangan di atas meja sudah tandas tanpa sisa. Dimas benar-benar pintar mengendalikan suasana. Hingga akhirnya dia mengutarakan tujuan utamanya.Jadi, Nak Dimas ini benar-benar serius sama April? Ibu yang sudah pasti merasa kenyang tampak terkejut.Benar, Tante. Saya menyukai April sejak pertemuan pertama. Saya pun sudah meminta restu pada orang tua saya. Jika Om dan Tante tidak keberatan, Mama dan Papa saya akan datang secepatnya.Ibu dan Bapak saling menoleh. Sementara aku memilih memandang wajah pria yang membuat hatiku saat ini dipenuhi oleh bunga yang berwarna-warni.Benar-benar paripurna calon suamiku itu.Bagaimana, Tante, Om. Kapan saya dan keluarga bisa datang melamar April?Oh, jadi seperti ini wanita yang akan dinikahi Bang Akmal? Ibu dan anak sama saja. Berapa banyak lagi pria yang mau kalian goda? Tunggu sampai Bang Akmal tahu siapa yang selama ini mati-matian dia bela. Gadis yang tiba-tiba muncul entah dari sudut mana itu langsung mengarahkan kamera ponsel ke arah kami.                                  ~~~   ABANG IPARKU (12)Mau apa kamu? Aku bertanya dengan nada ketus pada gadis yang mengataiku penjilat tempo hari.Risa terus saja mengambil video dengan senyumnya yang licik tanpa menghiraukan pertanyaanku. Tak lama adik bungsu Bang Akmal itu mengakhiri tindakannya, kemudian seperti mengutak-atik layar di ponselnya.Nak Risa. Jangan salah paham. Ini tidak seperti yang kamu lihat. Tolong jangan mengatakan yang bukan-bukan pada Akmal. Ibu memohon dengan wajah ketakutan.Salah paham? Senyum sinisnya diarahkan pada ibuku dengan mata menyipit. Di belakangnya ada beberapa gadis seusianya yang ikut menyaksikan kelakuan kurang ajarnya itu.Salah paham apa, Tante? Saya tidak buta. Apalagi tuli. Saya bisa melihat dan mendengar dengan jelas bahwa pria itu sedang melamar anak Tante. Sebenarnya bagus juga. Jadi Tante dan keluarga Tante bisa secepatnya pergi dari kehidupan Abang saya. Risa terlihat begitu percaya diri.Senyumnya tak berhenti sejak kemunculannya tadi. Merasa sedang memiliki berita gembira untuk disampaikan pada keluarganya.Risa melirik ke arah aku dan Dimas secara bergantian. Lalu pergi begitu saja meninggalkan kami yang kini terdiam dan menjadi perhatian semua orang.*Kamu ini! Ibu memukul bahuku dengan keras setelah sampai di rumah. Cari penyakit saja!Ibu terlihat geram sejak dari restoran tadi. Sepertinya dia ingin sekali mencabik-cabik tubuhku kalau tidak banyak orang yang mengarahkan pandangan pada kami.Bikin malu! Ibu tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya.Semua akan baik-baik saja kalau gadis gila itu tidak muncul, Bu. Aku mendesis sembari mengusap bahuku yang perih setelah dipukuli ibu. Ibu lihat sendiri kalau acara tadi begitu sempurna. Tinggal selangkah lagi, maka Dimas akan menjadi menantu Ibu.Menantu kepalamu! Ibu kembali memukulku di bagian tubuh yang sama. Membuat aku kembali mengaduh merasakan sakitnya.Kamu pikir Ibu akan menerimanya? Ingat April, kamu itu calon istri Akmal. Bisa-bisanya kamu mengkhianati Akmal seperti itu.Mengkhianati bagaimana, Bu? Kalau bukan karena Bang Akmal tidak sengaja mendengar ide konyol Ibu waktu itu, mungkin sampai hari ini dia tidak akan bernah berpikiran untuk menikah sama April.Melawan saja kerja kamu. Gara-gara tingkah kamu, keluarga Akmal akan semakin membenci kita. Bagaimana kalau Akmal terpengaruh dan berubah pikiran?Ya bagus dong. Ibu jadi tidak perlu berbesanan lagi dengan Tante Sonia. Ibu dengar sendiri tadi, kalau orang tua Dimas menerima April apa adanya. Apa Ibu tidak mau memiliki besan yang baik dan sayang sama anak perempuan Ibu?Ada saja alasan kamu. Apa kamu tidak memikirkan perasaan Akmal? Lagi-lagi ibu menunjukkan kegeramannya dengan memukuliku. Kali ini bertubi-tubi hingga aku harus lari dan bersembunyi di belakang Bapak.Sabar, Bu. Sabar. Bapak mencoba mengentikan dengan memegangi tangan wanita yang telah melahirkanku itu. Lalu mengusap-usap pundak istrinya.Sabar, sabar. Apa kurang sabar selama ini aku punya suami dan anak seperti kalian? Ibu mengempaskan tangan Bapak, lalu membuang muka.Aku hanya meringis sembari mengusap bagian-bagian tubuhku yang dipukul oleh ibu. Jika sedang marah, ibu benar-benar terlihat seram dan menakutkan. Tenaganya pun bertambah berkali-laki lipat. Biasanya menaikkan galon air mineral ke dipenser saja pun dia tidak kuat.*Sore harinya aku tersentak mendengar suara kegaduhan. Aku yang masih mengumpulkan nyawa karena baru saja terbangun dari tidur mencoba mencuri dengar suara apa gerangan dari luar kamarku.Aku langsung bangkit setelah mengenali suara siapa yang ada di sana. Lalu bergegas keluar dari kamar untuk bergabung dalam perdebatan yang aku dengar.Apa mau kalian sebenarnya dengan mempermainkan anak saya seperti ini? Tante Sonia kembali mengintimidasi Ibu. Sedang Bapak tidak kulihat ada di sana.Ibu merasa terpojok dengan Tante Sonia yang kali ini datang dengan anak laki-laki tertuanya.Risa pasti sudah mengadu tentang kejadian di restoran tadi. Begitu sampai, aku langsung berdiri di samping ibu untuk mendampinginya. Melihat pria dewasa yang mirip dengan Bang Akmal itu aku langsung mengangguk memberi salam.Setahuku, Bang Tama tidak seperti ibu dan adik perempuannya. Selama ini dia bersikap cukup baik dan tidak pernah memihak sana-sini. Namun kedatangannya kali ini membuatku sedikit ngeri. Bagaimana jika Tante Sonia mengajaknya ke sini untuk menyakiti kami. Malah Bapak tidak ada lagi. Kalau laki-laki berperawakan tinggi tegap itu memukul kami bagaimana?Aku mengeratkan pegangan pada lengan ibu.Untunglah Bang Tama membalas anggukanku. Meski dengan ekspresi datar, seolah sedang ikut marah atas tindakanku.Begini, Bu Sonia. Semua yang Risa lihat tadi hanya salah paham. Pemuda itu memang ingin melamar April sebagai istrinya. Tapi tentu saja kami menolaknya.Ibu! Aku marasa kesal karena ibu masih saja tidak tahu malu ingin melanjutkan pernikahanku dengan laki-laki pilihannya.Kalau sudah ada yang melamar, kenapa tidak dinikahkan saja? Jadi tidak perlu lagi membebani anak saya.Tapi, Bu. Akmal sudah setuju menikah sama April. Bu Sonia juga pasti sudah tahu kalau bulan depan pernikahan akan dilaksanakan. Berkas-berkas juga sudah dimasukkan. Tinggal menunggu prosesnya saja.Saya akan meminta Akmal membatalkannya. Kali ini Akmal berhak mendapatkan wanita yang sederajat. Setidaknya anak kamu dulu juga seorang dokter. Jadi walaupun miskin, masih bisa nyambung kalau dibawa bergaul dengan rekan-rekannya Akmal. La ini apa? Cuma penjaga toko yang bergaulnya dengan orang-orang pinggiran. Mau ditaruh di mana muka Akmal kalau sampai memiliki istri seperti itu?Tanpa sadar mataku terasa panas. Rasanya sakit sekali mendengar penghinaan yang diucapkan Tante Sonia. Meski aku tak mengharapkan pernikahan ini terjadi, tetap saja rasanya sakit mendapat penolakan dengan cara seperti itu.Inikah yang dirasakan oleh Kak Mey selama ini?Sudah, Ma. Tenang. Kita tunggu Akmal pulang. Tama sudah menghubunginya tadi. Kakak laki-laki Bang Akmal itu terlihat begitu dewasa dan tenang.Tak lama suara mobil Bang Akmal terdengar memasuki halaman. Dari pintu ruang tamu yang terbuka, kulihat Abang iparku masuk dengan tergesa.Aku menunduk saat pandangan Bang Akmal langsung tertuju padaku. Dia pasti sudah melihat video itu. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku pasrah pada apa yang terjadi.Mama dan Bang Tama pulang saja dulu. Masalah ini biar Akmal yang selesaikan!Begitu keputusannya yang membuat Tante Sonia ngamuk-ngamuk hingga Bang Tama harus membawanya pulang secara paksa.*Kamu benar-benar menyukai pria itu? Bang Akmal bertanya dengan lembut. Tak ada amarah pada nada bicaranya seperti yang aku takutkan.Abang iparku mengajakku berbicara empat mata di sofa ruang tamu di lantai dua.Aku diam tak bereaksi. Di satu sisi ada rasa bersalah yang membuatku tak sampai hati menjawabnya. Namun di sisi lain timbul rasa benci yang membuatku ingin sekali menunjukkan pada ibunya bahwa aku juga tak menginginkan laki-laki di hadapanku ini.Pril? Kenapa tidak menjawab? Kamu benar-benar yakin akan memilih pria itu ketimbang Abang? Bang Akmal mengulangi pertanyaannya. Membuatku mengangkat wajah untuk melihat raut wajahnya.Abang tidak marah? Aku balik bertanya.Dia yang duduk di seberang meja, tersenyum kecil.Harusnya sejak awal Abang tidak bersikap egois dengan memaksakan kehendak sama kamu. Abang lupa kalau sekarang kamu sudah tumbuh dewasa. Bukan lagi gadis remaja yang bisa diatur seenaknya. Abang mungkin masih berada dalam kehidupan kita, saat kakak kamu masih ada. Tanpa sadar kalau masa-masa itu sudah lama berlalu.Aku tertegun mendengar perkataannya. Mataku kembali menghangat mengingat masa-masa saat Kak Mey mengenalkan pacar barunya padaku. Calon dokter yang kini sudah ada di hadapanku.Mungkin Abang hanya belum bisa membayangkan bahwa suatu saat kita akan mulai hidup terpisah. Padahal jauh sebelum Abang menikah dengan kakak kamu, kita sudah hidup layaknya keluarga. Abang hanya belum sanggup menerima kalau kalian akan pergi dan memiliki hidup baru bersama orang lain. Laki-laki itu menekan pangkal hidungnya.Napasnya terdengar berat. Apa dia mencoba menahan air mata agar tak menangis?Ya, Allah. Apa perbuatanku kali ini telah menyakiti hari dari malaikat bagi keluargaku ini?Abang? Suaraku pelan memanggilnya.Bang Akmal mencoba tersenyum. Lalu mata itu menatapku sendu.Bawa calon suami kamu untuk makan malam bersama akhir pekan ini. Abang yang akan meyakinkan Ibu untuk merestui hubungan kalian.Abang?*Aku tak mengatakan apa pun pada ibu tentang pembicaraanku dengan Bang Akmal. Khawatir dia akan mencak-mencak dan kembali memukuliku. Wanita berusia empat puluh tujuh tahun itu lebih mendengarkan menantu kesayangannya daripada aku.Antarkan bekal itu untuk Abang kamu! Ibu menunjuk tas jinjing merek taperwer padaku.Untuk apa repot-repot, Bu? Seperti tidak ada saja yang menjual makanan di sana. Aku yang masih enak-enak tidur menggerutu karena dipaksa bangun oleh ibu.Padahal jam dua sore nanti aku baru masuk kerja.Menjawab saja kerjaanmu! Ibu kembali memukul bahuku. Sepertinya dia ketagihan melihat aku meringis kesakitan.Kamu harusnya berterima kasih sama Akmal. Sudah sukur dia tidak marah-marah sama kamu. Untung kita tidak diusir dari rumah ini gara-gara kamu berselingkuh di belakang dia.Selingkuh dari mana? Ibu tidak tahu saja kalau saat ini Bang Akmal sudah membebaskan aku. Tunggu saja sampai ibu mendengar kejutan saat makan malam nanti.Tadi malam Akmal minta dibuatkan nasi goreng untuk sarapan. Tahu-tahu dia harus berangkat pagi-pagi sekali sebelum Ibu menyiapkannya. Ini pertama kalinya dia memesan menu sejak kepergian kakak kamu. Ibu menjelaskan.Sudah sana! Baik-baik kamu sama calon suami. Ibu langsung mendorong tubuhku agar bergegas.Mau tak mau aku harus menuruti perintahnya.*Jangan ke mana-mana, Pak. April cuma sebentar. Aku memperingatkan, begitu becak Bapak berhenti di depan Rumah Sakit.Di sini saja. Jangan pindah-pindah. Nanti April susah mencarinya! Aku kembali mengingatkan untuk melampiaskan kekesalanku pada istrinya.Iya, Pril. Iya. Bapak menurut saja.Aku baru saja mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Bang Akmal. Memberitahukannya bahwa aku datang untuk memberikan bekal makanan. Belum  sempat aku mencari nomor kontaknya, seorang perawat yang pernah dikenalkan kak Mey padaku, menyapa.Cari Dokter Akmal ya, Pril? tanya suster berseragam putih itu.Eh, iya Sus. Aku menjawab sungkan.Tadi saya lihat Dokter Akmal lagi di kantin. Mungkin sekarang masih di sana.Aku mengucapkan terima kasih. Lalu berjalan menuju ke arah kantin yang ditunjukkan oleh suster tadi.Mataku berkeling melihat ke arah ruangan yang luas. Mencari keberadaan Abang iparku. Namun tiba-tiba saja ada yang berdenyut di hati ini. Melihat orang yang aku cari sedang asik menikmati makanan dengan dokter wanita yang berbincang akrab dengannya tempo hari.Aku berdiri terpaku. Lututku tiba-tiba saja gemetar melihat keakraban kedua orang itu. Entah apa yang terjadi padaku. Ada rasa yang membuat aku terusik melihat keduanya asik bercengkrama sambil tertawa.Seketika mata itu menoleh ke arahku. Membuat pandangan kami seketika bertemu. Aku yang merasakan amarah langsung berbalik pergi. Membawa kembali tas bekal yang aku bawa tadi.April? Ada apa kemari? Kenapa langsung pergi? Suara itu terdengar, bersamaan dengan sebuah tangan yang menarik lenganku agar mengentikan langkah.Kamu sama siapa? Bang Akmal memotong langkahku, hingga kini dia berdiri di hadapanku.Aku menatapnya penuh kekecewaan. Merasakan sesak yang tiba-tiba datang menyerang.Jadi, karena ada Kak Mel, Abang bersedia mundur dan membatalkan pernikahan kita? Entah sebab apa aku melontarkan pertanyaan yang membuat dahi Bang Akmal seketika mengernyit.                                    ~~~    ABANG IPARKU (13)Maksud kamu apa? Bang Akmal menatapku heran.Ada hubungan apa Abang sama Kak Mel? Aku mengulang pertanyaan yang sama.Hubungan apa? Dia dokter baru di sini. Kebetulan kami saling kenal. Itu saja.Bohong! Abang terlihat mesra dengannya.Bang Akmal tertawa kecil.Lihat. Siapa sekarang yang sedang cemburu. Bang Akmal mulai meledekku. Membuat aku gelagapan karena tuduhannya.Cemburu? Siapa yang cemburu? Aku mulai salah tingkah. April hanya tidak suka Abang melupakan Kak Mey begitu saja. Akhirnya aku menemukan alasan yang lebih masuk akal.Bang Akmal sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tinggi tubuh kami. Lalu mendekatkan wajahnya ke arahku. Seketika pandangan kami bertemu.Benar hanya karena itu? Dia kembali menggodaku. Senyum manisnya membuat jantungku berdegub tak menentu.Ish, Abang! Aku langsung mendorong dadanya. Membuat dia bergerak mundur, kemudian tertawa.Pipi kamu merah, tuh. Lagi-lagi ucapannya membuatku serba salah. Aku langsung membalikkan tubuh agar dia tak bisa melihat wajahku.Apa benar wajahku kini memerah seperti apa yang dia bilang?Suara tawanya kembali terdengar. Membuatku berdecak kesal karena merasa terjebak dengan kelakuannya. Ternyata benar apa yang Kak Mey ceritakan padaku. Bahwa kekasih hatinya itu punya sifat usil yang membuat kakakku sering tersipu malu.Hanya saja selama ini aku tak pernah melihatnya secara langsung. Abang iparku itu selalu saja bersikap dewasa dan kaku jika berhadapan denganku.Apa yang kamu bawa? Mau tak mau aku kembali  membalikkan badan dan bertatapan dengannya.Nasi goreng. Tapi sepertinya Abang sudah kenyang makan Kak Mel. Aku memasang wajah cemberut.Makan Kak Mel? Kamu pikir Abang dokter kanibal? Lagi-lagi dia tergelak. Tawanya terlihat lepas. Padahal sejak tiga bulan terakhir ini, dia selalu saja terlihat murung.Aku kembali berdecak.Maksud April makan sama Kak Mel. Aku meralat ucapanku sambil menekuk wajah.Kemarikan! Nanti Abang makan. Terima kasih, ya.  Tanpa meminta persetujuan, Bang Akmal langsung meraih taperwer yang aku bawa.Aku hanya mengangguk.Kamu jadi repot-repot bangun pagi seperti ini. Itu artinya kamu sudah mulai siap menjadi seorang istri.Aku terkesiap mendengar ucapannya.Menjadi istri? Entah kenapa ada rasa bahagia mengalir di hati ini. Apalagi melihat senyum di wajahnya pagi ini.Pria itu pasti merasa beruntung menikah sama kamu, lanjutnya lagi. Membuat perasaan bahagia tadi tiba-tiba berhenti sendiri.Jadi, dia sedang membicarakan tentang aku dan Dimas?Sudah, pulang sana! Abang harus bertugas. Dia melirik arloji di tangannya. Sampaikan terima kasih Abang sama Ibu. Kalau tidak merepotkan, Abang ingin makan soto paru malam ini.Aku terdiam, lalu kembali mengangguk tanda mengerti.*Entah kenapa sejak melihat kedekatan Bang Akmal dan Kak Mel membuat perasaanku menjadi tidak enak. Ada sesuatu yang membuat hatiku mendadak sunyi. Seperti takut kehilangan sesosok yang selama ini begitu dekat. Takut jika secara perlahan perhatiannya pada kami teralihkan oleh dokter wanita yang masih mengaku sebagai sahabat kakakku itu.Mungkin seperti inilah perasaan Ibu. Hanya saja aku belum sepeka itu menyadarinya. Benarkah kelak Bang Akmal akan mengabaikan, bahkan melupakan kami sebagai keluarganya? Ataukah sekarang hatinya sudah mulai berpaling?Bagaimana pun juga, Kak Mel terlihat sempurna sebagai wanita. Cantik, muda, punya karir yang bagus, bahkan dia terlahir dari keluarga kaya. Sangat pantas dan cocok mendampingi Bang Akmal sebagai istri barunya.Dan lagi-lagi itu mengusik pikiranku.Dih, melamun. Aku tersentak saat merasakan bahuku didorong oleh Alin.Siapa yang melamun? Aku berkilah, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku menempel bandrol harga pada bungkus roti tawar.Jangan khawatir, Pril. Ibu kamu pasti setuju kalau kamu menikah sama Dimas. Mana bisa Ibu kamu menolak keinginan menantu gantengnya itu. Alin terkikik geli setelah tahu pembicaraanku dengan Bang Akmal waktu itu.Ada baiknya juga saat itu anaknya mak lampir mergoki kalian. Kalau tidak, mungkin saat ini kamu masih terjebak dengan perjodohan sama Abang ipar kamu itu.Aku menghela napas. Kini aku yang mulai ragu. Apakah Dimas adalah pria yang benar-benar aku inginkan sebagai jodohku.*Malam ini aku dan kedua orang tuaku sudah bersiap-siap untuk pergi. Sebuah restoran sudah dipesan Bang Akmal untuk pertemuan kami malam ini. Aku kembali memesan taksi online karena Bang Akmal masih di Rumah Sakit dan akan menyusul setelah selesai bertugas.Sudah lama juga kita tidak makan malam di luar seperti ini, ya? Ibu senang sekali karena Akmal sudah kembali seperti dulu. Biasanya dia selalu saja mengurung diri di dalam kamar. Syukurlah dia mulai bisa menerima kepergian istrinya. Ibu tidak sampai hati melihat dia terus-terusan bersedih seperti itu. Ibu yakin, Mey akan tenang di sana melihat suaminya sudah kembali seperti semula. Ibu mengoceh sepanjang jalan.Inikan berkat April juga, ya, Bu. Akmal jadi punya semangat hidup lagi karena April akan menjadi istrinya. Bapak yang duduk di samping sopir ikut-ikutan memberi pendapatnya.Betul itu, Pak. Akhir-akhir ini Akmal juga sering tersenyum. Bahkan Bapak juga dengar sendiri dia terkadang tertawa. Sepertinya suasana hatinya mulai bahagia.Deg!Jantungku seakan berhenti berdetak. Perasaan bahagia kedua orang tuaku sama sekali tak berlaku bagiku. Rasa nyeri di hati kembali menghampiri.Andai Ibu dan Bapak tahu, Kak Melani lah yang membuatnya menjadi seperti itu. Bukan aku.*Kami sampai di sebuah restoran. Seorang pelayan membawa kami ke meja yang sudah dipesan Bang Akmal sebelumnya. Kami duduk menunggu di ruangan outdoor. Menikmati angin malam sembari menanti Bang Akmal yang sedang dalam perjalanan.Aku pun turut menantikan kehadirannya. Seperti merasa tak sabar ingin cepat-cepat bertemu. Aneh sekali. Padahal kami masih tinggal dalam satu rumah. Namun rasanya sudah berhari-hari tak bertemu.Nah, itu Akmal. Bapak yang duduk bersisian dengan Ibu di hadapanku, memberi kabar.Tanpa sadar senyumku tersungging. Lalu bergegas menoleh ke belakang. Lalu senyumku tadi mendadak hilang. Lagi-lagi karena alasan yang sama.Ibu langsung berdiri begitu melihat wanita yang berjalan di sisi Bang Akmal. Merasa tak percaya hingga matanya berkaca-kaca.Nak Melani, kan? Ibu langsung mengenali Kak Mel sebagai sahabat putri sulungnya.Iya, Tante. Ini Mel. Dokter muda itu langsung meraih tangan Ibu. Kemudian keduanya saling berpelukan dengan begitu erat.Tentu saja disertai tangis haru.Mey, Mel. Mey. Dia sudah tidak ada. Ibu seperti meraung memberi tahu.Iya, Bu. Maaf kalau baru sekarang Mel bisa menemui Ibu. Kak Mel terdengar begitu terpukul dan merasa menyesal.Aku mendongak memandang wajah tirus Bang Akmal yang masih berdiri. Matanya juga terlihat memerah menahan haru.Sedangkan aku?Ya. Mataku juga mulai berkaca-kaca. Tapi karena merasakan sesak melihat Bang Akmal membawa wanita lain di hadapanku.Kenapa Kak Mel bisa datang bersamanya.Apakah hubungan mereka sudah sedekat itu, hingga dia harus membawanya langsung ke hadapan Bapak dan Ibu. Lalu, seenaknya saja mereka merusak malam bahagiaku?                                  ~~~Bersambung….                         
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan