ANAK ORANG KAYA ( TAMAT)

7
1
Terkunci
Deskripsi

ANAK ORANG KAYA (1)

"Tinggalkan Daryan! Seratus juta itu jadi milikmu." Wanita paruh baya bergaya elegan itu menunjuk amplop coklat di atas meja dengan dagunya.

"Ma--maaf, aku tidak mangerti maksud anda," jawabku dengan suara gugup.

"Ucapanku cukup jelas. Putraku hanya sedang tersesat hingga jatuh cinta pada gadis sepertimu. Saat dia sadar nanti, dia pasti akan segera meninggalkanmu begitu saja."

Aku terdiam. Ucapannya terasa begitu merendahkan harga diriku.

"Kalau anda berpikir seperti itu, kenapa malah...

50,312 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
450
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya LUKA DI HATI DAYANG ( TAMAT)
7
2
LUKA DI HATI DAYANG (1)Diam!Terdengar kembali suara teriakan dari arah depan rumah, setelah sebelumnya bunyi alat-alat dapur yang berjatuhan seperti terlempar atau sengaja dihempaskan. Aku dan Ibu saling memandang, kemudian masing-masing merengut dalam diam.Hampir lima belas menit berlalu, hingga suara gaduh sudah tak lagi terdengar. Aku kembali menoleh ke arah Ibu, menunggu aba-aba selanjutnya.Aku berjalan pelan melongok ke pintu dapur yang berhadapan langsung dengan halaman depan rumahku. Kulihat wanita dengan perut yang kian membulat itu tengah terduduk di sudut dapur sambil menangis.Bang Surya sudah pergi, Kak? Aku mendekat dan memegang bahunya. Dia mendongak melihatku, kemudian mengangguk.Kupunguti beberapa barang yang berserakan seadanya dan menyusunnya kembali ke rak piring mungil yang terbuat dari plastik. Wanita dengan rambut yang digulung ke atas seperti sanggul itu masih juga menangis sambil mengelus-elus perutnya.Maaf, karena selalu merepotkan, ujarnya sambil menyapu air mata.Kakak bicara apa? Ayo ke rumah. Makanlah dulu. Ini sudah lewat tengah hari. Dia masih diam tak beranjak.Ah, sudahlah. Kakak di sini saja. Biar nanti kuantarkan. Aku beranjak keluar dan kembali ke rumah..Kuamati cara dia melahap makanan yang kubawa tadi. Mengunyah dengan terpaksa tanpa selera. Mungkin hanya memikirkan janin yang kini tengah bersemayam di rahimnya saja. Andaipun tak ada, mungkinlah nasi dengan tumis kangkung dan ikan gembung goreng itu tak akan sudi disentuhnya.Sejak pengantin baru, pasangan itu sudah menempati rumah yang sudah lama kosong yang terletak di depan rumahku. Rumah yang tidak lebih baik dari kondisi rumah yang kutempati bersama Ibu saat ini. Tempat tinggal hanya berdinding papan dengan atap seng yang sudah bocor di beberapa bagian.Sejak awal menikah, kulihat mereka hidup rukun dan bahagia. Pekerjaan suaminya yang hanya menderes getah di kebun milik salah seorang warga, tak jadi penghalang untuk mereka saling tertawa saat sedang makan meski dengan lauk yang sederhana.Namun, semuanya hanya berjalan sesingkat itu. Wanita berusia tiga puluhan itu tak lagi merasakan kebahagiaan. Apalagi sejak mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung. Bukannya malah giat bekerja, suaminya malah lebih sering keluar rumah hingga larut malam dan mengabaikan istrinya begitu saja.Pertengkaran demi pertengkaran terdengar hingga ke luar rumah. Aku dan Ibulah saksi dari perjalanan rumah tangga mereka yang kacau balau entah karena sebab apa. Hingga kini, Kak Alma masih enggan untuk menjelaskan.Terima kasih ya, Dayang, ucapnya sambil mengelap mulut dengan punggung tangannya.Iya, Kak, jawabku sembari tersenyum. Kenapa lagi? tanyaku seperti biasanya.Bang Surya mengamuk karena tak ada makanan. Uang yang dia berikan kemarin diambil lagi. Memangnya mau belanja dengan apa?Kakak tahu tidak? Kata orang, Bang Surya itu... Kakak tahu! selanya. Sejak awal Kakak juga sudah curiga. Hanya saja, laki-laki itu pintar menutupinya.Aku terdiam. Kak Alma menyebut suaminya dengan kata 'laki-laki itu'. Apakah dia tak lagi mencintainya, hingga mulai enggan untuk mengakui bahwa itu adalah ayah dari anaknya.Aku pulang dulu, nanti malam kubawakan lagi lauk buat Kakak.Aku beranjak meninggalkannya sendiri dengan membawa mangkuk kosong yang isinya sudah dihabiskan oleh tetanggaku itu..Aku tersentak pada tengah malam. Bergegas keluar kamar saat mendengar kembali suara gaduh rumah mereka. Aku berdiri di depan pintu kamar, berpapasan dengan Ibu yang juga melakukan hal serupa.Mereka bertengkar lagi, Bu. Aku memandangi Ibu yang sedang memegangi dadanya.Ibu memang memiliki riwayat penyakit jantung. Saat ini pun masih dalam tahap berobat jalan. Dadanya sering sesak jika mendengar hal-hal yang mengejutkan. Seperti saat ini misalnya.Pertengkaran suami istri itu semakin tidak karuan saja. Bahkan terdengar suara bantingan pintu yang teramat keras. Kupikir suaranya dari arah depan. Bang Surya pasti kembali pergi meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua itu.Tolong ambilkan Ibu air hangat, Day. Ibu terduduk mengeluarkan sedikit keringat di dahinya. Aku pun menurut dan langsung mengerjakannya.Ibu meneguk air hingga habis setengah. Bertambah pulalah keringat hingga membasahi daster lusuhnya.Kembalilah ke kamar, perintah Ibu.Bagaimana dengan Kak Alma, Bu?Besok saja. Malam sudah larut. Dia pasti malu kalau kau langsung datang saat ini. .Pagi-pagi sekali, aku bergegas ke rumahnya lagi setelah memastikan laki-laki garang itu tak ada di dalam. Pintu dapur yang sudah lapuk itu ku ketuk pelan.Aku terkejut sesaat pintu terbuka. Wajah Kak Alma bengkak dan membiru. Matanya terihat sembab, terlihat jelas meski kini dia sedang menunduk.Sejak kapan Bang Surya berani memukul Kakak? Aku memegangi tangannya.Baru kali ini. Air matanya mengalir begitu saja.Karena tak ada makanan? Aku menebak. Dia menggeleng.Lalu?Dia memaksa meminta cincin kawin yang sudah kusembunyikan. Itu sangat menyakitkan, Dayang.Aku tak tahu bagaimana lagi cara menenangkannya. Mau ikut campurpun jelas aku tak bisa. Menikah saja belum, bagaimana caranya aku bisa memberikan nasihat dan juga jalan keluar.Dayang?Iya, Kak?Bisakah kau membantuku? Dia menatapku dengan pandangan teduh.Apa?Pinjamkan aku uang. Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku.Aku terdiam. Selama ini aku tak pernah bertanya tentang keluarganya. Yang kutahu, dia hanya mengikuti suaminya untuk pergi merantau. Dia dan suaminya bukanlah penduduk asli kampung ini. Keduanya merupakan pendatang yang hanya bergaul dengan kami saja.U.. uang? Aku tergagap mendengarnya. Aku tak punya. Aku berbohong, meski ada sedikit perasaan tak enak di hatiku.Tolonglah, Dayang. Aku sudah tak sanggup. Aku harus pergi dari sini. Dia mulai terlihat gusar.Aku hanya punya sedikit simpanan, Kak. Itupun untuk menyambung obat herbal Ibu minggu depan. Kakak kan tahu sendiri, penghasilanku hanya dari menjual jajanan buat anak sekolah. Untungnya pun tipis sekali, hanya cukup untuk belanja modal dan makan saja.Aku janji akan segera menggantinya. Dia terlihat makin berambisi. Setelah sampai di rumah, aku akan langsung mentransfer uang yang kupinjam.Transfer? Aku bahkan tidak punya rekening apapun di Bank. Mau mentransfer kemana? Lagipula, aku tak tahu pasti bagaimana sebenarnya perangai tetanggaku ini. Meski setahun ini, hampir setiap saat kami selalu bersama. Entah dia yang bertandang ke rumah, ataukah aku yang datang untuk sekedar bercakap-cakap.Aku selalu bercerita apa saja padanya, tapi tidak dengannya. Dia hanya menjadi pendengar yang baik dan selalu tersenyum kepadaku. Selalu merahasiakan asal-usul dia dan suaminya. Itu pulalah yang membuatku ragu untuk saat ini.Bagaimana jika dia bermaksud menipu dan membawa kabur semua uangku yang tidak seberapa itu. Tidakkah itu akan sangat berbahaya akan kesehatan Ibu?Dayang? Aku tersadar dari lamunan saat dia mengguncang bahuku. Bisa, kan?Tapi, Kak. Kenapa tak menghubungi keluarga Kakak saja untuk menjemput? Aku akan mengisi pulsa jika Kakak ingin menelpon.Ini terlalu sulit, Dayang. Aku harus pulang dan bertemu langsung dengan mereka. Aku tertunduk diam. Bingung harus bersikap bagaimana.Begini saja, aku akan kembali ke sini untuk mengembalikan uangmu. Tidak sampai satu minggu. Aku akan segera memberikan kembali uang untuk menebus obat Ibu. Kau percaya padaku, kan?Apa aku punya pilihan lain? Mana mungkin aku menyuruhnya meminjam dari tetangga lain, aku yang begitu dekat pun hampir tak percaya dengan apa yang dikatakannya.Pegang janjiku, Dayang. Sebelum satu minggu, aku sudah akan sampai di sini. Dia begitu ambisius dan tidak sabaran.Kak, aku....Tolonglah, aku harus pergi sekarang juga. Sebelum dia pulang tengah hari dan kembali menyakitiku.Melihat tatapan itu, aku menjadi iba. Rasa ragu yang tadi sempat menerpa, kutepiskan sudah. Uang yang terkumpul hanya seribu dua ribu perharinya akan kupertaruhkan begitu saja. Semoga tak terjadi apa-apa sampai Ibu mendapatkan obatnya..Aku mengayuh sepeda mini hingga sampai ke ujung jalan, bersama Kak Alma dengan perut gendutnya bertengger di boncengan. Kami menyeberangi jalan besar menunggu minibus yang lewat.Jarak ke kota itu tak begitu jauh, hanya memakan waktu tiga jam perjalanan saja. Namun, begitupun populernya Ibukota Sumatera Utara itu, tetap tak pernah membuat aku yang udik dan kampungan ini menginjakkan kaki di sana. Sekalipun.Aku menghentikan sebuah kendaraan dan mengantar wanita itu hingga masuk melewati pintunya. Lalu melambaikan tangan sambil menatap matanya yang terlihat berkaca-kaca. Masih sempat kubaca bahasa bibirnya dari balik jendela tunggu aku sambil menepuk dadanya sendiri. Luruhlah sudah air mataku. Entah karena perpisahan ini, ataukah karena merelakan uang untuk menyambung obat Ibu. Aku terduduk lemas di dipan kayu teras rumah yang masih beralaskan tanah. Bersandar pada dinding papan yang sudah banyak dimakan oleh rayap. Mengamati steling mie sop dan gorengan yang mejanya pun sudah tak lagi rata.Sudah, jangan dipikirkan. Dia pasti kembali. Ibu berusaha menenangkanku.Aku hanya diam tak menjawab apa pun. Kupandangi dapur mereka yang kini terasa sunyi. Bayangan menjaga dan merawat bayinya yang selama ini kami khayalkan musnah sudah. Tak mungkin dia akan kembali pada suami yang telah menyakiti tubuh dan juga hatinya.                        ***************Satu dua hari berlalu. Aku yang sedari pagi melayani pembeli yang sedang istirahat selalu memanjangkan leher, menghadap ke badan jalan. Berharap Kak Alma muncul membawa uangku yang tidak sampai tiga ratus ribu.Rumahku terletak tepat di samping sekolah dasar. Kampung Besitang yang sarat akan tanahnya yang berbukit-bukit dan naik turun. Sekolah SD tersebut berada di atas, sedangkan rumahku dan rumah Kak Alma berada di bawahnya dengan tanah yang sejajar.Dalam hati mulai mengeluh. Sebelum satu minggu, bisa saja diartikan sebagai dua atau tiga hari. Berapalah jauh jaraknya dari Besitang ke Medan, hingga harus menunggu berhari-hari jika masih berniat mengembalikan uangku.Hingga di hari ke sepuluh, Kak Alma juga tak muncul. Aku merutuki diri sendiri. Begitu bodohnya hingga percaya saja dan mempertaruhkan pengobatan Ibu demi dia yang mungkin juga kabur bersama suaminya.Sejak kepergian wanita itu, suaminya tak terlihat mencari-cari. Hingga pergilah juga dia tanpa permisi dari kampung ini. Rumah itu sekarang benar-benar kosong tak berpenghuni.Sampai hati mereka menipu dan melarikan uang aku dan Ibu yang kerap memberi mereka makan karena kasihan. Sama sekali tidak memiliki hati nurani..Sudah, Day. Ikhlaskan saja, bujuk Ibu. Obat itu sama sekali tidak berguna. Tak ada pengaruhnya pada penyakit Ibu.Kalau tidak cocok, kan bisa cari produk lain, Bu. Yang penting uangnya masih ada. Kalau begini, mungkinlah hanya bisa membeli balsem saja, gerutuku.Semua sudah ada yang mengatur. Kalau kenyataannya uang itu bukan lagi milik kita lagi, mau bilang apa?Kak Alma tega. Sifat baiknya selama ini ternyata palsu. Demi suami pecandu dan penjudi itu, dia rela merampok kita seperti ini. Entah mau kemana lagi mereka pindah dan mencari korban barunya.Jangan terlalu berpikiran buruk seperti itu, Dayang. Tidak baik. Bisa jadi orang yang kau maki habis-habisan itu, adalah orang yang kelak  membawa kebahagiaan buat kau ke depannya.Bahagia? Cih! Dia bahkan memilih laki-laki yang jauh dari kata bahagia. Hidupnya pun juga sengsara..Bulanpun telah berganti. Namun tanda-tanda kemunculan Kak Alma sudah jauh dari angan-angan. Aku sudah mengikhlaskan semuanya. Tak ingin lagi berharap dengan dia yang tak mungkin kembali.Hanya saja, aku kembali harus mengumpulkan uang demi bisa membelikan Ibu obat herbal yang katanya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit itu.Aku kembali mengayuh sepeda dengan kotak kardus berisi belanjaan yang kubeli di grosir ujung jalan. Sampai Wak Yus berteriak dan mencegatku di tengah jalan.Ada apa, Wak? Kuhentikan dayunganku sembari mengernyit melihatnya ngos-ngosan mengatur napas.Ibu kau. Ibu kau, Dayang.Ibu kenapa, Wak? Jantungku seketika berdegup tak lagi beraturan.Ibu kau di bawa ke puskesmas.Kukayuh kembali sepeda dengan sekuat tenaga.  Tak kurasakan lagi beban berat yang masih terikat tali di bangku belakang. Air mata tak berhenti mengalir mendengar penuturan tetanggaku tadi.Ibuku terjatuh dan terperosok ke bawah. Mungkin tergelincir saat menjemur pakaian. Ibu tak sadarkan diri saat tetangga di bawah bukit menemukannya. Ada yang begitu sesak di dada ini. Bayangan buruk telah berkecamuk di hati dan pikiranku.Begitu perih jika mengingat Ibulah satu-satunya keluarga yang aku kenal selama ini. Bapak telah pergi menghadap sang pencipta sejak aku berusia delapan tahun. Tak ada lagi sanak saudara di kampung ini, karena nyatanya Bapak dan Ibu juga perantauan dari luar daerah.Setelah mengayuh sepeda dengan berpeluh dan air mata aku langsung berlari dan menjumpai Pak Rusli selaku kepala lingkungan dan beberapa warga lainnya yang mungkin turut membantu membawa Ibuku ke puskesmas ini.Andaipun Ibu harus di rujuk ke rumah sakit besar, aku bisa dengan cepat mengurus surat-surat BPJS kesehatannya. Namun pandangan mereka menaruh rasa yang begitu Iba padaku. Seolah-olah hal itu tak perlu lagi kulakukan. Sampai Bu Santi_istri Pak Kepling_ memelukku dengan sangat erat sambil mengusap bahuku.Kau harus Ikhlas, Dayang.Seketika tangisku pecah. Tak tahu lagi seperti apa duniaku saat ini. Kenapa Ibu bisa pergi begitu saja meninggalkanku seorang diri. Kenapa Ibu bisa serapuh ini, hingga sampai terjatuh dan tak mau bangun lagi.Sekelabat bayangan tiba-tiba muncul di kepalaku. Andai aku tak menghentikan pengobatan Ibu, akankah dia masih tetap hidup sampai saat ini?Tiba-tiba saja suasana terasa gelap, pelukan Bu Santi tak dapat lagi kurasa. Hingga hilanglah segala kesadaran dan semua yang aku pikirkan tadi.                             *************LUKA DI HATI DAYANG (2)Empat hari sudah sejak kepergian Ibu. Hari-hari hanya kuhabiskan untuk menangis di dalam kamar saja. Belum mampu menerima kenyataan bahwa kini, aku hanya hidup sebatang kara.Malam tadi adalah malam terakhir tahlilan yang diadakan para tetangga untuk mendoakan Ibu. Entah nanti yang ke tujuh atau empat puluh. Beberapa warga masih sering berdatangan untuk sekedar melihat keadaanku, bahkan terkadang mengajak anaknya untuk menginap dan menemaniku kala malam datang.Jualan lagi ya, Dayang? bujuk Wak Yus. Anak sekolah sudah lama tidak menikmati gorengan kau.Benar, Dayang. Bu Santi ikut menimpali. Biar kau ada kegiatan juga. Tidak baik sering-sering melamun seperti ini. Wanita paruh baya itu mengusap rambutku.Kau tidak punya saudara lain lagi, Day? Wak Yus kembali bertanya. Aku menggeleng.Kenapa, Wak? sahutku pelan.Kami khawatir kalau anak gadis sepertimu tinggal sendirian. Kau tahu sendiri di kampung kita ini banyak pemuda-pemuda yang sering tak sadar diri, keluhnya. Aku hanya tertunduk diam.Benar saja, rumah peninggalan Almarhum Bapak ini memang sudah sangat tua. Sekali dobrak saja, maka pintu dan jendela dengan mudah akan terbuka. Hal ini juga baru terpikirkan olehku.Bagaimana jika para lelaki yang sering minum dan memakai obat-obatan terlarang itu, tanpa sadar masuk dan melakukan hal yang tidak-tidak terhadapku. Dulu, masih ada Ibu yang masih mereka hormati. Tapi sekarang?. Aku mulai kembali beraktivitas. Mulai membenahi rumah dan merapikan kamar Ibu. Tak banyak yang bisa dipakai. Baju-baju Ibu pun tak begitu bagus dan layak dibagi-bagikan. Hanya beberapa kain sarung saja yang aku berikan untuk tetangga di belakang dan juga samping rumahku.Selebihnya, kubungkus saja dalam gulungan kain, untuk kemudian aku bakar karena sudah tak layak pakai. Menyimpannya pun percuma, hanya membuatku semakin bersedih mengingat saat Ibu tengah memakainya.Itu juga yang Ibu lakukan dulu terhadap barang-barang Almarhum Bapak. Ibu selalu menangis saat melihatnya masih tersusun rapi di lemari, hingga harus jauh-jauh memindahkannya dan memberikan bagi mereka yang masih layak untuk dipakai.Terdengar suara ketukan dari arah pintu depan, diiringi suara salam. Aku yang masih terduduk di ranjang Ibu sembari melipat kain, beranjak turun dan menuju ke sumber suara.Mataku terpaku saat pintu baru saja kubuka. Seketika mata ini menghangat dengan dada yang bergemuruh. Kulihat dia dengan penampilan yang sangat jauh berbeda, dengan laki-laki yang juga kini berbeda berdiri di sebelahnya.Kak Alma? Aku menyapa seadanya. Merasa tak percaya kalau dia masih akan datang ke tempat ini.Ini aku bawakan obat herbal untuk Ibu. Dia tersenyum sembari mengangkat papperbag yang sedari tadi di pegangnya.Seketika rasa marah timbul di hatiku. Luka yang baru saja beranjak sembuh, kini tertoreh kembali. Isi kepalaku masih saja berpikir, seandainya aku tak memberikan uang itu, seandainya kuberi Ibu obat itu. Lalu di sisi lain otakku kembali menyalahkan diri sendiri.Seandainya aku tak pergi belanja waktu itu, seandainya kujemurkan dulu pakaian itu, dan banyak lagi seandainya-seandainya yang lain. Lalu tiba-tiba, lolos saja air mata ini tanpa bisa diperintah atau ditahan.Kupalingkan wajah agar tak terlihat cengeng dan menyalahkannya. Lalu kuabaikan begitu saja bingkisan yang kini tersodor di hadapanku, kemudian kembali masuk ke dalam.Kau marah padaku, Dayang? Dia mengikuti dari belakang, menyusul juga pria yang dari tadi bersamanya dan duduk di kursi reyot ruang tamu.Untuk apa aku marah? Uang itu tak berarti banyak. Bisa dilupakan begitu saja, ketusku. Kulirik wajah pria itu memandang dengan tatapan tak suka. Mungkin merasa keberatan karena aku bersikap tidak sopan pada wanitanya.Maafkan aku. Tadinya aku ingin langsung datang sesuai janjiku padamu. Namun, begitu sampai di sana, terjadi masalah dengan kandunganku. Saat itu juga aku harus melahirkan dengan jalan operasi. Kau tahu? Sehabis melahirkan, aku tak bisa bergerak dan pergi ke mana-mana. Untuk menghubungimu pun aku lupa meminta nomornya. Kau jangan marah lagi, ya?Kutatap wajahnya dengan emosi yang mulai mereda. Memandangi perutnya yang kini terlihat rata. Rambutnya yang dulu disanggul tinggi, kini tergerai lurus panjang sebahu. Sungguh kehidupannya jauh lebih baik setelah menukar suaminya dengan laki-laki lain.Mana anak Kakak? Sehatkah? Hatiku mulai melunak mendengar sudah lahir bayi yang kami nanti-nantikan itu.Rangga sangat sehat. Hanya saja, masih terlalu kecil untuk dibawa dalam perjalanan jauh.Rangga?Hmm..., kau ingat? Aku tertunduk malu, kemudian menarik sudut bibirku.Pernah waktu itu aku bercerita padanya. Bahwa aku menyukai seorang laki-laki bernama Rangga. Selalu saja membeli jajanan di rumahku. Dia murid paling pintar di sekolah. Kami pernah satu SD hingga SMP.Perasaanku yang hanya bisa kupendam dalam hati, membuatku tak punya kuasa untuk bertanya. Kenapa dia pindah ke luar kota, dan di kota mana kini dia tinggal. Lalu kukatakan pada wanita yang kini tengah duduk di sampingku ini, bila mungkin anaknya laki-laki, berilah nama itu. Agar aku bisa menyebut dan kerap memanggil namanya hingga puas.Ibu mana? Dia kembali mengalihkan pembicaraan. Mungkin sadar kalau aku sudah memaafkannya tentang uang itu.Lalu mengalirlah air mata ini sembari menatap tajam ke arahnya. Perasaanku jadi tak bisa lagi kukendalikan. Sebentar marah, sebentar reda. Namun kini, ada rasa sakit yang menjalar setiap mengingat tentang kejadian yang menimpa Ibu.Dayang, Ibu ke mana? Aku membelikan banyak obat dan juga vitamin. Aku juga sudah lama tidak memakan masakan Ibu. Di bibirnya masih tampak senyum yang kian merekah. Senyum dengan penuh kerinduan. Aku terus saja terisak.Dayang, kenapa menangis? Dia memegangi kedua bahuku. Aku semakin terisak sembari menepis kedua tangannya dengan pelan.Kulihat dia bangkit dan memerhatikan sekeliling, menyingkap tirai kamar Ibu, lalu masuk ke dalamnya. Aku tak tahu apa yang dilakukannya, lalu tak lama terdengarlah suara tangis yang memecah.Pria itu bangkit dengan tergesa, melihat keadaan wanitanya, dan kubiarkan begitu saja. Aku terus menangis sesenggukan, sambil memegangi dada yang terasa begitu sesak.Mendengar tangis pilunya cukup membuat hatiku merasa iba. Dia pun dulu teramat sangat menyayangi Ibuku, laksana Ibu sendiri. Tempatnya mengadu dan bermanja kala mulai mual dan banyak maunya. Segala makanan yang dia idamkan saat hamil muda, Ibu jugalah yang membuatkannya. Hingga bagai saudara perempuan kami di buat Ibu.Maafkan, aku Dayang. Akulah yang telah membunuh Ibu. Gara-gara aku, Ibu... Dia menutup mulutnya menahan tangis.Dia kini berdiri di sampingku, dengan laki-lakinya memapah dan memeganginya keluar dari kamar Ibu. Lalu terduduk lemas dia di lantai dengan semen kasar yang belum sempat aku sapu.Maafkan aku. Suaranya terdengar lirih. Hatiku makin teriris perih mendengarnya.Kapan? Kapan Ibu pergi, Day? Dia memegangi tanganku.Empat hari yang lalu.Aku memang jahat. Akulah penyebabnya. Kau boleh membenciku sesuka hatimu. Aku memang bersalah. Seandainya aku tak pergi dan membawa serta uang untuk pengobatannya, Ibu pasti masih hidup sampai saat ini. Dia semakin histeris. Aku memang terlalu egois. Seharusnya kusuruh orang untuk mengantarkan uang itu meski aku tak bisa bergerak ke mana-mana. Pukul saja aku, Dayang. Jangan beri aku ampun. Dia memukul-mukul dadanya. Laki-laki itu memegangi kedua tangannya dan membawanya dalam pelukan.Ah, beruntungnya wanita itu. Dia begitu histeris menangisi seseorang yang bukan siapa-siapanya, namun begitu besar perhatian seseorang yang mencoba menenangkannya.Tidak apa-apa, Kak. Ini sudah takdir. Aku sudah mengikhlaskannya, ucapku membuang pandangan ke arah lain.Dayang....Ibu bilang, semua sudah ada takdirnya masing-masing. Bukan karena tanpa obat itu Ibu meninggal.Aku menceritakan semua yang terjadi. Kuharap dengan begitu, dia tak terlalu menyalahkan diri sendiri. Bagaimanapun keadaannya sekarang, dia telah menjadi seorang Ibu baru, yang harus selalu menjaga kesehatan dan juga pikiran demi bayi yang mungkin baru berusia empat puluh hari tersebut.Ikutlah bersamaku, Dayang. Anggaplah aku sebagai Kakakmu. Aku tak mungkin membiarkan adik perempuanku tinggal di sini sendiri, ucapnya masih dengan bibir yang bergetar menahan tangis.Kulirik kembali pria yang masih terus merangkul bahu Kak Alma, dahinya mengernyit. Mungkin tidak menyetujui permintaan wanitanya.Aku tak tahu pasti hubungan apa yang mereka jalani. Entah berstatus suami istri, ataukah Kak Alma hanya sebagai wanita simpanan saja. Pria itu terlihat kaya, dengan bahan pakaian dan juga jam tangan yang dipakainya.Begitu pun dengan Kak Alma. Hidupnya kini terlihat makin membaik. Banyak perhiasan yang kini dia kenakan. Lalu, bagaimanapun hubungan mereka saat ini, aku tak ingin terlibat di dalamnya.Biar aku di sini saja, Kak. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun.Kau harus ikut. Bukankah kau bilang sangat ingin punya kakak perempuan sepertiku? Jadilah adikku, akulah kakakmu sekarang ini. Tangisnya makin menjadi-jadi.Aku tersenyum. Kuusap air mata yang tak berhenti dari pipinya itu.Kakak tidak perlu merasa bersalah. Pulanglah, dan bawa kembali obat itu. Berikan saja pada yang membutuhkan. Aku berterima kasih, Kakak masih mau mengingat aku dan Ibu.Aku tak akan pulang jika kau tak ikut! tegasnya.*Aku menyediakan beberapa gelas teh manis untuk mereka. Bu kepling dan Wak Yus yang selalu datang juga sudah hadir karena dipanggil tetangga yang mendengar jerit tangis Kak Alma.Mereka sangat menyetujui usulan wanita itu untuk membawaku pergi dari sini. Aku tetap bersikeras tak ingin ikut. Merasa keberatan hidup bersama orang asing yang belum jelas seluk beluk kehidupannya.Aku masih menggoreng pisang kepok di dapur. Membiarkan orang-orang dewasa itu berbicara tentang Bang Surya yang juga tiba-tiba ikut menghilang. Terdengar suara langkah kaki, kemudian bersuara.Aku ingin ke toilet, ujarnya. Kali ini wajahnya tak lagi garang. Malah terlihat iba menatapku.Iya, ada di situ. Aku menunjuk pintu yang setengah terbuka. Dia mengangguk sembari tersenyum.Tak berselang lama, dia keluar dari kamar mandi, mata kami kembali bertemu pandang. Namun dengan cepat aku memalingkan wajah.Kau sedang apa? Dia mulai mendekat.Menggoreng pisang. Abang mau? Biar kubawakan yang sudah matang ke depan.Ah, nanti saja. Aku hanya ingin melihat-lihat.Lihat-lihat apa?Katanya, kalau mau makan apa saja tinggal petik di sini. Kau punya buah apa saja? Dia berjalan ke pintu dapur.Ada rambutan dan juga manggis. Tapi sekarang belum musimnya. Kalau mau kelapa muda, biar aku ambilkan.Kau bisa memanjat pohon? Alisnya terlihat menyatu. Aku menggeleng.Pohonnya tidak terlalu tinggi, bisa dikait menggunakan galah. Aku mengangkat gorengan terakhir dan mematikan kompor.Aku mengantar camilan panas tadi ke ruang tamu. Kemudian kembali ke dapur menuju halaman belakang.Risih juga rasanya diperhatikan saat kegiatanku yang sama sekali tidak terlihat feminim ini. Apalagi dari seorang pria yang sudah jelas-jelas milik orang lain. Satu persatu buah jatuh, kemudian kupungut dan langsung mengeksekusinya.Satu ceret penuh air kelapa muda asli kuhidangkan untuk teman pisang goreng. Duduk bergabung bersama mereka sembari mendengar percakapan tadi.Kan sudah ada teh manis, Day. Kenapa buat minuman lagi? Kak Alma merasa tidak enak.Tidak apa-apa, Kak, sahutku sambil tersenyum.Kau pergilah ikut si Alma, Dayang. Nanti kalau ada yang ingin menyewa rumah kau, Uwak kirimkan duitnya, ucap Wak Yus.Dayang tidak apa-apa, Wak. Sungguh, Dayang tidak ingin merepotkan siapa pun.Ada banyak kamar kosong di rumahku. Kau bisa tempati salah satunya. Mau, kan? bujuk Kak Alma lagi.Tapi, Kak.... Aku kembali melirik pria yang sedang menyeruput es kelapanya.Ah, aku lupa mengenalkan. Kak Alma seperti tahu aku merasa tidak enak dengan laki-laki yang dibawanya. Ini Hakim. Dia adikku.Aku tertegun. Jadi, laki-laki yang dari tadi terlihat begitu perhatian padanya, adalah adiknya. Bukan suami atau kekasihnya. Lalu, soal penampilan mereka saat ini, apakah Kak Alma sebenarnya berasal dari keluarga yang tak biasa?                      *************** Semua sudah diputuskan. Aku tak ingin memperumit masalah. Biarlah semua berjalan apa adanya. Aku tak ingin memaksakan diri dengan mencoba merasa nyaman pada orang asing. Ya, Kak Alma kini terasa sangat asing bagiku. Entah karena tampilannya saat ini, atau pun sisi lain hatiku yang masih mengaitkannya dengan berpulangnya Ibu. Meski sejatinya kota itu pernah menjadi tujuan dan juga cita-citaku.Pernah aku meminta izin kepada Ibu untuk ikut serta bersama warga kampung sini pergi ke sana. Mendapatkan pekerjaan yang cukup layak, kemudian membahagiakannya dengan gaji yang nantinya akan aku dapatkan.Namun, saat restu sudah kukantongi, tak tega juga rasa hati meninggalkan Ibu tinggal seorang diri. Maka, kuputuskan untuk menggantikannya berjualan saja, meski uang yang kami dapat tidaklah seberapa.Tinggal bersama meski dengan hidup seadanya, jauh lebih membahagiakan ketimbang hidup berjauhan. Tak kusangka, kedua orang tuaku harus meninggal dalam usia yang masih begitu muda. Bahkan masing-masing keduanya belum mencapai usia empat puluh lima tahun.Sungguh aku tak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Siapa keluarga Kak Alma sebenarnya. Kenapa dia bisa hidup sengsara dan begitu miskin dengan Bang Surya, suaminya saat itu. Lalu tiba-tiba datang dengan menunjukkan segala kemewahan untuk sekedar mengembalikan uang yang tidak seberapa itu kepada kami.Rasa sepi kembali menusuk di relung hati saat mengantar kepergiannya. Terlihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman sekolah, karena tak bisa turun untuk mencapai halaman rumahku. Wanita itu benar-benar bukan seperti wanita yang kukenal selama setahun ini.Dengan senyum yang sedikit kupaksakan, kuiringi kepergian mereka. Seperti saat mengantar kepergiannya tempo hari, aku kembali menangis.                                **************LUKA DI HATI DAYANG (3)Hari-hari begitu sepi. Tak ada lagi ibu yang menemani, atau pun Kak Alma yang dulu selalu saja datang saat aku meladeni anak sekolah yang membeli jajanan di rumahku. Rumah yang dulu ditempatinya, kini sudah terisi penghuni baru. Sebuah keluarga yang cukup ramai dengan banyak anak yang membuatku tidak khawatir lagi saat malam.Beberapa anak laki-lakinya yang beranjak remaja juga selalu tidur di ruang tamu, hingga pastilah mendengar jika sampai terjadi sesuatu di rumahku.Hari beranjak sore. Saatnya aku memasukkan semua daganganku ke dalam. Enggan untuk berlama-lama seperti dulu saat mereka masih ada.Aku lebih memilih berbaring di ranjang, memainkan ponsel android yang layarnya sudah retak membentuk jaring laba-laba. Kubuka aplikasi facebook yang sudah menjadi tatapanku sehari-hari.Melihat postingan teman-teman dan rekan sekampung yang sudah mendulang sukses di perantauan. Hingga kuberanikan diri mengirim pesan pada teman sebangkuku dulu saat di SMA. Penghuni kampung sebelah. Rifa.[Sukses, yo!] Aku mulai mengirim pesan, karena terlihat ada titik hijau di akunnya menandakan dia sedang online. Tak berselang lama, muncul titik-titik bergelombang. Tanda dia langsung membalas pesanku.[Sukses apanya. Biasa sajalah, Dayang.][Kalau tidak sukses, mana mungkin kau betah.][Dibetah-betahin saja, Day. Kalau di kampung, mau kerja apa?][Ada lowongan?][Ada. Mau?] Aku mengulas senyum.*Usai merapikan rumah, dan menitipkannya pada Wak Yus, aku pamit pergi. Memberanikan diri menyusul temanku, dan menagih janji untuk mendapatkan pekerjaan. Pagi ini, untuk pertama kalinya aku meninggalkan bumi Besitang, tanah kelahiran tempatku berpijak selama dua puluh tahun.Ibu, Bapak, iringilah langkahku dalam mencapai kebahagiaan. Maaf, kini aku yang pergi meninggalkan kalian.*Dua tahun kemudian....Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa sudah dua tahun aku tinggal di kota ini. Kota yang dulu sempat aku tolak saat Kak Alma mengajakku ikut serta bersamanya. Entah kenapa, masih ada rasa sakit yang mengganjal di hati tiap kali berhubungan dengannya.Bayangan kematian Ibu begitu melekat saat aku memikirkannya. Berpikir bahwa hal tersebut murni dari kesalahan wanita berparas ayu tersebut. Ibu masih muda, seharusnya dia lebih kuat dan tidak lemah andai obat itu masih rutin diminumnya. Hingga tidak perlu dia kehabisan tenaga, kemudian sampai terjatuh dan tak lagi membuka mata. Bahkan meninggalkan kata-kata terakhir untuk masa depanku pun ia tak sempat.Semua terjadi begitu cepat. Bagai mimpi, aku masih merasakan keberadaan Ibu di sampingku. Tersenyum, bahkan memelukku. Hingga tak sadar bibir ini merutuki pertemuanku dengan Kak Alma. Menyesal karena telah mengenal dan percaya begitu saja kepadanya..Aku dan Rifa berjalan kaki seperti biasa menuju kost-kostan kami. Tempat yang terletak tidak begitu jauh dari kantor tempat kami bekerja.Posisi kita dalam bahaya, Day. Bisa-bisa, kita semua di pecat atas kesalahan Pak Rudi. Rifa membuka lagi percakapan yang tadi sempat kami bahas.Aku juga khawatir, sahutku. Kata Tomi, semua sekuriti akan diganti dari biro lain. Apalagi kita yang hanya klining servis.Kabarnya jabatan Direktur dan wakil Direktur akan diambil alih langsung oleh pemilik perusahaan. Mereka yang selama ini bertugas di kantor pusat.Mungkin mereka tidak percaya lagi pada orang luar.Pak Rudi juga kelewatan. Memangnya gaji sebagai Direktur masih kurang? Hingga harus melakukan penggelapan dana? Rifa terlihat kesal.Bukannya dia juga terlibat judi online? Aku sedikit berbisik. Rifa mengangguk.Kemudian terdengar sebuah klakson dari arah belakang. Kami menoleh, melihat bahwa Tomilah yang sedang mengikuti kami.Ada apa? Rifa menyambut kehadirannya.Nanti malam ada pengajian di rumah. Datang, ya. Habis magrib! serunya. Aku dan Rifa sejenak saling memandang, kemudian saling melempar senyum, lalu dengan cepat mengangguk. Merasa senang karena akan mendapat makan malam gratis.Aku dan Rifa melanjutkan perjalanan kami lagi hingga sampai gerbang kost-kostan.Sudah dua tahun aku ikut tinggal sekamar dengannya. Dia pula yang menawarkan pekerjaanku sekarang ini. Teman sekampung yang sudah lebih dulu pergi merantau. Berganti-ganti pekerjaan, hingga menemukan kenyamanan sebagai klining servis sebuah kantor cabang yang bergerak dibidang properti.Selesai mandi, aku dan Rifa bergegas menuju rumah Tomi yang tidak terlalu jauh dari kost-kostan. Hanya berjalan kaki tak sampai lima menit. Bisa dibilang kita bertetangga, hanya berbeda gang saja.Selesai acara, tak lupa Tomi membawakan kami dua bungkusan nasi berkat. Sesuatu yang memang dari tadi kami nanti-nantikan. Seperti anak kost lainnya, penghematan besar-besaran saat tanggal tua.Ayo, kita ngobrol-ngobrol dulu sambil makan kue di halaman, ajak Tomi.Tidak usah, Tom. Kami langsung pulang saja, tolakku yang kebetulan sudah sangat lapar.Iya, Tom. Besok juga bertemu di kantor, sambung Rifa. Kuyakin dia juga merasakan hal yang sama.Hei, ayolah. Ini bahkan belum jam delapan! seru pemuda berwajah manis tersebut memelas.Hei, Tom! Suara seseorang terdengar setelah menurunkan standart motornya. Dia membuka helm yang dikenakannya, hingga tersibak rambut lurus yang membuatnya terlihat begitu keren, dan aku... seperti pernah mengenalnya. Maaf aku terlambat.Santai, Bro. Kau datang untuk menemuiku, kan. Bukan membaca doa? Tomi menyambut baik kedatangannya, dan mereka terlihat akrab. Oh, ya. Kenalkan, mereka tetangga sekaligus rekan kerjaku, Rifa, dan Dayang. Dia menunjuk kami satu persatu.Kulihat raut wajahnya memandang serius ke wajahku. Berharap dia juga merasakan hal yang sama. Mencoba-coba mengingat, mungkin saja dia masih mengenaliku.Kau.. Da.. Dayang? Dayang Seruni? Dahinya mengernyit, ragu. Aku tersenyum puas, setidaknya nama dan wajahku masih tersimpan juga di ingatannya.Iya, aku Dayang. Bagaimana kabarmu, Rangga?                             *************Pagi ini semua staff dan karyawan rendahan seperti kami, dipanggil ke ruang rapat. Mungkin terkait pergantian menejemen baru, atau bahkan tentang pemecatan karyawan lama. Aku, Rifa dan Tomi saling memandang bergantian satu sama lain. Merasa cemas kalau tiba-tiba saja jadi pengangguran. Padahal, kami semua sudah terlanjur betah bekerja di sini.Dengan gaji yang lumayan, jam kerja fleksibel, serta pekerjaan yang tidak terlalu berat, membuat kami nyaman hingga tak pernah berniat untuk mengundurkan diri.Terima kasih sudah berkumpul di sini. Pak Diki, selaku menejer membuka percakapan.Seperti yang sudah kalian ketahui, perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja. Tidak perlu lagi saya jelaskan secara rinci. Hanya saja, saya meminta kepada kalian untuk bekerja lebih baik lagi. Bukan berarti saya mengatakan kalau selama ini pekerjaan kalian tidak baik. Hanya saja, tingkah laku kita sekarang sedang menjadi sorotan, dan kini sedang dalam proses pengamatan. Sedikit saja melakukan kesalahan, tamatlah sudah seperti dua orang atasan kita. Pak Diki menarik napas panjang. Cukup merasa tertekan dengan masalah yang telah terjadi.Sebentar lagi, wakil Direktur akan segera tiba. Dia melanjutkan. Kemudian awal bulan, menyusul Direktur yang juga bagian dari keluarga mereka. Jadi, saya mohon, berhati-hatilah dalam bekerja. Termasuk bagian kebersihan. Sekecil apa pun kesalahan, bisa saja menjadi sebuah alasan untuk memecat kalian.Panjang kali lebar Pak Diki menjelaskan apa-apa saja yang harus kami lakukan. Mungkin saja ada mata-mata di antara kami yang kini memantau dan melaporkan langsung kepada atasan.  .Kulihat Rifa terduduk lemas bersandar pada sofa di ruang pantri. Menyusul Tomi yang juga melakukan hal serupa.Aku tersenyum melihat tingkah mereka berdua. Terlihat saling memperhatikan, namun masing-masing ragu untuk menunjukkan. Mereka sama-sama bersandar saling memejamkan mata, seperti sedang menetralkan rasa takut yang tadi sempat melanda.Aku pun juga sama. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun, baru kali ini ada rapat gabungan antara staff kantor yang mengikut sertakan klining servis. Membuatku merasa seperti karyawan sungguhan karena bisa berdiri sejajar dengan mereka.Mau tidur atau kerja? Suara Bu Susan_leader kebersihan_ mengagetkan mereka. Aku tersenyum melihat mereka yang spontan berdiri.Jam makan siang pun tiba. Tomi membelikan nasi bungkus pesanan kami. Sementara aku membuatkan es teh untuk dinikmati bersama. Bu Susan sudah terlihat makan duluan karena membawa bekal dari rumah.Hanya kami berempat saja petugas kebersihan di sini, dengan wanita bertubuh gemuk pendek itu sebagai ketuanya. Kami termasuk pegawai tetap. Sama sekali tidak terikat dengan biro, karena langsung direkrut dan diinterview oleh perusahaan.Tak lama Tomi datang dengan membawa dua bungkus nasi dan satu kantong plastik gorengan. Kami terbiasa patungan untuk membeli sesuatu di akhir-akhir bulan seperti ini. Berbeda saat tanggal gajian, kami akan saling mentraktir satu sama lain. Entah itu makan, nonton, atau pun pergi ke tempat karaoke.Bos baru kita sudah datang! ucapnya seraya meletakkan semua bungkusan di atas meja.Bos pria atau wanita? Bu Susan bangkit menuju wastafel untuk mencuci kotak bekalnya.Laki-laki, sahutnya lagi. Ternyata dia masih sangat muda. Dia itu, pasti putra dari Bos besar. Bukan Ayahnya yang berada di sini.Yang kudengar, wakil Direktur dan Direktur utamanya pria dan wanita. Apa mungkin mereka sepasang suami istri? Rifa ikut menimpali. Aku hanya mendengarkan mereka secara seksama. Tidak tahu harus mengatakan apa. Minim informasi.Bisa saja. Mana mungkin mereka mengangkat orang luar lagi untuk bertanggung jawab dengan perusahaan ini.Cepat selesaikan makan kalian. Bergosip saja! ketus Bu Susan. Kemudian hening.Usai makan siang, kami kembali mengerjakan tugas masing-masing. Kali ini, aku ditugaskan ke balkon atas untuk menyiram tanaman aglaonema milik kantor sebagai taman. Tempat biasanya para petinggi perusahaan menyejukkan pandangan setelah lelah dengan aktivitas yang menguras tenaga dan juga pikiran mereka.Ada bangku panjang yang terbuat dari besi bercat warna putih, di pinggir tembok dengan atap kanopi yang langsung menghadap ke arah taman. Aku duduk sejenak setelah membasahi semua daun keladi berwarna-warni tersebut.Menyandarkan diri, dan menatap langit yang merah menandakan hari hampir sore. Angin bertiup kencang, menyejukkan hati dan juga wajahku. Berkhayal, andai aku dan Ibu bisa duduk berjajar dan saling bersandar.Aku bahkan belum sempat membawa Ibu ke gedung bertingkat dan mendekat ke arah langit. Namun kini, aku tahu dia sudah lebih dulu berada di atas dan menatapku dari arah sana.Kurogoh saku celana yang tiba-tiba bergetar. Menatap layar pipih yang masih mulus tanpa retakan. Ada notifikasi whatsapp terlihat di sana dengan nama Rangga tertera sedang online.Seketika debaran itu muncul kembali. Sebuah rasa yang selama ini kuartikan sebagai suka, kagum, atau bahkan cinta. Dia yang selama ini ingin selalu kupanggil dalam jarak yang begitu dekat, dan terlihat akrab.Malam itu, dia bersikap hangat. Seolah-olah kami dulu berteman akrab. Tiada rasa canggung, atau pun sungkan layaknya muda-mudi yang baru saja berkenalan.Aku tak banyak bicara, hanya mendengarkan, sesekali tersenyum dan ikut tertawa mendengar topik cerita yang mereka bawa. Jangankan bisa mendengarkan suaranya, menatapnya dengan jarak sedekat ini pun sudah cukup membuatku merasa bahagia.Dia yang telah kulupakan dan membuatku menyerah, tiba-tiba muncul dan membangkitkan rasa itu kembali, saat dia meminta nomor ponselku tanpa rasa canggung di hadapan Tomi dan Rifa.Aku mengulas senyum, membalas pesannya dengan segera, dan kembali memasukkan ponsel dengan debaran di dada yang kian kuat. Ya Tuhan, aku kembali jatuh cinta pada orang yang sama.Hari semakin sore, aku bergegas bangkit sambil merasakan senyum di bibirku yang sulit untuk aku hilangkan. Terjadi begitu saja sambil aku melangkah. Namun tiba-tiba langkahku terhenti dan senyum itu mendadak hilang. Berganti dengan bibir yang bergetar melihat sesosok pria yang kini berdiri tepat di hadapanku.Sama terkejutnya dengan raut wajahku sekarang ini. Sorot matanya begitu tajam memandangku, entah marah atau hanya ingin memastikan. Yang kutahu, tiada kesenangan yang kini kusaksikan. Seandainya dia tahu, seumur hidup aku tak ingin lagi bertemu. Orang itu, kenapa bisa sampai ada di sini?                           **************LUKA DI HATI DAYANG (4)Seperti menatap sebuah cermin, kami masih terpaku saling memandang. Meyakinkan diri, bahwa kami memang benar berdiri di posisi masing-masing dengan jarak yang tidak sampai lima langkah. Dua tahun lamanya saling tak tahu kabar, kini dipertemukan entah dalam keadaan yang bagaimana.Aku merasa dipermainkan oleh takdir. Sejenak aku berpikir, andai firasatku benar, tak sembarangan orang bisa naik dan bebas berkeliaran di balkon ini. Zona yang hanya bisa di akses oleh petugas kebersihan dan juga para petinggi perusahaan. Bahkan staff yang lain tidak di izinkan naik dan menikmati fasilitas yang asri dan juga nyaman ini.Dengan terbata-bata hatiku berbisik, laki-laki itu, adalah, putra, pemilik, perusahaan? Dia itu, Bang Hakim? Lalu, wanita yang digadang-gadang menjadi partnernya, adalah istrinya, atau mungkin Kak Alma?Sungguh takdir yang tidak mengenakkan buatku. Dua orang yang harusnya paling kuhindari, nyatanya kini begitu dekat dan akan bertemu setiap hari. Mati-matian aku mempertahankan pekerjaan sampai saat ini, haruskah aku keluar demi menghindari?Kau bekerja di sini? Dia menatap kemeja abu-abu yang menjadi seragam petugas kebersihan yang kukenakan saat ini. Tatapannya dingin, dan tidak bersahabat sama sekali. Aku mengangguk.Pegawai baru? Aku menggeleng.Sudah dua tahun, sahutku pelan.Dua tahun? Kau berada di kota ini selama dua tahun? Matanya menyipit, dan aku paham akan hal itu.Dua tahun yang lalu, saat aku meninggalkan kampung halaman, kukatakan pada orang-orang terdekat bahwa aku akan berangkat ke Malaysia menjadi tenaga kerja di sana. Kuganti semua nomor ponsel dan hanya kuberikan pada Wak Yus, tetangga yang membantuku mengurus rumah yang kutinggalkan.Hal itu kulakukan karena firasatku berkata, Kak Alma akan datang lagi untuk mencariku. Untuk sekedar berkunjung, atau pun kembali menawari hal yang sama seperti waktu itu. Aku yang masih terluka, namun tak sanggup mengungkapkannya lebih memilih menghindar. Terlalu lelah berpura-pura menunjukkan senyum palsu yang setelahnya bisa menjadi sebuah tangisan.Seminggu setelah aku pergi, Wak Yus mengabarkan bahwa Kak Alma dan adiknya memang datang. Dibawakannya banyak oleh-oleh untukku, yang akhirnya diterima Wak Yus untuk dibagi-bagikan ke tetangga lain.Kau menipu kami selama ini! Dia berujar sinis.Apa maksud Abang? Aku mencoba berkilah, berpura-pura tak mengerti apa yang sedang dibicarakannya.Kau pembohong. Berpura-pura menjadi tenaga kerja di luar negeri agar Kakakku tidak lagi menemuimu? Kenapa? Apa yang salah? Kulihat tangannya mengepal. Terlihat marah. Bukankah seharusnya aku yang bertanya ada masalah apa? Apa salahku?Jawab! Suaranya seperti sebuah teriakan yang membuat lututku gemetaran. Seketika mataku mulai menghangat. Kupandangi wajahnya yang seperti menyimpan sesuatu. Amarah.Memangnya kenapa? Dengan suara lirih aku memberanikan diri bertanya.Kenapa? Kau masih bertanya kenapa? Seharusnya kau tahu bagaimana Kakakku mencarimu seperti orang gila. Mengobrak-abrik seluruh agen tenaga kerja untuk menyusul dan menebusmu pergi ke sana. Namun apa yang dia dapat? Tak satu pun namamu terdaftar. Lalu kau pikir dia senang mendengar hal itu, karena nyatanya kau tak jadi pergi? Tidak, Dayang. Dia makin histeris. Berpikiran buruk bahwa kau mungkin saja diperjual belikan dan menjadi budak atau bahkan... argggh...! Dia menarik kuat rambutnya sendiri. Kau sungguh tidak punya hati nurani.Air mataku satu persatu berjatuhan. Membayangkan wajah takut Kak Alma karena kehilanganku. Kenapa dia sampai melakukan hal itu? Aku bahkan bukan siapa-siapanya. Kenapa dia harus repot-repot bertindak sejauh itu.Kau puas sekarang? Pertanyaannya seperti sedang mengintimidasi agar aku merasa bersalah.Dia tak harus melakukan hal itu, sahutku. Tidak ada hubungan yang mengikat di antara kami. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Aku tak harus melapor kepadanya kemana pun aku pergi. Kutegarkan hati untuk berucap dengan air mata yang masih mengalir. Matanya kembali menyipit, menatapku tak suka.Kau benar-benar gadis yang tidak tahu diri. Jelas-jelas tidak memiliki siapa-siapa lagi, dan kau masih bersikap angkuh? Seharusnya kau berterima kasih karena Kakakku masih terus menghawatirkanmu. Kau hanya seorang yatim piatu yang tidak tahu dikasihani. Hanya mencari perhatian dengan cara melarikan diri, umpatnya lagi.Yatim piatu? Air mataku makin menganak sungai. Ya, aku memang yatim piatu. Aku miskin dan patut dikasihani. Lalu sebab apa aku seperti ini. Siapa yang menyebabkan aku menjadi yatim piatu? Kakakmu lah yang telah membunuh Ibuku! Aku berteriak histeris dan terus menangis.Kututup rapat wajahku dengan kedua telapak tangan, menangis sesenggukan, menahan sesak yang selama ini selalu kutahan. Pembunuh, lirihku dalam tangis.  Kau bilang kakakku pembunuh? ujarnya sinis. Lalu kenapa dulu kau mengatakan bahwa itu semua bukan salahnya. Kau ingin terlihat baik di mata semua orang, ha? Dasar munafik! Tak henti-hentinya dia meneriakiku. Seolah-olah akulah yang bersalah, dan Kakaknya adalah korban.Kalau tak lagi merasa bersalah, kenapa repot-repot mengurusi yang bukan urusannya? Aku tak butuh perhatiannya. Dia yang berpura-pura baik dan menipuku selama ini. Berpura-pura miskin dan memanfaatkan aku dan juga Ibuku, balasku menantangnya.Dasar gadis kampung. Jaga bicaramu. Jangan berani-berani kau menjelek-jelekkan kakakku lagi! Sorot matanya terlihat menakutkan. Kata-katanya begitu kasar dan kembali menyakiti hatiku.Aku tak sanggup lagi mendengar semua kata-kata itu. Aku mengusap air mata dan berjalan begitu saja melewatinya. Bermaksud hendak pergi dan meninggalkannya begitu saja. Namun langkahku tertahan saat ia menarik paksa lenganku.Mau kabur lagi, ha? Ikut aku menemui Kak Alma dan segeralah minta maaf! pekiknya.Kenapa aku harus minta maaf? Aku mencoba menepiskan tangannya. Bukan malah melepaskan, dia semakin mencengkram erat pegangannya.Hei, Dayang cepat tu... run. Terlihat Tomi baru saja menyusul.Namun langkahnya terhenti begitu melihat posisi kami yang mungkin saja bisa menimbulkan berbagai spekulasi. Aku menatap Tomi agar dia bisa menyelamatkanku dari situasi ini. Namun dia masih bergeming seperti mematung.Ada apa? Laki-laki berkemeja biru polos itu bertanya sambil menoleh ke arah Tomi.I..itu, Pak. Dayang di panggil atasan, jawabnya sedikit gugup.Dia sedang bersamaku, ucapnya tegas. Keluar! perintahnya. Dengan cepat Tomi berlari menuju pintu balkon untuk segera turun. Dan aku kembali terkungkung.Aku akan pulang, lepaskan aku! Aku mencoba kembali menarik tanganku. Namun cengkraman itu tak bergeser sedikit pun. Laki-laki berpostur tinggi itu melirik jam di pergelangan tangannya.Ini belum waktunya pulang.Aku tak mau lagi bekerja di sini.Kau pikir aku perduli? Kutatap wajahnya yang masih terlihat sinis.Kalau begitu kenapa masih menahanku?Kakakku harus tahu kalau kau masih hidup. Dia harus berhenti merasa bersalah, lalu kau boleh pergi menjauh dari kami. Setelah ini, aku sendiri yang akan memecatmu! ketusnya. Aku terdiam.Kemudian dia menyeret paksa tanganku turun dari balkon. Dengan langkah cepat aku mengikuti gerakannya menapaki anak tangga. Tanpa ampun dia menarik tanganku di hadapan semua orang.Lepaskan aku! Apa yang Abang lakukan? tangisku, saat semua mata memandang apa yang sedang terjadi pada kami. Bahkan ketiga rekanku memandang heran, dan merasa prihatin melihat Bos besar mereka memperlakukanku layaknya maling yang tertangkap basah.Laki-laki itu sama sekali tak menggubris pernyataanku. Terus saja menyeretku hingga ke parkiran, dan membawaku secara paksa hingga masuk ke dalam mobil.*Mobil memasuki area perumahan elite. Melewati portal yang dijaga oleh seorang sekuriti. Melewati jalanan mulus dengan rumah mewah dengan berbagai macam bentuk berjajar di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan.Tak ada angkutan umum yang terlihat. Membuatku berpikir, bagaimana caraku pulang nantinya. Cukup banyak belokan yang kami lalui, hingga melewati lapangan golf mini kemudian berbelok lagi. Sungguh, hanya jalan pulanglah yang aku pikirkan saat ini.Setelah sekian lama, akhirnya kami sampai di sebuah rumah megah berpagar besi yang begitu kokoh. Ada penjaga berseragam biru dongker yang dengan sigap membukakan pintu gerbang agar mobil masuk dengan leluasa. Tanganku kembali ditarik dengan paksa olehnya.Membawaku masuk ke Istana megah dengan keramik berukuran besar sebagai lantainya. Dia langsung membawaku menaiki tangga menuju lantai dua. Mengetuk pintu dengan tergesa-gesa seperti ingin mengabarkan sebuah berita penting.Suara handel pintu terdengar, hingga kami saling mematung sesaat pintu terbuka. Lalu merahlah matanya dengan genangan air yang hampir tumpah. Seketika di terkamnya tubuh ini dengan begitu erat. Terdengar suara raungan yang membuat pilu siapa pun yang mendengarnya. Hingga suara ocehan yang membuat perasaanku bercampur aduk tak menentu.                          **************Aku merebahkan diri di ranjang setelah Bang Hakim mengantarku pulang. Kak Alma memaksa meski kami sama-sama menolak. Wanita yang tampak kian elegan itu terlihat begitu pucat dengan wajah yang basah dengan air mata. Sempat terjadi perdebatan di antara kami, saat mulutku enggan tuk mengucapkan kata maaf dan meminta ia untuk tak lagi mencariku.Aku tak ingin lagi disebut munafik seperti yang adiknya katakan. Aku sudah cukup dewasa untuk bersikap tegas. Hingga aku harus jujur bahwa hatiku masih begitu sakit bila melihat wajahnya lagi. Kenangan bersama Ibu masih begitu terasa, hingga teramat perih bila terus mengingat dengan awal mula kematiannya.Sungguh, sekalipun aku tak ingin bertemu mereka kembali, tak perduli sekaya apa mereka. Mengulik kembali kenangan pahit yang membuatku harus kehilangan satu-satunya keluargaku yang tersisa.Aku tidak menyangka kalau ternyata mereka itu adalah Bos kita, ucap Rifa sambil meletakkan tasku yang tertinggal di kantor tadi di atas tempat tidur.Aku juga bingung, jawabku lemah.Aku tak tahu harus berkata apa. Ini soal perasaanmu. Tapi sebaiknya kau pikirkan baik-baik soal pengunduran diri itu. Tak banyak pekerjaan yang bisa kita dapatkan hanya dengan ijazah SMA. Aku bahkan pernah bekerja sebagai pelayan restoran hingga larut malam.Entahlah, Fa. Kepalaku rasanya pusing sekali.Semakin pusing karena pada akhirnya aku membatalkan janji untuk bertemu dengan Rangga. Hari-hari keberuntunganku seolah menghilang sejak bertemu dengan kakak beradik itu.*Kau tidak masuk kerja? Suara Rifa beserta wangi sabun dari tubuhnya membuatku menggeliat di atas tempat tidur. Dengan malas aku kembali memeluk guling sembari menutup wajah dengan selimut.Pikirkan baik-baik, Day. Jangan sampai kau menyesal.Percuma aku datang, sahutku malas.Kenapa? Aroma parfum sudah tercium menembus selimut tipisku.Laki-laki itu bilang akan memecatku.Tak berapa lama selimutku disingkap olehnya. Dahinya mengernyit.Pak Hakim memecatmu? Aku mengangguk. Dia searogan itu? Aku kembali mengangguk, lalu duduk menghadap gadis bergigi gingsul itu.Kau lihat ini? Aku menunjukkan pergelangan tanganku. Dan juga ini. Aku mengangkat sedikit lengan kaos tidurku. Keduanya memerah bekas cengkraman tangan besarnya.Ya ampun, Dayang. Apa dia itu psikopat? Rifa mengusap-usap tanganku sambil mengerucutkan bibirnya. Merasa prihatin.Dia pikir aku akan kabur begitu saja setelah sampai di rumahnya. Memangnya aku anak-anak? Aku berdecih.Ya sudah. Kau di rumah saja. Nanti akan kukatakan pada Bu Susan agar dia bicara pada Pak Diki.Aku tidak perduli, Fa. Biarkan saja. Aku juga tidak ingin bertemu dengan mereka. Aku mau bekerja di diskotik saja.Hish... kau ini. Dia mencubit lenganku. Aku tersenyum, dan kembali menjatuhkan kepala ke atas bantal..Seharian ini aku hanya berbaring di atas ranjang sambil memainkan ponsel. Kembali melihat-lihat aktivitas orang-orang yang berada sosial media. Memerhatikan mereka-mereka yang asik memajang dan memamerkan foto bersama pasangannya.Banyak juga teman-teman seangkatanku yang sudah menikah. Ada yang hidupnya sukses, dan ada pula yang kembali ke kampung halaman karena belum ada rejeki di perantauan.[Kau sudah sehat?] Sebuah pesan whatsapp dari Rangga baru saja membuat perasaanku kembali bergairah.[Lumayan.] Dengan cepat aku membalas.Aku terpaksa berbohong dengan mengatakan sedang tidak enak badan sebagai alasan tidak jadi bertemu. Dan kurasa dia mulai khawatir.[Syukurlah. Aku dan Tomi akan nongkrong di kafe malam ini. Kau ikut?][Entahlah. Akan kutanyakan pada Rifa nanti.][Kau tidak bekerja?][Hmmm.][Kalau masih sakit sebaiknya tak usah. Lain kali saja. Beristirahat saja dulu.]Eh? Argh... kenapa lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak padaku. Aku meletakkan ponsel asal dan menutup wajahku dengan bantal. Menyesal karena berbohong dan merugikan diriku sendiri.Tak lama terdengar suara ketukan dari pintu kamar. Kost-kostan ini memang memiliki pintu masing-masing yang terpisah dari rumah induk sang pemilik. Sehingga siapa pun tamu yang datang, dapat dengan mudah langsung menuju ke kamar tujuan.Dengan malas aku bangkit dan membuka pintu. Hingga jadilah aku benar-benar sakit setelah melihat siapa lagi yang datang.                           ***************LUKA DI HATI DAYANG (5)Kau sakit, Dayang? Wanita berkulit putih bersih itu langsung masuk sebelum kupersilahkan. Seenaknya saja mendorong pintu hingga aku harus bergerak mundur dan menjauh. Diikuti juga laki-laki bermuka masam yang datang bersamanya.Sedang apa kakak di sini? Aku sedikit kecewa. Tak menyangka kalau dia akan secepat ini mengunjungiku.Tadi aku ke kantor, tapi kata Hakim kau tidak masuk. Ayo ke Dokter, aku takut kau kenapa-napa.Kenapa-napa apanya? Aku melirik ke arah adik laki-lakinya. Aku tidak sakit, jawabku jujur.Oh, jadi kau sengaja bolos? Lagi-lagi mencari perhatian, decih pria itu.Mencari perhatian? Bukankah Pak Bos sendiri yang memecatku? jawabku jujur. Sontak mata Kak Alma mendelik ke arah adiknya. Lalu kembali menoleh ke arahku.Hakim memecatmu? Aku mengangguk yakin.Hey, beraninya kau memfitnahku. Kapan aku melakukan itu? Wajahnya terlihat garang.Kemarin, saat di balkon dekat taman.Kau.... Dia menunjukku dengan jari telunjuknya.Cukup Hakim! bentak Kak Alma. Jangan semena-mena terhadap karyawan. Apa salah Dayang, sampai kau berani memecatnya?Itu tidak benar, Kak. Aku hanya....Jangan main-main dengan wewenang, selanya lagi. Kau baru masuk satu hari tapi sudah berani memecat orang! Ada rasa puas di hati, melihat pria arogan itu merasa terpojok. Ada juga rupanya yang dia takuti. Aku tersenyum miring sembari membuang pandangan.Aku tunggu di mobil! ketusnya, kemudian keluar dengan wajah marah. Membuatku merasa lega karena akhirnya tidak harus berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan laki-laki itu.Maafkan Hakim, Dayang. Dia tidak ada maksud untuk memecatmu.Tidak apa-apa, Kak. Aku juga sudah berencana untuk mengundurkan diri. Tidak perlu menyalahkan Bang Hakim. Lagi-lagi aku berucap yang tak sesuai dengan isi hatiku. Kenapa sulit sekali aku bersikap jujur di hadapannya. Tak seperti saat aku berbicara dengan adiknya.Kenapa?Aku ingin mencari pekerjaan lain.Karena perusahaan itu milik keluargaku? Kau masih belum memaafkanku? Aku begitu merindukanmu, Dayang. Kita baru saja bertemu, kenapa ingin pergi lagi? Gaya berbicaranya masih sama seperti dulu. Begitu berambisi dan penuh tekanan.Justru karena kita sudah bertemu. Kenapa kakak masih rindu?  Aku rindu Dayang yang dulu. Yang selalu bercerita apa pun, dan menganggapku sebagai kakaknya. Bisa kan, kita seakrab dulu?Akrab? Tentu saja. Aku begitu mengagumi kecantikan wajahnya. Betapa elegannya gaya bicaranya, tidak norak dan terdengar begitu dewasa. Itu di hadapanku. Berbeda saat dia bersama Ibu. Berubah jadi gadis manja dan kerap berebut memeluk Ibu bersamaku.Tapi itu dulu. Perasaanku langsung berubah setelah Ibu tiada. Apalagi sejak tahu kalau dia berbeda kasta dari kami. Mungkin pun hatinya tak lagi sama, atau dulu hanya sebuah kamuflase belaka. Yang jelas, jarak itu sudah terbentang nyata dan tak lagi sama.Aku lelah, Kak. Kurasa aku benar-benar tidak enak badan sekarang. Bisa, kita bicara lain kali saja?Kau berubah, Dayang. Apa kau begitu membenciku?Sudahlah, Kak. Aku sudah dewasa. Usiaku sudah dua puluh dua tahun. Aku sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.Apa maksudmu?Tidak ada. Maksudku, aku hanya lelah. Aku mulai bosan dengan ocehannya.Kau akan bekerja besok, kan? Dia terlihat begitu berharap.Sudah kubilang aku dipecat. Kakak tidak dengar tadi? Aku meninggikan sedikit suara.Jangan dimasukkan ke dalam hati kata-kata Hakim. Dia memang seperti itu. Suka asal bicara. Bekerjalah lagi. Aku akan mempertimbangkan kembali jabatan apa yang bisa aku berikan padamu. Kata-katanya kembali membuat perasaanku kembali luluh. Tuluskah itu?Tidak perlu, Kak. Aku tak ingin dibeda-bedakan. Berpura-puralah tidak saling mengenal. Dengan begitu, kita akan sama-sama merasa nyaman.Memangnya kenapa? Dia menyentuh pundakku. Mereka harus tahu kau siapa. Agar mereka bisa menghormatimu seperti mereka menghormati aku dan juga Hakim.Aku memang bukan siapa-siapa. Kalau Kakak lakukan itu, aku benar-benar akan mengundurkan diri, ancamku. Dia terdiam sejenak.Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan. Asal kau tak lagi pergi, aku akan mengikuti aturanmu.Sudah kubilang, Kakak tak harus melakukan itu. Aku tak ingin terikat dengan siapa pun. Bersikaplah sewajarnya. Jangan berlebihan. Aku mulai kesal.Kenapa kau sekasar ini padaku, Day? Kulihat ada yang menggenang di pelupuk matanya. Membuatku kembali merasa bersalah.Ya, Tuhan. Kenapa aku jadi seplin-plan ini. Tak mampu lagi mengatur perasaan dan juga egoku sendiri. Di hadapannya, aku selalu merasa tak punya pendirian. Aku bahkan tak dapat mengartikan perasaanku. Masihkah aku membencinya, atau malah iba melihat perhatiannya.Aku terdiam, melihat satu persatu bulir bening itu menetes, kemudian mengalir begitu saja sembari menatapku. Ada rasa sesal di hati. Harusnya aku tak perlu berkata seperti itu. Harusnya aku diam saja dan mengiyakan semua ucapannya. Bukankah hal itu lebih menguntungkan buatku?Aku akan bekerja besok. Kakak pulanglah dulu. Kasihan Rangga sendirian, ucapku, sembari menuju pintu dan membukakannya. Dia pun menurut sambil mengusap air matanya.Maafkan aku, Kakak....*Aku dan Rifa kembali berjalan menyusuri gang untuk bisa sampai ke kantor. Membahas apa yang terjadi saat kakak beradik itu muncul di kamar kami. Lagi-lagi Rifa angkat tangan untuk persoalan yang satu ini.Dialah saksi dari segala tangisku setiap malam saat baru sampai di kota ini. Begitu terpukul dan harus menahan kerinduan karena jauh dari kampung halaman, meninggalkan dua pusara yang kini jauh dari jangkauan.Kini, aku harus kembali di hadapkan pada seseorang yang ikut andil dalam melengkapi penderitaanku. Dia terus menerus muncul dan berusaha menjadi bagian dalam hidupku. Kalau seperti ini, ke mana lagi aku harus melarikan diri?Ternyata, Medan begitu kecil ya, Day? ujar Rifa.Hmm. Tiba-tiba saja menciut, sahutku.Padahal selama dua tahun ini, cukup luas, bukan?Ya, ini tidak adil! gerutuku.Apanya yang tidak adil? Kalau Medan tidak menciut, kau juga tidak akan bertemu dengan pujaan hatimu, kan? ledeknya lagi, membuatku tersipu dan menahan malu.Jangan bicara seperti itu, Fa. Kalau Tomi mendengarnya, dia bisa mengadu, bisikku, seolah ada saja yang diam-diam menguping pembicaraan kami di pinggir jalan ini.Apa kau berpikir, kalau Tomi tidak tahu kau menyukai temannya?Aku tidak bilang apa pun.Menurutmu, Rangga tidak cerita apa pun padanya?Entahlah, kalau ternyata Rangga sudah punya pacar, bagaimana?Kau belum bertanya? Rifa membalikkan badan dan berjalan mundur menatapku, kemudian  kembali ke posisi semula.Apa tidak terlalu cepat? Kami bahkan baru sekali bertemu, protesku.Tapi kau sudah menyukainya seumur hidupmu!Wanita itu tugasnya menunggu, Fa. Aku tidak ingin terlihat agresif.Benarkah? Gadis berambut ikal itu kembali melirikku. Tapi dia itu tampan. Kau tidak takut?Eh? Iya. Tentu saja aku takut.Tak lama, kami pun sampai. Menyapa sekuriti, kemudian memasuki gedung bertingkat tiga, kemudian melakukan finger print tanda para karyawan sudah mengisi absen. Lalu menuju pantri untuk meletakkan tas dan jaket di ruangan di samping dapur. Ruangan berupa gudang penyimpanan alat-alat kebersihan itulah yang menjadi ruang ganti para petugas kebersihan seperti kami.Kami melakukan tugas pagi. Membersihkan seluruh bagian gedung, sebelum para staff datang dan menempati posisi masing-masing. Seperti biasa, aku menaiki tangga menuju lantai tiga yang menjadi area untuk kubersihkan.Aku memulainya dengan mengelap meja di sebuah ruangan. Memperhatikan sebuah papan nama bertuliskan Hakim Ananta S.H, dengan jabatan wakil direktur. Jika Bang Hakim hanyalah seorang wakil, lalu siapa Direktur utama di kantor cabang ini? Tak sabar rasanya aku melihat siapa sebenarnya yang akan menjadi pemimpin tempatku bekerja.Selesai mengerjakan ruangan ini, aku berpindah ke ruangan yang lain. Ruangan yang berbatasan langsung dengan ruang rapat yang cukup luas. Sengaja kulewati ruang rapat, agar segera menuntaskan rasa ingin tahuku. Benarkah, dia yang aku pikirkan, ataukah orang lain yang sama sekali belum pernah aku kenal.Entah kenapa, perasaan yang selama ini biasa saja saat memasuki ruangan Bos besar, tiba-tiba membuatku jadi berdebar-debar. Gegas aku menuju meja kerjanya. Memerhatikan dengan seksama nama yang tertera di atas meja. Benar saja, sejurus kemudian air mataku menitik begitu saja. Wanita itu, benar-benar penuh misteri.Aku kembali ke pantri setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Berkumpul dengan mereka yang juga telah selesai. Tomi membuat empat cangkir kopi sachet, untuk menemani sarapan kami.Para staff yang lain sudah mulai berdatangan saat kami selesai sarapan. Ritual yang selalu kami jalani di sela-sela tugas. Bagi kami sebagai petugas kebersihan, harus datang pagi-pagi sekali untuk membersihkan seluruh ruangan sebelum para penghuninya muncul dan mempergunakannya dengan nyaman.Kantor yang besarnya tidak seberapa ini, memiliki aturan tersendiri. Semua tugas sudah diatur oleh bagian personalia, kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Bu Susan. Selanjutnya, Bu Susan sendirilah yang bertanggung jawab penuh mengatur kami bertiga sebagai bawahan.*Jam makan siang telah tiba. Aku kembali ke lantai tiga untuk memungut sampah saat penghuninya sedang tidak ada. Dia pasti keluar untuk makan siang seperti yang lain.Aku menatap pigura berisi selembar foto keluarga. Aku mengambil dan memandanginya dengan seksama. Foto dengan formasi lengkap. Ada Kak Alma dan juga Rangga. Sepertinya ini foto lama, karena Kak Alma sedang menggendong seorang bayi, yang pastinya itu adalah Rangga yang kini sudah berusia dua tahun.Kedua orang tua mereka tampak awet muda. Memakai pakaian yang serupa seperti sedang melaksanakan suatu acara. Sungguh terlihat seperti keluarga yang bahagia, dan aku begitu iri melihatnya.Sedang apa kau? Terdengar suara seseorang mengagetku. Buru-buru kuletakkan kembali bingkai kayu tersebut di tempat asalnya. Apa tadi aku melamun, hingga tak terdengar suara pintu sedang dibuka?Hanya mengambil sampah, ucapku sedikit gugup. Lalu beranjak melangkah melewatinya.Kau mengadu apa saja, ha? Ucapannya membuat langkahku tertahan.Tidak ada. Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya, jawabku dengan sedikit gemetaran.Aku tidak ingin terlibat pertengkaran lagi dengan pria ini. Kata-kata yang dilontarkannya bisa begitu kejam hingga membuatku takut untuk mendengarnya. Dia berjalan mendekatiku, kemudian memandangiku dari atas hingga ke bawah.Tidak bisakah kau beralasan lain? tegasnya. Aku menatap wajahnya. Orang ini, benar-benar tidak ingin melihatku lagi? Aku menunduk diam.Mungkin beginilah perasaan kak Alma kemarin, saat aku mengusir dan memintanya menjauh dari kehidupanku. Sakit, dan tidak berlebihan jika dia menangis. Aku pun hampir sama, mataku mulai terasa hangat. Rupanya begini rasanya tak diinginkan.Aku akan menyerahkan surat pengunduran diri hari ini. Tunggulah hingga akhir bulan, aku tak akan muncul lagi di hadapan kalian, sahutku.Kau juga akan mengadu soal ini? Aku menggeleng.Kami sudah bicara. Kak Alma tidak akan bertanya lagi.Apa kau membenci kakakku? Matanya tak lepas menatap tajam ke arahku. Membuatku tak mampu lagi membendung genangan air yang memaksa turun membasahi pipi.Hatiku masih sakit, lirihku. Aku tak lagi bisa memeluk Ibu. Aku sendirian, aku begitu kesepian. Tahukah kalian rasanya kehilangan? Tenggorokanku mulai tercekat. Seketika raut wajahnya berubah, pandangannya mulai meneduh.Aku memang orang kampung seperti yang Abang katakan. Aku tak tahu caranya berbicara dengan benar untuk mengungkapkan perasaanku. Aku tak ingin kak Alma terluka karena amarahku yang selama ini masih menyalahkannya atas kepergian Ibu. Untuk itulah aku menjauh, agar bisa melupakan semua kenangan yang pernah kami lalui. Aku semakin sesenggukan.Mungkin bagi kalian uang sekecil itu tidak berharga sama sekali. Begitu mudah untuk dilupakan. Tapi bagi orang miskin sepertiku, uang itu satu-satunya harta yang mampu menyelamatkan Ibu. Susah payah aku mengumpulkannya, lalu dengan berat hati kuberikan begitu saja padanya. Haruskah aku menyalahkan diri sendiri, karena telah salah dalam mengambil keputusan? Tangisku semakin pecah, hingga kututup kembali wajah ini dengan kedua telapak tangan.Perasaanku begitu hancur. Setelah kehilangan segalanya, kini aku harus kembali kehilangan pekerjaan. Membuat hatiku semakin teriris perih. Lalu kudengar suara langkah kaki itu semakin mendekat. Hingga kurasakan tubuhku ditarik, kemudian merapat dalam dekapannya.Maafkan kakakku, bisiknya. Maafkan juga aku....Aku kembali menumpahkan tangisan hingga puas. Tak peduli lagi, siapa pemilik tubuh kekar ini, yang untuk pertama kalinya memberiku kenyamanan dan rasa hangat sebagai tempat bersandar selama dua tahun tersiksa menahan perih, kehilangan satu-satunya keluarga yang kumiliki.                     ******************LUKA DI HATI DAYANG (6)Cukup lama aku membenamkan diri pada dada bidangnya, hingga aku tersadar kemudian langsung menarik diri. Kuusap kasar air mata ini dengan punggung tangan sembari melangkah mundur dan menunduk.Maaf, tuturku.Untuk apa?Sudah lancang.Lancang kenapa?Menyentuh tubuh Abang.Aku yang memulainya, ujarnya, membuatku memberanikan diri menatap wajahnya. Apa aku tidak salah dengar? Pria yang biasanya berbicara tanpa filter ini mengaku bahwa itu bukan kesalahanku?Abang tidak marah?Kau takut? Aku kembali menunduk. Sudahlah, lanjutkan saja pekerjaanmu! perintahnya.Iya. Aku pun melangkah. Berjalan pelan melewatinya.Kenapa tidak jadi? Lagi, langkahku terhenti mendengar ucapannya.Apa?Sampahnya. Tidak jadi dibawa?Oh. Iya. Rasa gugup membuatku jadi bingung sendiri. Segera aku membawa kantong plastik hitam yang tadi sudah kuiisi sampah, kemudian kembali melangkah.Tidak usah saja. Dia kembali bersuara. Membuatku kembali berhenti. Apa lagi kali ini, kenapa tidak sekalian saja tadi?Sampahnya? tanyaku. Kemudian terdengar suara langkah kakinya mendekat dan kembali berdiri di hadapanku.Surat resign. Aku mengernyit. Teruslah bekerja. Aku tak akan lagi mengganggumu.Aku tertegun. Dia bisa menerima kehadiranku. Kenapa? Apa karena kasihan? Ataukah merasa sungkan dengan kakaknya? Lalu, apa arti pelukan tadi? Aku mengangguk saja. Tak tahu harus menjawab apa. Kali ini kulangkahkan kaki dengan sedikit tergesa, agar tak ada lagi kata-kata berikutnya yang kembali menahanku dan menunda jam makan siangku.Sampai di pantri, kulihat Bu Susan sedang mencuci kotak bekalnya. Tomi dan Rifa belum terlihat. Mungkin masih bertugas, atau mungkin membeli makan siang.Aku sudah bicara pada Pak Diki, ucap Bu Susan, sembari meletakkan cuciannya tadi di rak piring kecil di samping wastafel.Iya, Bu, sahutku.Apa yang kau lakukan, sampai Pak Hakim begitu marah padamu? Aku terdiam. Tak mungkin kuceritakan ada hubungan apa aku dengan keluarga mereka.Aku....Kau kenapa?Aku....Dayang tidak sengaja menyemprot wajah Pak Hakim, Bu, sela Rifa yang baru saja muncul membawa kantong sampah.Kau pasti melamun lagi! sergah Bu Susan. Lain kali berhati-hatilah. Ubah sedikit kebiasaanmu itu. Jangan sampai kau kerasukan karena sering melamun sendirian di tempat sepi.Iya, Bu.Bu Susanpun berjalan menuju gudang. Melaksanakan ritualnya selesai makan. Apalagi kalau bukan menyulut rokok. Ibu dari dua orang anak itu memang tidak bisa lepas dari kebiasaannya sejak masih gadis.Aku menghela napas. Lega. Kenapa hal sepele seperti itu tak terpikirkan olehku. Jawaban Rifa benar-benar menyelamatkanku. Dan kami terkikik geli saling berpandangan. Menyemprot wajahnya? Ah, andai aku punya keberanian sebesar itu.Tak lama Tomi datang dengan bungkusan makanan di tangannya. Kamipun makan dengan lahap.Malam minggu koro-koro (karaoke) yuk! usul Tomi sambil mengunyah makanan. Kan gajian.Ayuk, ayuk. Rifa terlihat bersemangat. Mau kan, Day? Aku mengangguk. Ajak Rangga juga, Tom. Biar ramai, usulnya lagi. Aku mendelik ke arah gadis yang sedang senyum-senyum menggoda itu kepadaku.Iya, nanti aku ajak. Sudah deal ini, ya? Tomi meyakinkan. Kami berdua tersenyum dan mengangguk.Aku dan Rifa memang termasuk gadis yang jarang bergaul. Tak pernah pergi dengan sembarangan orang. Banyak juga teman-teman sebaya yang tinggal di kos-an mengajak kami pergi. Namun aku dan Rifa selalu menolak.Mungkin karena di kampung sudah terbiasa menjadi anak rumahan. Hingga terbawa sampai ke perantauan untuk tak mengikuti pergaulan bebas pemuda-pemudi seumuran.Hanya kepada Tomi kami percaya. Dia terlihat dewasa dan seperti melindungi. Cukup lama kami bertetangga. Dia pulalah yang memberikan aku dan Rifa pekerjaan di kantor itu. Hingga kami selalu percaya, ke mana pun ia mengajak pergi.*[Dayang.] Sebuah pesan whatsapp masuk tanpa nama. Kulihat foto profilnya, demi mengetahui siapa yang sedang menyebut namaku.[Iya, Kak,] balasku, setelah tahu siapa pemiliknya. Mudah saja rupanya untuk mendapatkan nomorku, ketika aku menjadi bawahan mereka.[Hari Sabtu pulang sama Hakim, ya? Menginap di rumah. Kita makan malam bersama.][Aku ada acara.][Kau menghindar lagi, kan?][Tidak, Kak. Aku benar-benar sudah punya janji.][Ke mana?]Haruskah aku memberitahu? Jika begini, bukankah besok-besok dia akan kembali bertanya dan selalu ingin tahu urusanku? Aku jadi merasa tidak bebas.[Pergi sama teman.][Apa kau punya pacar?]Haish, apa lagi ini! Apa dia berpikir aku akan kembali terbuka dan berterus terang dengan urusan pribadiku kepadanya? Padahal dia begitu mengenal laki-laki yang akan bertemu denganku, meski hanya dari cerita-ceritaku zaman dulu.Kuabaikan pesan itu tanpa membalasnya lagi. Meletakkan ponsel di samping bantal dan mencoba memejamkan mata. Tak henti-hentinya bibir ini menyungging. Teringat saat Tomi mengatakan bahwa Rangga akan ikut dan menjemput kami di rumahnya.Apa itu artinya Rangga tidak punya pacar? Seperti sebuah mimpi, khayalanku untuk menghabiskan malam Minggu dengannya menjadi sebuah kenyataan. Apa Rangga juga merasakan hal yang sama padaku?Ah, entahlah. Aku akan menunggu. Membuat semuanya berjalan seperti apa adanya. Toh takdir sudah mempertemukan kami. Apalagi yang aku takutkan? Bukankah ini sebuah awal untuk hubunganku dengannya?Tak berapa lama, ponselku kembali berdering. Kali ini panggilan masuk dari nomor yang sama. Aku masih enggan untuk menjawabnya. Namun sikap Bang Hakim tadi siang membuatku berubah pikiran. Kurasa aku tak harus membuatnya kembali membenciku dengan mengabaikan niat baik kakaknya.Iya, Kak? sahutku.Kau tidak menjawab pesanku, cecarnya dari seberang sana.Aku tidak punya pacar.Lalu dengan siapa kau akan pergi? Pria atau wanita?Rifa, Kak. Dia teman sekamarku. Juga bekerja di kantor Kakak.Oh, syukurlah. Aku pikir kau pergi dengan sembarang orang. Aku suruh Hakim untuk mengantar, ya?Huft. Haruskah ku blokir nomor ini agar dia tidak bersikap berlebihan? Sebenarnya Hakim itu adik, atau pesuruhnya? Kenapa semua-semua harus dia yang mengurus. Memangnya tidak punya pekerjaan lain? Malam Minggu pula. Apa dia tidak punya istri, atau mungkin pacar?Dayang? Kau masih mendengarku, kan? Kenapa tidak menyahut?Menyahut apanya? Aku harus bilang apa lagi? Apa nanti dia akan mengadu pada adiknya? Dasar keluarga aneh.Aku sudah punya pacar, Kak. Dia yang akan menjemputku. Tolong, kakak tidak perlu mengkhawatirkan apapun tentangku, ucapku berbohong. Lalu kuputuskan saja percakapan itu.Rifa mengangkat bahu saat kulihat dia sudah duduk di sudut ranjang mungil dengan handuk membungkus rambutnya. Kuyakin dia mendengar semua ucapanku tadi, sesaat setelah keluar dari kamar mandi. Aku kembali membanting kepala di atas bantal. Malam kini semakin larut. Kulirik Rifa sudah damai dengan mimpi indahnya. Aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Memendam perasaan, tanpa keberanian untuk mengungkapkan pada seseorang.Cahaya bulan merangkak naik dari celah jalusi kamar, membuatku teringat kembali saat masih tinggal di kampung. Kak Alma mengetuk pintu lewat jam sembilan malam, membawa sesisir pisang kepok dan juga gula merah.Malam itu juga aku memarut kelapa di dipan luar bersamanya, sedangkan Ibu memotong-motong pisang dan merebusnya dengan gula. Sungguh, sedikit pun Ibu tak merasa direpotkan atas permintaan Kak Alma yang tengah mengidam. Ingin sekali memakan kolak pisang malam itu juga.Lewat jam sepuluh kami sudah menikmati kolak pisang, sambil tertawa menikmati sinar bulan di kampung tengah kota Besitang. Bang Surya muncul sambil garuk-garuk kepala karena merasa sungkan dengan Ibu. Hingga kak Alma tersenyum cengengesan dengan mulut penuh potongan pisang yang belum dikunyahnya. Lalu pulanglah mereka sambil saling merangkul layaknya pasangan muda yang berbahagia.                          **************Aku begitu lega, karena akhirnya aku tidak perlu mengundurkan diri dari pekerjaanku. Mungkin karena kemarin Bang Hakim mulai bersikap baik. Hingga berkurang sedikit beban yang membuatku merasa berat untuk menginjakkan kaki di kantor ini lagi. Kurasa kemunculan dan juga jabatannya tidak akan mempengaruhi pekerjaanku.Aku mengetuk pintu ruangan, kemudian menggerakkan handelnya setelah mendengar perintah, menyuruhku masuk dari dalam sana. Aku melangkah ke ruangan, membawa nampan berisi secangkir teh untuk tamu Bang Hakim. Seorang wanita cantik dan begitu modis.Rambutnya pendek, lurus bervolume. Seperti di blow dan mengembang. Ditambah lagi dengan warna cat rambut yang tidak terlalu mencolok. Terlihat serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Itu telihat keren. Dan aku suka.Terima kasih, sapanya ramah. Aku hanya tersenyum mengangguk, lalu keluar.Aku baru tersadar, laki-laki sekelas Bang Hakim tidak mungkin tidak memiliki kekasih. Wajah tampan nan rupawan, serta jabatan yang sempurna, seperti tak punya celah untuk diabaikan semua wanita. Hanya gadis bodoh saja yang mungkin akan menolak perasaannya. Dasar buaya, kenapa waktu itu dia memelukku?Mau tebar pesonakah? Atau hanya ingin menyama ratakanku dengan gadis-gadis lain yang mungkin mengincarnya. Tapi maaf, hatiku sudah jadi milik orang lain. Hihihihi... aku terkikik geli mendengar pikiranku sendiri.Kau kenapa? Suara Bang Hakim terdengar dari celah pintu yang baru terbuka. Aku terkejut, nyatanya aku masih berdiri di depan kantornya sambil memikirkan hal lucu tadi.Ti.. tidak ada, Bang. Eh, Pak, Eh...ish.... Aku merasa gugup dan tak tahu harus memanggilnya bagaimana.Lalu kenapa tertawa sendiri? Dia masih berdiri di ambang pintu, dengan separuh badan masih berada di dalam.Kapan?Barusan.Abang butuh sesuatu? Eh, Bapak.... Aku semakin gugup saat hendak mengalihkan pembicaraan.Panggil Abang saja, tidak apa-apa. Itu bukan masalah, ujarnya, yang mungkin kerepotan karena masalah panggilan.Kenapa keluar? tanyaku lagi. Kalau butuh sesuatu, biar aku bantu.Mau ke toilet, kau mau membantu?Eh? Aku lekas berbalik dan bergegas pergi meninggalkannya. Terdengar sedikit suara tawa dari mulutnya yang tertahan. Bisa juga dia bercanda. Atau menggoda?*Malam ini, aku dan Rifa berdandan rapi. Memoles sedikit riasan agar terlihat menawan di depan pria pujaan. Ini memang bukan kencan, hanya sebuah pertemuan yang kebetulan berpasangan. Tak seperti biasanya, saat Tomi mengajak adik dan sepupu-sepupunya untuk ikut. Agar lebih hemat katanya. Semakin banyak yang ikut, semakin sedikit jumlah yang harus dibayar.Tapi kali ini, andai aku semua yang membayar pun tak jadi masalah. Mungkin sepadan dengan kebahagiaan yang mungkin aku dapatkan. Bagaimana tidak, Rangga terdengar begitu sempurna.Sudah tahu seluk beluk kehidupanku sedari kecil. Baik hati, ramah dan juga pintar. Dia juga bukan seorang sarjana, tak ada kesenjangan sosial diantara kami, kecuali... aku yang tak punya siapa-siapa lagi.Tapi justru itu yang membuatku yakin. Dia ikut merasakan kesedihan saat aku menceritakan bahwa Ibu sudah tak ada. Bisa kulihat di wajahnya, bahwa dia juga ingin menjadi seseorang yang mungkin bisa melindungiku. Menjadi seseorang yang membuatku tak lagi merasa sebatang kara.Sudah siap, Day? Rifa tersenyum sumringah. Menunjukkan gigi gingsulnya yang membuat dia terlihat manis dan juga imut. Aku tersenyum mengangguk, lalu menggandeng tangannya untuk ikut keluar.Kami sampai di halaman rumah Tomi, saat kulihat mereka sedang mengobrol. Rangga sudah tiba rupanya, menyapa kami dengan senyuman. Aku cukup terkejut, penampilanku malam ini berbanding terbalik dengan kostumnya yang hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jins saja.Sepatu pun masih sama saat dia datang kemarin, itu pun katanya langsung dari tempatnya bekerja sebagai montir di sebuah bengkel. Atau aku yang terlalu berlebihan? Menganggap ini sebuah hal yang penting, sedang dia malah berpikir bahwa ini adalah hal yang santai.Lalu bagaimana dengan Tomi? Penampilannya tampak paripurna. Dia bergaya layaknya ini memang sebuah kencan. Ah, beruntungnya Rifa kali ini.Kami pun bergerak, masing-masing berboncengan dan melaju membelah jalanan dengan sepeda motor. Rangga terlihat cukup gagah setelah memakai jaket hoodienya, tapi tetap saja terlihat begitu santai dan cuek untuk sebuah pertemuan yang disengaja.Pacarmu tidak marah kau pergi denganku, Day? Suaranya terdengar bercampur dengan deru mesin kendaraan.Aku tidak punya pacar, jawabku sedikit menguatkan volume suara. Kau sendiri? Aku menunggu jawaban. Tapi tak terdengar sama sekali. Kenapa dia tidak menjawab?Kami sampai di sebuah gedung bertingkat dengan banyak lampu berkelap-kelip di dinding luarnya. Memasuki ruangan luas dan duduk di sofa ruang tunggu menunggui Tomi untuk mendaftar dan memesan ruangan.Setengah jam lagi. Masih full, jelasnya, sembari duduk berjajar di sebelah antara aku dan Rangga. Tidak apa-apa, kan? Biasa, malam Minggu. serunya lagi.Tidak apa-apa, sahutku.Tiga puluh menit tidak akan terasa jika dipakai untuk mengobrol. Kulirik Rangga begitu asyik dengan ponselnya. Apa dia sedang berbalas pesan dengan seseorang? Dan dia melakukan itu sejak kami memasuki ruangan ini. Siapa itu. Apa sebenarnya dia punya pacar?                          **************LUKA DI HATI DAYANG (7)Kulihat pemuda yang tadi memboncengku itu masih asyik dengan ponselnya. Bunyi notifikasi whatsapp pun tiada henti-hentinya. Sedetik saja belum bersuara, terlihat gusarlah dia menanti balasan yang entah dari siapa.Entah kenapa, ada sedikit rasa nyeri di hati ini. Aku sama sekali belum mengetahui isi hatinya, namun satu hal yang kusadari dengan perasaanku saat ini. Aku cemburu. Aku cemburu pada seseorang yang belum tampak sama sekali. Yang kutahu, aku hanya iri pada siapa dia, yang saat ini sedang berbalas pesan dengannya.Tanpa sadar, ponselku juga ikut berdering. Aku merogoh slingbagku dan segera mendapatkannya. Lagi-lagi kulihat nama kak Alma sedang memanggil.Kau dimana, Dayang? Dia langsung bertanya, begitu aku menggeser layar berwarna hijau. Aku bahkan belum mengucapkan kata halo.Bukankah aku sudah bilang kemarin? sahutku, dengan nada kesal.Entah kesal karena pertanyaannya, ataukah kesal karena perasaanku melihat Rangga. Tapi jelas panggilan ini membuat perasaanku tambah berapi-api.Katakan saja kau ada dimana! Dia terdengar seperti seorang Ibu yang mengakhawatirkan anak gadisnya.Memangnya kenapa, Kak?Aku hanya ingin tahu.  Aku di tempat karaoke.Karaoke mana?Sungguh, aku benar-benar bisa gila dibuat perempuan yang satu ini.Milo.Baiklah. Dia segera menutup panggilan.  Kulirik kembali wajah Rangga. Air mukanya menyiratkan kekecewaan. Dia duduk bersandar tanpa bicara sepatah kata pun. Tak lama nama antrian kami dipanggil, hingga sudah bisa memasuki ruangan untuk menikmati fasilitas.Kami berjalan pelan mengikuti gadis pemandu untuk menunjukkan di mana ruangan yang akan kami tempati. Lalu tiba-tiba saja Rangga menghentikan langkahnya, dengan ponsel yang masih menyala. Sepertinya dia baru saja menerima panggilan.Kalian masuk duluan, ya. Nanti aku menyusul, pamitnya, lalu setengah berlari menuju pintu keluar tanpa menunggu jawaban dari kami.Tomi dan Rifa serempak menoleh ke arahku. Seperti menaruh rasa iba atas perlakuan Rangga yang dengan terang-terangan mengabaikanku.Hei, kenapa kalian menatapku seperti itu? Aku menjentikkan jari ke hadapan mereka dengan senyum yang kubuat-buat. Aku hanya tak ingin malam ini menjadi kacau karena perasaanku. Ayo masuk!Mereka mengerti, kulihat mereka ikut tersenyum untuk mengindahkan rasa kecewa tadi. Bisa kulihat gurat kekecewaan pada wajah Tomi, mungkin merasa tidak enak karena perlakuan temannya tadi.Aku bergerak dan berdiri di antara mereka yang masih mematung. Lalu menggandeng lengan mereka dan menariknya mengikuti langkah sang pemandu.Kami melupakan sejenak kejadian tadi. Bernyanyi dan menari dengan alunan musik yang selalu berubah genrenya setiap habis satu lagu. Rifa tak kalah semangat saat berduet dengan Rangga kala menyanyikan lagu Saat Bahagia yang dibawakan oleh Andien dan grup band Ungu.Hingga tanpa sadar satu jam telah berlalu. Masih ada sisa satu jam lagi, sampai kulihat Rangga muncul untuk hadir seperti janjinya tadi. Ingin sekali aku mengukir senyum, karena nyatanya dia sungguh-sungguh kembali. Namun senyum itu tak mampu membentuk lengkungan, bahkan hanya di sudut bibir, kala Kulihat siluet tubuh seseorang berada di belakangnya. Dia tak sendiri.Mereka mendekat dengan senyum sumringah, hingga tak perlu sampai aku mengucek mata untuk mengetahui siapa gadis yang dibawanya itu. Oh, Tuhan. Bukan takdir seperti ini yang aku inginkan. Medan semakin hari semakin mengecil. Hingga orang-orang yang kutemui hanya berputar-putar seperti ini saja.Hidupku kini bagai rollercoster. Sekencang apapun aku bergerak maju, tujuanku tak akan pernah bisa berbelok, apalagi berbalik arah.Maaf terlambat! ucapnya, dengan senyum sumringah. Diikuti gadis yang juga dari tadi ikut menatapku. Ya, gadis itu yang aku temui tadi siang di kantor Bang Hakim. Kenapa Rangga bisa mengenalnya. Ada hubungan apa di antara mereka? Lalu, Bang Hakim?Kenalkan, ini Jihan. Boleh gabung, kan? Rangga memperkenalkannya pada kami. Seperti tadi siang, gadis bernama Jihan itu tersenyum ramah sembari mengulurkan tangan kepada kami. Sekilas dia melirikku, namun berpura-pura tidak mengenal. Aku tak peduli.Kami bergabung dengan suka cita. Seperti tidak terjadi apa-apa. Aku ikut menyanyi dan tertawa. Siapa yang tahu apa yang kurasakan di hati ini. Lalu aku pamit keluar untuk ke toilet. Merapikan sedikit rambut dan memperbaiki pakaianku yang agak kusut selepas dari toilet tadi.Mau coba lip balmku, tidak? Suara Jihan membuat napasku tertahan. Dia keluar dari bilik kamar mandi dan berdiri sejajar denganku menghadap cermin besar di wastafel. Dia mengeluarkan sebuah benda yang kutahu itu untuk memoles bibir.Tidak usah, sahutku, mencoba tersenyum.Bibirmu terlihat kering. Sepertinya pelembab yang kau gunakan tidak cocok. Dia menggunakan sendiri benda yang dia pegang tadi.Iya. Aku hanya asal membeli. Jarang dipakai juga.Kau harus mengenali jenis kulitmu sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi yang merawatnya?Iya. Nanti kubeli lagi.Aku tidak menyangka kalau kau juga mengenal Rangga. Senyumnya mulai tampak berbeda. Dan itu menakutkan.Kami satu kampung.Owh, dari kampung juga. Berarti sudah lama kenal, ya?Aku hanya tersenyum, kemudian permisi untuk kembali ke ruangan. Dia mengangguk, lalu menahan langkahku dengan suatu pertanyaan.Kau tidak akan mengadu, kan, Dayang?Aku berbalik menatapnya. Mengadu apa?Tentang pertemuan kita ini kepada Hakim.Bang Hakim? Jadi dia juga bermain di belakang laki-laki yang kubilang sempurna itu? Oh, kejamnya dunia. Seorang yang paripurna saja dengan mudah dapat dikhianati, apalagi aku yang bukan apa-apa ini.Maaf, tapi itu bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain.Ou, baguslah. Aku harap kita bisa menjadi teman nantinya.Ya, Mungkin saja. Aku kembali melangkah dan meninggalkannya sendiri.Sungguh, malam ini menjadi begitu kelabu buatku. Ingin sekali rasanya aku berlalu keluar dan meninggakan hingar bingar suara musik yang membuat mood ku jadi begitu memuakkan. Tapi tentu saja hal itu kuurungkan, mengingat Rifa dan Tomi begitu menikmati suasana saat ini. Satu kosong untuk mereka, dan mereka menang. Tak akan ada kata lain kali untuk acara seperti ini lagi.Kepalaku bertambah pusing kala mereka menambah waktu lagi menjadi tiga jam. Selama itu pula aku terkungkung dalam suasana tidak nyaman, melihat mereka bernyanyi dan menari layaknya sebuah pesta. Aku menyeruput lemon tea yang tanpa sadar sudah tandas dan tak dapat kuhisap lagi. Aku frustasi.Penderitaanku belum juga sirna, meski kami sudah keluar dari ruangan yang terasa bagai penjara bagiku. Rangga memutuskan untuk mengantar Jihan pulang, sementara jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Kami bisa ditertawakan orang jika sampai boncengan bertiga dengan motor bebek Tomi. Melewati jalanan kota yang bisa saja kepergok polisi, kemudian ditilang karena melanggar peraturan.Laki-laki ini, sungguh tidak punya hati nurani. Kulihat Jihan berjalan sambil bercanda tawa di sisi Rangga. Aku yang berjalan di belakangnya merasakan hawa panas meski ruangan ini penuh dengan pendingin ruangan. Lalu seketika tubuhku menabraknya, kala gadis itu berhenti secara mendadak. Ada apa?Aku mengintip dari balik tubuh sintalnya. Mencari tahu hal apa yang membuatnya terkejut seperti itu. Mataku membesar saat melihat laki-laki itu tengah berdiri kokoh di hadapan kami, sambil melipat kedua tangan yang diletakkan di dadanya. Dia lebih terlihat seperti model. Eh?Tiba-tiba saja sebuah senyuman tersungging di bibirku. Refleks. Rasakan. Ternyata Tuhan itu adil. Gadis serakah itu sudah ketahuan meski aku tak mengadu. Terima kasih Tuhan, karena telah mengirim Bang Hakim untuk menyeret wanita ini menjauh dari kami. Kulihat Bang Hakim berjalan mendekat. Tatapannya tajam memperhatikan kami satu persatu.Pulang! perintahnya tegas. Membuat senyumku kembali tertahan. Dalam hati aku mengucap syukur. Rasakan itu.Kau tidak dengar? Bang Hakim membuang pandangan, memutar bola mata, malas. Gadis yang datang dengan rok celana sepaha itu terdiam. Aku yang kini berdiri di sisinya bisa melihat dengan jelas raut wajahnya yang ketakutan. Sukurin.Kulihat wajah pria itu semakin tidak sabaran. Betapa beruntungnya gadis bernama Jihan ini, andai aku yang berada di posisinya, sang psikopat ini pasti sudah menyeretku dengan paksa. Tapi lihatlah, kini dia memberinya waktu untuk berjalan sendiri. Sialan.'Ayo lakukan sekarang! Kau juga harus menyeret wanitamu itu pulang, Hakim!' rutukku dalam hati. Tidak sabaran menyaksikan dirinya yang kini terlihat lembek. Dasar lemah.Jihan berjalan pelan, mendekati dan menyentuh lengannya. Kulirik Rangga yang tertunduk seolah tak ingin menyaksikan hal itu. Kasihan....Hakim, aku bisa jelaskan ini. Aku.... Pria arogan itu menepiskan jemari lentik itu sebelum ia selesai meneruskan kata-katanya.Menyusahkan saja, hardiknya. Cepat pulang! Ia bergerak cepat menarik lengan dan menyeretku mengikuti langkahnya.Eh? Apa ini? Kenapa aku? Apa dia buta? Kenapa menarik lenganku?Abang salah orang, keluhku sambil memukul-mukul kepalan tangannya.Berisik. Sudah satu jam aku menunggu di sini. Kau sungguh merepotkan, gerutunya lagi. kemudian langkahnya terhenti, tanpa melepaskanku, dia berbalik.Kau! Dia menunjuk ke arah Rifa. Rifa ikut kaget, dan wajahnya juga tampak ketakutan. Ikut pulang! perintahnya.Sontak Rifa berlari kecil menuju ke arah kami dan mengikuti langkah kakiku yang masih di seret paksa oleh Bos kami ini. Apa yang sebenarnya terjadi?Gadis seperti apa kalian ini? Tidak lihat ini sudah jam berapa, ha? Dia berteriak sembari mengemudikan mobilnya.Aku menoleh ke belakang, menatap sahabatku itu yang kini benar-benar ketakutan. Benar saja, ini pertama kali baginya berurusan langsung dengan Bang Hakim yang dia sebut psikopat. Percayalah dia kini, dengan apa yang aku ucapkan, setelah melihat langsung bagaimana cara pria ini memperlakukanku.Kenapa Abang bisa berada di tempat itu? tanyaku heran. Apa Jihan sendiri yang memamerkan keberadaannya agar Bang Hakim datang untuk menjemputnya?Kau pikir kenapa?Apa jangan-jangan.... aish, benar saja. Bukankah kak Alma tadi menanyakan keberadaanku? Kenapa tidak terpikirkan olehku bahwa dia punya pesuruh yang begitu setia menjalankan perintahnya.Suasana hening. Tak ada lagi terdengar suara hingga kami sampai di depan kost-kostan. Aku dan Rifa turun sembari berbasa-basi mengucapkan terima kasih padanya. Namun bukannya menjawab, ia malah ikut turun dan jalan mendahului kami menuju kamar kost.Aku dan Rifa saling memandang, menghela napas, kemudian seperti anak ayam mengekorinya dari belakang.Dayang? Kak Alma sudah menunggu di sana rupanya. Di kursi panjang, di koridor yang biasa digunakan untuk duduk-duduk saat ada tamu. Kenapa pulang selarut ini? Apa kalian selalu seperti ini?Kakak sendiri, sedang apa di sini? Aku balas bertanya.Aku sudah menunggumu sejak tadi. Kupikir kau akan pulang cepat.Di sana ramai. Kami harus mengantri agar bisa mendapatkan tempat. Aku beralasan, lantas melirik Bang Hakim.Tidak baik pergi ke tempat seperti itu, Dayang. Kalau kau ingin bernyanyi, kau bisa datang ke rumah. Ada sound system lengkap untuk karaoke. Kau bisa melakukannya bahkan sampai pagi.Terdengar suara tawa yang tertahan dari Bang Hakim. Apa menurutnya itu lucu? Dia pikir aku biduan?Iya. Aku mengalah. Tak ingin berdebat di tengah malam begini.Baguslah kalau kau menurut. Senyumnya terlihat mengembang. Ternyata tidak terlalu susah untuk membuat orang lain bahagia. Kurasa dia bisa tidur nyenyak setelah ini.Namun senyum itu hanya sesaat. Tak sampai tiga puluh detik. Matanya membulat saat melihat seorang pemuda keluar dari kamar kost seorang gadis yang sedang mengantar kepergiannya di depan pintu. Oh iya. Apa aku sudah mengatakan, kalau kost-kostan tempat tinggalku ini adalah zona bebas?Maksudku, siapa pun bisa bebas berkeliaran dan menginap meski berlainan jenis dan tanpa ikatan pernikahan. Asal tak menimbulkan keributan dan merepotkan sang pemilik. Dan harus kuakui, banyak sekali yang mengamalkannya di sini.Kenapa pemuda itu bisa berada di sana selarut ini? tanyanya, setelah gadis itu menutup pintu kamarnya.Mana kutahu. Kenapa tanya padaku? Aku menguap karena menahan kantuk.Oh, tidak. Kau harus pindah dari sini, Dayang. Ini tidak bisa lagi dibiarkan. Ini sudah kelewatan.  Kau harus pindah. Pindah!Ya, Tuhan! Apa lagi kali ini? Apa dia baru saja mengatur hidupku? Sejak kapan kakak beradik ini menjadi wali dan berhak memutuskan jalan hidupku?Oh, Medan. Cepatlah membesar. Dan jauhkan aku dari keempat orang itu. Aku kapok dan tak ingin lagi berurusan dengan mereka.                           ****************LUKA DI HATI DAYANG (8)Waktu begitu cepat berlalu. Tiba-tiba saja hari senin datang lagi. Seperti biasa kami melaksanakan tugas masing-masing di kantor. Namun kali ini suasana agak sedikit canggung. Tomi seperti tak berani menatapku. Mungkin masih merasa sungkan atas kejadian malam itu.Hari sudah hampir sore. Aku naik ke balkon untuk menyiram taman atas seperti biasanya. Tapi sepertinya rekanku yang satu itu sudah mencuri start duluan sebelum aku datang. Disiraminya dedaunan yang berwarna-warni dengan berbagai macam bentuk itu, lalu tersenyum saat menyambut kedatanganku.Itu tugasku, kenapa dikerjakan? Aku mematikan keran air, karena ember yang menampung sudah penuh. Kuambil gembor berukuran sedang yang berada di tangannya, lalu melanjutkan menyirami sisanya.Aku merasa tidak enak dengan kejadian malam itu. Kau marah, ya? Dari tadi hanya diam saja.Kau dari tadi juga tak ada bicara, balasku.Kupikir kau marah padaku, aku tak berani mengganggumu. Aku tertawa kecil.Untuk apa aku marah. Itu bukan kesalahmu.Tapi kau marah pada Rangga.Tidak. Untuk apa?Kalau tak marah, kenapa mengabaikan pesannya? Aku terdiam.Aku memang tak menjawab pesan dan panggilan dari Rangga. Bagiku tak ada yang mesti dijelaskan. Bahkan pesan-pesan berikutnya sudah enggan untuk aku buka. Percuma, hanya basa-basi belaka.Bagiku tak ada yang istimewa di antara kami. Sehingga, bagai sebuah drama kalau akhirnya aku menuntut dia untuk menjelaskan sesuatu. Begitu klise. Dan aku aku tak tahu kenapa dia berusaha melakukannya. Apa dia merasa bersalah? Kenapa? Dia bahkan abai saat aku tengah berada di sisinya.Hanya malas saja, dia mengadu padamu? Aku tersenyum geli.Tidak, dia hanya bertanya apa kau marah. Sepertinya dia khawatir.Memangnya aku sepenting itu? Lalu kau jawab apa?Kubilang kalau kau tak pernah marah, jawabnya sembari menggaruk kepala. Setidaknya tidak di depan orangnya, lanjutnya lagi tersenyum cengengesan.Aku tersenyum. Memang seperti itulah diriku. Tak pernah bisa menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Selalu berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Hingga harus kutanggung rasa sakit dan benci itu sendiri guna menghargai perasaan orang lain. Bodoh memang. Ah, tidak. Laki-laki arogan itu bilang aku munafik. Mungkin kata-kata itu lebih tepat.Sedang apa kalian? Suara yang sudah mulai tidak asing itu tiba-tiba saja muncul. Aku dan Tomi sedikit menunduk, tanda menghormati.Sedang menyiram tanaman, Pak, sahut Tomi, canggung.Apa tugas seperti ini saja harus dikerjakan dua orang? Kami terdiam. Kata-kata Bang Hakim terdengar sinis.Tak ada aturan khusus sebenarnya dengan tugas ini. Hanya saja, sejak awal Bu Susan sudah menempatkanku di sini. Hingga membuatku merasa nyaman dan menganggapnya sebagai kewajiban.Tomi mengangguk padaku, tanda bahwa dia yang akan pergi. Aku ikut mengangguk, tanda setuju.Permisi, Pak. Dia pun melangkah turun.Aku melanjutkan tugasku dengan kembali mengisi air pada benda berbentuk cerek yang kupegang ini. Dia mengekor, mengikutiku yang sedang menimba air dengan gayung.Siapa pria yang bersama kalian malam itu? Pertanyaan itu juga terdengar sinis, dan aku paham. Tapi, kenapa tadi tak ditanyakannya saja kepada Tomi. Bukankah lebih mudah berbicara dengan sesama lelaki?Aku tak tahu apa pun soal mereka. Tanyakan saja pada Jihan, elakku.Sejak kapan kau berteman dengan Jihan?Kami tak berteman. Hanya kebetulan bertemu.Tapi kau kenal laki-laki itu, kan?Iya, kami berasal dari kampung yang sama.Teman sekampung? Sudah lama kenal rupanya. Kalian dekat? selidiknya.Aku tak tahu apa pun. Jangan libatkan aku dengan urusan Abang dan Jihan. Aku tak mau lagi mengingat malam itu, gerutuku.Kenapa kau yang kesal? Aku hanya bertanya, cibirnya.Untuk apa bertanya? Kau hanya cemburu. Kenapa tak tanyakan saja langsung pada kekasihmu. Apa saat ini hanya kau saja yang merasa dikecewakan? Aku juga!Untuk apa mencari tahu? Apa yang akan Abang lakukan padanya?Wah, lihat gayamu itu. Kau kelihatan khawatir sekali. Apa kau menyukai laki-laki itu? Kata-katanya makin terdengar sinis.Ciss.. pria ini. Kenapa harus melibatkanku dengan urusan pribadinya. Memangnya ada urusan apa kalau aku menyukai Rangga. Bukankah seharusnya dia mendukungku, jika dia masih berharap pada kekasihnya itu. Dengan begitu, tak ada lagi yang akan mengganggu hubungan mereka.Aku pernah melihat cara ini dari ftv yang sering ku tonton saat masih di kampung. Dua orang figuran saling bekerja sama untuk memisahkan tokoh utamanya. Dengan begitu, masing-masing dari figuran bisa memiliki tokoh utamanya. Tapi tentu saja cara itu tidak pernah berhasil dan selalu gagal. Sebesar apapun usaha mereka, pemeran figuran tak akan pernah berhasil mendapatkan tokoh utama. Argh... kenapa aku malah membahas ftv?Abang tidak berhak ikut campur urusan pribadiku, ketusku, sambil meletakkan gembor tadi, kemudian bergerak untuk segera turun. Berlama-lama dengannya hanya membuat ingatanku kembali pada montir tampan itu.Eh, tunggu dulu, kenapa aku seberani ini bersikap galak terhadap atasanku? Haish... untung dia tidak tersinggung dan mengancam akan memecatku lagi.*Aku dan Rifa kembali berjalan pulang. Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti menghalangi jalan kami. Aku dan Rifa saling memandang, melihat sepasang kaki jenjang dengan sepatu heels bertali, keluar dari dalam mobil. Gadis yang memang terlihat keren itu tersenyum menyapa kami.Halo. Dia melambaikan tangan ke udara dengan senyum ramah. Seolah tidak terjadi apa pun malam itu.Kau mengikuti kami? tanyaku heran. Tak mungkin kebetulan dia lewat di daerah ini.Iya. Bisa kita bicara, Dayang? pintanya.Denganku? Bicara apa?Kita bicara di tempat lain saja, ya? bujuknya. Tidak apa kan....eh, siapa namanya? Dia mencoba mengingat-ingat sambil memandang gadis di sampingku.Rifa! sahut sahabatku itu, juga tak kalah ramah.Ya, Rifa. Aku hampir lupa. Boleh kan aku meminjam Dayang sebentar?Rifa menoleh ke arahku, meminta jawaban. Lalu dengan berat hati aku mengangguk.Boleh kok, sahut Rifa kemudian. Aku jalan duluan ya, Day. Aku tersenyum dan mengangguk.Ada perlu apa? tanyaku, saat mobil sudah membelah jalanan beraspal.Mmm.... Dia terlihat ragu.Katakan saja. Tidak apa-apa, ujarku, memecah rasa canggungnya.Ada hubungan apa antara kau dan Hakim? Dia langsung ke inti permasalahan. Sudah kuduga.Aku bekerja di kantornya. Kurasa kau pun sudah tahu.Ya, maksudku....tidak semua karyawan, apalagi hanya seorang..... Dia terdengar ragu menyebutkan posisiku.Klining servis, lanjutku.Jangan tersinggung, ya, ucapnya merasa sungkan.Tak apa. Itu memang pekerjaanku.Apa kau sedekat itu dengan atasanmu? Bukankah dia baru saja dipindahkan dari kantor pusat? Sejak kapan kalian sering berkomunikasi?Kau lebih kenal dia dibanding aku. Kenapa tak tanyakan langsung?Kurasa dia marah. Dia sama sekali tidak menjawab panggilanku.Kasihan. Kurasa Bang Hakim benar-benar marah dan cemburu. Kalau begitu, Rangga dalam bahaya. Bagaimana kalau pria itu membuat perhitungan dan mencelakainya. Orang seperti dia lebih mirip seperti mafia.Mau apa dia menanyakan hal tentang Rangga. Haruskah kuberitahukan padanya bahwa Bang Hakim mungkin sedang mengincarnya? Aish... pikiran macam apa ini. Mungkin efek dari menonton drama Korea Penthouse yang kutonton malam tadi. Tak mungkin hal seperti itu akan terjadi di dunia nyata. Rangga akan baik-baik saja.Temui saja langsung. Bukankah kemarin aku sudah katakan, tak ingin ikut campur urusan kalian?Ya, kurasa itu ide yang bagus. Tapi tetap saja aku merasa heran, bibirnya mengerucut. Hakim tak pernah sembarangan menyentuh seorang gadis. Apa hubungan kalian istimewa? Matanya penuh selidik.Benarkah? Tidak sembarangan menyentuh? Dia bahkan pernah memelukku. Apa aku ini gadis sembarangan dimatanya? Aku juga tak ingin menjelaskan tentang asal muasalku bisa mengenal laki-laki berhidung mancung itu.Apa hubunganmu dengan Rangga? Aku balik bertanya. Memberanikan diri untuk mendengar sesuatu yang mungkin dapat menyakiti hatiku. Gadis itu tertawa nakal.Anak muda itu begitu tertarik padaku. Dia tidak pernah cerita padamu? Gadis yang memang terlihat dewasa itu terlihat begitu percaya diri. Usianya sudah pasti di atas kami. Mungkin seusia Bang Hakim. Dan Rangga tergila-gila pada wanita yang lebih tua darinya?Kau hanya memanfaatkannya saja? Kali ini aku menatapnya, tidak senang.Ayolah, aku juga butuh seseorang untuk bersenang-senang. Tawanya terlihat tanpa beban. Astaga, wanita seperti apa yang sedang bersamaku saat ini.                               ************Aku melempar papperbag mungil ke ranjang. Sebuah hadiah dari gadis yang membawaku tadi. Dia langsung pamit setelah mengantarku ke gerbang depan kost-kostan. Aku bahkan tak ingin berbasa-basi memintanya untuk singgah.Apa ini? Rifa memungut benda yang kucampakkan tadi.Lihat saja sendiri, sahutku malas.Ya, ampun, Dayang. Ini produk mahal. Kau membelinya? Mata Rifa berbinar setelah membongkar dan mencari tahu apa isinya.Aku mengatakan apa yang terjadi saat Jihan mengajakku bicara. Lantas dia memberikan sebuah pelembab bibir dan juga krim wajah. Gadis yang kuakui memang terlihat tanpa cela itu mengatakan kalau kulitku tampak tidak terawat. Sungguh menyebalkan.Aku sudah menolaknya, dan dia bilang punya banyak di rumah. Semua itu dia dapatkan dari berbagai endorse, karena nyatanya dia adalah seorang beauty vlogger,  youtuber yang khusus membuat konten tentang merawat dan mempercantik diri.Bravo! Sainganku bukan wanita biasa. Baik Rangga atau pun Bang Hakim benar-benar lelaki normal. Tak mungkin salah pilih dan melepaskannya begitu saja. Kini aku harus menyerah dan mengaku kalah. Tak ada gunanya lagi aku menarik perhatian Rangga. Jelas dia tak mungkin berpaling dan melirikku.Kulihat Rifa mengotak atik layar ponselnya. Dia histeris saat menemukan chanel wanita yang aku sebutkan tadi.Dia benar-benar seorang dewi, Dayang. Subscribernya saja sudah mencapai dua juta. Dia seorang bintang, soraknya gembira.Matanya terkagum-kagum melihat tayangan yang menunjukkan tata cara wanita belajar menjadi cantik. Bahkan sahabatku sendiri langsung berpaling padanya. Malang sekali nasibku ini.* Malam kian meninggi. Namun mata tak kunjung terpejam. Teringat saat Jihan mengatakan bahwa dia hanya iseng meminta Rangga menjemputnya. Hal itu dikarenakan Hakim tiba-tiba saja membatalkan pertemuan yang sudah mereka sepakati siang itu.Kalau dipikir-pikir, mungkinkah maksudnya Bang Hakim membatalkan janji karena perintah kak Alma untuk menjemputku? Andai kakaknya tidak melakukan hal itu, tentu Jihan tak akan meminta Rangga untuk mengajaknya, dan pertemuan malam itu tak akan mungkin terjadi.Entah takdir apa lagi kali ini. Semuanya kembali hancur, lagi-lagi karena ulah kak Alma. Dan aku masih harus memaklumi dan tak boleh lagi menyalahkannya?Malam itu, kuputuskan untuk mengalah. Menerima segala niat baik dan perhatiannya. Mencoba memperbaiki kembali hubungan kami yang sempat terputus. Awalnya, aku hanya takut akan sikap Bang Hakim yang akan kembali mengintimidasiku, lalu mengancam akan memecatku lagi.Namun, setelah kupikir-pikir, tak ada yang salah dengan sikap kak Alma. Dia mengenalku. Tahu bagaimana perangaiku saat masih tinggal di kampung. Begitu lugu dan tak terlalu banyak bergaul. Jelas dia merasa takut membiarkan aku berjuang sendiri di kota besar ini. Mungkin takut salah bergaul dan berakhir dengan kesalahan yang dilakukannya. Menikah dengan pria yang salah, dan berakhir dengan perpisahan. Seperti dirinya.                          *************LUKA DI HATI DAYANG (9)Siang ini aku kembali mengantar secangkir teh ke kantor Bang Hakim. Aku tahu dari Tomi, bahwa Jihan datang dan meminta untuk bertemu. Kuketuk pintu perlahan, sampai kudengar sebuah sahutan menyuruhku untuk masuk. Aku langsung bergerak dan meletakkan minuman yang kubawa tadi.Hai, Dayang. Gadis berbibir seksi itu tersenyum ramah dan bersemangat. Wanita itu selalu tampak ceria. Berbeda dengan Bang Hakim yang terlihat cuek dan memasang wajah datar.Hai, balasku. Tentu saja juga dengan senyuman.Aku melirik ke arah laki-laki yang sedang bersandar di kursi empuknya itu. Sesaat pandangan kami bertemu, karena nyatanya dia juga melirik ke arahku. Dengan cepat kualihkan pandangan, takut kalau dia akan menahanku lebih lama lagi sebagai saksi untuk masalah mereka. Aku segera pamit, dan meninggalkan ruangan.Aku kembali ke pantri dan meletakkan nampan yang tadi aku bawa. Terdengar suara notifikasi dan juga getaran dari kantong celana. Tak kusangka, Rangga masih tetap mau untuk menghubungi, meski hanya bertanya kabar. Apa sudah ada sedikit tempat untukku di hatinya?Demi menjaga harga diri agar tak terlihat marah dan cemburu, aku harus bersikap sewajarnya. Tak ada alasan untuk terus menerus bersikap cuek. Mulai saat ini, aku akan bersikap biasa saja dan melupakan kekecewaanku malam itu.[Aku baik-baik saja. Terima kasih ya, atas perhatiannya,] balasku dengan memberikan emoticon tersenyum.Lega. Karena tak perlu lagi menghindar dan menjadikannya sebuah beban. Tak ada yang salah pada Rangga. Dia bahkan tak tahu bagaimana perasaanku. Aku yang bersalah, tak pernah bertanya tentang kehidupan pribadinya. Mungkin saat ini, menjadi temannya adalah hal yang terbaik.Dih, senyum-senyum sendiri, goda Rifa, sembari membawa kain lap di tangannya.Siapa? selorohku.Hantu, ledeknya. Aku tertawa.Aku dan Rangga sudah baikan.Oh, ya? Pantas saja. Aku tersenyum bahagia..Aku meraih sweater dan tas selempang, untuk bersiap-siap pulang. Kulihat Rifa dan Tomi masih asik bercengkrama di sofa, sementara Bu Susan sudah pamit dari tadi. Sejak malam itu, mereka kini terlihat lebih dekat. Andai tak memikirkanku yang akan berjalan sendirian, pastilah mereka berdua akan selalu berboncengan. Seperti saat Jihan menjemputku, Tomi lewat dan langsung memberi tumpangan.Yuk, Fa. Aku mengajak sahabat baikku itu.Tomi sering pulang belakangan. Biasanya dia sering mengobrol dengan sekuriti untuk beberapa saat sebelum pulang. Aku dan Rifa berjalan keluar menuju mesin finger print untuk menyelesaikan absen hari ini, lalu menuju keluar.Kami berjalan kaki dengan santai sambil mengobrol. Dia bercerita, bahwa Tomi menanyakan ada apa sebenarnya di antara aku dan Bang Hakim. Rifa sudah berjanji untuk merahasiakan semuanya, tak ingin ada yang tahu bahwa kepergian Ibuku mungkin disebabkan oleh seseorang. Dan itu kakak dari orang itu.Menurutnya, kelakuan Bang Hakim begitu mengherankan. Dua kali sudah ia melihat pemilik perusahaan tempatnya bekerja memperlakukan aku layaknya seseorang yang sudah kenal dekat. Namun Rifa menampik hal tersebut, dan mengatakan bahwa itu hanya sebuah kebetulan.Akhirnya kami sampai di kost-kostan. Langkahku terhenti kala melihat siapa yang sedang duduk di kursi panjang di koridor, sedang tersenyum menyambut kedatangan kami. Aku berjalan mendekat, sementara Rifa langsung menuju ke kamar setelah menyapanya.Kau di sini! sapaku, yang kini berdiri di hadapannya.Iya, sahutnya singkat.Kenapa tidak bilang?Aku takut kau beralasan lagi, agar tidak bertemu denganku. Aku terdiam. Lantas duduk di sampingnya.Ada apa? tanyaku penasaran.Kau tidak membalas pesanku.Tadikan sudah.Makanya aku berani datang. Aku tersenyum.Baru pulang kerja, ya? tanyaku berbasa-basi.Ya, sahutnya singkat.Oh. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.Laki-laki yang waktu itu membawamu pulang, siapa? Aku menoleh dan menatap ke arahnya. Terkesan karena dia juga langsung berterus terang. Seolah semua orang memerlukanku hanya sebagai sumber informasi. Atau dia memang peduli? Ah, tidak mungkin.Jangan terlalu percaya diri Dayang. Dia tidak sedang perduli padamu. Pemuda ini hanya ingin tahu siapa yang menjadi saingannya. Dengan menguatkan hati, aku mencoba menetralkan segala rasa. Semua orang bertanya padaku satu sama lain. Seolah-olah akulah kunci dari semua jawaban tentang rasa penasaran mereka, tanpa satu pun dari mereka yang mengerti, bahwa aku juga punya hati.Dia pemilik perusahaan tempatku bekerja, terangku.Sengaja kuberkata demikian, agar dia menyadari bahwa akan sia-sia untuk coba mendekati youtuber cantik itu. Aku tak ingin nantinya dia akan merasakan patah hati yang begitu dalam, karena tak bisa mendapatkan gadis yang disukainya.Oh, jawabnya, dengan nada sedikit kecewa. Aku mengerti. Dia terlihat begitu peduli padamu, lanjutnya.Ah, tidak. Mana mungkin dia perhatian padaku. Aku berkilah. Mungkin dia hanya kecewa pada Jihan. Lantas menjadikanku alasan untuk membalasnya.Soal Jihan....Kau menyukainya, ya? potongku. Dia menatapku. Jihan cantik dan baik. Wajar kalau kau menyukainya. Aku berbicara setegar mungkin.Dia sering menggunakan jasaku. Dia salah satu pelanggan di bengkel tempatku bekerja. Dia mulai membuka diri.Oh, begitu. Beruntung sekali kau bisa dekat dengan artis seperti dia.Kau tahu dari mana?Dia sering berkunjung ke kantor, ucapku pelan. Dia tertunduk. Pastilah telah tepat penyampaianku agar dia sadar, Jihan dan Bang Hakim sering bertemu dan sedekat itu.Aku tak tahu kalau dia punya pacar! ucapnya. Bisa kulihat pancaran matanya yang menyiratkan kesedihan. Seperti itulah perasaaku saat ini. Mencintai hanya dari satu sisi.Jangan cengeng! Aku memukul bahunya. Kau ini laki-laki atau bukan? Aku berpura-pura tertawa. Mencoba menghibur, agar dia melupakan gundah gulananya. Lalu terlihatlah tawa kecil di bibirnya. Sedikit terpaksa, tapi aku suka. Manis sekali.Terima kasih ya, Day. Aku mengangguk.Kami mengobrol cukup lama. Tentang masa kecil yang aku pikir dia sudah lupa. Lantas menangislah aku kala dia mengatakan bahwa dia pernah berhutang pada Ibuku. Dua buah pisang goreng, dan sebungkus es serbuk, rasa permen karet.Dia kehabisan uang karena harus memberi sumbangan pada orang tua murid yang baru saja meninggal. Dia bilang saat itu sangat lapar, hingga berbisik pada Ibu agar mengizinkankannya untuk membayar keesokan harinya. Dan itu rahasia.Dia malu pada teman-teman hingga memberanikan diri bernegosiasi pada Ibu. Mataku terpejam menekan air mata. Benarkah ada kisah selucu itu, tanpa pernah aku tahu? Aku tak menyangka. Rangga yang dulu begitu asing dan tak berani untuk kudekati, nyatanya pernah punya masa lalu dengan Ibuku.Aku menangis sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tak mampu menahan rasa rindu yang teramat sangat. Laki-laki ini, sungguh mengingatkanku akan Ibu dan kampung halaman.Kau jadi menangis. Maafkan aku, ya? Dia mengusap pundakku. Dengan cepat aku menggeleng.Tak apa. Aku senang karena kau mengingat Ibuku.Tentu saja aku ingat. Setiap hari aku berada di rumahmu. Bahkan saat pulang sekolah aku sering duduk di dipan kayu itu. Tapi kau tak keluar. Kata ibumu kau selalu bersembunyi di dalam kamar. Kenapa?Air mataku makin tumpah ruah. Tentu saja aku bersembunyi. Aku terlalu malu untuk bertemu denganmu. Bahkan berbicara langsung denganmu pun hanya saat kau disuruh guru untuk mengumpulkan tugas dari masing-masing meja.Kau sangat pemalu waktu itu, ucapnya lagi. Aku mengusap air mata dan mencoba tersenyum.Hmm. Sekarang pun begitu, sahutku. Dia kembali tersenyum.                         *************Aku membawakan kau makan siang! Kak Alma bergabung bersama kami di pantri saat jam istirahat. Dibawanya Rangga kecil untuk meluluhkan hatiku.Tomi dan Bu Susan tampak antusias menerima bekal yang dia bawa, tanpa mereka sadari siapa wanita yang mengaku sebagai saudaraku itu. Rifa tampak canggung dan ragu-ragu. Takut kalau salah-salah dalam bersikap. Berada dalam satu mobil dengan adiknya saja, sudah keringat dingin di sekujur tubuhnya. Apalagi sampai makan bersama dengan seorang Direktur.Aku menggendong Rangga dan bermain dengannya. Bocah dua tahun itu sudah pintar berbicara dan menyebut namaku, meski masih celat dan tak jelas. Tak menyangka, kalau apa yang kami angan-angankan saat masih di kampung, nyatanya benar terjadi. Aku bisa memeluk dan mencium si mungil ini dan menyebut namanya berkali-kali hingga puas.Selepas makan siang, seperti biasanya Bu Susan melakukan ritualnya di gudang. Sementara Tomi dan Rifa memungut sampah dari masing-masing ruangan. Hanya aku dan kak Alma yang tinggal. Aku masih memangku Rangga, sedangkan dia mengumpulkan kembali kotak bekal yang sudah di cuci Rifa tadi ke dalam kantong kain.Aku merasa tidak enak kalau kakak tiba-tiba datang seperti ini, protesku.Kalau tak mau aku datang, kenapa tak kau saja yang ke rumah, balasnya.Aku tak enak pada keluarga kakak.Keluarga yang mana? Kau sudah kenal Hakim sebelumnya.Orang tua kakak bagaimana?Tidak usah dipedulikan, mereka jarang di rumah. Lalu kalimatnya terhenti. Sepertinya hal itu bukan sesuatu untuk diceritakan padaku. Aku tak lagi bertanya.Kau lihat? Rangga sudah lengket padamu. Dia mengalihkan pembicaraan.Aku tersenyum, karena nyatanya memang seperti itu yang terjadi. Rangga kecil mau tertawa bersamaku. Dia hanya rewel saat pipi gembul itu kucubit saking gemasnya.Hei, jagoan Om ada di sini rupanya. Suara Bang Hakim muncul, dan langsung merentangkan tangannya kepadaku. Aku langsung berdiri, hendak menyerahkan Rangga yang tengah bersandar di pundakku.Seketika tubuhnya mendekat, meraih ketiak Rangga hingga tanpa sadar wajahnya begitu dekat ke wajahku. Aku menahan napas, seolah-olah ada Vampir yang tengah mengincar dan hendak menggigitku. Kira-kira seperti itu jika kita ingin selamat dari vampir China. Beda lagi kalau vampir dari Barat. Mungkin bisa dengan memegang bawang putih saja. Hish...pikiran macam apa itu.Sejenak mata kami saling menatap sama lain, dengan jarak yang begitu dekat. Hingga membuatku memalingkan wajah agar tak salah tingkah. Entah kenapa waktu terasa begitu lambat. Bukankah tak butuh waktu lama untuk dia bisa menggapai Rangga?Akhirnya terlepas juga aku dari situasi menegangkan ini. Balita lucu itu kini telah berpindah pada laki-laki yang kiranya sudah pantas menjadi seorang ayah.Kau betah bekerja di sini, Day? tanya kak Alma, setelah selesai dengan aksinya tadi.Iya, jawabku, sembari melirik Bang Hakim yang sedang asik menimang keponakannya itu. Takut kalau-kalau dia merasa kurang puas dengan jawabanku. Ada saja kesalahan yang kulakukan di matanya.Kalau tidak betah, suruh saja dia mengasuh Rangga. Kulihat Rangga betah berlama-lama dengannya. Kau sudah pantas jadi Ibu. Bukankah gadis-gadis di kampung selalu menikah saat masih umur belasan tahun? Dia menyela percakapan kami. Tentu saja dengan kata-kata pedas seperti biasa. Aku berdecih. Tak berani membalas.Tentu saja Rangga menyukainya, Kim. Rangga dan Dayang kan berjodoh, sahut kak Alma. Membuatku terkejut dengan ucapannya. Apa dia juga sudah mengetahui, bahwa aku dan Rangga bertemu kembali?Kakak ingin menikahkan Rangga dengan dia? ejeknya lagi. Aku tak akan mengijinkan keponakan tampanku ini menikahi nenek-nenek, saat dia dewasa nanti.Ciss... apa dia tidak bisa sedikit saja menghargaiku di depan orang lain? Nenek-nenek katanya? Bagaimana bisa dia mendapatkan gelar sarjana dengan tata bahasa yang berantakan dan tidak baku seperti itu. Menyebalkan.Berhenti menggoda Dayang, Hakim. Kalau dia merajuk dan pergi lagi bagaimana? seloroh wanita dengan anting yang menjuntai bergambar daun itu.Makanya kakak jangan bicara sembarangan. Meski hanya bercanda, itu tidak lucu sama sekali.Kakak mengatakan yang sebenarnya. Rangga adalah nama pemberian dari Dayang. Anak laki-laki tampan yang disukai oleh Dayang saat masih kecil. Benarkan, Dayang? Kak Alma terlihat ceria. Aku menarik sudut bibirku. Ikut merasakan semangat, kala mengingat dan menyebut nama itu.Hanya saja, mereka tidak tahu kalau anak laki-laki itu kini telah tumbuh dewasa dan begitu dekat denganku. Kulirik kembali wajah Bang Hakim. Raut wajah yang tadi bersemangat saat mencemoohku, kini berubah menjadi muram dan tidak suka. Kenapa? Apa dia tidak suka, kalau aku yang memberikan nama itu pada keponakan lucunya?Bukankah dulu dia sudah pernah mendengarnya saat pertama kali datang ke rumahku. Apa dia sudah melupakan itu, atau justru tidak mendengarkan?Ambil ini! Dia menyerahkan kembali Rangga ke pangkuanku. Lalu melangkah pergi meninggalkan kami tanpa permisi.* Seperti biasanya, aku menapaki tangga menuju balkon atas. Bagian dari kantor yang menjadi tempat favoritku semenjak pertama kali datang. Tempat di mana aku bisa menikmati angin sore di kursi panjang. Atau menyaksikan kendaraan yang lalu lalang dari atas sini. Gedung yang dindingnya di dominasi oleh kaca tebal ini berbentuk unik. Bagian depannya membentuk setengah lingkaran. Hingga memilik teras atas yang menjorok ke depan.Balkon atas juga di desain sangat indah. Seperti taman sungguhan, dengan bunga-bunga kecil dan sedang sebagai hiasannya. Aku menyukai tempat ini. Apalagi tak banyak orang yang bisa naik ke atas. Direktur terdahulu juga jarang untuk menikmati tempat ini. Membuatku merasa memiliki tempat pribadi untuk menenangkan diri.Aku telah sampai di depan pintu. Berjalan santai menuju taman. Kulihat sesosok pria telah bersandar di kursi panjang. Menyaksikan kehadiranku dengan wajah datar. Langkahku semakin melambat, kemudian sedikit menunduk memberi hormat. Tanpa bicara aku membalikkan badan, mengurungkan niat melakukan tugas. Mungkin akan kembali setelah dia pergi.Mau ke mana? tegurnya. Bukannya ini waktunya kau bertugas?Aku akan naik setelah Abang turun, sahutku.Kenapa? Kau terganggu?Tidak. Justru aku takut mengganggu Abang.Memangnya kau lihat aku sedang apa?Bersantai.Lalu?Mungkin sedang ingin sendiri? Dia tertawa sinis.Tidak semua orang sepertimu.Apa maksud Abang?Kau sering menyendiri dan melamun. Apa lagi saat di tempat ini. Untuk apa? Bukankah kau punya teman?Aku tertegun. Siapa yang mengadu? Tak mungkin secara sengaja dia menanyakan kebiasaanku pada seseorang. Rifa, Tomi, atau Bu Susan?                         ************* LUKA DI HATI DAYANG (10)Aku masih berdiri mematung. Mununduk dan memandang lantai semen, tempatku kini berpijak. Mungkinlah dia sengaja menungguku di sini. Untuk memastikan, bahwa semua yang dia dengar itu benar adanya. Merasa kinerjaku tak sesuai dengan prinsip perusahaan, dan akan mengganggu pekerjaan, hanya karena aku sering berdiam diri sambil memandang alam.Dia bergerak dari tempat duduknya semula. Suara langkah dari sepatunya kian mendekat. Membuatku terpaksa mengangkat wajah untuk menyambut kedatangannya. Kini, ia berdiri tepat di hadapanku. Membuat ada gerakan tak biasa dari detak di jantungku. Membuat lututku kembali gemetaran dan merasa ketakutan.Aku tak pernah melamun, sanggahku. Aku selalu mengerjakan semua pekerjaan dengan benar, ucapku dengan sungguh-sungguh.Aku tak peduli, jawabnya, sambil terus menatapku.Abang akan memecatku?Itu-itu saja yang kau takutkan. Dia mendengus.Sulit bagiku untuk mencari pekerjaan lain, Bang. Aku tak mau bekerja di diskotik. Seseorang menawariku untuk bekerja di sana. Hanya saja, aku harus pulang sampai pagi. Aku tak mau. Biasanya aku sudah mengantuk sebelum tengah malam, ucapku meyakinkannya. Matanya menyipit.Seseorang yang mana? selidiknya.Teman sekampung juga. Kami sering berkomunikasi di fesbuk.Laki-laki atau perempuan? Dia terlihat semakin penasaran.Perempuan. Dia menghela napas. Terlihat... lega?Aku tidak berbohong. Sebelum menghubungi Rifa dulu, ada beberapa teman yang aku tanyai perihal lowongan pekerjaan. Beberapa dari mereka menjawab belum ada, namun sebagian ingin membantu dan menerangkan pekerjaan apa yang akan aku peroleh.Di antara semua itu, hanya pekerjaan dari Rifa saja yang membuatku tertarik. Namun temanku bernama Lani, masih sering menawarkan pekerjaan sebagai pengantar minuman di sebuah diskotik dengan bayaran mahal. Meski aku tak pernah secara langsung masuk ke dalamnya, namun aku tahu bagaimana keadaan di dalam, dari film-film luar yang aku lihat. Untuk itu aku menolak, meski kadang tergoda juga jika melihat postingannya yang serba mewah dan sering pergi ke tempat-tempat indah.Dengarkan aku! perintahnya. Apa pun yang akan terjadi, kau akan terus bekerja di sini. Aku tidak akan pernah memecatmu. Aku sudah bilang tidak akan mengganggumu lagi, kan? Dia terlihat sungguh-sungguh. Aku mengangguk, mengiyakan.Aku akan bekerja dengan baik, janjiku.Jangan pernah lagi berpikir untuk pergi dan menghindar.Iya.Satu lagi, lanjutnya.Apa?Lupakan saja semua kenangan yang mengganggu pikiranmu. Semua yang berasal dari masa lalu, lupakan! tegasnya. Apa pun itu!Apa pun itu? Aku mencerna setiap kata-katanya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya. Justru masa lalu itu yang kini hadir dan mengisi kembali relung di hidupku. Baik kak Alma, atau pun Rangga. Keduanya muncul di saat bersamaan. Seolah sudah tertulis dan direncanakan.Andai bisa melupakan, jelas sudah kulakukan dari semula. Melupakan mereka yang kupikir menjadi sumber kebahagiaan. Nyatanya hanya membuatku semakin bersedih, dan berulang kali terluka.Usai kepergian Bang Hakim tadi, dengan cekatan aku melakukan kegiatan rutin ini. Mencabuti rumput-rumput kecil yang mulai tumbuh di beberapa bagian. Melepas kelopak daun yang mulai layu dan kekuningan. Kubersihkan juga pot-pot yang menggantung dan berpasir, dengan daun-daun mungil yang menjuntai hingga ke bawah. Lalu kutinggalkan dengan cepat tempat itu, agar mereka yang mengadu, tak lagi punya alasan untuk memojokkanku di hadapannnya.Aku kembali ke pantri untuk mencuci gelas yang masih teronggok. Kemudian mengumpulkan alat-alat yang kugunakan tadi, kembali ke gudang penyimpanan. Menunggu yang lain kembali, dan bersiap-siap untuk pulang.Hari sudah semakin sore. Rifa masih membilas kain lap yang dicucinya tadi, kemudian menjemurnya di gudang. Tak ada lagi yang harus kami kerjakan. Hanya tinggal menunggu pukul lima tepat, agar sesuai dengan mesin absen.*Aku dan yang lainnya keluar bersamaan. Lalu berpisah di halaman, menuju ke masing-masing arah. Tomi dan Bu Susan ke arah parkiran, sedang aku dan Rifa langsung menuju jalan keluar. Bergantian Bu Susan dan Tomi membunyikan klakson, sebagai tanda mereka akan mendahului kami yang akan berjalan pulang dengan santai.Lagi, langkahku terhenti. Masa laluku muncul lagi. Membuat janji dalam hati tadi, berangsur pergi. Masih adakah harapanku tuk memiliki. Lebih dari sekedar teman, lantas menjadi sepasang kekasih.Cie.... Rifa menyenggol pundakku. Membuatku terlihat gugup, melihat Rangga yang sedang bertengger di tunggangannya. Rifa langsung menarik tanganku menuju ke arahnya. Di luar halaman, tempat dia memarkir kendaraan.Hai, Rangga. Rifa duluan menyapa. Rangga tersenyum dan mengangguk.Tomi baru saja pulang, ucapku. Siapa tahu dia datang untuk mencarinya.Aku mencarimu, sahutnya cepat. Membuatku menelan saliva karena gugup.Ada apa?Tadi hanya kebetulan lewat, aku antar pulang, ya?Aku menoleh ke arah Rifa. Mata kami saling mendelik satu sama lain. Ingin tersenyum senang, namun tak ingin membuat geer orang di depanku.Aku bersama Rifa. Aku beralasan. Tak mungkin aku menghilangkan rasa setia kawan, hanya karena kesenangan pribadi.Oh, begitu. Dia berucap kecewa.Eh, apa lah Dayang ini. Rifa menyela ucapan kami. Kau bilang shampomu habis. Pergilah, minta Rangga mengantar untuk membelinya. Aku pulang sendiri saja.Tapi, aku....Sudah, sudah. Aku duluan, ya? Tiba-tiba saja Rifa melambaikan tangan dengan senyuman, kemudian berjalan meninggalkan kami yang belum sempat menjawab.Ah, aku jadi merasa tidak enak, ujar Rangga sambil mengusap rambutnya. Aku juga jadi salah tingkah dibuatnya.Iya. Rifa memang suka begitu.Katanya mau belanja. Aku antar sekalian, ya. Di ujung jalan ada minimarket.Apa tidak merepotkan? Jantungku masih saja berdegup dengan kencang.Tak apa. Aku juga ingin membeli sesuatu.Oh, baiklah. Aku segera mendekat dan hendak menaiki jok belakang.Namun belum lagi sempat kakiku menginjak pijakan kaki di belakang, tiba-tiba saja aku bergerak mundur karena sesuatu menahan, atau tepatnya menarik kerah sweater rajutku.Aku menoleh ke belakang, mencari tahu tangan siapa yang berani kurang ajar, melakukan itu terhadapku. Aku langsung menelan saliva, saat tahu siapa yang sedang berdiri dengan tangan kanannya berkacak pinggang, sedang tangan yang satunya masih menjepit sweater di tengkukku.Ikut aku! perintahnya.Namun matanya tertuju pada sesosok Rangga yang baru saja menghidupkan starter sepeda motornya. Sesaat mereka saling terpaku memandang. Seperti saingan yang sedang memperebutkan sebuah piala. Yang sudah jelas, kalau itu bukan aku.Aku menyentuh tangan Bang Hakim yang masih mencengkramku, mencoba meluruskan jari telunjuknya yang masih menyangkut di pakaianku. Namun tak berhasil. Tenagaku bahkan tidak sanggup menghadapi satu jarinya.Ke mana? tanyaku. Menyerah dan membiarkan jemari itu tetap berada di posisinya. Malu juga aku diperlakukan seperti ini di depan Rangga. Namun kalau itu dilakukan oleh Bos sendiri, aku bisa apa?Ke rumahku! ketusnya, dengan mata yang masih menantang ke sosok di depannya.Untuk apa?Untuk apa lagi? Kakakku yang memintanya. Ayo pergi! Dia memindahkan tangannya tadi ke lenganku. Menarik untuk mengikuti langkahnya begitu saja.Aku menurut. Dengan tubuh sedikit terseret, aku menoleh ke arah Rangga, berpamitan. Namun yang kulihat, Rangga menurunkan standart tunggangannya, kemudian mematikan mesin. Berjalan dan menyusul ke arah kami menuju mobil tempat Bang Hakim memarkir.Kenapa harus memperlakukan Dayang seperti itu? Tiba-tiba suara lantangnya membuat langkah pria berpostur tinggi di depanku ini berhenti. Tiba-tiba saja jantungku berdetak kian cepat. Takut terjadi perselisihan di antara kedua laki-laki ini.Bang Hakim langsung berbalik. Dengan wajah menantang, ia semakin mengeratkan pegangannya. Aku melihat sorot mata yang tajam di antara mereka. Tiba-tiba saja hatiku merasa teriris. Sepenting itukah Jihan, hingga membuat kedua pria ini begitu saling membenci.Apa urusannya denganmu? Bang Hakim menjawabnya dengan nada kesal.Dayang temanku, dan aku tidak suka dia diperlakukan secara kasar. Rangga berucap tegas.Ya, Tuhan. Dia gagah sekali. Berani menantang dan membelaku di hadapan orang ini. Walaupun untuk saat ini, dia hanya menyebutku sebagai teman.Apa aku memperlakukanmu secara kasar, Dayang? Si arogan ini bertanya tanpa melihat ke arahku. Tentu saja sikapmu kasar tuan psikopat. Kau pikir cengkraman tanganmu ini tidak akan meninggalkan bekas di tanganku?Lepaskan tanganmu darinya! Rangga kembali meminta, sebelum aku menjawab pertanyaan tadi.Namun semua ini harus segera dihentikan. Hubunganku dan si Bos, haruslah baik-baik saja. Semua ini mudah terselesaikan, asal aku menurut dan tak menolak perintahnya. Lagi pula, ini adalah keinginan kak Alma. Suka tidak suka, Bang Hakim hanya menuruti keinginan kakaknya saja.Siapa kau, berani memerintahku, ha? Dia terlihat semakin garang. Membuatku harus segera bergerak cepat.Sudah-sudah. Aku memang ada keperluan. Nanti aku telpon, ya? ucapku memecah ketegangan.Kulihat Rangga mengernyit. Matanya menyipit. Membuat mataku terpaksa berkedip-kedip memberikan kode. Dia harus mengerti dengan posisiku. Yang jelas, untuk saat ini aku cukup tahu, Rangga masih memiliki hati untuk melindungiku.Ayo! Aku balik berjalan dan membawa Bang Hakim menjauhi Rangga, menuju ke mobil.Suasana hening untuk sesaat. Dia fokus menyetir dengan wajah merah padam. Mungkin tak menyangka, kalau bakal ditantang oleh pemuda yang dia kira akan berdiam diri saja melihat sikapnya terhadapku seperti waktu itu. Aku pun tak berani lagi membahasnya. Menjawab setiap perkataannya hanya menyebabkan kata-kata kasar dan menyakitkan akan dia lontarkan kepadaku. Aku benci itu.Aku membuka ponsel dan mengirimkan pesan whatsapp kepada Rangga. Meminta maaf atas kejadian barusan, dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja.[Jangan biarkan orang lain memperlakukanmu seperti itu. Tidak perduli dia atasan atau siapapun,] balasnya dengan cepat.[Iya,] jawabku singkat.[Untuk apa ke rumahnya?][Ada pekerjaan plus-plus,] dustaku, sembari menyisipkan emoticon tersenyum sambil menutup mulut.[Jangan bercanda, Dayang. Plus-plus apa?]Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Merasa senang bisa membuat Rangga khawatir dan penasaran.Simpan saja ponselmu itu! Kau tidak lihat aku sedang menyetir? perintahnya dengan tiba-tiba, masih bernada kesal.Dengan cepat aku memasukkan ponsel ke dalam tas. Menurutinya begitu saja, meski aku tak tahu apa hubungannya ponsel yang aku pegang, dengan dia yang sedang menyetir.Kenapa kak Alma menyuruhku datang, Bang? Bukankah tadi siang kami baru bertemu? Kuberanikan diri untuk bertanya. Itu pun setelah melihat dia mulai tenang.Dia diam, tak menjawab. Mungkin karena dirasa bukan urusannya. Lagipula, kak Alma tak bilang padaku. Seandainya tadi dia memberi tahu, tentu kejadian tadi tak akan terjadi.Ini kota besar. Jangan sembarangan pergi dengan laki-laki, hardiknya. Masih tampak kesal.Iya, sahutku.Ke mana dia akan membawamu tadi?Minimarket.Kau bisa berjalan kaki dengan teman sekamarmu ke ujung jalan. Manja sekali, gerutunya lagi.Sudah kubilang dia bukan orang asing. Kami teman sekampung, belaku.Orang di kampungmu juga banyak yang tidak beres, kan?Jangan hanya karena Abang tidak menyukainya, semua kekesalan Abang timpakan kepadaku, keluhku. Dia terdiam. Memandangku sebentar, kemudian kembali menatap ke depan.Tak lama kami sampai. Untuk ke dua kalinya aku menginjakkan kaki ke istana mereka lagi. Dia turun dengan cepat, kemudian kuikuti dari belakang. Tak perlu lagi dia menyeretku seperti kambing yang ingin dimasukkan ke dalam kandang.Dayang, sapa kak Alma yang seperti tak menyangka kalau aku berada di sini. Kau datang?Kita baru bertemu siang tadi, kenapa kakak memintaku datang lagi? sungutku.Dahinya mengernyit, lalu memandang ke arah adiknya. Aku ikut menoleh ke samping, namun dengan cepat pria itu membuang mukanya.Ah, iya, celetuk kak Alma lagi. Tentu saja aku yang meminta kau datang. Kita makan malam di sini, ya? Kak Alma tersenyum girang. Aku terdiam pasrah.Aku kedatangan tamu. Ayo, kita ke teras belakang. Biar kukenalkan kau padanya. Kak Alma merangkul dan mengajakku ke ruangan lain.Kami sampai ke teras belakang, melewati pintu kaca yang lebar. Ada kolam renang dengan dua buah kursi santai terbuat dari rotan di depannya.  Terlihat seorang gadis yang sudah tidak asing lagi bagiku. Dia duduk di tepi kolam dengan kaki yang menjulur ke dalam air.Aku tak menyangka, hubungan mereka sudah sedekat ini rupanya. Hingga kak Alma dan dia sudah begitu akrab. Dia menoleh, namun raut wajahnya tak seperti sebelum-sebelumnya. Dia memandangku tanpa kesan ceria seperti biasa. Mungkin tak menyangka, aku bisa berada di rumah ini, dengan tangan kak Alma sedang merangkul pundakku penuh kehangatan.Kau di sini juga, Dayang?                            ************Dukung karyaku untuk baca lanjutannya ya…😊😊
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan