ABANG IPARKU ( TAMAT )

69
8
Terkunci
Deskripsi

ABANG IPARKU

"Turun ranjang?" Aku setengah melotot menatap tajam pada ibu. Wanita paruh baya itu mengangguk membenarkan.

"Maksud Ibu, menikah sama Bang Akmal?"

Lagi-lagi wanita yang sudah melahirkanku itu menggerak-gerakkan kepalanya. Bahkan semakin kuat untuk meyakinkan bahwa ungkapan yang baru saja dia ucapkan benar adanya.

"Ya ampun, Bu. Demi apa Ibu sampai tega berkata seperti itu? Baru empat puluh hari Kak Mey berpulang. Ibu tega nyuruh Bang Akmal menikah lagi?" Aku mengingatkan akan acara tahlilan...

35,665 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
450
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK ( TAMAT )
6
1
BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK  Aku terkejut melihat siapa yang kini sedang berdiri di hadapanku. Seringai dan tatapan murka itu sukses membuat keranjang berisi ratusan dimsum yang berada di tanganku terlepas dan berserakan ke lantai.   Lututku nyaris gemetar, hingga dengan sedikit gontai aku melangkah mundur ke belakang. Pria itu ... tak main-main dengan ancaman yang pernah dia ucapkan.   โ€œKa__kau?โ€ Terbata aku berucap sembari mengepalkan kedua tangan di dada. Ketakutan.   โ€œYa,โ€ sahut dia dengan seringai mengerikan. โ€œKau pikir aku tak bisa menemukan kau?โ€  Aku semakin ketakutan. Jam makan siang membuat semua karyawan meninggalkan ruangan untuk beristirahat. Membuatku harus menghadapi situasi mengerikan seperti ini seorang diri.   Ada luka bekas jahitan di atas pelipis kiri laki-laki itu. Dan aku tahu dari mana dia dapatkan cacat fisik itu. Dengan rambut yang sudah memanjang dari terakhir kali kami bertemu, menambah rasa ngeri saat bertemu lagi dengan wujudnya saat ini.   โ€Pergi! Atau aku akan berteriak!โ€ Aku berusaha untuk tidak terlihat panik. Namun dimsum yang berserakan di sela-sela kakiku itu memperlihatkan ketakutanku dengan sangat jelas.   โ€Ah, ya. Aku ingat kalau berteriak adalah jurus andalanmu. Tapi aku tak peduli. Meski membusuk di penjara lagi, aku merasa puas kalau melihat kau mati di tanganku. Dasar perempuan tak tahu diri!โ€  Laki-laki yang mengenakan jaket kulit itu mengumpat.   Menciut nyaliku mendengar kata-kata mengerikan seperti itu. Tak menyangka kalau dia benar-benar berniat menuntaskan sumpahnya saat terakhir kali kami bertemu, di ruang sidang.   Namun lagi-lagi aku tak mau terlihat gentar. Pria itu pasti hanya menakut-nakutiku saja. Berharap aku akan meminta maaf dan memohon ampun pada dia setelah semua yang pernah terjadi.   โ€Kau lupa kalau aku juga bisa membuat kau terluka? Apa darah yang keluar dari kepalamu sudah membuat kau amnesia?โ€ Aku membalas gertakannya.   โ€Perempuan sialan!โ€ Pria berpostur kurus tinggi itu membuang ludah ke lantai. โ€Kau benar-benar akan mampus di tanganku!โ€  Langkah kakinya begitu cepat menuju ke arahku, hingga tanpa bisa mengelak, kini tangan besarnya sudah mencengkram kuat di rahangku.   โ€Lepaskan!โ€ Aku berusaha meronta. Rasa sakit mulai terasa.   Aku yang tadi sempat terdorong ke belakang, kini merasa terpojok di sudut meja. Tanganku me ra ba apa saja yang ada di atasnya, hingga kudapati suatu benda yang hendak kudaratkan ke kepalanya sekali lagi.   Ekor matanya mungkin sudah menangkap gerakanku, hingga dengan mudah dia menahan, lalu menggenggam erat baskom stainless yang kini sudah melayang ke udara.   Bola mata hitam itu semakin menatapku dengan penuh kebencian. Hingga terdengar suara benda berat tadi terpelanting ke lantai. Aku kehilangan senjata. Tanpa bantuan benda-benda random seperti itu, aku tak punya kuasa melawan tenaga laki-laki bejat itu.   Cengkeraman di rahangku semakin mengencang. Bibirku ikut mengerucut saking kuatnya. Aku hampir meringis jika tak punya harga diri lagi di hadapannya.   โ€Kau benar-benar ingin membunuhku, hah!โ€ Suaranya kuat di arahkan ke wajahku. Aroma alkohol murahan tercium jelas menerpa rongga hidungku. โ€Aku bahkan belum menikmati apa yang sudah aku beli.โ€ Dia sempat menyeringai di sela-sela amukannya.   Aku membesarkan mata ke arahnya. Merasa jijik dengan tatapan nakal khas laki-laki bajingan. Masih berusaha meronta meski tenagaku tak setara dengan otot lengannya yang begitu keras.   โ€Lepaskan aku!โ€ Aku kembali berteriak. Berharap jam istirahat sudah selesai dan semua orang kembali ke tempat ini.   โ€Kau pikir aku jauh-jauh ke sini hanya untuk mengatakan โ€™haloโ€™ lalu pergi? Begitu? Kau masih saja bodoh, Arwita!โ€  Dia mendekatkan wajahnya ke mukaku. Aku langsung bereaksi dengan membuang ludah ke wajahnya, sebelum niat busuknya melecehkanku terjadi.   Dia terdiam. Mungkin tak menyangka aku akan seberani ini. Napasnya naik turun seperti mengatur emosi. Hanya sekian detik mata kami saling menantang, lalu ekor mataku sudah melihat sebelah tangannya mengudara, hendak mendaratkan pukulan ke arahku.   Aku panik, dengan refleks berpaling sembari memejamkan mata. Tak ingin melihat tangan kasar penuh kapalan itu sampai menyentuh kulitku. Sedang menghindar aku tak lagi mampu.   Lalu tiba-tiba saja kurasakan cengkeraman tangan kanannya terlepas dari rahangku. Disertai bunyi dentingan benda seperti besi yang beradu keras ke atas lantai.   Aku membuka mata dengan perlahan. Sampai terlihat pria yang tadi mengintimidasiku meringis memegangi kepala bagian belakang. Dia nampak terguncang seperti habis kena hantam.   Aku mengalihkan pandangan. Pada seseorang yang baru saja datang. Seorang laki-laki bertubuh tinggi menjulang. Dia berdiri menantang di hadapan kami. Kupikir laki-laki itulah alasan bajingan itu sedikit memekik tadi.   Aku terdiam. Mataku terpaku begitu menatap sesosok orang itu. Garis wajah yang begitu aku kenal bertahun-tahun yang lalu. Mungkinkah dia itu ....   *  Seketika masa lalu kembali terukir di pelupuk ingatan. Kala keluarga bahagiaku hancur dan tercerai berai saat kehadiran seseorang.   Huda nama dia. Maulana Huda.   Malam itu Ayah pulang larut malam. Jauh lebih lama dari biasanya dia kembali dari bekerja. Tubuhnya setengah basah akibat air dari langit yang merembes dari celah-celah jas hujan yang dia pakai.  Aku dan Ibu saling berpandangan. Menyimpan masing-masing pertanyaan. Ayah membawa pulang seorang bocah laki-laki. Sebuah tas ransel penuh berisi menggantung di bahu kurusnya.  Dua belas tahun usiaku saat itu. Belum pun lagi lama mengenakan seragam putih biru. Tak tahu menahu apa yang sedang terjadi. Sejak kehadiran anak laki-laki itu, kehidupanku sudah tak sama lagi.  Aku menangis sekuat-kuatnya saat Ibu meninggalkan rumah. Dua tas besar berisi pakaian dia bawa, setelah keributan besar terjadi malam sebelumnya. Kulihat Ayah meremas kuat rambutnya. Seolah tak tahu lagi bagaimana membuat agar Ibu tak jadi pergi.  *  โ€Kakak, yang ini bagaimana?โ€  โ€Kakak, aku sama sekali tak bisa menghitungnya.โ€  โ€Kakak, boleh pinjam pulpen?โ€  โ€Kakak, aku juga mau dibuatkan Milo.โ€  โ€Kakak, aku ikut bermain, ya?โ€  โ€Kakak. Aku takut tidur sendirian.โ€  Senyum dan rengekan Huda selalu saja membuatku muak. Sikap manjanya sama sekali tak terlihat manis di hadapanku. Bocah kelas lima SD itu benar-benar membuat frustasi, di rumahku sendiri.  Tolong jangan membenci Huda, seperti ibumu membencinya, Wita. Anak itu tidak punya salah apa-apa.โ€  Hanya kata-kata permintaan serupa permohonan dari Ayah yang selalu terngiang di telingaku. Hingga tak kuasa menolak dengan tidak memperlakukan bocah kurus itu dengan semena-mena.  Satu yang selalu aku tanamkan di dalam hati dan pikiranku. Anak laki-laki itu hanya menumpang tinggal. Itu rumahku. Dan orang yang membawanya ke sini adalah ayahku.   โ€Anggap Huda sebagai adikmu sendiri, Wita. Saat ini, hanya kita saja keluarganya.โ€ Ayah berucap sekali lagi di waktu senja.   Adik? Keluarga?  Aku mengiyakan saja. Belum terlalu mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Meski aku lebih bahagia menjadi anak tunggal, namun permintaan Ayah tetap harus kuturuti. Demi kasih sayang dan juga bakti.  Hingga saat usiaku mencapai remaja. Seragam SMP juga sudah aku tanggalkan. Memasuki masa, di mana aku harus mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.  Bukan sekali dua kali suara-suara sumbang itu berdengung di telinga. Tentang siapa anak laki-laki yang usianya selisih dua tahun di bawahku. Juga mengapa Ibu membentak dan memarahi Ayah, lalu pergi dan tak kembali.   Remuk rasa hati. Ayah yang begitu aku sayang dan hormati, nyatanya menyimpan kebusukan meski tak pernah secara terang-terangan dia akui. Aku marah, aku benci. Hingga selalu kulampiaskan pada Huda yang mulai ikut beranjak remaja.  โ€Jangan menggangguku!โ€  โ€Jangan muncul di hadapan teman-temanku.โ€  โ€Jangan bersikap manja padaku.โ€  โ€Dan jangan pernah menganggap aku sebagai kakakmu!โ€  *  Lamunanku terhenti saat laki-laki yang baru muncul tadi berjalan ke arahku. Mendekat, hingga tak sampai lima langkah jarak yang dia ciptakan di antara kami.   Matanya lekat memandangku. Sejenak tatapan kami bertemu. Ragu-ragu aku memikirkan apakah benar dia orang yang baru saja aku pikiran. Sampai keluar pertanyaan dari mulutnya.   โ€Kau tidak apa-apa ...,   Kakak?โ€                                   *** BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (2)   Mataku membesar. Perasaanku sedikit terguncang. Dari caranya menyapa, jelas dia langsung mengenali diriku tanpa ragu.   โ€Ka__kau?โ€ Sekali lagi aku terbata.   Dia mengangguk. Membenarkan, bahwa dugaanku tentang siapa dia sama sekali tidak salah.   Dia benar-benar Huda. Maulana Huda.   Oh, Tuhan. Bagaimana bisa dua orang yang paling aku hindari sampai mati, nyatanya muncul bersamaan seperti ini?   โ€Aku melihatnya mengintip dari luar pagar. Lalu mengendap masuk saat semua orang sudah keluar. Kupikir maling, rupanya .... โ€ Huda menoleh sinis pada pria yang masih meringis kesakitan.   Huda pasti melemparkan baskom stainless tadi hingga mengenai bagian belakang kepala si brengsek itu.   โ€Beraninya kau ikut campur urusan orang!โ€ Pria itu meradang.   Aku bergegas bergerak menjauh dari keduanya. Takut hal serupa akan terulang karena amukannya.   Huda menggosok bagian bawah hidungnya dengan jari telunjuk. Seperti tidak nyaman dengan aroma yang melintas dari lawan bicaranya.   โ€Kau sedang mabuk rupanya. Pantas saja kehilangan akal hingga berbuat nekat di siang bolong seperti ini. Ini bahkan tempat umum.โ€ Huda berucap penuh percaya diri. Kemudian menoleh lagi ke arahku. โ€Kau bisa menghubungi polisi, Kak. Pemilik tempat ini juga bisa menuntut karena orang ini sudah masuk tanpa permisi.โ€  Tak lama beberapa karyawan muncul satu persatu dan menyaksikan semua kekacauan yang baru saja terjadi.   *  Aku dan Pak Haji, selaku pemilik pabrik dimsum rumahan tempat aku bekerja, kini sedang berada di kantor Polisi. Status yang harusnya sebagai pelapor, kini harus kurelakan karena jalur damai yang dimohonkan keluarga si pelaku pada Pak Haji sudah dikabulkan. Tentu saja dengan membayar sejumlah uang sebagai biaya ganti rugi.   Sedangkan aku?   Mau tak mau aku juga harus menuruti. Tatapan amarah dan kebencian sudah terlontar jelas dari wajah dua orang paruh baya yang berbeda jenis kelamin di ruangan yang sama dengan kami. Hingga aku dan mereka yang sudah beberapa lama tak bertemu, kini harus kembali bertatap muka.   โ€Anakku selalu saja bernasib sial setiap kali bertemu dengan kau!โ€ Wanita dengan gelang emas memenuhi pergelangan tangannya itu berucap kasar saat kami sudah berada di halaman kantor polisi.   Kasus yang baru saja terselesaikan, kembali diungkit wanita tua yang kini berdiri di hadapanku. Bukankah harusnya aku yang mengamuk karena posisiku sebagai korban tidak mendapat keadilan?   Aku melirik laki-laki yang berdiri di sampingnya penuh kebencian. Terlihat sekali dia masih berdiri di pihak wanita itu.   โ€Kenapa tanya padaku? Dia sendiri yang datang mencariku.โ€ Aku menunjuk laki-laki yang hendak kulaporkan tadi. โ€Kalaupun dia membusuk di penjara lagi, itu salahnya sendiri.โ€  โ€Wita!โ€ Laki-laki paruh baya itu membentak. Menunjukkan bahwa aku tak boleh bersikap kasar pada mantan majikannya. Padahal dia sendiri sudah dipecat dengan jalan tidak terhormat.   โ€Kenapa? Mau menyalahkanku lagi? Apa aku harus diam saja saat bajingan itu ingin melecehkanku? Begitu? Tidak cukupkah Bapak menghancurkan semua impianku? Cita-citaku?โ€  Laki-laki yang kusebut Bapak itu terdiam, mengusap kasar wajahnya. Kami terlibat beberapa pertengkaran. Sedikit pun aku tak mau mengalah. Semua aku jelaskan tanpa ada yang terlewatkan. Hingga akhirnya mereka semua meninggalkanku. Dengan rasa kesal tentu saja.   Masih bisa kulihat dengan jelas laki-laki yang hampir kujebloskan ke dalam penjara tadi berbalik memandangku dengan tatapan ... entah.   Aku tak lagi mau tahu.   *  โ€Tinggal di mana? Aku antar pulang.โ€ Suara Huda terdengar disertai tubuhnya yang kini sudah berjalan mengikuti langkahku. Masih belum ke mana-mana dia rupanya.   Aku menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangan ke depan. Tak menjawab. Tak ada yang harus kami bicarakan meski lama tak saling bertemu. Bahkan bertanya kabar pun aku enggan. Bukankah harusnya dia juga membenciku, setelah apa yang sudah aku lakukan padanya di waktu dulu?   โ€Mobilnya di sana.โ€ Pemuda berkaus lengan pendek itu menunjuk arah berlawanan dengan jalan yang aku tuju. Aku melirik mobil pick up di lahan parkir. โ€Akan kuantar sampai rumah.โ€  Aku masih tak menyahut.   Huda memotong langkahku dengan menjadikan tubuhnya sebagai penghalang, hingga mau tak mau aku harus mengentikan langkah kalau tak ingin bertabrakan dengan orang itu.   Aku memandangnya. Kalau tidak salah hitung, hampir delapan tahun kami tak bertemu. Ada yang berbeda dari dia yang dulu. Tubuhnya sudah tak terlihat lemah dan kurus seperti saat tinggal bersamaku. Dia bahkan jauh lebih tinggi dariku. Padahal usianya tentu saja masih di bawahku.   Tapi lihatlah sekarang. Dia sudah seperti kakak laki-laki jika jalan beriringan bersamaku.   โ€Pertemuan tadi tidak disengaja, bukan?โ€ Mau tak mau aku harus menyahuti ucapannya. โ€Jadi anggap saja hari ini tidak pernah terjadi. Kau dan aku tidak pernah saling mengenal.โ€ Aku masih bersikap dingin.   โ€Aku bahkan belum mendengar Kakak mengucapkan terimakasih. Bukankah itu yang selalu diajarkan Ayah jika__โ€  โ€Berhenti membicarakan ayahku!โ€ Aku langsung menyela ucapannya. โ€Kau tidak berhak mengatakan apa pun tentangnya. Kau sama sekali tidak punya hak.โ€  Tiba-tiba saja ada yang berdenyut di dada ini. Saat jantungku bagai teremas begitu membahas ayahku yang sudah tiada. Dia bahkan mengembuskan napas terakhirnya tanpa aku yang mendampingi. Dan anak laki-laki inilah yang menjadi saksi bahwa ayahku sudah tak ada lagi di dunia ini.   โ€Semua sudah terjadi. Aku__โ€  โ€Kalau begitu pergilah!โ€ Aku seolah enggan mendengar lagi suaranya. Meski tak manja seperti dulu, tetap saja membuatku muak.   โ€Kenapa masih saja keras kepala? Semua sudah berlalu. Tidak bisakah kita__โ€  โ€Aku bilang diam!โ€ Tuk ke sekian kalinya aku menjeda apa yang ingin dia ucapkan. โ€Bukankah harusnya kau juga membenciku, setelah apa yang telah kuperbuat padamu?โ€  Pemuda berhidung mancung itu menatapku. Membuang pandangan sekilas, kemudian manik matanya kembali menantang ke arahku.   โ€Ya. Aku juga membencimu, Kak. Dalam hati aku selalu mengutuk saat kau memutuskan hubungan dan membuangku saat itu! Kau bahkan tak pernah mau mendengar penjelasanku!โ€                                      ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (3)   Lagi-lagi aku teringat akan kisah yang pernah terjadi. Kisah di mana aku dan Huda yang hidup bersama selama empat tahun sebagai kakak beradik, harus berpisah dengan cara yang menyakitkan dan akui sedikit ... kejam.   Pagi itu aku membuka paksa kamar Huda. Bocah berusia empat belas tahun itu tersentak masih dengan wajah lelah. Matanya masih terlihat sembab saking banyaknya menangis.   Bukan cuma dia, tapi aku juga. Malam tadi selesai sudah tahlilan malam ke tujuh berpulangnya Ayah.   โ€Apa yang Kakak lakukan?โ€ Dengan suara serak khas bangun tidur, Huda bertanya sembari mengucek mata.   Dia pasti terheran-heran melihatku membongkar isi lemarinya, lalu memasukkan asal ke dalam tas sekolahnya yang besar.   Dengan air mata yang terus mengalir, aku tak mengindahkan pertanyaannya. Semua penderitaan dan rasa tidak sukaku selama ini harus segera diselesaikan.   Selesai mengemas pakaian yang tidak seberapa itu, aku melemparnya ke atas ranjang. Huda tersentak. Bibirnya bergetar ketakutan.   โ€Kita mau ke mana, Kak?โ€ Pertanyaan polos itu sedikit menusuk relung hatiku. Lalu aku tepiskan saja mengingat bisikan-bisikan Ibu pada malam-malam sebelumnya.   โ€Kita akan menjual rumah ini, Wita. Ikutlah bersama Ibu. Kita akan bahagia seperti dulu.โ€  Anak perempuan mana yang tidak bahagia berkumpul lagi dengan wanita yang telah melahirkannya. Meski sudah berbeda status, aku yakin sesosok itu masih menyayangiku seperti sedia kala. Seperti sebelum makhluk kecil itu hadir dan merenggut semuanya.   โ€Tak ada lagi alasan kau untuk tetap tinggal di sini. Aku tak sudi lagi mengurusmu.โ€ Aku berucap kasar sembari mengusap air mata.   โ€Maksud Kakak apa?โ€ Dia kembali bertanya.   โ€Aku akan tinggal bersama ibuku. Kau pergilah!โ€  Huda terperanjat. Bisa kulihat ketakutanya semakin bertambah.   โ€Aku harus pergi ke mana, Kak? Aku ikut Kakak, ya?โ€ Dia merengek bagai seorang gadis kecil. Memuakkan sekali.   โ€Itu bukan urusanku. Kau tahu sejak awal hanya Ayah yang mau menerima kau di sini. Kau lihat sendiri, kan? Ayah sudah tidak ada. Siapa yang sudi mengurusmu lagi?โ€  Huda bergerak, merangkak di atas ranjang mendatangiku. Dia memegangi tanganku begitu turun dari sana.   โ€Jangan seperti itu, Kak. Aku janji tidak akan merepotkan Kakak. Aku akan mencuci bajuku sendiri. Aku akan memasak telur mata sapi. Aku akan membantu Kakak membersihkan rumah. Aku tak mau berpisah dari Kakak.โ€ Huda menggoyang-goyangkan tanganku memohon.   Tanpa rasa iba aku menepis tangan kurus itu. Semakin muak mendengar sebutan โ€™kakakโ€™ di sela-sela kata yang dia ucapkan padaku.   โ€Ibuku tak akan sudi menerima orang asing sepertimu! Dasar kau__.โ€ Aku mengentakkan kaki ke lantai. Ragu mengucap kata yang selalu terngiang-ngiang di telingaku dari orang-orang di sekitar, tentang Huda.   โ€Kita tinggal di sini saja, Kak. Masih ada Bi Ana yang merawat kita.โ€ Dia menyebut nama wanita paruh baya yang bekerja paruh waktu untuk mengurus semua keperluan kami selama Ayah bekerja. โ€Aku janji tidak akan membuat Kakak kesal. Aku akan selalu bersikap baik, Kak. Tolong jangan jual rumah Ayah.โ€  Huda terus saja merengek. Namun rasa benci tetap saja membuatku enggan tuk peduli.   โ€Siapa kau berani mengaturku? Ini rumah ayahku. Kau tidak berhak melarang siapa pun menjualnya.โ€ Emosiku semakin meninggi. Kami berdua layaknya dua ahli waris yang memperebutkan harta peninggalan Ayah.   โ€Pergi! Jangan sampai aku melihat wajahmu lagi. Dasar anak haram!โ€Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku.   Huda terperanjat. Napasnya tak lagi teratur. Sesenggukan. Dia menatapku dengan tatapan ... aku pun tak tahu. Entah dia sudah paham tentang arti anak haram, atau hanya terkejut dengan bentakan dariku.   โ€Kakak ....โ€ Suara Huda mulai terdengar lemah. โ€Kata Ayah ....โ€  โ€Berhenti membicarakan ayahku!โ€ Kini aku benar-benar berteriak. Hingga terbungkam rapat mulut Huda tak berani lagi berkata apa pun.   Aku semakin berang. Perawakan Huda yang lemah layaknya anak perempuan, membuatku dengan mudah menyeretnya keluar. Disaksikan Bi Ana yang masih datang untuk membereskan rumah kami sepeninggal Ayah.   โ€œBuka pintunya, Kakak.โ€  โ€Buka pintunya.โ€  โ€Biarkan aku masuk, Kakak ....โ€  Aku duduk menangis di balik pintu. Memeluk lutut menahan rasa ngilu hati entah karena apa. Hari-hari bersama Huda selama empat tahun lamanya harus kulupakan begitu saja.   *  Aku tersadar dari ingatan masa lalu saat Huda menyentuh kedua pundakku.   Lihatlah. Anak laki-laki yang dulunya lebih pendek dariku, kini sudah bisa melakukan hal sedewasa itu. Dia bahkan sampai menunduk agar bisa melihat wajahku dengan jelas. Sangat lancang menurutku.   โ€Mau apa kau?โ€ Lekas aku menyingkirkan tangan besar itu dari bahuku. Merasa enggan kalau dia menyentuhku.   โ€Aku sudah melupakan semuanya. Tak perlu lagi menyimpan dendam. Lagipula ....โ€ Huda tak melanjutkan ucapannya. Membuat mataku menyipit.   โ€Lagipula apa?โ€ Bertanya juga aku karena penasaran. Mungkin saja sesuatu yang ingin dia ungkapkan dulu sebelum kami benar-benar berpisah.   Sejenak dia menatapku. Hingga bisa kulihat mata yang dulu nampak sayu dan selalu menunduk di hadapanku, kini sudah berani menantang dengan sorot mata seolah sedang menghitung setiap inci lekuk di wajahku. Benar-benar tidak sopan.   Lalu tiba-tiba saja dia menyunggingkan sebuah senyum. Seperti mengalah karena aku terus membalas tatapan matanya.   โ€Apa?โ€ tanyaku sekali lagi. โ€Apa yang ingin kau katakan?โ€  Senyumnya semakin melebar melihatku yang semakin penasaran. Siapa tahu saja masih ada harta peninggalan Almarhum Ayah yang tidak kutahu dititipkan pada dia.   โ€Tidak ada.โ€ Jawab dia dengan santai. โ€Mobilnya di sana. Aku akan tetap mengantar Kakak pulang.โ€  *  Kali ini aku mengalah. Jarak dari kantor polisi menuju rumahku cukup jauh. Harus menaiki dua kali angkot baru bisa sampai ke rumah. Tarif ojek online pun pasti dua kali lipat dari jarak pabrik menuju tempat tinggalku.  Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Syukurlah Huda tak banyak bertanya tentang kehidupanku selama ini. Dia pasti akan mencemoohku sepanjang hidupnya karena merasa karma sudah menghampiri jalan hidup dari orang yang sudah membuangnya.   Barulah kusadari dari ucapan Huda di kantor polisi tadi. Hidupku yang seperti ini merupakan hasil dari doa dan juga kutukannya. Anak itu tak henti-hentinya membawa kesialan pada hidupku.  Aku hendak melepas sabuk pengaman saat kendaraan yang membawaku berhenti di depan jalan. Sengaja meminta Huda menepi tak sampai pekarangan. Baru saja tanganku menyentuh pegangan ingin membuka pintu, Huda mulai bersuara dan memanggilku.   Aku menoleh. Lalu tersenyum sinis.   โ€Kau masih mau menuntut ucapan terimakasih dariku?โ€ Aku menebak maksud dan tujuannya menahanku.   โ€Tidak perlu.โ€ Huda membalas dengan senyuman getir. โ€Aku hanya ingin meyakinkan bahwa telingaku masih berfungsi dengan baik.โ€  Senyum sinisku tadi seketika lenyap. Mungkinkah Huda mendengar semua perdebatanku dengan orang-orang di kantor polisi tadi?   โ€Apa maksudmu? Apa yang kau dengar?โ€   Huda memejamkan mata perlahan. Lalu mengembus napas seolah sedang memberanikan diri mempertanyakan sesuatu padaku.   โ€Pria itu ... apa betul dia suamimu? Kakak benar-benar sudah menikah?โ€                                    ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (4)  Huda memang tidak salah dengar. Laki-laki yang berurusan denganku tadi memang pernah mengucap janji suci padaku di depan penghulu. Empat tahun yang lalu.   Arya nama dia. Anak laki-laki dari majikan ayah tiriku yang bekerja sebagai sopir pribadi.   Entah kapan dan di mana, Arya bilang langsung suka saat pertama kali melihatku. Lalu meminta orang tuanya untuk melamar pada laki-laki yang aku sebut sebagai Bapak.   Tentu saja aku langsung menolak. Dua tahun aku harus bekerja demi bisa mengumpulkan uang, guna melanjutkan pendidikan. Menjadi seorang mahasiswi untuk mengejar impian dan cita-cita.   Janji Bapak untuk membiayai kuliahku menguar begitu saja seiring bertambahnya anggota keluarga baru satu persatu yang lahir dari perut Ibu. Padahal uang penjualan rumah yang seharusnya bisa digunakan untuk masa depanku, diberikan Ibu pada suaminya itu.   โ€Kau tidak perlu khawatir, Wita. Orang tua Arya tidak keberatan kalau kau melanjutkan kuliah setelah menikah. Malah mereka senang. Ayahnya Arya itu kan pegawai pemerintah. Otomatis menantunya juga harus mendapatkan gelar sarjana.โ€ Begitu cara Bapak membujukku.  Hubunganku dengan Ibu kala itu sudah tak seharmonis dulu. Ada tiga anak laki-laki yang harus dia beri perhatian selain aku. Setelah menikah dengan Bapak, aku bukan lagi anak satu-satunya bagi dia. Jadi saat Bapak hendak mengambil keputusan, Ibu hanya menurut saja.   โ€Ibunya Arya malah berjanji, sampai kau kuliah S2, keluarga mereka yang akan membiayai.โ€  Aku mempertimbangkan semuanya selama beberapa hari. Memikirkan jalan keluar dari kesusahan setelah Ayah pergi. Hidup bersama Ibu ternyata jauh lebih sederhana dari saat bersama Ayah dulu. Membuatku harus ikut mencari uang demi bisa mencukupi kebutuhanku sendiri.   Hanya satu bulan saja perkenalanku dengan Arya. Selama itu pula tak ada yang aneh pada dirinya. Meski belum merasakan cinta, setidaknya laki-laki yang saat itu berusia dua puluh enam tahun itulah jalan keluarku satu-satunya.  Saat itu aku merasa sudah tak ada jalan lain lagi. Bekerja hanya sebagai penjaga dari satu toko ke toko lain, membuat biaya yang harus aku kumpulkan jauh dari kata cukup. Padahal usiaku sudah dua puluh tahun.  Akhirnya akad pun tiba. Banyaknya uang hantaran yang diberikan keluarga Arya, dibuatkan Bapak dan Ibu pesta yang meriah. Tentu saja demi mengimbangi tamu-tamu yang akan diundang oleh keluarga besannya.   Hingga saat malam tiba, Arya langsung ingin meminta haknya sebagai suami, tanpa malu-malu seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Sepanjang resepsi pesta, aku memang tak bicara soal tanggal yang sama dengan tamu bulananku. Masih malu untuk membicarakan hal-hal pribadi seperti itu. Lalu kupikir suamiku akan mengerti karena dia lelaki yang baik hati.   Arya tak terima. Hingga keluar sifat aslinya malam itu juga. Dia hendak memaksa. Seperti tak tahu saja tentang hukum agama dan juga dosa.   Aku bersikeras. Tak terima dengan perlakuannya. Maka di malam pengantin itu, kami terlibat perkelahian hebat.   Tentu saja aku tak mungkin menang melawannya. Arya begitu kasar. Pipiku sudah dua kali kena tamparan. Namun aku tetap berusaha mempertahankan. Berteriak sekuat tenaga agar tamu-tamu yang tersisa di luar sana bisa mendengar. Bersamaan dengan terbukanya pintu kamar yang didobrak, tanganku sudah sampai meraih vas bunga di atas nakas.   Siddiq Arjuna.   Pemuda delapan belas tahun menjadi satu-satunya saksi yang melihatku mengempaskan vas bunga itu di kepala laki-laki yang baru saja menjadi suamiku.   *  Aku baru saja masuk setelah melihat mobil pick up yang dikendarai Huda menghilang dari balik pagar. Sampai kulihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti sedang menunggu kedatanganku.   โ€Kenapa tidak pulang bersama Bapak?โ€ Ibu bertanya dengan ekspresi datar.   Aku kecewa. Ibu sama sekali tak mempertanyakan bagaimana keadaanku setelah kejadian buruk yang sama menimpa anak gadisnya.   โ€Aku tak sudi berada dalam satu mobil dengan mereka. Sepertinya Bapak kembali menjadi sopir Nenek lampir itu.โ€ Aku menjawab dengan ketus.   Ibu mengela napas kasar. Sudah hafal dengan sikap dan perangaiku saat ini. Aku pun kini bukan lagi gadis kecilnya dulu yang selalu bersikap manis.   โ€Bu Viona menghubungi Bapak sambil marah-marah. Mau tak mau Bapak harus menyusul ke rumahnya. Mungkin dari sana mereka pergi bersama.โ€ Ibu memberi penjelasan.   โ€Lalu Ibu tidak mempertanyakan bagaimana keadaanku? Apa ada memar di pipiku seperti dulu? Apa salahnya aku menjebloskan bajingan itu ke penjara sekali lagi? Apa dengan mencabut laporan, hutang uang hantaran itu akan lunas begitu saja? Iya?โ€ Suaraku mulai meninggi. Disertai genangan air mata yang mulai tumpah.   โ€Aku lelah, Bu. Aku sangat lelah hidup seperti ini. Aku korbannya. Bukan aku yang menghabiskan uang itu untuk biaya pesta. Kenapa malah aku yang harus bertanggung jawab mengganti semuanya?โ€ Kali ini aku benar-benar menangis. Sudah tak sanggup lagi menahan rasa sakit di dalam hati.   Ibu bahkan tak berani menuntut tanggung jawab  pada suaminya. Aku merasa sudah terjebak dengan ide gila Bapak yang begitu terobsesi  menjadi besan dari majikannya sendiri.   Tak lama suara sepeda motor terdengar. Bapak masuk sembari mengucap salam. Aku menatapnya dengan wajah kesal sembari mengusap air mata.   โ€Wita.โ€ Pria berusia lima puluhan itu memanggil dengan tenang. Tidak dengan bentakan seperti di kantor polisi tadi. โ€Bapak ingin bicara. Kau juga, Ranti.โ€ Bapak menoleh kepada Ibu.   Seperti biasa, Ibu hanya mengangguk. Menuruti semua keputusan yang suaminya ambil.   โ€Bicara apa lagi? Apa majikan Bapak meminta hutang-hutang itu segera dilunasi?โ€  โ€Kau tenanglah dulu.โ€ Gaya bicara Bapak sedikit melunak. Seperti menemukan sebuah solusi dari semua yang terjadi.   โ€Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku lelah.โ€ Aku enggan menuruti ucapan Bapak, lalu melangkah hendak menuju ke kamar.   โ€Arya ingin rujuk, Wita!โ€ Kata-kata Bapak sukses menahan langkahku.   Aku berbalik ke arah laki-laki itu. Menatap mukanya dengan geram.   โ€Bu Viona sudah setuju. Demi anak laki-laki satu-satunya, dia mau mengalah untuk menerima keluarga kita lagi. Kau tidak perlu lagi bekerja banting tulang untuk mengembalikan uang hantaran yang sudah mereka beri.โ€  โ€BAPAK!โ€ Kali ini aku berteriak sekuat tenaga. Merasa kata-kata pria tua itu sudah terlalu kelewatan.   Dia seperti tak mengingat apa yang pernah terjadi.   โ€Pelankan suara kau, Wita.โ€ Ibu berusaha menenangkanku.   โ€Bapak tidak punya harga diri lagi, hah?!โ€ Aku tak mengindahkan perintah Ibu. โ€Bapak masih ingin menjualku demi bisa menjadi bagian dari keluarga mereka? Bapak lupa kalau perempuan tua itu memecat dan memaki-maki Bapak di depan semua orang, hah? Aku bukan anak Bapak. Tidak ada kewajiban bagiku untuk menuruti semua keinginan Bapak. Kalau ingin hidup enak, kenapa bukan Bapak saja yang menikah dengan perempuan itu?โ€  โ€WITA!โ€ Kali ini keras suara Ibu membentakku.  Aku tak peduli. Kembali mengabaikan.   โ€Dengar, Pak. Tidak akan pernah ada kata rujuk. Karena pengadilan sudah menegaskan, pria itu tak pernah berstatus menjadi suamiku!โ€                                   ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (5)   Memang seperti itulah yang terjadi. Aku mengajukan permohonan pada pengadilan agama untuk proses pembatalan pernikahan. Aku tak mau ada bayang-bayang nama lelaki bejat itu di kehidupanku yang akan datang.   Lagipula usai kejadian naas di malam pengantin itu, aku hanya bertemu Arya di ruang sidang. Tak ada lagi malam pertama yang membuat aku sempurna menjadi istrinya. Hingga mudah saja bagi Hakim memutuskan bahwa pernikahan kami memang seharusnya tidak terjadi.   Pernikahan itu sebuah kepalsuan. Aku ditipu habis-habisan. Arya yang selama ini mengaku tinggal di luar kota, nyatanya sedang berada di pusat rehabilitasi. Dia seorang pecandu narkotika.   Aku tak terima. Hingga alasan itu yang membuat permohonanku dikabulkan.   โ€Pikirkan lagi, Wita. Arya berjanji akan berubah. Bapak sendiri yang menjadi saksi bahwa dia benar-benar terlihat menyesal atas apa yang sudah dia lakukan.โ€ Dengan tak tahu malu Bapak masih membujukku.   โ€Saksi?โ€ Aku tersenyum sinis. โ€Bukankah Bapak dulu juga bersaksi bahwa laki-laki itu bersih tanpa masalah? Bapak lihat sekarang. Dia bahkan berani mabuk di siang bolong hanya untuk menyakitiku. Bapak masih ingin menyerahkanku pada bajingan seperti itu? Semakin lama Bapak semakin kelewatan.โ€   Aku sudah kehilangan rasa hormat, lalu benar-benar meninggalkan mereka. Tak mau lagi berdebat yang hanya untuk menerima luka baru yang akan mereka buat.   Mataku sempat melirik Siddiq yang berdiri menyaksikan kami dari depan pintu kamarnya. Entah sejak kapan adik tiriku itu berada di sana dengan tas ransel yang menggantung di bahu kanannya.   Aku langsung membuang muka, kemudian membanting pintu kamar, begitu masuk ke dalamnya.   *  Hari sudah terlalu malam. Namun mata ini masih juga belum terpejam. Berbagai persoalan datang selalu saja datang silih berganti. Seolah โ€™membuangโ€™ Huda adalah dosa yang sudah tak terampuni lagi.   Kenapa Huda bisa tiba-tiba saja muncul di tempatku bekerja. Dalam keadaan yang menyedihkan pula. Aku yakin kalau dia sedang menertawakanku setelah menyaksikan apa yang sudah terjadi padaku saat ini. Merasa kutukan dan doa-doa buruknya tentang aku benar-benar terjadi.   Dalam gelisah, tiba-tiba saja perutku terasa lapar. Sebab enggan untuk bertemu Ibu dan suaminya saat makan malam tadi. Lalu kuputuskan saja keluar mencari sesuatu yang bisa mengganjal lambungku agar bisa tidur nyenyak malam ini.   Semua orang pasti sudah terlelap. Aku melahap sendiri nasi dan juga lauk pauk yang ditinggalkan Ibu di meja makan. Kubiarkan lampu dapur tetap padam, agar aku bisa makan dengan tenang. Aku benci cahaya dalam keadaan menyedihkan seperti ini.   Saat menikmati santapanku, tiba-tiba lampu menyala. Seseorang sedang berdiri di ambang pintu dapur sedang memperhatikanku.   โ€Kau bisa ketulangan, nanti.โ€ Pemuda seusia Huda itu berjalan mendekatiku.   Aku mendengkus pelan.   โ€Kau juga belum makan?โ€ Aku bertanya dengan datar.   Dari sekian banyak karma, kurasa Siddiq yang paling utama. Seolah dia dihadirkan agar aku harus hidup dalam bayang-bayang Huda selamanya.  Pemuda bertubuh jangkung itu menarik kursi agak menjauh, lalu duduk menghadapiku.   โ€Jangan mau jika laki-laki itu mengajakmu rujuk.โ€ Tanpa menjawab pertanyaanku, pemuda berusia dua puluh dua tahun itu seolah memberi perintah.   โ€Kau tidak perlu mengajariku,โ€ sahutku datar sembari meneruskan makan.   โ€Siapa laki-laki yang mengantarmu tadi?โ€  โ€Bukan siapa-siapa.โ€ Aku yakin Siddiq mengintip dari balik jendela.  Aku sengaja menyembunyikan status Huda. Bukan hal penting yang harus aku bicarakan pada dia. Aku dan Siddiq tidak seakrab itu sebagai saudara.   โ€Hati-hati dengan laki-laki yang baru kau kenal. Lain kali kalau ada masalah, kau bisa menghubungi aku.โ€  Siddiq bangkit dan meninggalkanku begitu saja. Ini durasi percakapan kami yang paling lama sepanjang delapan tahun hidup bersama. Mungkin dia hanya takut menyaksikan lagi malam pengantin berdarah itu, empat tahun yang lalu.   *  โ€Kau tidak bilang kalau kau sudah pernah menikah, Wit.โ€ Aini, rekan kerjaku bertanya dengan suara yang mungkin bisa didengar semua orang.   Sudah pasti berpasang-pasang mata itu menyempatkan diri ke arahku di sela-sela aktivitas mereka. Pak Haji pasti sudah bercerita tentang apa yang terjadi di kantor polisi kemarin. Semua diselesaikan secara kekeluargaan mengingat kami pernah bersanding di pelaminan sebagai sepasang suami-istri.   โ€Tak ada yang perlu aku akui. Pernikahan kami tidak seharusnya terjadi.โ€ Aku menjawab seadanya.   Entah apa saja yang mungkin sudah mereka bicarakan tentang aku kemarin. Usai melaporkan kasus siang itu, Pak Haji memintaku untuk pulang saja. Tak perlu lagi kembali ke pabrik untuk menyelesaikan pekerjaan. Mungkin tak sampai hati melihatku yang sedang syok bercampur emosi.   โ€Bagaimana kalau laki-laki itu kembali lagi?โ€  Aku diam saja tak menjawab. Aku pun tak tahu bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi.   โ€Untung saja si pengantar ayam itu datang tepat waktu, kan? Kami melihat rekaman CCTV saat pria tampan itu melempar baskom ke kepala sua... ah, maksudku pria jahat itu. Dia terlihat sangat keren.โ€ Mata Aini berbinar-binar saat berbicara.   โ€Pengantar ayam?โ€ Aku mengulangi ucapan gadis seusiaku itu.   โ€Hem.โ€ Aini mengangguk. โ€Pak Umar sedang sakit. Jadi si tampan itu yang menggantikannya saat ini.โ€ Aini mengubah gelar si pengantar ayam menjadi si tampan. Membuatku semakin bingung mendengarnya.   Ah, sial! Aini pasti sedang membicarakan tentang Huda.   Aku dengar, sopir yang selama ini mengantar bahan baku ayam untuk olahan Dimsum Pak Haji, mengalami kecelakaan. Pick up yang dia kendarai bersama asistennya, menabrak pembatas jalan. Sudah pasti saat ini kedua orang itu sedang dirawat di Rumah Sakit entah sampai kapan.   Apa itu artinya Huda akan datang lagi? Dan aku akan bertemu dengannya setiap hari? Di tempat ini?   โ€Hei, lihat! Si tubuh kekar itu sudah datang. Dia terlihat jauh lebih tampan hari ini.โ€ Mata Aini kembali berbinar dengan gelar baru yang dia sematkan.   Dari ambang pintu, Huda terlihat menebar senyum. Entah pada siapa saja aku pun tak tahu. Tapi setidaknya kehadiran dia siang ini sudah menjawab pertanyaanku tadi.   Sial! Sial! Sial!   Apa ini kutukan versi terbaru yang Tuhan hadirkan kembali untuk menghukumku?   Siapa kau sebenarnya, Maulana Huda? Baik dari bayangan ataupun raga, kenapa kau tak pernah bisa menghilang dari hidupku?                                      *** BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (6)   Tak berapa lama sirine tanda jam istirahat berbunyi. Aku dan yang lainnya sibuk mempersiapkan diri untuk keluar makan siang. Tak mau lagi sendirian di tempat ini seperti kemarin.   Saat berjalan menuju pintu, Huda terus saja menatapku. Sepertinya dia masih mengenali meski sebuah masker masih menutupi sebagian wajahku. Sembari berjalan, aku melepaskan atribut kerja itu beserta penutup kepalanya dari rambut.   โ€Aku juga belum makan. Makan bersama, ya?โ€ Huda menyapa saat tubuhku berpapasan dengan dia.   Aini menyenggol bahuku dengan bahunya saat kami berhenti karena teguran dari pemuda itu. Senyum-senyum Aini memandangku. Mungkin dia berpikir kalau bocah itu sedang melakukan pendekatan layaknya seorang pria pada wanita.   โ€Aku membawa bekal. Kau makan saja sendiri.โ€ Aku kembali bersikap dingin. Seolah hubungan kami sewaktu kecil hingga remaja itu belum lama terjadi.   Harusnya aku sudah bisa melupakan semuanya. Delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun setiap siang dan malam, segala peristiwa bersama Huda tak dapat luput dari ingatan begitu saja. Mungkinpun hanya aku yang merasakannya. Sebagai hukuman agar hidupku tak bisa tenang untuk selamanya.   Aini lagi-lagi menyenggol bahuku. Dia pasti keberatan karena aku terlalu bersikap jual mahal. Memang seperti itulah aku selama ini. Meski Aini tak tahu bahwa Arya lah penyebabnya.   Sejak peristiwa naas itu, aku menjadi trauma jika ada lelaki yang mendekati. Takut hal yang sama terjadi lagi. Tertipu dengan sikap baik yang diperlihatkan di awal-awal perkenalan kami.   โ€Tidak apa-apa. Bawa saja bekalnya. Kita bisa makan di mobil.โ€ Huda menjawab dengan santai.   โ€Apa-apaan, kau?โ€  โ€Sudah lama kita tidak makan bersama kan ..., Kakak?  Mataku melotot mendengar kembali panggilan itu. Kembali teringat saat terakhir kali kami bertemu.   โ€Jangan usir aku, Kakak.โ€  โ€Kenapa Kakak begitu tega padaku?โ€  โ€Apa salahku, Kakak?โ€  โ€Kenapa Kakak selalu saja membenciku?โ€  Kata-kata permohonan itu terdengar sepanjang jalan saat aku menyeret tubuh Huda menuju pintu.   โ€Dengarkan aku, bocah!โ€ Rahangku mengeras saat Huda sudah berdiri di depan teras. โ€Sampai kapan pun, aku tak akan pernah sudi menjadi kakakmu. Jadi mulai detik ini, berhenti memanggilku Kakak!โ€  *  Tapi lihatlah saat ini. Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu selalu mempertegas kata โ€™Kakakโ€™ setiap kali memanggilku. Seolah sengaja membuatku marah dan mengingat kembali kejadian yang terjadi delapan tahun yang lalu.   โ€Kalian sudah saling mengenal sebelumnya?โ€ Aini nampak heran mendengar isi percakapan kami.   Gadis berambut gelombang itu mengangkat bahu karena tak satu pun dari kami yang menyahuti pertanyaannya.   โ€Baiklah. Kurasa kalian butuh waktu untuk menyelesaikan masalah.โ€ Aini berasumsi sendiri. โ€Aku pergi dulu, ya?โ€  Gadis itu pasti benar-benar merasa menjadi sangat bijak karena sudah memberi peluang untuk aku dan Huda. Tidak tahu saja dia, bahkan siang dan malam aku selalu berdoa agar tak bertemu lagi dengan pemuda itu untuk selamanya. Apalagi dalam posisi berdua saja.   *  โ€Kenapa kau melakukan itu?โ€ Aku bertanya pada Huda saat menyantap makan siang.   Aku mengajaknya ke rumah makan Padang di simpang jalan karena dia terus memaksa. Pada saat jam istirahat, para pekerja bebas pergi ke mana saja. Asal tepat waktu saat jam masuk sudah tiba. Bekal makan siang yang disiapkan Ibu terpaksa aku simpan saja.   โ€Melakukan apa?โ€ Huda selalu saja menyikapi setiap pertanyaanku dengan santai.   โ€Tentu saja memuiku seperti ini. Bukankah sudah kubilang harusnya kita tidak saling mengenal? Apa yang harus aku katakan jika semua rekan kerjaku bertanya?โ€  โ€Katakan saja yang sebenarnya.โ€  โ€Sebenarnya bagaimana? Aku tak punya hubungan apa-apa dengan kau.โ€  โ€Kalau begitu aku saja yang bilang, kalau aku ini adikmu!โ€  โ€Kau__.โ€ Mataku menatap Huda dengan geram. โ€Kau ingin mempermalukanku?โ€  โ€Mempermalukan? Kapan aku pernah mempermalukan kau, Kakak?โ€ Huda kembali mempertegas kata itu. Seolah menantang. Membuat aku semakin geram.   โ€Selama menjadi adikmu aku tak pernah membuat kesalahan. Aku selalu menuruti semua perintah yang kau berikan. Aku bahkan tak pernah bersikap manja pada Ayah karena takut kau cemburu. Lalu apa masalahmu denganku? Kenapa kau begitu membenciku. Kau bahkan memintaku bersembunyi di kamar saat teman-teman kau datang. Apa hingga sekarang kau masih tak mau mengakuiku sebagai adikmu? Kau masih sekanak-kanak itu?โ€  โ€Huda!โ€ Aku mengeraskan suara untuk membungkam mulutnya agar diam. Lalu aku pun terdiam saat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami. Mungkin merasa tak nyaman dengan keributan dan perdebatan ini.   Dia bertanya apa kesalahannya?   Bahkan hingga kini dia belum juga menyadari, bahwa kehadirannya di dunia ini saja sudah menjadi kesalahan. Masih kurang dewasa apa aku hingga tak menyebutnya lagi sebagai anak haram. Dan dia masih bilang aku kekanak-kanakan?   โ€Aku tak mau lagi bertemu dengan kau, Huda. Pergilah! Kau dan aku sampai kapan pun tak akan pernah bisa menjadi saudara.โ€ Aku berucap pelan. Mataku tiba-tiba saja menghangat dan mulai basah.   Aku beranjak meninggalkan laki-laki berkulit putih itu sendirian. Bisa kulihat mimik wajahnya yang tadi berapi-api mulai meredup. Seolah menyesali kata-kata yang sengaja dia ucapkan tuk menyakitiku.   โ€Maafkan aku.โ€ Suara Huda terdengar saat aku memasuki pekarangan rumah Pak Haji yang sudah berubah fungsi menjadi pabrik sederhana.   Sepertinya pemuda yang masih memosisikan diri sebagai adikku itu berlari sepanjang jalan hingga bisa mengejarku secepat ini. Kami berjalan bersisian sampai ke depan pintu.   โ€Pulang bekerja nanti aku jemput! Aku akan mengantar Kakak pulang. Aku ingin bertemu dengan istri Ayah yang dulu merebutmu dari hidupku!โ€  Aku tersentak. Tak menyangka Huda akan berpikiran seperti itu. Dia benar-benar terdengar begitu percaya diri dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Dia bahkan terlihat seperti menyimpan dendam.   Aku terdiam. Kata-katanya tadi seperti sebuah perintah. Mulutku seolah terkunci tak lagi bisa menjawab. Kenapa aku menjadi selemah ini di hadapan bocah yang dulu selalu aku tindas perasaannya.  Huda meninggalkanku sebelum aku menjawab permintaannya. Aku layaknya budak yang tak diizinkan untuk menolak. Sudah seberani itu dia sekarang padaku.   *  Sore harinya Huda benar-benar menunggu. Tak memedulikan pandangan karyawan lain yang bersuit-suit menggoda kami. Sepanjang yang mereka tahu, selama bekerja, ini pertama kalinya aku dijemput oleh laki-laki. Sudah pasti mereka akan berpikir bahwa urusan kami adalah tentang asmara.   โ€Kau tidak perlu membukakan pintu. Aku bukan majikanmu.โ€ Aku menepikan tubuh Huda yang berdiri di depan pintu penumpang. Mobil pick up untuk mengantar ayam masih dia pakai.   Dia menepi. Lalu berputar ke pintu yang satunya setelah memastikan aku sudah duduk manis di dalam kendaraan yang dia bawa.   โ€Kau ingin membalas dendam pada aku dan ibuku?โ€ Kali ini aku memulai pembicaraan saat kendaraan mulai melaju.   โ€Kenapa berpikir seperti itu?โ€ Gaya bicaranya yang santai membuatku mulai terbiasa.   โ€Kau tak mungkin mengejar-ngejarku seperti saat ini jika tak ada maksud tersembunyi.โ€  Terdengar suara decihan dari dia yang duduk di sampingku.   Aku menoleh. Ingin melihat ekspresi wajah Huda saat ini. Dari film-film yang aku tonton secara ilegal di Telegram, jika seseorang menarik sudut bibirnya dengan ekspresi datar, dia pasti sedang merencanakan niat jahat.   Tapi Huda tak begitu. Dia malah tersenyum meski tak menoleh ke arahku.   โ€Kau selalu saja berpikiran buruk tentang aku.โ€ Huda menyahut dengan tenang. Sedikitpun tidak terlihat kalau dia sedang tersinggung.   Apa artinya dia tidak menyangkal tuduhanku?   Lalu kami sama-sama diam sepanjang jalan. Sama seperti waktu itu. Hingga aku memintanya berhenti di seberang jalan seperti kemarin.   โ€Beri aku waktu.โ€ Kali ini aku seperti memohon agar Huda tak ikut masuk ke rumahku. โ€Aku tak mau menyakiti hati ibuku.โ€  Huda memandangku penuh selidik. Meminta penjelasan apa maksud dari ucapanku.   โ€Kau tahu dia yang paling terpukul saat Ayah membawa kau pulang. Dia bahkan tak mau mendengar apa pun yang Ayah ucapkan saat mendengar nama ibumu. Kau masih ingin menuntut keadilan darinya?โ€ Aku menjelaskan tentang pertengkaran yang terjadi antara Ibu dan mendiang Ayah.   Saat itu aku tak mengerti. Siapa wanita yang disebut Ayah berkali-kali. Setelah mulai dewasa, barulah Ibu bercerita. Ibunya Huda bernama Salwa. Mantan kekasih Ayah sebelum memutuskan untuk menikah dengan Ibu.   Hati wanita mana yang tidak sakit mendengar suaminya membawa pulang seorang anak dari mantan kekasihnya. Hingga yakinlah Ibu bahwa Huda adalah benih terlarangnya dari wanita itu.   Huda menarik napas, lalu mengembuskannya. Mencoba meredam antusiasnya bertemu Ibu saat di pabrik tadi. Entah apa yang akan dia lakukan jika bertemu nanti.   โ€Masuklah!โ€ Huda akhirnya mengalah.   Aku menarik napas lega. Meski hubunganku dengan Ibu kian merenggang, tetap saja tak bisa aku terima siapa pun membuat hatinya kembali terluka karena kehadiran Huda.   Aku berjalan menyeberang jalan usai berbicara dengan Huda. Sesekali menoleh ke belakang pada dia yang masih mengawasiku dari seberang sana. Mobilnya belum beranjak ke mana-mana.   Namun langkahku terhenti saat melihat sebuah mobil terletak di balik pagar halaman rumah yang aku tempati. Membuatku langsung berbalik arah, kemudian kembali hendak menyeberang jalan.   Mobil Huda baru saja bergerak. Membuatku harus berlari untuk mengejarnya. Napasku sampai ngos-ngosan sembari melambaikan tangan dengan kuat. Berharap Huda melihatku dari kaca spion.   Namun terlambat. Aku berjongkok menahan rasa sesak sampai kendaraan dengan bak terbuka itu menghilang dari pandangan. Aku merasa kehilangan.   Aku pasrah dan kembali berdiri. Lalu menguatkan hati untuk kembali ke rumah itu lagi. Perkara menang atau kalah, aku terlalu lelah tuk kembaliberpikir.   Namun saat hendak kembali masuk ke halaman, suara klakson membuatku tersentak. Huda sudah kembali dengan kendaraannya. Dia membuka pintu mobil dengan tergesa, kemudian menghampiriku.   โ€Ada apa?โ€ Huda menatapku penuh kekhawatiran.   Entah kenapa aku merasa lega. Seolah kehadiran Huda kali ini bisa menyelamatkanku dari nasib sial yang selama ini terus-terusan datang menimpa.   โ€Ada apa?โ€ Dia bertanya sekali lagi. Kali ini terdengar tidak sabaran.   โ€Huda, aku__.โ€                                 ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (7)   โ€Kau kenapa?โ€ Untuk ketiga kalinya Huda bertanya. Pertanyaannya kian memaksa. Dan mulutku seperti terkunci diam saja.   Aku tak dapat meneruskan kata-kata. Aku bahkan tak tahu harus memulai dari mana. Sedang kemarin saat dia bertanya perihal masalah pribadiku dengan Arya, aku tak menjawab apa-apa.  โ€Huda, aku ....โ€  โ€Apa pria yang kemarin mengganggu kau ada di sana?โ€ Huda menunjuk ke dalam rumah. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. Dan tebakannya itu tidak salah.   Mobil yang berada di halaman sana adalah mobil keluarga Arya yang dulu mereka pakai saat melamarku. Aku merasa kedatangan mereka saat ini sama sekali bukan hal yang baik bagi hidupku.   โ€Wita?โ€ Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Huda, suara seseorang sudah memanggilku dari balik pagar.   Aku dan Huda menoleh bersamaan, hingga terlihat Ibu dan Bapak sudah berdiri melihat kami. Sepertinya suara klakson yang dibunyikan Huda sudah menarik perhatian mereka. Sebentar saja mereka sudah menyusulku ke luar pagar.   โ€Siapa dia?โ€ Ibu menatap Huda penuh tanya.   โ€Kau yang kemarin berada di kantor polisi, kan?โ€ Bapak langsung menjawab pertanyaan Ibu. Ayah tiriku itu mengenali Huda rupanya.   Huda mengangguk penuh percaya diri.   โ€Mau apa ke sini? Meminta imbalan karena merasa sudah menyelamatkan Wita?โ€ Ucapan Bapak terdengar meremehkan. โ€Kau hanya membuat masalah semakin rumit saja. Pergi! Sebelum laki-laki yang kau serang tempo hari membuat perhitungan.โ€  โ€Aku tidak takut.โ€ Huda menjawab dengan tegas. โ€Bajingan itu ada di dalam, kan? Suruh dia keluar. Aku yang akan membuat perhitungan dengannya. Orang tua macam apa yang membiarkan laki-laki yang ingin melecehkan anaknya bebas berkeliaran begitu saja. Bahkan mengizinkannya datang dan menyambut layaknya tamu kehormatan.โ€   Meski Huda menyahuti ucapan Bapak, tapi bisa kulihat sorot mata Huda mengarah pada Ibu. Huda benar-benar terlihat punya dendam tersendiri pada wanita yang sudah melahirkanku itu.   โ€Jangan sembarangan kalau bicara!โ€ Bapak masih tak mau kalah. โ€Kau pikir kau siapa? Kau belum tahu siapa yang ada di dalam sana?โ€  โ€Sudah, Pak. Tidak enak nanti didengar Bu Viona dan keluarganya.โ€ Ibu mencoba menenangkan suaminya. โ€Masuk, Wita. Keluarga Arya ingin bicara. Kau tidak perlu cemas. Arya tidak akan berani lagi bersikap kasar.โ€ Ibu menoleh ke arahku.   โ€Tidak, Bu. Aku tidak mau bertemu dengan mereka lagi. Apalagi laki-laki bajingan itu. Mau apa mereka ke sini?โ€ Aku masih berdiri di tempatku. Enggan melangkah mengikuti keinginan kedua pasangan itu.  โ€Masuklah dulu. Jangan sampai mereka melihat kau pulang bersama laki-laki.โ€  โ€Memangnya kenapa?โ€ Huda yang kini menyahuti ucapan Ibu dengan ketus.   โ€Kau siapa? Beraninya ikut campur urusan keluarga kami. Pergi! Aku tak mau ada keributan di rumah ini.โ€  โ€Aku__.โ€  โ€Oh, jadi ternyata Wita sudah punya laki-laki lain?โ€ Suara Tante Viona terdengar sembari berjalan ke arah kami. Diikuti oleh suami dan juga anak laki-laki satu-satunya itu.   Aku sempat melirik Arya. Penampilannya kini lebih baik dari sebelumnya. Rambut yang kemarin memanjang layaknya preman, kini dipotong pendek dan rapi. Membuat bekas luka di pelipisnya semakin terlihat jelas.   โ€Bukan seperti itu, Bu Viona. Tidak ada hubungan apa pun dengan mereka. Benar kan, Wita?โ€ Mata Ibu menatapku. Seolah sedang memohon untuk tidak menyebabkan masalah saat ini.   Aku melirik Huda. Ternyata dia dan Arya kini saling menantang dengan bertatapan satu sama lain. Arya mengusap belakang kepalanya. Seperti mengingatkan Huda akan perbuatannya. Tatapan sinis itu terlihat jelas seperti sedang mengancam.   โ€Kau lihat sendiri kan, Arya? Perempuan yang kau inginkan itu sudah memiliki pria lain. Jangan bodoh sebagai laki-laki. Seperti tidak ada perempuan lain saja. Ini terakhirnya kalinya Mama menuruti keinginan bodoh kau itu.โ€ Dari ucapan Tante Viona, sudah jelas maksud dan tujuan mereka datang ke sini.   Sudah pasti menginginkan pernikahan ulang seperti yang disampaikan Bapak malam tadi. Hanya saja aku tak menyangka mereka akan datang secepat ini.   โ€Dan kau, Hilman! โ€ Tante Viona menoleh pada Bapak. โ€Cepat kembalikan uang kami, agar keluarga saya tidak perlu lagi berurusan dengan keluarga kalian!โ€  Bapak hanya bisa menunduk. Kelihatan takut sekali dengan mantan majikannya itu. Terlebih lagi hutang yang belum juga lunas meski sudah empat tahun kami bayarkan.   Aku merasa lega. Setidaknya meski Bapak dan Ibu bersikeras membujukku untuk kembali pada Arya, keluarganya yang sudah tak mau lagi menerimaku.   Aku melirik ke arah Arya. Pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu memandangku seperti sedang memohon. Seperti bukan dia saja yang kemarin bersikap kasar dan mengancam hendak membunuhku.   โ€Kau juga!โ€   Belum puas juga rupanya perempuan dengan dandanan menor itu mengintimidasi keluargaku. Dan sekarang, aku pula yang menjadi sasarannya.   โ€Kau memang perempuan tidak tahu diri. Sudah kau hancurkan masa depan anakku, sekarang kau main gila dengan laki-laki lain. Kau sengaja mencemarkan nama baik Arya agar tidak ada lagi yang mau menikah dengannya, hah? Kau menjadikan anakku mantan narapidana agar dia terus mengejar-ngejar kau karena berpikir tidak akan ada perempuan lain yang mau sama dia? Iya?โ€   Ibunya Arya mulai terlihat emosi. Padahal suaminya dari tadi tidak ada berbicara sama sekali.   โ€Tanpa berurusan denganku pun anak Tante memang layak dipenjara. Tante sudah tahu itu, kan? Kenapa malah menyalahkanku? Harusnya Tante juga dihukum karena bersekongkol sudah menipu keluargaku.โ€ Aku tak mau kalah.   Harusnya hukuman Arya memang tidak sampai empat tahun. Mengingat hanya memar bekas tamparan saja yang aku alami atas tindakannya. Namun saat pemeriksaan, Arya positif masih menggunakan obat-obatan terlarang. Hingga hukumannya bertambah dengan kasus yang terpisah dari laporanku.  โ€Beraninya kau!โ€  โ€Kenapa? Tante tidak terima? Kalau begitu urus baik-baik anak Tante itu agar tidak ada perempuan lain yang menjadi korban kegilaan dia!โ€ Aku mengarahkan pandangan tajam mengungkap kebencian.   โ€Dasar perempuan kurang ajar!โ€ Tante Viona hendak menyerangku. Merasa tak terima dengan semua ucapanku.   Sepertinya kuku-kuku tajam Tante Viona ingin sekali dia tancapkan ke wajahku. Padahal bagaimana dia terlihat tidak suka padaku, kebencianku padanya lebih dari itu.   โ€Sudah, Ma. Sudah.โ€ Arya pasang badan menarik lengan ibunya. Memandangku dengan tatapan ... ah aku tak mau tahu tentang itu.   โ€Bawa Mama ke mobil, Arya. Kita pulang!โ€ Suami Tante Viona akhirnya mengeluarkan suara. Tentu saja dengan tegas dan berwibawa.   *  โ€Kenapa kau begitu kasar, Wita? Tidak cukupkah mereka mengalah dan merendahkan diri untuk datang ke sini?โ€ Bapak terdengar putus asa.   Ibu masih diam saja sembari membuatkan susu untuk adik bungsuku yang baru berusia tiga tahun.   โ€Kenapa kau bisa pulang dengan laki-laki itu? Kalian berpacaran?โ€ Bapak kembali bertanya tentang Huda.   Bocah itu pulang setelah aku berjanji akan menjelaskan semuanya besok hari. Jika tidak, entah keributan apa lagi yang akan terjadi saat Ibu mengetahui bahwa Huda adalah anak laki-laki yang aku buang atas hasutan dari dia.   โ€Dia hanya seorang anak haram, Wita. Ibunya seorang wanita murahan yang menggoda ayahmu. Sejak kehadirannya, keluarga kita selalu terkena sial. Bahkan Ayah kau pun mati muda dibuatnya. Kau masih ingin tinggal bersama dia? Agar dia bisa ikut menikmati harta peninggalan ayahmu? Kalau begitu, kau harus memilih. Anak itu  ... atau Ibu.โ€  Kata-kata seperti itu yang selalu didengungkan Ibu sesaat setelah jenazah Ayah baru saja terkubur di dalam tanah.   *  Huda sepertinya sudah tak sabar lagi ingin mengungkapkan jati diri. Mungkin saja dia benar-benar punya maksud tersembunyi pada keluarga kami.   Harusnya aku merasa khawatir. Tapi saat ini, entah kenapa dengan kehadirannya aku merasa terlindungi.   โ€Aku tidak punya pacar.โ€ Aku menjawab pertanyaan dari Bapak. โ€Dan sepertinya dalam waktu lama akan tetap seperti itu. Tidak juga dengan Arya! Jadi Bapak tidak usah terlalu banyak berharap lagi.โ€ Aku mempertegas ucapanku.   *  Saat sedang berbaring di ranjang, terdengar suara ketukan dari luar. Sejak aku tinggal bersama keluarga baru ini, Ibu selalu memintaku mengunci kamar saat hendak tidur. Ibu bilang, ada dua laki-laki asing yang harus aku hormati keberadaannya di rumah ini.   Aku beranjak, lalu melihat Ibu setelah membuka pintu.   โ€Ada apa, Bu?โ€ Aku mengernyit heran. Biasanya pada jam seperti ini, Ibu sudah terlelap dari tadi.   Ada yang berbeda dari raut mukanya kali ini. Padahal semuanya sudah baik-baik saja saat makan malam tadi. Kami tak ada membahas Arya dan keluarganya sama sekali.   โ€Anak itu ....โ€ Suara Ibu tertahan.   Aku mengernyit heran.   โ€Laki-laki yang bersama kau tadi, dia ... anak itu, bukan?โ€                                         ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (8)  Kali ini aku tak dapat menutupi lagi siapa pemuda yang aku bawa tadi di hadapan Ibu. Wajah itu, dari kecil hingga beranjak remaja, bahkan setelah dewasa tak banyak berubah.  Siapa pun yang pernah bertemu dengan dia, pasti bisa langsung mengenalinya.  Ibu bilang, wajah Huda begitu mirip dengan wanita yang sudah melahirkannya. Membuat Ibu benci setengah mati dan enggan berlama-lama menatap wajahnya. Hal itu juga yang membuat Ibu cepat-cepat angkat kaki dari rumah. Apa pun yang Ayah katakan, Ibu sudah tak percaya lagi saking terbawa dalam emosi.  โ€Katakan, Wita. Dia benar-benar anak haram itu?โ€ Wajah Ibu menegang menahan rasa geram. Sebutan anak haram yang Ibu ajarkan padaku, masih juga dia sematkan untuk Huda.   Aku mengangguk membenarkan. Cepat atau lambat, Huda pasti akan datang sendiri untuk memperkenalkan dirinya pada Ibu.   โ€Kenapa kau bisa bersamanya?Apa yang sudah dia lakukan terhadapmu?โ€ Ibu nampak cemas.   โ€Tidak ada yang ada Huda lakukan, Bu. Kami tidak sengaja bertemu.โ€ Aku berkata apa adanya.  โ€Tidak sengaja?โ€  Aku meminta Ibu untuk masuk. Lalu menjelaskan bagaimana pertemuanku dengan Huda sembari duduk di atas ranjang. Aku hanya takut membuat hati Ibu terluka, lalu tiba-tiba melemah tungkai kakinya.  โ€Kau yakin dia tidak sengaja mencari kita?โ€ Ibu nampak ketakutan.   โ€Untuk apa dia melakukan itu, Bu?โ€  โ€Dia sudah dewasa, Wita. Kau tidak takut dia menuntut uang dari hasil rumah yang sudah kita jual? Tidakkah kau berpikir bahwa dia juga merasa berhak karena dia juga anak dari ayahmu?โ€  Aku terdiam. Ucapan Ibu masuk akal. Dari jenis pekerjaan Huda yang hanya seorang sopir pengangkut, jelas kehidupannya tidak lebih baik dari kami. Jangankan menempuh pendidikan yang layak hingga menjadi sarjana, bisa lulus SMP saja pun aku tak begitu yakin.  Tiba-tiba saja ada yang terasa ngilu di hati ini. Sesuatu yang begitu sulit aku tanyakan meski sudah dua hari bertemu. Ke mana dia setelah pergi dari rumahku. Lalu bagaimana kehidupannya selama ini tanpa ada aku yang selalu bersamanya.  โ€Wita!โ€ Ibu mengguncang bahuku. Membuat aku tersentak dari lamunan.   Tiba-tiba saja air mata ini mengalir dengan sendirinya.  โ€Kau kenapa? Jangan katakan kalau kau merasa bersalah dan mulai menyayangi dia sebagai seorang adik. Dengar, Wita. Anak haram itu tidak pantas menjadi adikmu!โ€ Ibu berusaha meyakinkanku.  Aku memandang wajah Ibu. Sorot matanya kian terlihat begitu membenci Huda.  โ€Ibu tidak adil.โ€ Aku berucap begitu saja.  โ€Apa katamu?โ€ Ibu memandang heran.  โ€Selama ini Ibu selalu membuatku membenci Huda. Tapi di sisi lain Ibu terus memaksa agar aku menerima Siddiq sebagai adikku. Lalu apa bedanya mereka berdua, Bu? Keduanya tidak lahir dari rahim Ibu.โ€   Mata Ibu membesar menatapku.   โ€Kau masih bertanya? Tentu saja mereka berbeda. Siddiq tidak lahir dari sebuah pengkhianatan. Dialah yang lebih pantas kau anggap sebagai adik. Ayahnya yang memberi kita tempat tinggal dan makan hingga hari ini. Sedang selama ini kau terus saja mengabaikannya seolah dia bukan siapa-siapa.โ€  โ€Siddiq memang bukan siapa-siapa, Bu. Bukankah sejak awal aku sudah bilang? Kenapa Ibu baru mempermasalahkannya sekarang? Apa karena Huda kembali hadir?โ€  Ibu terdiam. Ibu pasti mengerti dengan semua maksud dan ucapanku tentang Siddiq.   Setelah kepergian almarhum Ayah, Ibu  memboyongku ke rumah suaminya. Sesampainya di sana, aku diperkenalkan pada anak laki-laki sebesar Huda. Usia mereka pun tak jauh berbeda. Seseorang yang tidak pernah Ibu ceritakan sebelumnya.   โ€Apa ini, Bu? Bukankah Ibu bilang aku satu-satunya anak Ibu? Lalu bagaimana dengan dia?โ€ Aku langsung protes saat Ibu mengantar ke kamar yang akan aku tempati.   โ€Maafkan Ibu, Wita. Tiba-tiba saja ibunya meminta Siddiq untuk tinggal dengan ayahnya.โ€ Ibu menyebut nama anak Om Hilman, suaminya.   โ€Tapi Ibu tidak bilang sebelumnya. Kalau begini, apa bedanya Ibu dengan Ayah? Selalu saja menghadirkan orang asing di saat aku butuh perhatian. Ibu juga akan memintaku menganggapnya sebagai adik seperti permintaan Ayah padaku waktu itu?โ€  Ibu diam saja. Enggan menanggapi ketidak terimaanku dengan anak bawaan dari suaminya.   Lagi-lagi aku tertipu dengan janji manis Ibu.   โ€Kakak bisa membantuku mengerjakan PR?โ€ Suatu malam suara Siddiq terdengar saat berdiri di depan pintu kamarku.  Seketika aku teringat dengan ucapan Huda yang sama persis seperti apa yang Siddiq minta dariku.   โ€Dengarkan aku, Siddiq.โ€ Aku memasang wajah serius. โ€Saat ini, hanya aku satu-satunya anak Ibu. Siapa pun yang bukan lahir dari perut ibuku, dia bukan adikku. Kau ataupun .... โ€ Aku mengela napas. Tak ingin meneruskan ucapan yang sama sekali Siddiq tak mengerti.   Anak tiri ibuku itu tak tahu apa pun soal Huda. Saat itu dia belum terlalu dewasa untuk mengetahui segala permasalahanku sebelum menjadi bagian dari keluarganya.   โ€Aku hanya meminta satu hal padamu, Siddiq.โ€ Aku meralat kembali ucapanku. โ€Seperti yang aku katakan barusan, anak siapa pun yang bukan lahir dari perut ibuku, bukanlah adikku. Jadi aku harap kau mengerti. Kau tak perlu menganggap, atau memanggilku Kakak lagi. Kau mengerti?โ€  โ€Tapi__.โ€  โ€Aku sama sekali tidak keberatan meski usiaku lebih tua darimu.โ€ Aku langsung menyela sebelum Siddiq meneruskan ucapannya. โ€Kau bisa menyebut namaku saja. Apa pun itu, asal bukan kakak.โ€  Tidak seperti Huda yang terus merengek dan selalu menempel padaku, Siddiq cukup tahu diri. Sejak aku memberinya ultimatum, dia selalu menjaga jarak dariku. Kami tak pernah terlibat percakapan panjang layaknya saudara meski tinggal di bawah satu atap dengan waktu yang lama. Bahkan hingga saat ini.   *  โ€Kau sama sekali tidak menghargai perasaan Ibu, Wita?โ€ Suara Ibu mulai mengiba setelah aku mengingatkannya tentang masa lalu.   Tentang dia yang memaksaku mengakui orang asing sebagai adik, sedang aku harus membuang anak laki-laki yang di tubuhnya mengalir darah yang sama denganku dari Ayah.   Ibu pasti begitu sakit hati, hingga sampai detik ini perasaan bencinya terhadap Huda semakin menjadi-jadi.   โ€Lalu aku harus apa, Bu? Huda bukan anak kecil lagi yang bisa aku buang begitu saja seperti dulu. Apalagi kami akan bertemu setiap hari.โ€ Aku bertanya karena tak ingin melihat Ibu kembali terluka.   Meski terkadang aku selalu berbeda pendapat dengannya, tapi aku tak mau dicap sebagai anak durhaka.   โ€Jauhi dia! Jangan pernah lagi kau berhubungan dengannya. Kau mengerti?โ€  *  Percakapan malam tadi membuatku mengalah pada Ibu. Wanita yang sudah melahirkanku itu benar. Pertemuanku kembali dengan Huda hanya sebuah kebetulan. Bukan takdir atau hukuman yang aku takutkan selama ini. Jadi aku putuskan saja, meminta Huda untuk tak lagi mengganggu kehidupan kami.   โ€Kau masih belum percaya kalau ini takdir, Kakak?โ€  Aku memejam mata perlahan. Huda tak henti-hentinya menyiksa perasaanku dengan sebutan itu. Membuatku harus mulai terbiasa agar tak lelah dengan memperingatkannya dengan hal yang itu-itu saja.   โ€Aku berterima kasih karena kau sudah menolongku saat itu. Kau puas?โ€ Aku kembali mengalah.   โ€Kenapa? Kau malu dengan kehidupan kau saat ini? Kau takut aku menertawakanmu karena nyatanya apa yang kau pamerkan tentang kebahagiaan kau dulu berbanding terbalik dengan kehidupan kau yang sekarang?โ€  Aku diam saja. Sudah tak punya kata-kata lagi untuk membela diri.   โ€Anak satu-satunya? Gelar sarjana? Kerja kantoran?โ€ Huda berdecih. Aku bisa membaca ada nada mengejek dari caranya bertanya. โ€Kau bahkan menikah muda karena berputus asa.โ€  Aku kembali diam. Hanya bisa menelan ludah karena Huda sudah tahu semuanya. Aku menceritakan segalanya agar dia puas. Lalu merasa iba dan memaafkan atas sikapku yang dulu. Kemudian mengikhlaskan serta menarik kutukannya kembali agar hidupku baik-baik saja ke depannya nanti.   โ€Kau belum puas juga menertawakanku?โ€ Aku menatap memohon. โ€Aku tahu kau juga menderita, Huda. Hidup di jalanan? Putus sekolah? Mengemis di lampu merah? Kerja serabutan demi menyambung hidup? Aku minta maaf untuk semuanya.โ€ Aku menebak asal jalan kehidupannya. Aku tak sanggup dan begitu malu untuk bertanya.   Matanya menyipit memandangku. Tak peduli beberapa pasang mata sedang tersenyum-senyum dan saling berbisik melihat kami.   Siang ini, Huda juga membawa bekal makan siang seperti aku. Lalu aku mengajaknya ke pekarangan samping rumah Pak Haji, tempat di mana para karyawan beristirahat saat jam makan siang. Aku dan Huda memilih duduk di bawah pohon jambu agar tak ada yang mendengar percakapan kami.   โ€Kenapa? Kau mau marah dan memakiku?โ€ Aku salah tingkah dengan tatapan Huda. โ€Silahkan saja. Lampiaskan saja kebencian kau padaku. Tapi setelah itu, kau harus pergi. Kita lanjutkan hidup sendiri-sendiri.โ€  Huda menarik sudut bibir.   โ€Tidak semudah itu. Aku baru saja memulainya. Aku bahkan belum mendapatkan apa yang aku inginkan.โ€ Senyum itu sukses membuatku ketakutan. Lalu teringat akan ucapan Ibu malam tadi.   โ€Kalau yang kau maksud adalah uang hasil penjualan rumah Ayah, uang itu sudah tak ada lagi. Percuma saja kau memaksa. Uangnya sudah habis. Aku bahkan masih menumpang tinggal di rumah ayah tiriku.โ€ Lagi-lagi aku menebak tanpa menunggu Huda menjelaskan apa keinginannya.   Pemuda berambut lurus itu mengernyit memandangku. Ada senyum nakal yang membuatku berpikir kalau dia sedang merencanakan sesuatu. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara tawa dari mulutnya seperti bahagia karena mendapatkan mainan baru.   โ€Kalau begitu kau berhutang padaku!โ€ Tegas suaranya mengancamku.   โ€Berhutang apa lagi? Aku sudah bilang kalau hutangku dengan keluarga Arya masih belum lunas hingga detik ini. Kenapa kau malah menambah bebanku lagi?โ€ Aku semakin putus asa.   โ€Sudah cukup, Huda. Aku mengaku salah. Aku sudah berdosa karena sudah membuang kau saat itu. Tuhan sudah menghukumku hingga saat ini. Kau belum puas juga jika tak menghukumku dengan tanganmu sendiri?โ€ Aku hampir menangis jika tak berpikir ada banyak pasang mata yang masih berbisik-bisik saat menoleh ke arah kami.   โ€Kau takut padaku, Kakak?โ€ Senyum Huda semakin membuatku merasa terancam.   โ€Kumohon pergilah, Huda. Kau boleh membenciku. Tapi tolong pikirkan perasaan ibuku.โ€  Mata Huda lekat menatap wajahku. Kuharap dia merasa iba, lalu melupakan balas dendamnya.   โ€Kau tahu?โ€ Huda kembali bersuara. โ€Aku tak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang aku mau. Jadi jangan coba-coba melarikan diri lagi seperti dulu. Aku akan terus mengejar tanggung jawabmu terhadapku!โ€                                  ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (9)   โ€Kau mulai melunjak, Huda.โ€ Aku mulai tak terima dengan keinginannya. โ€Tanggung jawab apa yang ingin kau tuntut dari aku, hah?โ€  โ€Aku menginginkan uang itu!โ€ ucapnya dengan tegas. Pemuda itu sudah tak sungkan lagi mengutarakan maksud dan tujuannya padaku saat ini.   Kekhawatiran Ibu ternyata benar. Kehadiran Huda hanya menciptakan masalah baru.   โ€Aku sudah bilang tidak ada lagi. Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau masih saja membuatku muak!โ€  Aku bangkit dan berdiri untuk menyudahi pembicaraan. Bermaksud meninggalkan Huda sendirian. Namun saat aku hendak melangkah, kaki ini tertahan karena Huda memegang tanganku.   โ€E ciyeee ....โ€   Sontak terdengar suara ledekan dari rekan-rekan kerjaku.  Membuat aku mati gaya di hadapan mereka dan juga Huda. Salah paham mereka sudah sejauh itu karena Huda yang tak bisa menjaga sikapnya padaku.   Bocah di hadapanku ini masih saja bersikap manja padaku. Masih tak tahu diri dengan memegangi tanganku jika memohon sesuatu.   โ€Apa yang kau lakukan?โ€ Mataku membesar menatap Huda.   โ€Sudah kubilang, kau tak bisa lagi melarikan diri.โ€ Huda menjawab santai tanpa memedulikan tatapan nakal orang-orang di sekitar.   Aku menarik kuat tanganku. Namun tangan besar Huda menahannya lebih kuat lagi hingga aku tak bisa melepaskan diri.   โ€Mereka bisa salah paham.โ€ Aku masih memaksa agar adegan seperti ini tak berlama-lama terjadi.   โ€Salahmu sendiri. Sudah kubilang beri tahu saja mereka siapa aku.โ€  โ€Kau gila! Kau ingin aku mengakui bahwa ayahku memiliki anak__, argh!โ€ Aku tak jadi meneruskan ucapanku. Cukup Ibu saja yang menyebut asal usul Huda seperti itu.   Huda menatapku. Kali ini dengan tatapan sendu. Mungkin dia sudah bisa menebak apa yang ingin aku ucapkan tentang dia.   Jujur saja, untuk masalah ini aku kembali merasa bersalah. Mengungkit kembali masa lalunya yang begitu buruk. Juga status kelahirannya yang mungkin tak diinginkan semua orang.   โ€Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu, Kak.โ€ Kali ini Huda tersenyum getir. โ€Sesuatu yang dulu tak pernah mau kau dengar. Mungkin jika dulu kau memberiku kesempatan tuk bicara, kita berdua akan baik-baik saja tanpa harus menderita seperti ini.โ€  Aku memandang wajah Huda dengan lekat. Jantungku tiba-tiba saja berdetak dengan begitu cepat. Takut akan sesuatu yang mungkin bisa kembali menghancurkan hatiku hinga berdarah-darah.   โ€Katakan apa yang ingin kau katakan.โ€ Aku pasrah pada apa pun yang akan Huda ucapkan.   โ€Kau merasa tak sabar?โ€ Senyum anehnya kembali terlihat.   Huda langsung menarik tanganku dengan tiba-tiba. Hingga mau tak mau tubuhku hampir merapat ke tubuhnya.   Sejenak tatapan kami saling bertemu. Tanpa permisi, dia dekatkan mulutnya ke telingaku, lalu membisikkan sesuatu.   *  Langkahku gontai saat turun dari angkutan kota. Kata-kata Huda siang tadi masih terngiang-ngiang hingga kini. Bisikan itu serupa mantra yang membuatku tak bisa lagi berkutik. Ucapan Huda benar-benar telah meluluh lantakkan perasaanku.   Aku berjalan pelan dari persimpangan menuju ke arah rumah. Angkutan umum dari pabrik, tak ada yang melewati jalan di daerah tempat tinggalku. Mau tak mau aku harus berjalan kaki setiap sore karena tak ada kendaraan pribadi yang sanggup aku beli.   โ€Arwita!โ€   Tubuhku terlonjak saat sebuah sentuhan berasa di pundakku. Aku langsung berbalik karena masih mengenali suara itu.   โ€Mau apa lagi kau?โ€ Tiba-tiba saja Arya sudah berada di belakangku.   Entah sejak kapan dia menunggu, atau mungkin membuntutiku. Aku yang sejak bertemu Huda tadi sudah merasa terancam, kini kembali dihadapkan pada seseorang yang berniat menyerangku.   โ€Pergi atau aku akan berteriak. Kali ini aku tidak main-main. Aku benar-benar akan menjebloskan kau ke penjara!โ€ Aku mengulangi kata-kata yang sama seperti kemarin.   โ€Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu.โ€ Gusar suara dia karena sikap panikku. โ€Aku minta maaf, Arwita. Aku tidak bermaksud menyakiti kau saat itu. Aku hanya ....โ€ Laki-laki bajingan itu menjeda ucapannya.   โ€Aku tak tahu lagi bagaimana mengungkapkan perasaanku, Arwita. Aku ... benar-benar mencintaimu.โ€   Aku terdiam. Kemudian mendecih.   โ€Penipu!โ€ Aku mengumpat kasar mendengar ucapan menjijikkan dari mulutnya. Ungkapan perasaan yang tak pernah dia ucapkan saat melakukan pendekatan dulu.   โ€Aku sungguh-sungguh. Aku berjanji akan berubah. Beri aku kesempatan, Wita. Aku akan memperbaiki semuanya.โ€  โ€Berhenti bersikap gila, brengsek!โ€ Sejak insiden malam pengantin itu, aku tak sudi lagi menyebut namanya. โ€Kau pikir aku tak tahu apa rencana kau, hah? Kau ingin aku kembali padamu agar bisa menyakitiku, kan? Dasar sakit jiwa!โ€ ucapku dengan begitu kasar.   โ€Percayalah, Wita. Aku sungguh-sungguh. Aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Aku tahu aku bersalah. Aku khilaf karena sudah berulang kali menyakitimu.โ€  Kali ini ada yang berbeda dari sikapnya. Tak lagi membalas ucapan kasarku seperti waktu itu. Dia terdengar mengalah meski begitu kejam kata-kataku untuk dia.   โ€Aku tak percaya padamu. Pergi! Atau aku benar-benar akan berteriak.โ€  โ€Siapa laki-laki itu, Wita?โ€ Pelan dia bertanya tanpa memedulikan ancamanku.   โ€Apa pedulimu? Tak ada hubungan apa pun yang membuat kau boleh ikut campur urusanku.โ€  Arya menggerus kasar rambut pendeknya. Tampak frustasi atau mungkin sakau karena belum mencicipi barang candunya.   โ€Aku cemburu! Aku cemburu! Kau tidak tahu itu?โ€ Aneh sekali sikapnya sore ini. Tanpa tahu malu, dia ungkapkan semua perasaannya terhadapku.   Kuakui, saat tahap perkenalan kami, sikapnya baik sekali. Meski tak pernah mengungkap kata cinta, tapi aku bisa merasakan perhatiannya. Mungkin saat itu dia berpikir, tanpa perlu mengatakan semua perasaannya, aku akan tetap menjadi miliknya.   โ€Itu bukan urusanku. Sampai mati pun aku tak akan sudi kembali pada bajingan sepertimu!โ€  โ€Tolong, Arwita. Beri aku kesempatan sekali ini saja. Siang dan malam aku selalu memikirkan kau di dalam sana. Aku merindukanmu.โ€ Pelan suara itu mengiba padaku.   Cih!   Kata-kata yang benar-benar membuatku jijik.   โ€Kau memikirkan bagaimana caranya untuk membunuhku? Begitu? Lalu mengatur siasat membujuk orang tuaku agar kau bebas menyiksaku sesuka hatimu? Kau benar-benar licik! Kalau kau benar-benar menyukaiku, kau tidak akan membuat keributan di tempat kerjaku.โ€  Arya kembali mengusap rambutnya. Dia semakin terlihat gelisah.   Pria berjaket kulit itu kembali meminta maaf. Dia masih saja menjelaskan bahwa dia menyesali semuanya. Dia mengakui bahwa dia terlalu malu menemuiku usai dibebaskan dari penjara, satu bulan yang lalu.   Sudah dua minggu ini dia bilang terus mengawasiku setelah mendapat informasi dari Bapak tentang pekerjaanku. Mengawasiku dari kejauhan untuk melepas rindu.   Hingga puncaknya hari itu. Arya melihat seorang laki-laki sedang memerhatikanku. Dan sialnya lagi, hari itu laki-laki yang dia maksud tak sengaja memegang tanganku.   Jadi laki-laki yang membuat Arya mengakui rasa cemburunya padaku tadi bukanlah Huda yang menghantam kepalanya. Melainkan hanya salah satu rekan kerjaku.   โ€Aku tak punya keberanian menunjukkan muka di hadapan kau. Lantas aku minum, agar keberanian itu muncul. Sayangnya aku tak bisa mengendalikan diri dan menyakiti kau seperti itu.โ€ Arya melengkapi penjelasannya.   Aku yang terlanjur trauma dengan sikapnya, tak lantas percaya begitu saja. Aku yang selama ini tak pernah lagi mau didekati laki-laki memilih mengabaikan semua rasa yang Arya ungkapkan padaku saat ini.   Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di hadapan kami. Membuat pemuda yang mengenakan helm dan menggendong ransel itu harus turun dan berdiri di sisiku.   โ€Kau tidak apa-apa?โ€ tanya dia yang membuatku merasa lega.   *  โ€Kau pulang bersama Siddiq tadi. Ibu senang melihatnya.โ€ Ibu kembali masuk ke kamarku hanya untuk memastikan hal itu.   Kehadiran Siddiq di jalan tadi, menyelesaikan pembicaraanku dengan bajingan itu. Syukurlah dia tak membuat keributan lagi. Hingga mau tak mau aku ikut di boncengan sepeda motor adik tiriku itu agar bisa cepat-cepat menjauh dari Arya.   โ€Aku bertemu dengannya di simpang jalan.โ€ Aku menjawab dengan ekspresi datar.   Memang tak ada yang berbeda dari hubunganku dengan Siddiq. Seperti biasa, kami sama-sama terdiam tanpa ada yang ingin dibicarakan. Persoalan Arya, aku sudah mengatakan yang ingin dia dengar. Lantas sebagai orang asing, dia tak boleh ikut campur lagi.   Cukup Siddiq ketahui, aku tak akan tergoda, apalagi menyerah dan kembali pada bajingan itu.   โ€Tidak apa-apa, Wita. Kalian bisa memulainya pelan-pelan. Belum terlambat untuk kau dan Siddiq memulai hubungan baru sebagai saudara. Sekarang Ibu bisa tenang, karena Siddiq nantinya bisa melindungi kau sebagai seorang adik.โ€  Aku terdiam.   Memulai, kata Ibu? Aku bahkan ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin membuat Ibu syok setengah mati.   โ€Mulai besok, kau bisa meminta Siddiq mengantar kau ke pabrik. Dia pasti tidak akan keberatan.โ€ Senyum Ibu kian merekah. Seolah apa yang dia lihat saat aku berboncengan dengan Siddiq tadi merupakan awal yang baik bagi hubungan keluarga kami.   โ€Bu?โ€ Aku memanggil sembari menatap wajah bening Ibu.   โ€Hem?โ€ Ibu menyahut masih dengan senyum terpancar di wajahnya.   Sesak napas ini jika melihat senyum itu memudar saat mendengar ucapanku nanti.   โ€Kau ingin mengatakan sesuatu?โ€ Ibu mulai tak sabaran.   โ€Aku ingin menebus semua dosa-dosaku pada adikku, Bu. Aku ingin menjadi kakak yang baik buat dia.โ€ Mataku mulai mengembun hingga wajah Ibu yang kian tersenyum semakin mengabur.   โ€Itu bukan dosa, Wita. Kau hanya belum bisa menerima. Kini kau sudah benar-benar dewasa dan mulai bisa menerima semuanya. Kau dan Siddiq__.โ€  โ€Aku ingin tinggal bersama Huda, Bu. Aku akan mengurus adikku itu.โ€ Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, bersamaan dengan air mata yang mulai tumpah.   Sudah pasti muka Ibu langsung berubah. Senyum bahagia yang tadi terpancar kini lenyap sudah mendengar ada nama Huda di sela-sela pembicaraan kami. Muka Ibu seketika memerah menahan amarah.   โ€Apa yang kau bicara, Wita? Kau sengaja menyakiti hati Ibu?โ€ Suara Ibu terdengar bergetar.  โ€Kau tahu sendiri dari mana anak itu berasal. Dia hanya anak haram ayahmu dengan wanita murahan itu. Dengar, Wita. Anak itu bukanlah adikmu!โ€  โ€Ibu salah. Huda bukanlah anak haram. Dia lahir karena adanya pernikahan. Huda, dia itu ... adik kandungku, Bu.โ€                                    ***BERHENTI MEMANGGILKU KAKAK (10)   Mata Ibu membesar menatapku. Sama persis seperti yang aku lakukan sesaat setelah Huda berbisik padaku. Pengakuan anak itu membuat tungkai kakiku seketika lunglai hingga Huda harus menahan tubuhku agar tidak limbung.   Aku nyaris jatuh dalam pelukannya andai saja aku tak cepat sadar dan buru-buru menarik diri.   โ€Apa yang kau katakan, Wita? Kau ingin bilang bahwa ayahmu telah menikah sebelum ibunya Huda mengandung?โ€ Sepertinya Ibu langsung bisa menangkap maksud dari ucapanku.   Aku mengangguk. Tak menampik pemikiran Ibu. Wanita yang sudah melahirkanku itu terlihat lemah, sembari memegangi dadanya sendiri. Lalu menangis.   โ€Ayahmu benar-benar sudah mengkhianati Ibu, Wita. Bukan hanya berselingkuh. Tapi dia juga menikahi perempuan yang sudah jelas-jelas mengkhianatinya.โ€ Suara tangis Ibu terdengar begitu memilukan.   Ibu pernah bercerita. Ibunya Huda adalah mantan kekasih Ayah semasa muda. Ibu tak mengenalnya secara langsung. Hanya dari cerita Ayah dan beberapa kali pertemuan yang tak disengaja dalam satu acara. Di mana Ayah dan perempuan bernama Salwa itu adalah rekan satu kerja.   Yang Ibu dengar, hubungan Ayah dan mantan kekasihnya itu putus karena perselingkuhan. Ibunya Huda memiliki kekasih lain dan meninggalkan Ayah begitu saja.   Sejak menjalin hubungan dan menikah dengan Ibu, tak ada terdengar lagi tentang wanita itu. Rumah tangga kedua orang tuaku aman-aman saja tanpa ada masalah orang ke tiga. Hingga akhirnya Ayah tiba-tiba pulang dengan membawa Huda bersamanya. Mengabarkan bahwa bocah laki-laki itu belum lama ditinggal mati oleh ibunya.   Huda kehilangan kasih sayang seorang Ibu di usianya yang baru genap sepuluh tahun. Itulah sebabnya dia selalu bersikap manja padaku karena merasa kesepian dan tak lagi punya kawan.  Ibunya Huda meninggal akibat asam lambung yang dia derita. Hingga Huda tak punya tempat lagi selain tinggal bersama ayah biologisnya.   Itu yang selalu Ibu ceritakan padaku sejak berpisah dari Ayah.   Seandainya saja saat itu Ibu mau menerima kehadiran Huda, tentu kehidupan kami tidak akan sehancur ini. Bagaimanapun, Ayah punya pekerjaan bagus meski hanya seorang pegawai kantoran. Tidak seperti Bapak yang cuma seorang sopir. Apalagi setelah dipecat oleh Tante Viona, laki-laki yang sudah memiliki tiga anak laki-laki itu hanya bekerja sebagai sopir angkutan kota. Itu pun harus membayar sewa dari pemiliknya.   โ€Untuk apa lagi Ibu tangisi Ayah, Bu? Bukankah Ibu sudah memiliki suami baru? Bagaimana perasaan Bapak jika sampai tahu Ibu masih menangisi mantan suami Ibu?โ€ Aku berusaha menenangkannya.   Rasa hati Ibu pasti begitu sakit. Aku pun merasa demikian. Tiba-tiba saja merasa benci pada Ayah yang sudah tiada. Namun bukankah semua manusia juga pernah melakukan kesalahan?   Aku yang telah membuang Huda misalnya.   Bocah laki-laki itu tidak punya salah apa-apa. Aku yang dulu kekanakan dan masih ingin bermanja-manja pada orang tua, mendadak terguncang karena hadirnya anak lain yang pasti mendapat perhatian lebih dari Ayah. Terlebih lagi sebab hasutan dari Ibu. Hingga semua rasa kecewa dan cemburu aku lampiaskan pada anak itu.   โ€Kau yakin anak itu tidak berbohong, Wita?โ€ Ibu masih sempat meragukannya.   โ€Untuk apa dia berbohong, Bu? Kita sudah tidak punya apa-apa untuk dia manfaatkan. Aku bahkan sudah bilang kalau uang hasil penjualan rumah juga sudah tak bersisa.โ€  Air muka Ibu langsung berubah. Mungkin merasa bersalah karena sudah menghabiskan uang yang seharusnya bisa digunakan untuk masa depanku.   โ€Dia tidak menuntut apa-apa?โ€ Ibu terlihat lebih khawatir tentang masalah itu.   Ya. Itulah yang menjadi masalah sekarang ini. Hanya saja aku tak mau Ibu sampai tahu.   Huda memang tidak memiliki bukti apa-apa untuk meyakinkan semua orang bahwa secara agama dia juga memiliki hak menerima warisan dari almarhum Ayah. Melakukan test DNA nyatanya tidak semudah yang aku lihat di drama-drama televisi. Semua butuh waktu dan biaya yang bukan sedikit. Dan hasil yang akan diterima juga tidak seberapa.   Namun di sisi lain, Huda juga sudah dewasa. Tanpa diberi tahu pun, dia pasti ingat akan kejadian saat Ibu sudah resmi bercerai dari Ayah. Almarhum Ayah sudah memberikan sejumlah uang sebagai harta gono-gini. Hingga Ibu tak punya hak lagi atas rumah yang dulu kami tempati.   Andai Huda saat ini membuat kerusuhan dengan membuka mulut, tentu Ibu akan malu sekali. Memakan harta dari dua anak yatim yang tak lagi punya tempat tinggal sendiri hingga sekarang ini.   โ€Izinkan aku tinggal bersama Huda, Bu. Aku akan membayar semua yang sudah kita lakukan terhadapnya.โ€ Aku mengutarakan apa yang diinginkan Huda siang tadi.   โ€Bicara apa kau, Wita. Kau ingin membunuh Ibu pelan-pelan? Ibu tidak akan sudi kau tinggal bersama anak sialan itu.โ€ Ibu tak terima dengan keputusanku.   Lebih tepatnya keputusan Huda.   Bocah itu kini menjadi jauh lebih pintar dan berani. Dia bahkan mengancam akan terus mempersulit hidupku andai tak mau mendengarkan keinginannya.   โ€Ada anak laki-laki dewasa di rumah yang kau tempati sekarang ini. Itu berbahaya. Kau bukan mahramnya. Bisa saja dia berbuat gila dan melakukan hal yang bukan-bukan terhadap kau. Ibumu pun sudah bertambah tua. Ayah tirimu bisa saja melakukan hal yang sama. Kau tak pernah menyadari itu?โ€ Huda berbicara layaknya seorang kakak laki-laki terhadap adik perempuannya.   Dia bahkan terdengar seperti seorang Ayah yang sedang memarahi putri kecilnya.   โ€Jangan mengada-ada!โ€ Aku langsung protes siang itu. Ucapan Huda benar-benar sudah kelewatan. โ€Terlalu buruk pikiran kau terhadap keluargaku!โ€   โ€Terlalu buruk?โ€ Pertanyaan Huda lagi-lagi terdengar mengejek. โ€Mereka bahkan menjual kau dengan laki-laki brengsek. Apanya yang mengada-ada!โ€  Sikap Huda semakin percaya diri.   Hem, ya!   Semua yang aku ceritakan padanya, dijadikan senjata oleh bocah itu untuk memojokkanku. Membuatku tak bisa berkutik ataupun menyanggah semua ucapannya.   โ€Kau satu-satunya keluargaku. Tinggal bersamaku! Maka aku akan melupakan semua dendam di masa lalu!โ€  *  Ibu masih saja tak terima dengan permintaanku malam tadi meski banyak alasan yang sudah aku berikan.   โ€Siddiq juga sudah dewasa, Bu. Dia butuh privasi dengan memiliki kamar pribadi tanpa harus berbagi dengan Emir.โ€ Aku menyebut nama adikku yang dilahirkan Ibu. Usianya baru tujuh tahun.  โ€Azka juga sudah cukup besar untuk tidur terpisah dengan Ibu dan Bapak.โ€ Aku juga menjadikan si bungsu sebagai alasan. โ€Mereka berdua bisa menempati kamarku setelah aku pindah.โ€  Suasana sarapan di meja makan mendadak hening mendengar keputusan yang aku ambil. Malam tadi Ibu masih tak terima, lantas meninggalkan kamarku begitu saja. Dia enggan menerima ceritaku yang begitu tak masuk akal.   โ€Tetaplah tinggal di sini! Bapak sama sekali tak percaya pada laki-laki itu. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak perubahan yang terjadi. Pemuda itu bukan lagi bocah lugu yang dulu kau kenal.โ€ Bapak memberikan dukungannya pada Ibu.   Suami istri itu pasti sudah membicarakannya malam tadi, hingga tak ada raut keterkejutan di wajah Bapak. Lain halnya dengan Siddiq. Aku sempat melirik ke arahnya. Mendadak pemuda yang bekerja part time di sebuah bioskop itu mengentikan aksi makannya dengan hanya memegangi sendok tanpa menggerakkannya.   Saat dia menoleh ke arahku, aku langsung membuang pandangan ke arah lain. Aku tak perlu menjelaskan apa pun pada dia yang tak pernah kuanggap sebagai saudara.   โ€Memangnya kenapa? Bukankah dulu Bapak juga akan menikahkanku dengan orang asing? Bapak sama sekali tidak keberatan aku dibawa pergi dan akan tinggal dengan bajingan itu. Kenapa sekarang berpura-pura peduli?โ€ Aku menyahut ketus karena masih merasa sakit hati dengan suami Ibu.   โ€Jaga bicaramu, Wita!โ€ Tentu saja Ibu membela suaminya.   โ€Atau kau berniat melarikan diri dari hutang-hutang itu, hah?โ€ Mendapat pembelaan dari Ibu, Bapak semakin besar kepala.   โ€Jadi hanya karena hutang itu Bapak tidak mengizinkanku pergi?โ€ Aku mendecih. โ€Lalu bagaimana dengan uang ayahku yang Bapak pakai? Ke mana uang itu Bapak habiskan?โ€  โ€Wita!โ€ Ibu semakin membentak.   Aku merasa kian terpojok. Sepanjang kami tinggal bersama, tak satu kali pun Ibu pernah membelaku. Selalu saja membenarkan sikap Bapak yang semena-mena terhadapku.   Aku langsung berdiri untuk menyudahi makan pagiku.   โ€Ucapan Bapak dan Ibu semakin membulatkan tekadku untuk keluar dari rumah ini. Setidaknya aku tinggal bersama darah dagingku sendiri. Bukan orang asing!โ€ Mataku tajam menatap Ibu, lalu meninggal tempat itu.   *  Hari masih pagi saat Pak Haji memanggilku ke rumahnya. Rumah induk yang dia tempati di sebelah kanan pabrik tempat kami memproduksi usahanya.   Di sana sudah ada istri dan juga anak laki-lakinya. Aku yang belum mengerti apa-apa, merasa seperti akan disidang untuk kesalahan yang aku sendiri belum menyadari.   โ€Harusnya kau bisa menjaga sikap, Wita.โ€ Tanpa basa-basi Pak Haji langsung menegurku. โ€Status kau yang pernah menikah dan bercerai sudah cukup menjadi bahan gunjingan karyawan yang lain. Ditambah lagi kelakuan kau yang tak bisa mengendalikan diri membuat beberapa orang merasa tidak nyaman.โ€  Mataku mengerjab mendengar tuduhan Pak Haji. Laki-laki berkopiah itu langsung menegur tanpa memberi tahu apa kesalahanku.   โ€Maaf, Pak. Saya salah apa?โ€ Aku bertanya dengan hati-hati. Lalu melirik pada istri dan juga putranya yang sama tegangnya menghakimiku.   โ€Kau masih tanya? Berpacaran di tempat umum tanpa memedulikan orang-orang? Saya tidak ikut campur kau ingin menjalin hubungan dengan siapa. Saya juga tidak punya hak untuk melarang kau berpacaran dengan lelaki mana pun. Tapi setidaknya hormati saya sebagai pemilik tempat ini untuk tidak melakukan hal yang bukan-bukan!โ€ Tegas suara Pak Haji menegurku.   Aku mendengkus pelan. Langsung merasa kesal pada Huda. Kekhawatiranku akhirnya terbukti. Bahkan Pak Haji sudah salah mengartikan hubungan kami.   โ€Maaf, Pak. Ini cuma salah paham. Hubungan saya dengan si pengantar ayam itu bukan seperti yang Bapak pikirkan.โ€ Aku mencoba berbicara sesopan mungkin.   Aku tak mau mendapat masalah, lalu berimbas pada pekerjaanku hingga Pak Haji membuat keputusan untuk memecatku.   โ€Saya sudah bilang, saya tidak melarang. Hanya saja jangan melakukan hal yang bukan-bukan di rumah saya. Dosa! Usaha saya yang nanti kena imbasnya.โ€ Ucapan Pak Haji tampak menyakitkan. Tapi nada bicaranya masih terdengar tenang dan lembut.   โ€Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Pak?โ€ Aku masih belum mengerti juga.   โ€Apa perlu saya putar kembali CCTV? Kau ingin melihat bagaimana laki-laki itu mencium dan memeluk kamu?โ€                                   b                                               
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan