Cerpen Anak Pembawa Sial

0
0
Deskripsi

Yang namanya orang tua pasti menyayangi anaknya, bahkan rela mengorbankan nyawa sekalipun. Namun, hal tersebut tidak dirasakan oleh Amin, orang tuanya justru begitu membencinya. Ia dianggap sebagai anak pembawa sial oleh orang tuanya, gara-gara hari lahirnya sama.

Amin namanya, ia anak kedua dari lima bersaudara. Oleh kedua orang tuanya ia dijuluki sebagai anak pembawa sial, gara gara hari lahir (weton) sama dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya menuduh bahwa Amin lah biang keladi mengapa mereka tidak kunjung kaya. Sangatlah tidak tepat kedua orang tua Amin menyalahkan Amin atas kemiskinan yang menimpa keluarga mereka, mengingat Ayah Amin juga malas bekerja. Jadi wajar saja tidak kunjung kaya.

Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Amin lah yang disuruh untuk mencari nafkah. Padahal umurnya baru menginjak 10 tahun, tetapi ia sudah melakukan pekerjaan yang melampaui umurnya. Berbagai macam kerja serabutan ia kerjakan mulai dari mencangkul, mencari rumput, kuli panggul beras, dan lain sebagainya. Sehingga tidak mengherankan jika tubuhnya kurus, kakinya bengkok, karena ia sering memikul beban yang beratnya bisa sampai 5 kali lipat dari berat badannya.

Meskipun uang hasil jerih payahnya diberikan kepada kedua orang tuanya, tetapi tetap saja Amin mendapatkan perlakuan tidak mengenakan. Seperti misalnya dilarang makan sebelum para saudaranya makan terlebih dahulu. Padahal uang untuk membeli beras dan juga lauk pauk adalah hasil jerih payah Amin.

Pagi itu, Amir yang merupakan adik dari Amin mengutarakan niatnya kepada Ayahnya untuk ikut bekerja seperti apa yang dilakukan oleh Amin.

"Pak mulai besok saya mau ikut bekerja sama seperti Mas Amin."

"Jangan kamu itu masih kecil, umur kamu saja baru 8 tahun."

"Tapi Pak, Mas Amin juga masih kecil, lebih tua 2 tahun dari saya."

"Kalau Bapak bilang jangan ya jangan, Bapak yang seharusnya sudah berkewajiban bekerja saja tidak bekerja kok. Jangan sekali-kali kamu peduli sama Amin, dia itu anak pembawa sial."

Di balik dinding kamarnya yang reot, Amin mendengarkan pembicaraan mereka dengan penuh kesedihan. Berulang kali orang tuanya mengatakan hal itu, bukan hanya sesekali, air matanya pun sudah kering.

Pernah ia menanyakan kepada kedua orang tuanya, perihal apakah dirinya benar-benar anak mereka. Bukan jawaban yang justru di dapatkan, malahan ucapan anak pembawa sial, disertai dengan pukulan.

"Pak, Bu, saya ini anak pungut yah?"

"Kenapa kamu berkata seperti itu, wajah kamu saja mirip, persis sekali seperti ibumu."

"Iya nak, kamu itu anak kami."

"Lalu kenapa kalian memperlakukan saya seperti anak tiri?"

"Karena kamu itu anak pembawa sial, weton kamu itu sama dengan kami. Itulah sebabnya keluarga ini masih saja miskin tidak kunjung kaya."

"Bagaimana bisa kaya, Bapak saja tidak mau bekerja, seorang pemalas, kerjaannya hanya tidur saja. Memangnya uang bisa jatuh dengan sendirinya, perlu namanya usaha. Bapak saja masih mengandalkan saya sebagai tulang punggung."

"Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu, dasar anak durhaka, kamu tidak akan masuk surga kalau kamu durhaka seperti ini."

Amin meringis kesakitan, karena dihujani pukulan menggunakan sapu oleh Ayahnya.

"Terus Pak, terus sampai benar-benar kapok. Amin kamu dengar yah surga itu berada di telapak kaki ibu."

"Kalau kamu mengatakan seperti itu lagi, Bakal akan berlaku lebih parah lagi."

"Amin hari ini kamu tidak akan mendapatkan jatah makan."

"Baik Bu."

Amin masih saja merenung di balik dinding kamarnya, pikirannya berkecamuk. Ia merasa sudah tidak ada lagi yang peduli terhadap dirinya. Pikirannya benar-benar kosong saat itu, ia pun pergi menuju belakang rumah mengambil seutas tali yang biasa digunakan untuk mengikat rumput. Dipasangkanlah tali tersebut pada ranting pohon, ia berpikir dengan cara itulah penderitaannya dapat segera berakhir.

Belum sempat Amin menggantungkan tali di lehernya, ia teringat akan perkataan guru ngajinya. Bahwa bunuh diri adalah dosa besar, dosanya tidak akan diampuni, serta akan kekal di neraka. Amin pun sadar bahwa bunuh diri tidak bisa menyelesaikan permasalahan, serta sebesar apapun masalah ia harus bisa menghadapinya jangan sesekali menyerah.

Kali ini ia bertekad akan pergi dari rumah, esok hari sebelum fajar menyingsing Amin akan pergi meninggalkan rumah. Maka Amin pun menulis sepucuk surat.

"Bapak, Ibu, Kakak, Adik. Amin pamit pergi meninggalkan rumah. Mungkin dengan cara inilah keluarga ini tidak lagi menjadi sial. Bapak dan Ibu kan selalu mengatakan bahwa Amin adalah anak pembawa sial, maka dari itu lebih baik Amin pergi meninggalkan rumah. Bapak, Ibu, Amin mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaannya merawat Amin. Semoga dengan perginya Amin, cita-cita Bapak agar menjadi kaya terwujud. Salam sayang untuk semuanya."

Kemudian surat tersebut diletakkan di atas bantal kamarnya, sebelum fajar menyingsing ia sudah pergi meninggalkan rumah. Tujuannya adalah untuk nyantri di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur.

Pagi itu, Ayah Amin marah-marah, karena Amin yang seharusnya bekerja tak kunjung juga keluar dari kamarnya. Saat Ayah Amin memeriksa kamar, Amin tidak ada di kamarnya, hanya didapatinya sepucuk surat, di bacalah surat itu. Ia begitu khawatir ketika membaca surat itu, dipanggillah istrinya, di serahkanlah surat tersebut kepada istrinya. Mereka berdua pun sama-sama khawatir.

Ayah Amin, dan Ibu Amin khawatir bukan atas keselamatan Amin. Tetapi khawatir siapa  yang nanti akan menjadi tulang punggung keluarga.








 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Cerpen Hama Wereng
0
0
Ahmad seorang sarjana yang baru saja lulus dari bangku perkuliahan sedang bingung. Dirinya bingung antara melanjutkan studi S2 nya atau membangun desanya yang sedang dilanda paceklik.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan