Bab 6. Saputangan Kenangan

3
0
Deskripsi

⚠️ Bacaan dewasa untuk usia 21+
Pembaca di bawah umur mohon jangan menyentuh lapak ini.

*****

Namaku Ningsih Sri Astuti. Biasa dipanggil Ning, atau Sih. Bapakku sakit keras, butuh biaya pengobatan. Sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga yang tidak bekerja, dan aku masih kuliah.  

Karena desakan ekonomi itulah, aku dan ibu berusaha menjual tanah luas kami di desa. Aku menawarkan tanah itu pada seorang pengusaha kaya raya bernama Tony. Tapi harga tanah yang kutawarkan terlalu murah dari harga rata-rata. ...

"Tugasmu di sini cuma merawatku. Untuk bersih-bersih, ada dua pembantu harian yang datang setiap hari. Gajimu saat ini dua juta setengah. Aku tambahi lima ratus ribu." Ibunya Tony memekarkan kelima jarinya di hadapanku. "Kalau bulan depan kamu masih betah merawatku, akan kutambah lagi gajimu jadi tiga juta."

Aku mengangguk menanggapi penjelasan Nyonya majikan baruku.

Tapi kemudian, kulihat Salma sedang berbisik pada Tony sambil melirikku, seperti keberatan Ibu mertuanya memberiku gaji sebesar itu. Tony diam menanggapi bisikan isterinya. Dia hanya menatapku dengan raut wajah waspada.

"Gimana, Cah Ayu? Kamu setuju dengan gaji segitu?"

Aku yang sejak tadi sedang memangku Alfi menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan itu. "Iya, Bu. Digaji dua juta saja saya sudah senang."

Ibunya Tony yang sedang duduk di sebelahku melebarkan senyuman di bibir merahnya. "Aku senang dapat rewang yang nerimo seperti kamu. Bulan depan, kalau kamu masih betah menemaniku di sini, akan kutambah lagi gajimu."

Aku mengangguk lagi, lalu membalas perkataannya memakai bahasa Jawa. "Nggih, Bu. Maturnuwun."

"Aku yakin, kamu anak yang baik, Cah Ayu. Itu buktinya." Ibunya Tony menunjuk pada anak laki-laki dalam pangkuanku. "Baru ketemu sekali, Alfi sudah langsung lengket sama kamu."

Aku tersenyum, lalu menundukkan kepala pada anak laki-laki berponi batok kelapa ini. "Sepertinya dia mulai mengantuk, Bu." Kulihat kepalanya sudah bergoyang ke kiri ke kanan menahan kantuk.

"Sini, Mbak. Biar aku gendong." Salma berdiri dari sofa seberang untuk mengambil anaknya dari pangkuanku.

Tapi ketika tubuhnya diangkat, Alfi menangis keras dan meronta dalam gendongan Mamanya. "Itut, Bak!"

Dia merengek ingin ikut aku lagi. Tapi sebelum aku sempat meminta Alfi lagi, Salma sudah membawanya pergi menjauh. "Udah, yuk. Bobok sama Mama di kamar, sambil nonton film kartun. Alfi mau nonton apa?" Wanita bertubuh langsing yang dibalut setelan piyama kekinian itu membawa Alfi memasuki kamar dan menutup pintu.

"Selanjutnya, Ning." Nyonya majikan mengalihkan perhatianku dari pintu kamar. "Tony akan memberitahumu obat mana saja yang harus aku minum setiap hari."

Aku mengangguk menanggapi pemberitahuan itu. "Nggih, Bu."

"Ton ..." Nyonya majikan menoleh pada putranya yang masih duduk di sofa seberang. "Kamu tunjukkan obatnya ke Ningsih."

Tony mengangguk. "Iya, Mam." Kemudian dia memberiku isyarat agar mengikutinya.

Aku berdiri dari sofa dan berjalan di belakang Tony. Dia membawaku ke dapur, lalu berhenti di meja makan yang terbuat dari pualam. Kenangan saat memasak di dapur ini bersamanya berkelebat begitu saja dalam benakku. Ada rasa rindu menyeruak dari hatiku. Kalau boleh jujur, aku sangat merindukan pria di hadapanku ini. Tapi aku tidak mampu berbuat apapun. Sudah pasti karena rasa rinduku ini terlarang. Aku hanya bisa memendam, tanpa mampu mengungkapkannya.

"Obat yang harus diminum Mami ada lima macam."

Suara Tony membuyarkan lamunanku. "I-- iya, Mas. Apa saja itu? Bisa tolong jelaskan padaku?"

Tony membuka tas karton seukuran buku tulis berisi obat-obatan. "Yang ini obat darah tinggi, diminum sehari sekali sesudah makan." Dia menunjukkan pil warna merah. "Ini untuk asam urat, diminum tiga kali sesudah makan" Dia ganti menunjukkan kapsul warna biru. "Yang cokelat ini vitamin, diminum sehari sekali sebelum makan. Dan yang pil kuning ini diminum kalau Mami nggak bisa tidur. Tapi beliau selalu nggak bisa tidur, jadi kamu harus meminumkan obat ini setiap malam, sebelum Mami tidur."

Aku mengeluarkan HP dari saku rok untuk mencatat semua kegunaan dan aturan minum obat-obatan yang disebutkan Tony.

"Semua obat ini harus diminum rutin." Dia memasukkan obat-obatan ke dalam plastik klip. "Vitamin sama obat darah tinggi cuma boleh diminum sekali setiap pagi. Ingat itu."

Aku mengangguk sambil terus mencatat pesan Tony.

"Kalau ada obat yang mau habis, segera hubungi aku biar aku bisa cepet beli di apotek."

Dia berpesan lagi. "Baik, Mas." Aku mengangguk lagi.

"Ada yang mau kamu tanyakan?" Tony bertanya.

Sejujurnya aku ingin bertanya, apakah dia masih ingat semua peristiwa yang terjadi dalam mansion ini, khususnya di dapur ini saat aku memasak dan dia mengikat rambutku, lalu kami makan malam bersama dengan sangat romantis?

Tapi ... tentu saja aku tidak akan bertanya hal sekurang ajar itu pada majikanku yang sudah beristeri ini.

"Ning." Tony menjentikkan jari di depan wajahku. "Ada pertanyaan?" Dia menunduk untuk melihatku. Tinggiku hanya sebahunya. Aku 158 cm. Dan mungkin tingginya kuperkirakan sekitar 180 cm. Dia setinggi Mas Jaka.

Aku menggeleng menanggapi pertanyaannya. "Nggak ada, Mas."

Tony memberiku anggukan sambil menenggelamkan kedua tangannya dalam saku celana. "Soal gaji, apa kamu setuju kami gaji 2,5 juta?"

Aku menyimpan kembali Hpku dalam saku rok sebelum menjawab, "Setuju. Aku tadi sudah bilang, digaji dua juta saja aku mau. Ibumu nggak perlu menambahi gajiku 500 ribu. Lagipula, di sini aku juga mendapat fasilitas gratis, kan? Seperti makan, minum, dan mandi."

Tony mengangguk menjawab pertanyaanku. "Tentu saja. Kamu bebas makan, minum, mandi di sini. Tapi, apa yang kamu masak untuk Mami, itu yang akan kamu makan. Soal kamu ingin makan menu lain, itu terserah kamu. Selama bahan masakannya ada di kulkas, kamu bisa masak menu kesukaanmu. Bebas."

Aku manggut-manggut. "Iya, aku mengerti." Kemudian aku baru ingat ada satu hal penting yang belum kutanyakan. "Kalau boleh tahu, Ibumu sakit apa?"

Tony menyandarkan pantat di pinggiran meja dapur. "Komplikasi. Dokter bilang, beliau terlalu banyak pikiran, jadi berefek pada kesehatannya." Dia mengeluarkan kedua tangan dari saku untuk berpegangan pada meja dapur yang terbuat dari pualam. "Itu sebabnya, aku mengusulkan agar beliau menyepi dulu di mansion ini."

Aku manggut-manggut lagi. Ingin aku bertanya penyebab beliau banyak pikiran. Tapi lagi-lagi aku merasa bahwa pertanyaan semacam itu akan melanggar kesopanan. Tugasku di sini hanya sebagai perawat, bukan detektif yang harus memecahkan sebuah kasus. Jadi, aku urungkan pertanyaan itu.

"Untuk makanan, Mami nggak punya alergi dan nggak ada larangan apapun. Kata Dokter, selama makanan itu nggak mengandung banyak garam, gula, minyak, lemak, atau zat kimia berbahaya, nggak masalah. Kamu bisa masak apapun selama itu aman dimakan Mami." Tony memberitahuku.

Aku mengangguk paham. "Jadi, mulai kapan aku harus menginap di sini?"

Tony bersedekap sambil menatapku serius. "Mulai hari ini, kalau bisa."

Aku belum membawa baju maupun perlengkapan lainnya. Sebenarnya, aku bisa menyuruh Lik Parno untuk mengambilkan barang-barangku di rumah. Tapi, aku butuh berpamitan dulu pada Ibu sebelum kutinggal menginap di mansion ini. Ngomong-ngomong soal Ibu, aku jadi ingat sesuatu. "Oya, Mas. Hari Sabtu Minggu, apa aku boleh pulang untuk menjenguk Ibu di rumah?"

Untungnya Tony mengangguk. "Boleh. Kuusahakan setiap weekend menjenguk Mami di sini, jadi beliau bisa kamu tinggal pulang ke rumahmu. Tapi, Minggu pagi kamu sudah harus kembali ke sini. Karena aku juga harus bekerja di Surabaya."

Aku mengangguk senang. "Baik, Mas. Terimakasih sudah mengijinkanku menjenguk Ibu setiap Sabtu-Minggu."

Tony mengangguk tanpa suara. Lalu acara briefing singkat kami diakhiri dengan kedatangan Ibunya yang menyuruhku untuk beristirahat di kamar pembantu. Tapi kutolak karena aku harus kembali ke rumah untuk mengambil pakaian dan perlengkapanku lainnya. Aku juga harus berpamitan pada Ibu.

Tony dan Ibunya mengizinkanku pulang sebentar. Dengan diantar Lik Parno, aku naik sepeda motor kembali ke rumah. Ibu menyambutku senang ketika kuberitahu bahwa aku diterima bekerja sebagai perawat. Beliau tidak keberatan kutinggal menginap di mansion. Beliau justru berpesan, "Rawat nyonya majikanmu dengan baik. Anggap dia sebagai ibumu sendiri. Merawat orang tua yang sedang sakit itu pahalanya besar."

Saat ini, bukan pahala besar yang kuinginkan. Tapi gaji besar untuk memenuhi semua kebutuhan hidup adalah tujuanku bekerja sebagai pembantu di mansion Tony.

Tapi karena aku tidak mau mengecewakan Ibu, kuiyakan saja nasihat beliau. Lagipula, tidak ada yang salah dengan nasihat itu.

Setelah mengemasi pakaian dan barang-barangku, aku berpamitan pada Ibu dengan mencium tangan kanan dan kedua pipinya. Lalu aku kembali ke mansion bersama Lik Parno.

Di ruang makan, para majikanku sedang makan siang bersama. Aroma dan menu yang dihidangkan sangat menggiurkan. Aku yakin, semua itu baru saja dipesan dari salah satu restoran di kota Kediri. Ibunya Tony menawariku makan, tapi kutolak secara halus. Meskipun sebenarnya lapar, tapi aku tidak nyaman jika harus makan satu meja dengan Tony dan keluarganya. Aku lebih memilih memasuki kamar pembantu yang terletak di bawah tangga, di sebelah pintu yang menghubungkan antara dapur dengan halaman belakang.

Aku suka kamar ini. Jendelanya menghadap tepat ke taman belakang. Pemandangannya sangat indah. Berbagai macam tanaman hias seperti cemara udang, mawar jambe, janda bolong, pakis monyet, talas daun lebar, dan bunga-bungaan menghiasi taman itu. Di bawah jendela kamarku terdapat bunga krokot berbagai warna yang ditumpangi bunga Krisan putih dan Mawar merah. Perpaduan yang sangat cantik.

Puas menikmati pemandangan itu, aku meletakkan pakaianku yang hanya terdiri dari sepuluh potong saja ke dalam lemari. Aku juga mengeluarkan perlengkapanku dari dalam tas untuk kutata di atas meja. Meskipun kamar ini lebih kecil dari kamarku di rumah, tapi ada AC, meja, kursi, lemari berkaca, dan kasur single yang seprei putihnya bersih dan wangi.

Berada di kamar pembantu ini sudah membuatku senang, apalagi bisa berdekatan dengan Tony meskipun tidak bisa menyentuhnya.

Kalau boleh jujur, aku ingin sekali mengulang peristiwa tiga tahun lalu saat dia memperlakukanku dengan sangat lembut dan penuh perasaan. Dia juga telah membuatku mencapai klimaks berkali-kali. Bahkan, setelah permainan kami selesai, dia tidur sambil memeluk tubuhku. Seolah, hanya aku wanita yang dicintainya. Aku ingin, semua itu bisa terulang kembali. Tapi mustahil, kan? Tentu saja.

Aku menghela napas panjang menyadari kebodohanku. Mimpi kamu, Ning.

Aku sadar sesadar-sadarnya. Tony hanya menjadikanku sebagai pelampiasan nafsu. Setelah puas menikmati tubuhku, dan memberiku uang yang sesuai kesepakatan, dia membuangku. Seolah, aku hanyalah selingan yang tidak ada artinya.

Tidak ada keromantisan atau perlakuan lembutnya padaku seperti dulu lagi. Tidak akan pernah ada.

Aku sadar itu. Aku harus tetap sadar agar otakku tetap berjalan waras, dan hatiku tidak mendamba imajinasi yang mustahil.

Tok, tok, tok.

Aku terperanjat ketika seseorang mengetuk pintu kamarku.

Ketika kubuka, wanita cantik berambut merah sepunggung sedang berdiri di hadapanku sambil membawa nampan berisi makanan. "Mbak, ini aku bawakan makanan. Dimakan dulu, ya."

Aku segera menerima nampan itu dari tangan Salma. Dengan rikuh aku berkata, "Nggak usah repot-repot, Bu. Saya bisa ambil sendiri nanti kalau sudah lapar."

Salma tersenyum. "Mami takut kamu masih sungkan tinggal di sini, jadi aku disuruh bawa makanan ini biar kamu mau makan."

Aku mengangguk sambil membungkukkan badan. "Makasih banyak, Bu. Maaf, jadi merepotkan."

Aku kaget saat Salma menowel lenganku. "Jangan panggil aku Bu. Panggil Mbak Salma aja, ya. Suamiku kan juga kamu panggil Mas."

Jantungku refleks berdebar kencang mendengar permintaannya. Betapa bodohnya aku tidak menyadari kesalahan itu. Seharusnya sejak datang ke rumah ini, aku memanggil Tony dengan 'Pak', bukannya 'Mas' agar Salma tidak curiga.

"Ma-- maaf, Mbak. Saya manggil Mas pada Mas Tony bukan karena lancang. Tapi karena sebelumnya kami sudah pernah bertemu di pemakaman Mas Jaka. Mereka teman sekolah waktu SMA. Jadi ..."

"Aku tau." Salma menyela. "Tony udah pernah cerita." Dia ganti menepuk bahuku. "Santai aja, ya. Nggak usah sungkan-sungkan gini. Aku orangnya baik, kok. Nggak gigit."

Aku tersenyum canggung mendengar ucapan Salma.

"Buruan dimakan. Kalau dingin nanti nggak enak." Dia berpesan, lalu pergi setelah melihat aku mengangguk.

Aku segera masuk kamar, lalu mengunci pintu. Jantungku masih berdebar kencang menyadari kebodohanku. Aku harus lebih berhati-hati agar aibku dengan Tony tidak ketahuan. Akan jadi mimpi buruk kalau Salma sampai tahu hubunganku dengan Tony di masa lalu.

Setelah berhasil menetralkan debaran jantung, aku meletakkan nampan di atas meja, lalu duduk. Aku mulai menyantap nasi putih lauk ayam saus mentega dengan kuah sup merah. Perutku lapar sekali. Makanan ini rasanya sangat enak. Sudah lama aku tidak memakan makanan seenak ini. Aku jadi ingat Ibu. Seandainya bisa, aku pasti akan membawa pulang makanan ini untuk dibagikan pada beliau. Tapi itu tidak mungkin. Aku pasti tidak diizinkan pulang untuk yang kedua kalinya.

Aku menghabiskan semua makanan itu dalam waktu singkat, lalu bingung mencari tisu. Tidak kutemukan benda itu di kamar ini. Aku malas keluar kamar hanya untuk mengambil tisu.

Tak kurang akal, kubuka tas dan mengambil saputangan milik Tony yang dulu pernah dipakai untuk mengusap bajuku dari kuah soto. Aku belum punya kesempatan untuk mengembalikannya. Tidak. Aku bohong. Aku memang sengaja tidak mengembalikannya. Saputangan ini kusimpan sebagai tanda bahwa aku masih menyimpan rasa pada Tony. Saputangan ini sering kuciumi saat aku merindukannya.

Aku menghela napas berat, merasa jadi perempuan paling mengenaskan di dunia.

Kusudahi lamunanku sebelum meracuni kewarasanku. Kuusap mulut memakai saputangan, lalu memasukkannya ke saku rok. Setelah itu, aku membawa keluar nampan berisi piring-piring kotor untuk dicuci di wastafel dapur.

Waktu mencuci semua piring bekas makananku, kudengar Alfi menangis keras di ruang TV. Sejak aku datang di mansion ini, tidak terhitung sudah berapa kali dia menangis. Wajar saja, sih, mengingat usianya masih sangat kecil.

"Iya, sebentar! Ini botolnya masih Papa cuci!" Aku melihat Tony berjalan sambil membawa botol dot dan berhenti saat melihatku sedang meletakkan piring di rak.

"Biar aku cucikan." Aku menawarkan bantuan.

Dengan wajah kaku dia memberikan botol itu padaku. Aku menerima dan mencuci botol itu menggunakan sikat bulat yang tergantung di kapstok dapur. Setelah kucuci bersih dan kulap memakai tisu, kuberikan botol itu padanya.

Kupikir, dia segera kembali ke ruang TV. Tapi ternyata dia justru menatap bagian bawah tubuhku. Lalu satu tangannya mencabut sesuatu dari saku rokku.

"Ini ..." Dia mengernyitkan dahi sambil menunjukkan selembar kain warna emas berlogo Hermes. "saputanganku?"

Aku gelagapan, tidak menyangka bahwa dia akan mengenali saputangannya. "I-- iya, Mas. Mau aku kembalikan sekarang. Saputangan ini pernah dipakai Mas Tony untuk mengusap kuah soto yang ..."

"Aku tau. Aku masih ingat." Tony menyela, lalu menoleh ke ruang TV sebelum mendekat padaku. "Kamu kembalikan dalam kondisi seperti ini?" Dia menunjukkan bekas lipstikku di saputangannya.

Aku mundur ke belakang sampai menabrak kulkas. Refleks, kutundukkan kepala. "Ma-- maaf, nanti kucuci dulu. Tadi kupakai lap habis makan. Soalnya lagi nggak ada tisu di kamar." Aku menggigit bibir menyadari kebodohanku.

Tanpa menghiraukan jawabanku, Tony semakin mendekat sampai tubuhku terhimpit kulkas. Dia meremas saputangannya di depan wajahku. "Kita pernah bertemu setelah tujuh harinya Jaka, berkali-kali malah." Dia mendekatkan wajah sampai ujung hidung kami hampir menempel. Aku bahkan bisa merasakan hangat napasnya yang bau rokok. "Kamu yakin, saputangan ini ingin kamu kembalikan padaku?"

Aku mundur lagi sampai tidak ada lagi ruang bagiku untuk menghindar.

"Atau ... kamu sama sekali nggak berniat mengembalikannya?"

Ditanyai seperti itu, tenggorokanku sakit seperti sulit menelan. Leherku kaku, tapi kupaksakan kepalaku untuk menggeleng kuat. "I-- itu nggak bener, Mas. A-- aku ..."

"Kamu kenapa?" Tony masih menatapku tajam seolah sedang menelisik jawaban dari sorot mataku. Aku semakin gugup dan salah tingkah.

"Pap! Botolnya udah belum?"

Teriakan Salma menyelamatkanku dari kungkungan Tony. Tapi, pria itu hanya menoleh dan balik berseru, "Iya, sebentar! Masih dicuci sama Ningsih!"

Aku hanya bisa pasrah diterkam gugup saat kepalanya kembali menoleh padaku. Lalu tangannya yang masih memegang saputangan disumpalkan dalam saku rokku. "Simpan saputangan itu baik-baik. Jangan sampai ketahuan aku atau Salma. Paham?"

Aku tidak mampu bersuara, hanya sanggup mengangguk ngeri.

Dia melepas tubuhku, dan kembali ke ruang TV sambil membawa botol anaknya.

Aku menghela napas lega. Entah apa maksud Tony menyuruhku menyimpan saputangan ini baik-baik. Bukannya malah memintanya dariku.

Tapi aku bersumpah, tidak akan bertindak ceroboh lagi.

TBC.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 7. Terpikat Masakan Ningsih
3
0
⚠️ Bacaan dewasa untuk usia 21+ Pembaca di bawah umur mohon jangan menyentuh lapak ini.  *****  Namaku Ningsih Sri Astuti. Biasa dipanggil Ning, atau Sih. Bapakku sakit keras, butuh biaya pengobatan. Sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga yang tidak bekerja, dan aku masih kuliah.    Karena desakan ekonomi itulah, aku dan ibu berusaha menjual tanah luas kami di desa. Aku menawarkan tanah itu pada seorang pengusaha kaya raya bernama Tony. Tapi harga tanah yang kutawarkan terlalu murah dari harga rata-rata.   Agar Tony mau membeli tanah kami dengan harga mahal, aku terpaksa menawarinya keperawananku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan