Bab 19. Cara Memblokir Seorang Bajingan

3
0
Deskripsi

Yasmin berniat menghancurkan karier Rava agar tidak terjadi kasus yang sama dengan yang dialami Santi, pramugari yang dipecat akibat skandalnya dengan Rava.

Sesampainya di Bandara, aku langsung menuju kantor HRD untuk menemui pak Waluyo. Aku kenal beliau, bahkan berteman baik dengan isterinya, Mbak Yasinta.

Itu sebabnya, melihat kedatanganku, dia seketika berdiri dari kursi kerja untuk menyambutku. "Bu Rava." Dia menjulurkan tangan kanannya ke depan.

Aku menjabat tangannya sambil tersenyum. "Tolong panggil saya Yasmin saja, Pak. Saya sudah bukan istri Rava lagi."

Pak Waluyo memejamkan mata seperti menyesali kekhilafannya. Lalu melepas jabat tangan kami setelah kembali membuka mata. "Maafkan saya, Bu. Saya masih sulit menghilangkan kebiasaan lama."

Aku hanya tersenyum getir menanggapi ucapan canggungnya.

"Silakan duduk." Pak Waluyo mengarahkan tangan kanannya pada kursi di belakangku.

"Terimakasih." Aku menuruti perintahnya.

Setelah kami duduk, dia bertanya padaku, "Ada perlu apa Bu Yasmin datang kemari?"

Aku membuka postingan akun lambe lalu meletakkan Hpku di hadapan pak Waluyo. "Saya yakin Bapak pasti sudah tahu video viral ini."

Pak Waluyo mengambil Hpku dari atas meja. Dengan lirih dia mengucap kalimat istighfar, lalu kembali mendongak, memberiku tatapan prihatin. "Saya ikut sedih menerima berita ini."

Aku tersenyum basa-basi. "Tidak perlu bersedih untuk saya, Pak. Saya hanya ingin Bapak membantu Saya memecat Rava dari maskapai penerbangan ini." Aku menyampaikan maksud secara langsung, tidak mau bertele-tele dengan membuang waktuku percuma.

Pak Waluyo terkejut mendengar ucapanku, tapi kemudian wajahnya berubah tenang kembali. "Saya mengerti." Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. "Sebenarnya, tanpa Bu Yasmin minta pun, maskapai ini sudah akan memberhentikan Rava secara tidak hormat."

Giliranku yang membelalakkan mata. "Karena video viral itu?"

Pak Waluyo mengangguk. "Salah satunya, iya. Tapi ada alasan lain lagi."

"Apa itu?" Aku bertanya sangat penasaran.

Pak Waluyo menarik selembar kertas dari tumpukan di mejanya, lalu menyorongkannya padaku. "Pak Rava sudah terbukti menggelapkan dana pengadaan."

Aku menerima kertas itu dan membaca total dana yang sudah dia gelapkan. "200 juta?!" Aku memekik, lalu memberi tatapan tak percaya pada pak Waluyo.

Pria berkemeja batik dan bercelana hitam rapi itu mengangguk lagi. "Ya. Dana yang dia korupsi sebesar itu. Sebenarnya, desas-desus Pak Rava sering menggelapkan dana pengadaan sudah terdengar sejak dulu, tapi belum ada bukti. Baru terbukti sekarang." Telunjuk Pak Waluyo mengarah pada kertas yang masih kupegang.

"Ya, Allah." Aku membekap mulut tak percaya. Nominal ini seharga cincin berlian Rana. Jangan-jangan, uang itu dipakai untuk membeli cincin itu? Mengapa Rava bisa nekat menggelapkan uang hanya untuk memberi kemewahan pada Rana?

"Pak, maafkan saya. Demi Allah, saya malu sekali pada kelakuan buruk mantan suami saya." Aku mengucap kalimat itu dengan mata yang sudah basah. Wallahi aku malu.

"Tidak, Bu. Jangan minta maaf. Bukan Ibu yang salah, tapi Pak Rava. Itu sebabnya kami sedang memberinya konsekuensi dengan pemecatan tidak hormat. Kami juga sedang mencari Pak Rava untuk dimintai pertanggung jawaban." Pak Waluyo memberiku tatapan tidak enak. "Apa mungkin ... Bu Yasmin mengetahui keberadaan pak Rava sekarang?"

Aku menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan itu. "Saya juga tidak tahu, Pak. Sejak kami bertengkar sampai sidang cerai selesai, dia tidak pernah muncul di hadapan saya lagi."

Pak Waluyo mengembuskan napas panjang. Wajahnya berubah kalut. "Kami pun sedang mencarinya kemana-mana untuk minta ganti rugi dana yang sudah digelapkan."

Aku ikut mengembuskan napas untuk menghalau rasa sesak yang mendadak muncul di dada. "Apa Bapak sudah mencarinya di Malang? Rumah orangtuanya di Kota Batu Malang. Mungkin saja dia pulang ke sana untuk melarikan diri."

Pak Waluyo mengangguk menanggapi pertanyaanku. "Sudah. Kami sudah suruhan orang mencari rumahnya di Malang, tapi kosong. Rumahnya tidak berpenghuni. Kedua orangtuanya juga tidak ada di tempat."

Allahu Rabbi. Terus, ke mana mereka menghilang?

"Andai nanti bu Yasmin mengetahui informasi keberadaan Pak Rava, tolong kabari saya." Pak Waluyo memohon dengan wajah memelas.

Aku segera mengangguk menanggapi permohonannya. Lalu aku teringat sesuatu. "Oya, Pak. Apakah Rava bisa di-black list oleh maskapai lain?"

Pak Waluyo terdiam sejenak seperti sedang berpikir sebelum menjawab, "Kemungkinan bisa. Tapi ... mengingat Pak Rava adalah pilot unggulan dengan jam terbang paling tinggi dan kemampuan mengemudikan pesawat sangat baik, saya rasa sulit mengajak maskapai lain untuk mem-black list Pak Rava."

Ada rasa kesal di hatiku menerima argumen pak Waluyo. Sebab aku tahu. Rava memang pilot unggulan, lulusan terbaik sekolah penerbangan, bahkan menduduki peringkat pertama pilot dengan jam terbang paling tinggi di usianya yang tergolong masih muda. Tapi semua bakat pemberian Allah itu malah dia sia-siakan dengan berzina.

Dia sudah mengancurkan dirinya sendiri dengan melakukan hubungan terlarang bersama Rana. Tidak hanya itu, aku baru tahu kalau ternyata dia juga tukang korupsi. Sungguh, Rava adalah manusia yang kufur nikmat.

Pak Waluyo memajukan tubuh untuk berbisik padaku. "Saya mengatakan ini bukan sebagai manajer HRD, tapi sebagai teman."

Aku ikut memajukan tubuh dan memasang wajah serius untuk mendengar kalimat selanjutnya.

"Pak Rava bisa di-black list oleh maskapai penerbangan lain kalau pernah tersangkut skandal dengan pramugari. Maskapai sangat antipati jika pilot bermasalah dengan pramugari, apalagi sampai terekspos media massa, sebab bisa mencoreng nama baik maskapai. Itu sebabnya, seorang pilot akan langsung diblokir jika ketahuan berbuat skandal dengan pramugari."

Jantungku berdebar menerima pemberitahuan pak Waluyo. Aku punya satu bukti lagi untuk menjatuhkan Rava.

"Apa bu Yasmin pernah memergoki pak Rava berselingkuh dengan pramugari?"

Aku mengangguk, tapi kemudian menggeleng. "Saya nggak pernah menangkap basah Rava berselingkuh dengan pramugari, tapi ... saya punya bukti."

Pak Waluyo mengerutkan kening menanggapi pemberitahuanku. "Apa itu?"

Aku mengambil Hp dari atas meja, membuka galeri dan menyerahkannya pada pak Waluyo. "Itu anak hasil dari hubungan gelap Rava dengan pramugari bernama Santi yang dulu sempat ramai, sampai mau dibawa ke meja hijau."

Pak Waluyo melihat layar Hpku sambil mengerutkan dahi. "Santi yang dulu resign?" Dia bertanya sambil mendongakkan kembali wajahnya padaku.

Aku mengangguk. "Ya. Santi yang itu."

Pak Waluyo mengembalikan Hp padaku, meletakkan punggung pada sandaran kursi sambil menghela napas dan menyebut asma Allah. Dia seperti tidak habis pikir pada perbuatan Rava yang sudah di luar batas.

"Foto itu bisa dipakai bukti untuk mem-black list Rava kan, Pak?" Aku bertanya dengan harapan pak Waluyo akan mengiyakan.

Tapi ternyata dia menggelengkan kepala menolak usulanku. "Belum bisa. Kecuali kalau Ibu atau pihak maskapai ini punya hasil DNA yang membuktikan bahwa anak ini adalah anak kandung Pak Rava. Itu baru bisa dijadikan bukti akurat untuk mem-black list pak Rava."

Aku merenung untuk mencari jalan keluar, lalu bergumam, "Kalau hasil tes DNA anak ini menyatakan bahwa dia anak Rava, maskapai lain akan memblokir Rava sebagai pilot?"

Pak Waluyo membenarkan pertanyaanku. "Saya yakin begitu."

Aku mengangguk yakin. "Baiklah. Kalau begitu saya akan ke Bandung untuk menemui anak ini."

Pak Waluyo menegakkan punggung kembali. "Anak ini tinggal di Bandung?"

"Ya. Santi juga tinggal di sana." Aku memberitahu, lalu mengulurkan tangan kananku pada Pak Waluyo. "Saya pamit dulu, Pak. Terimakasih atas bantuannya."

Pak Waluyo nenerima jabatan tanganku sambil mengangguk. "Sama-sama, Bu. Kami juga mengucapkan terimakasih, dan ... kami turut prihatin menanggapi peristiwa yang menimpa Ibu."

Aku tersenyum getir. "Titip salam untuk Bu Yasinta."

Pak Waluyo balas tersenyum. "InsyaaAllah akan saya sampaikan."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam.

Keluar dari ruang HRD, Hasyim dan Jihan menyambutku dengan raut wajah cemas.

"Gimana, Yas?" Hasyim bertanya lebih dulu.

Aku mengambil napas panjang sebelum menjawab. "Kacau." Lalu kugelengkan kepala. "Rava udah kacau banget."

"Kacau gimana?" Jihan bertanya semakin cemas.

"Dia juga menggelapkan uang 200 juta." Aku memberitahu.

Hasyim memejamkan mata, meraup wajahnya secara frustrasi, lalu mengumpat kasar berulang kali.

Sebaliknya, Jihan mengucap istighfar sambil menatapku tak percaya. "Jangan-jangan, cincin berlian itu hasil dari ..."

Aku mengangguk menanggapi kalimat Jihan yang menggantung.

"Ya Allah." Seperti reaksiku tadi, Jihan juga menutup mulutnya memakai satu tangan.
 

"Terus ..." Hasyim kembali menghadap padaku. "Sekarang gimana? Lo udah berhasil mem-blacklist dia?"

Aku menggeleng. "Belum. Aku butuh bukti akurat yang menunjukkan kalau Rava pernah menghamili pramugari. Setelah itu, kita blow-up bukti itu ke media. Nanti secara otomatis Rava sudah di-black list oleh maskapai lain."

Hasyim mengumpat lagi. "Kenapa ribet banget sih, Bangke?!"

"Jangan ngomong kasar terus, nanti urusan kita dipersulit sama Allah." Jihan memperingatkan.

Hasyim refleks mengucap istighfar.

Aku menahan tawa melihat interaksi mereka. Sudah sejak dulu aku tidak suka pada sikap Hasyim yang mudah mengumpat, tapi belum berani menegur. Tapi, baru saja Jihan menegur Hasyim dengan tanpa pertimbangan. Benar-benar luar biasa.

"Kita harus ke Bandung sekarang untuk minta bagian tubuh Thalia." Aku memberi solusi.

"Bagian tubuh?!" Jihan terpekik ngeri

"Siapa Thalia?" Hasyim bertanya tak mengerti.

"Thalia itu anaknya Santi, pramugari yang dulu dihamili Rava." Aku memberitahu Hasyim, lalu beralih pada Jihan. "Maksudnya mengambil bagian tubuh itu bukan dipotong tangan, kaki atau telinganya. Tapi cukup diambil sedikit rambut, potongan kuku, atau beberapa tetes darahnya saja untuk dites."

Jihan menghela napas lega. Hasyim mengerutkan dahi. "Kamu tahu alamatnya di mana?"

Aku mengangguk. "Kanaya memberitahuku."

Hasyim mengangguk antusias. "Bagus. Kita ke Bandung sekarang."

Aku membelalak. "Sekarang?! Nggak bisa besok aja?"

Hasyim mengibaskan tangan dengan wajah keberatan. "Sekarang, mumpung sekali jalan. Besok gue harus ķetemu klien dari Dubai."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bakalan tengah malam kami baru sampai rumah. Bagaimana kalau anak-anak menangis mencariku? Terutama Emmir. Dia masih ASI ekslusif yang tiap dua jam harus selalu disusui. Tapi ASI perahku masih tersimpan cukup banyak di lemari es Tante Sofiya.

"Sebentar ya, aku telepon Ummi dulu." Aku minta izin Hasyim dan Jihan lalu menjauh untuk menghubungi Ummi.

Setelah beberapa saat berbicara dengan Ummi untuk memastikan anak-anak tidak rewel, ASI perahku juga masih cukup untuk Emmir, aku menutup sambungan telepon, lalu kembali berjalan pada Hasyim dan Jihan.

"Gimana?" Hasyim bertanya memastikan.

Aku mengangguk sambil membentuk huruf O dengan jariku. "Beres. Yuk, kita berangkat ke Bandung."

*****

Dalam mobil, setelah perjalanan satu jam melewati macet, kami sampai di kawasan Kabupaten Bandung.

Aku menoleh ke belakang untuk melihat Jihan yang sedang tidur. Dia tadi memintaku duduk depan sebab merasa mengantuk dan ingin tidur. Dia sungkan tidur di sebelah Hasyim.

Sambil menyenggol lengan Hasyim, aku bertanya, "Gimana menurut lo soal Jihan?"

Hasyim menoleh padaku untuk memberikan tatapan aneh. "Gimana, gimana maksud lo?"

Aku mengulang pertanyaan. "Ya menurut lo, Jihan itu perempuan yang gimana?"

Hasyim mengerutkan dahi sebelum kembali menghadap ke depan. "Kenapa emang?"

"Ya nggak apa-apa, jawab aja. Gue pengen tahu."

Hasyim menoleh padaku lagi dengan dahi berkerut semakin dalam. "Kenapa, sih? Aneh banget pertanyaan lo."

Aku berdecak kesal menanggapi ucapannya yang bertele-tele. "Gue tuh pengen tahu, lo suka nggak sama dia?"

"Hah?!" Dia menghadap padaku lagi sambil mengulang kekagetannya. "Hah?! Apa kata lo?!"

Aku memasang wajah terganggu pada reaksinya yang berlebihan. "Apaan, sih? Lebay banget lo."

Tangan kiri Hasyim mendorong dahiku sampai kepalaku terjengkang ke belakang. "Lo tuh yang apaan? Nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau nanya gitu. Waras lo, Yas?"

Aku memutar bola mata menanggapi pertanyaan hiperbolanya. "Nggak gitu. Lo kan udah tua. Tante Sofiya juga udah kebelet gendong cucu. Dia kayaknya suka sama Jihan. Nah, gue coba menyelami perasaan lo ke Jihan."

Hasyim tertawa keras menanggapi perkataanku.

Aku mendorong bahunya dengan kesal. "Jangan berisik! Nanti Jihan bangun."

"Lo kayak nggak hafal Mama gue aja. Tante lo itu, kalau ada anak gadis cakepan dikit pasti langsung mau dikawinin sama gue. Nggak Rana, nggak Jihan. Ada yang bening, langsung nyuruh gue ngawinin. Emangnya gue cowok apaan?"

"Lo cowok normal. Lo butuh berkembang biak sama seperti cowok lainnya. Maka dari itu, lo juga butuh kawin." Giliranku mendorong kepalanya sampai miring ke samping. "Gimana, sih? Masa pelajaran biologi gitu aja lo nggak ngerti?"

Hasyim tertawa lagi menanggapi kekesalanku. "Iya, Bu Guru."
 

Aku melipat kedua tangan di dada, lalu membuang muka ke jendela. "Tau, ah. Capek ngomong sama lo."

Hasyim masih saja tertawa. "Iya ngerti. Tapi masalahnya nggak asal kawin kaleee. Gue juga butuh cinta. Kalau gue belum bisa cinta, masa mau dipaksa kawin?"

Jantungku berdebar mendengar ucapan Hasyim. Bukan karena jatuh cinta, bukan. Tapi karena takut ucapan Kanaya dulu benar. Aku kembali menoleh padanya. "Jangan bilang lo ..."

Hasyim juga menoleh padaku. "Gue apa? Gay? Jangan ngaco. Gue nggak sebobrok itu." Dia memberitahu lalu mengarahkan tatapannya kembali ke depan.

Aku menghela napas lega mendengar pengakuannya. Tapi kemudian aku ingat, bukan itu masalahnya. "Jangan bilang lo ... suka sama gue." Aku nekat melanjutkan ucapan untuk mencari tahu kebenarannya.

Hasyim membeku sebentar sebelum menoleh padaku dengan mata terbelalak lebar. "Apa lo bilang?!"

Aku refleks menutup dada memakai kedua tanganku. Entah untuk apa aku melakukannya. Seolah jika Hasyim tahu bahwa aku sudah tahu perasaannya padaku, aku akan langsung diperkosa sekarang juga. Padahal aku tahu, itu tidak mungkin. Aku hanya refleks melakukannya, semacam naluri melindungi diri.

Di luar dugaan Hasyim malah tertawa keras lagi melihat reaksiku. "Jangan gila lo, Yas! Astaga! Siapa yang udah ngeracunin otak lo? Pasti Kanaya, nih. Ya, kan?"

Tanpa menunggu jawabanku. Hasyim menyambungkan speaker Hpnya pada bluetooth music player yang sudah terpasang di dashboard, lalu menghubungi Kanaya.

"Halloooow, Hasyim." Kanaya menyapa dengan gaya super slengekan.

"Nay!" Hasyim to the point. "Lo ngomong apaan ke Yasmin?" Dia menempelkan telunjuk ke bibir, memberiku isyarat diam.

Aku tidak bereaksi apapun karena sedang serius menyimak jawaban Kanaya.

"Ngomong apa, sih? Gue nggak ngomong apa-apa, kok? Lo telepon gue cuma nanya soal ini?"

"Nggak. Kemarin Yasmin ngomong yang aneh-aneh ke gue. Katanya, lo ngasih tau dia kalau gue suka sama dia. Jangan ngaco lo, ya."

"Oh, ya ampun. Dia nganggap omongan gue serius? Padahal gue cuma bercanda doang, Ya Tuhan Yang Maha Esa."

"Heh, Nay!" Aku menyela tidak sabaran. "Orang tuh yang dipegang omongan. Kalau omongan lo nggak bisa dipercaya, terus apa yang gue pegang dari lo?"

Kanaya tertawa menerima omelanku. "Yasmiiiin. Ya Tuhan. Gue bangga banget sama lo. Rava udah lo bikin mampus tanpa ampun. Hebat banget lo, Yas!"

"Diem lo. Gue beneran marah sama lo. Bisa-bisanya lo bikin bercandaan perasaan Hasyim ke gue. Dosa tau!"

"Iyaaa ... gue minta maaf. Habisnya lo sedih terus waktu kita ketemuan. Gue jadi pengen menghibur lo. Sori ya, Sayangku. Jangan marah lagi, dong."

"Jangan ulangi lagi. Awas kalau lo ulangi lagi."

"Iya, iya."

"Ya udah, Nay. Kita sambung lagi nanti, ya. Gue sama Yasmin mau jalan dulu." Hasyim berpamitan.

"Eh, buset ya kalian. Habis ngomelin gue langsung jalan bareng."

Hasyim tertawa sambil memutus sambungan telepon, lalu menoleh padaku. "Udah. Jelas, ya? Gue nggak ada perasaan apa-apa sama lo?" Tangan kirinya mengusap-usap kepalaku.

Aku hanya diam, sambil berusaha menyingkirkan tangannya dari kepalaku. Entah mengapa firasatku mengatakan bahwa Hasyim memang menyukaiku. Dan Kanaya sedang menutupinya di depan Hasyim karena takut. Mungkin.

Entahlah.

Aku tidak mau memikirkannya dulu. Fokusku sekarang ada pada Santi. Aku harus bertemu dengannya. Terutama, bertemu Thalia.

Mungkin ini sudah jalannya Tuhan menghukum Rava seperti ini. Karena dia sudah menyakiti hati banyak perempuan. Termasuk aku.
 


 

TBC.
 


 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 20. Bertemu Santi
3
0
Yasmin didampingi Jihan dan Hasyim menemui Santi, pramugari yang pernah berselingkuh dengan Rava, untuk meminta bukti bahwa Thalia adalah anak Santi dengan Rava agar Rava bisa di-black list oleh maskapai penerbangan tempat dia bekerja.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan