
Perselingkuhan Rava dan Rana tersebar ke media sosial, lalu viral. Padahal Yasmin maupun Hasyim tidak pernah membocorkannya.
Aku tidak bertemu lagi dengan Mas Rava sejak pertengkaran kami. Bahkan di persidangan dia juga tidak hadir.
Sudah tiga kali Pengadilan Agama memberinya panggilan lewat surat undangan resmi yang dikirimkan ke alamat rumah kami. Tapi dia tetap tidak hadir.
Kata Bibi, rumah kami kosong. Tidak ada penghuninya. Lampu teras menyala terus sepanjang hari. Waktu Bibi mengetuk pintu, tidak ada yang membukakan. Apa mungkin mas Rava dan Mamanya kembali ke Malang?
Atas saranku, Pengadilan Agama mengirim surat undangan sidang perceraian ke alamat rumah mas Rava di Malang. Tapi laki-laki pengecut itu juga tidak mau datang.
Sudah hampir satu bulan ini sidang perceraianku digelar tanpa kehadiran mas Rava. Pengadilan Agama menyarankan agar aku menggelar sidang cerai di Malang. Tapi pengacaraku menolak. Percuma saja, mas Rava tetap tidak akan mau hadir.
Itu sebabnya Pengadilan Agama meloloskan gugatan ceraiku secara ghaib --sebab mas Rava menghilang dan dianggap ghaib-- dengan hak asuh anak jatuh padaku, dan harta gono-gini diputuskan sesuai permintaanku. Semua hasil persidangan dikirim ke alamat rumah mas Rava di Malang, juga dikirim ke alamat bekas rumah kami di Jakarta.
Tidak kusangka mas Rava sepengecut ini menghadapi perceraian kami. Dia bahkan tidak peduli dengan hak asuh anak-anak. Mungkin dia juga terpaksa pasrah menerima keputusan pembagian harta gono-gini sebab semua sertifikat tanah dan BPKB mobil sudah kubawa dan kubalik nama atas namaku. Coba kalau tidak, dia pasti akan serakah, tidak mau membagi harta kami meskipun semua hak asuh jatuh padaku.
Aku baru tahu kalau ternyata mas Rava itu manusia berakhlak buruk yang jauh lebih rendah dari binatang.
*****
Sudah satu bulan ini kami tinggal di rumah Tante Sofiya, begitu pula Jihan. Setiap kali gadis itu izin pulang ke rumah Tantenya di Bintaro, selalu saja ditolak oleh Tante Sofiya.
"Aku tuh sungkan, Mbak. Hasyim kan bukan mahramku. Kalau aku berkeliaran dalam rumah ini nggak pakai jilbab bisa bahaya. Tapi kalau pakai jilbab terus juga nggak nyaman. Ayolah, Mbak. Ijinin aku ke Tante Sofiya biar beliau mau melepasku pulang ke rumah Tanteku di Bintaro. Atau aku akan nyari kamar kos sendiri." Dia mengeluh waktu kami sedang duduk di teras belakang sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang.
Aku tersenyum menanggapi keluhan Jihan. Tanganku mengayun-ayun stroller Emmir. "Udah berkali-kali aku bilang ke Tante Sofiya buat ngijinin kamu pulang. Aku juga udah bilang kalau aku nggak apa-apa, nggak perlu ditemani banyak orang lagi. Tapi Tante Sofiya nggak mau. Dia pengen kamu nginep di sini dulu sampai lama. Kayaknya dia suka sama kamu deh, Han. Mungkin dia pengen ngejodohin kamu sama Hasyim, soalnya sampai sekarang bujang lapuk itu belum nikah juga."
Jihan menggaruk-garuk kepalanya yang dibalut kerudung merah marun "Duh. Gimana ya, Mbak? Aku nggak nyaman dijodoh-jodohin gini."
Aku membelalakkan mata mendengar pengakuannya. "Jangan-jangan kamu udah punya pacar? Kalau udah, biar aku ngomong sama Tante Sofiya biar nggak jodohin kamu sama anaknya lagi."
Jihan menggeleng. "Nggak. Bukan gitu. Tapi ... aku agak trauma sama perjodohan."
"Trauma gimana?" Aku mengernyitkan dahi.
Jihan memandang lurus pada anak-anakku yang sedang bermain daun, lalu mendesah. "Sama Rana kemarin kan dia juga dijodohkan, tapi gagal. Dia juga kata Rana kayak yang nggak tertarik dijodohin. Itu Rana, apalagi aku yang wajahnya nggak secantik Rana."
Aku menganalisa sesaat ucapan Jihan. Yang dojodohkan Rana, tapi mengapa dia merasa trauma dan tidak percaya diri? Sedetik kemudian aku terperangah mengetahui satu fakta baru. "Astaga, Han. Jangan-jangan ... kamu suka sama Hasyim?"
Jihan menoleh dengan mata membulat sempurna. "Eng-- enggak! Nggak gitu! Maksudku, kalau Rana yang secantik itu aja ditolak, apalagi aku. Ngerti nggak sih maksudku?"
"Ya, justru itu ..." Aku tertawa melihat Jihan salah tingkah. "Kamu merasa nggak PD, karena kamu suka sama Hasyim, kan?"
Pipi Jihan bersemu merah. "Ih, mbak Yasmin apaan, sih?"
Dia bahkan tidak menyangkal tebakanku. Apalagi wajahnya juga berubah semakin merah padam. Sudah bisa dipastikan bahwa dia menyukai sepupuku. Wah, ini berita baik untuk Tante Sofiya!
Aku menepuk pudaknya pelan. "Heh, siapa bilang kamu nggak cantik? Kamu tuh cantik banget, malah lebih cantik dari Rana kali."
Jihan memegangi pipinya yang semakin memerah. "Masa, sih? Nggak, ah. Mbak Yasmin ngeledek, nih."
Kali ini aku mendorong bahu gadis cantik bergamis cokelat muda ini secara gemas. "Dibilangin, kok. Coba deh tanya Hasyim, dia pasti setuju sama pendapatku."
Jihan mengerucutkan bibir. "Apaan sih?" Kepalanya menunduk untuk menyembunyikan malu. Dia pura-pura sibuk menggeser layar Hpnya.
Aku masih tertawa melihat Jihan yang salah tingkah. Apa kudukung saja ya niat Tante Sofiya menjodohkan Hasyim dengan Jihan? Apalagi Jihan anak yang baik. Akhlaknya juga lebih baik dari Rana. Selama tinggal di rumah ini, aku lihat dia rajin sholat dan baca Al-qur'an. Aku yakin dia akan jadi istri yang baik untuk Hasyim.
"Astaghfirullahal'adzim." Jihan membekap mulut dengan satu tangan. Wajahnya berubah pucat. Tatapannya masih tertuju pada layar Hp.
"Kenapa, Han? Ada apa?" Aku bertanya penasaran, berusaha melongokkan wajah ke Hpnya.
"I--ini video Rana sama Mas Rava, kan?" Jihan menunjukkan layar Hp yang sedang menampilkan video sepasang laki-laki dan perempuan yang di-blur. Tapi adegan dan lokasi dalam video itu sangat kukenal.
Aku segera menyambar Hp Jihan untuk melihat lebih jelas. Benar. Ini video mas Rava bersama Rana waktu mereka bergumul di kasur apartemen. Lalu akun yang memposting video ini berasal dari akun gosip lambe-lambean. Bagaimana video ini bisa sampai tersebar ke akun ini?
"Siapa yang nyebarin video ini, Han?" Aku menoleh pada Jihan dengan sangat cemas.
Jihan menggeleng. "Aku nggak tahu, Mbak. Aku nggak pernah tahu video ini karena mbak Yasmin nggak pernah nunjukin padaku. Tapi aku hafal banget interior kamar apartemen ini sama postur tubuh Rana. Terus itu juga mas Rava, kan? Makanya aku kaget."
Aku menunduk pada layar Hp Jihan lagi. Caption yang tertulis pada postingan itu, 'Gimana nih, Gaes? Ada skandal terbaru dari selebgram kita sama pak pilot ganteng. Durasinya berapa lama, ya? Kira-kira bisa ngalahin 19 detik nggak?'
Ya, Allah.
Sebenci apapun aku pada Rana dan mas Rava, aku tidak menghendaki video mesum mereka tersebar luas seperti ini. Karena aku takut dampaknya nanti akan menimpa anak-anakku.
Hpku dalam saku gamis berdenting terus menerus. Aku mengembalikan Hp milik Jihan untuk mengambil Hpku sendiri. Ketika kubuka, ratusan notifikasi membanjiri layar Hpku, sebagian besar berasal dari Instagram. Aku terkejut waktu membuka akunku. Banyak orang menandaiku dalam video tersebut.
Ya Allah, aku kenal isteri pilot itu. Kak @YasminAtiqa yang sabar, ya. Tega banget sih Rava!
Laki-laki laknat! Sudah punya isteri cantik, masih juga ngembat sahabatnya kak @YasminAtiqa sabar ya, Kak.
Goblok! Laki model gitu nggak akan tobat sebelum tytydnya diblender hancur. Ayo, Kak @YasminAtiqa kamu kuat. Jangan mau ditindas sama manusia-manusia dajjal macem mereka
Nih lakik otaknya udah pindah ke dengkul kali ya. Pikirannya udah selangkangan mulu. Kasihan kak @YasminAtiqa
Astaghfirullah, nggak kebayang rasanya berada di posisi kak @YasminAtiqa. Tega banget @RanaBahalwan ngembat suami sahabatnya sendiri
@RanaBahalwan mulai aktif ya, Bund.
@RanaBahalwan @RavaBahmid penghuni neraka jalur prestasi.
Kalian @RanaBahalwan @RavaBahmid penghuni neraka VIP.
Astaghfirullah, mas @RavaBahmid padahal aku ngefans kamu banget, meskipun kamu pilot ganteng kamu tetep setia sama isteri dan sayang anak-anak. Nggak taunya fucek boy. Nyesel aku ngefans kamu!
Padahal @RanaBahalwan kayak yang salihah banget, taunya lon*e
Auto unfoll @RanaBahalwan
Report rame-rame yuk akun pelakor @RanaBahalwan biar di-take down sama IG.
Njir! Males bat gue liat cewek sok alim kek @RanaBahalwan Dahlah, lepas aja jilbab lo. Malu-maluin agama Islam aja lo!
Masih banyak caci maki yang ditujukan pada Rana dan Mas Rava. Beberapa dari mereka ada yang memberiku dukungan.
Jujur, sisi jahat hatiku senang melihat semua ini. Tapi aku juga harus bisa berpikir panjang. Kalau video mereka viral, bagaimana jika Zahira atau Aisyah melihatnya? Aku takut video itu akan memengaruhi kesehatan mental mereka.
Beberapa hari belakangan ini saja mereka sering bertanya padaku mengapa aku harus bercerai dengan Papa mereka. Waktu kujelaskan bahwa Papa mereka sudah akan punya adik lagi dengan Tante Rana, mereka sangat kecewa. Tanpa kujelaskan, mereka sudah tahu bahwa Papa mereka mengkhianati keluarga kecil kami. Apalagi Tante Rana sudah mereka anggap seperti saudara sendiri. Tentu saja mereka sangat kecewa ketika Tante yang mereka sayangi sedang mengandung anak dari Papa mereka.
Apalagi kalau video ini tersebar ke masyarakat luas, bagaimana perasaan Zahira dan Aisyah nantinya?
Ya, Allah.
"Mbak ..." Jihan mengusap-usap lenganku dengan wajah prihatin. "Sabar, ya. Gosip seperti ini pasti cepat reda, kok. Negara kita ini kan suka memviralkan hal-hal kontroversial macam ini, tapi juga cepet lupanya. InsyaaAllaah, nanti pasti akan dilupakan kalau ada video viral lainnya."
Itu tidak benar. Aku tahu Jihan hanya berusaha menghiburku dengan memberiku harapan palsu.
Aku ingat. Video seorang penyanyi laki-laki beradegan panas dengan beberapa artis papan atas masih beredar di internet sampai sekarang. Bukan hanya itu. Video skandal siapapun yang melibatkan publik figur, sampai sekarang masih ada di internet. Rekam jejak internet itu abadi. Meskipun sudah dihapus, tapi pasti ada yang menyimpan dan menyebarluaskannya lagi. Bagaimana jika video Mas Rava dan Rana ikut tersebar dan terus beredar di internet sampai anak-anakku dewasa? Bukankah nanti mereka jadi tidak percaya diri menghadapi masyarakat karena ulah bejat Papa mereka?
Ya, Allah. Apa yang harus kulakukan?
Saat aku sedang berpikir untuk mencari solusi, Hpku berdering. Sebaris nomor asing tertera di layar. Aku menggeser gagang telepon warna hijau untuk menerima panggilan itu.
"Halo?" Aku sengaja tidak mengucap salam. Siapa tahu yang meneleponku beragama lain.
"Kamu nggak mikir pakai otak sebelum memviralkan videoku sama Rana? Kamu nggak mikir dampaknya ke anak-anak?"
Aku kenal suara ini. Ini suara mas Rava. Sejak ketahuan selingkuh, wataknya tidak berubah, tetap berengsek.
"Oh, masih berani meneleponku? Aku kira kamu udah nggak punya muka untuk menunjukkan diri padaku lagi."
Mas Rava diam tidak menanggapi sindiranku.
"Minggat ke mana aja kamu selama ini? Dikirim surat undangan sidang perceraian nggak pernah datang. Sekarang waktu videomu viral kamu baru menghubungiku? Kenapa? Harga dirimu udah hancur nggak bersisa?"
"Nggak punya otak kamu!" Dia berteriak semakin keras di telingaku. "Harusnya kamu mikir efeknya ke anak-anak sebelum viralin video itu! Perempuan bodoh!"
Aku memejamkan mata untuk meredam emosiku yang sudah mulai bergejolak kuat. "Yang nggak punya otak itu kamu, Rav!" Aku sudah tidak mau memanggilnya dengan sebutan Mas. Laki-laki macam dia tidak pantas kuhormati lagi.
"Sebelum meniduri Rana, harusnya kamu mikir apa dampaknya buat aku sama anak-anak. Sekarang setelah video mesum kalian viral, kamu baru teriak-teriak." Aku menambahkan. "Aku nggak bodoh. Kalau aku bodoh, nggak mungkin aku bisa membongkar perselingkuhanmu. Justru kamu yang goblok. Selingkuh tapi ketahuan aku. Gobloknya dibagi sama Rana sana, biar kalian sama-sama goblok."
Tut ... tut ... tut ...
Sambungan terputus.
Seperti biasa, kalau tahu kalah dan tidak bisa membalas, dia akan jadi makhluk ghaib lagi, sama seperti dalam sidang perceraian dulu. Aku sudah mulai hafal sifat pengecutnya.
Jihan mengusap-usap lenganku lagi sambil memberiku tatapan prihatin. "Sabar ya, Mbak." Aku hanya bisa tersenyum masam.
Tadinya aku merasa kasihan pada Rava dan Rana. Dengan adanya video viral itu, hidup mereka pasti tidak akan pernah tenang. Tapi setelah dia menelepon dan mengolokku tidak punya otak, rasa kasihan itu seketika menguap habis tak bersisa.
Buat apa aku mengasihani setan macam Rava?
"Yas!"
Suara Hasyim terdengar lantang dari dalam rumah. Beberapa detik kemudian dia berdiri di hadapan kami. "Video mereka viral." Dia memberitahuku dengan napas tersengal-sengal seperti baru saja berlari jauh. Kalau tak salah, dia baru saja mengantar Ummi dan Tante Sofiya belanja ke pasar sayur.
Aku mengangguk menanggapi pemberitahuannya. "Aku sudah tahu. Apa kamu yang memviralkan?"
Hasyim menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangan. "Bukan gue. Sumpah." Dua jarinya terangkat naik. "Gue nggak bakalan bertindak sendiri tanpa persetujuan lo. Tebakan gue, ada oknum kepolisian atau penyelidikan yang nyebarin video itu. Soalnya video skandal macam itu kalau dijual ke akun-akun gosip bakal laku mahal."
Ya. Aku pun juga berpikiran sama seperti tebakan Hasyim. Itu sebabnya aku tidak bisa menyalahkan siapapun, termasuk Hasyim. Salahku tidak langsung mengambil Hpku yang rusak dibanting Rava. Waktu aku kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang lainnya, Hp itu sudah tidak ada di lantai. Kupikir Rava yang mengambil, ternyata orang lain --mungkin dari pihak kepolisian yang memeriksa TKP atau entah siapa-- lalu orang itu memviralkannya.
Hasyim berkacak pinggang dengan napas yang sudah mulai terkendali. "Terus gimana? Lo nggak mau ngurus video itu lebih lanjut?"
Aku menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan Hasyim. "Udah terlanjur viral, percuma diurus. Sebaliknya ..." aku memasang wajah sangat serius. "Aku mau menunjukkan video itu ke maskapai penerbangan, sekalian menunjukkan bukti kalau Rava pernah menghamili pramugari bernama Santi. Aku ingin maskapai penerbangan memecat dia, kalau bisa mem-black list dia dari afiliasi penerbangan, biar maskapai lain nggak mau menerima dia sebagai pilot."
Wajah Hasyim yang semula cemas kini berubah antusias. Senyuman terkembang lebar di bibirnya. "Ini Yasmin yang gue suka!" Hasyim berubah bersemangat. "Yuk, gue antar ke bandara sekarang."
Aku membelalak menanggapi ajakannya. "Sekarang?"
Hasyim mengangguk dengan wajah yakin. "Iyalah sekarang. Mumpung video mesum itu lagi viral-viralnya. Pihak maskapai pasti lebih concern nanggepin aduan lo. Kalau udah nggak viral, takutnya mereka jadi ogah-ogahan nanggepinnya. Ayo deh, sekarang aja kita berangkat."
Benar juga kata Hasyim. Aku harus segera mengurus aduan ini ke maskapai penerbangan biar Rava segera dipecat dari profesinya sebagai pilot.
"Jihan diajak juga, ya?" Aku bertanya pada Hasyim sambil menunjuk gadis cantik yang masih duduk di sebelahku. Dia kelabakan mendengar pertanyaanku.
"Boleh, deh. Ayo cepetan. Keburu siang tambah macet nanti."
"Aku di sini aja nemenin anak-anak." Jihan mengelak dengan wajah mau mati.
Aku menarik tangan Jihan. "Udah ada Ummi sama Tante Sofiya yang nemeni mereka. Yuk, ah. Kamu nemeni aku ke bandara."
"Nggak mau, Mbak."
"Kalau kamu nggak mau, aku bilangin Hasyim kalu kamu naksir dia." Aku mengancam Jihan agar mau ikut.
Jihan kelabakan lagi. "Eh, siapa sih yang suka sama dia? Bukan aku, kok."
"Syim! Nih Jihan ... hmp!"
Mulutku dibekap oleh kedua tangan Jihan. "Iyaaa ... aku ikut sekarang." Dengan kesal dia melepas mulutku lalu berjalan masuk rumah.
Aku tertawa cekikikan sebelum menciumi pipi Emmir, dan berpamitan pada kedua putriku.
"Cepet pulang ya, Ma. Jangan lupa bawain es krim." Aisyah berpesan.
"Kamu tuh, es krim terus. Nanti giginya keropos." Zahira menegur adiknya.
Aku tersenyum sambil membelai kepala mereka. "Kalau kak Zahira pengen dibawain apa nanti?"
"Marshmellow." Zahira menjawab polos.
"Yaaa ... itu sih sama aja bikin gigi keropos." Aisyah protes.
Aku tertawa, memeluk gemas mereka. "Ya udah. Nanti Mama bawain pesenan kalian. Di rumah sama Jiddah jangan nakal, ya. Jangan bertengkar. Harus akur."
Mereka mengangguk patuh menanggapi pesanku. Setelah melepas pelukan, aku berjalan memasuki rumah untuk berpamitan pada Om Hasan, Tante Sofiya, dan Ummi.
Dengan diantar Jihan dan Hasyim menuju bandara, aku menguatkan niat ...
Akan kubuat Rava menyesal sudah membuangku dan anak-anak.
Benar kata Hasyim. Dia harus dibuat kere sekere-kerenya.
Neraka dunia akan kusuguhkan pada laki-laki sepengecut Rava.
TBC.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
