Bab 13. Kevin Kenapa?

1
0
Deskripsi

⚠️ Bacaan dewasa untuk usia 21+
Pembaca di bawah umur dilarang menyentuh lapak ini. 

***** 

Aruna Jayanti benci pernikahan. Dua peristiwa buruk di masa lalu memberinya pemahaman bahwa menikah hanya akan menambah kerumitan hidup. Meski begitu, impiannya adalah punya anak blasteran cantik atau tampan seperti anak-anak selebgram yang dia ikuti. Setelah pencarian panjang, ia berhasil menemukan high quality bule: tampan, terlihat cerdas, bermata biru, berkepribadian baik. Sempurna. 

Kevin Heaton datang ke...

Sampai masa cutiku habis dan kami harus balik ke resor, Kevin nggak ngajakin aku malam pertama. Bahkan, sikapnya berubah dingin, kayak pernikahan kita kemarin nggak pernah terjadi.

Seperti sekarang, setelah kami pamitan sama Ibu dan Bi Sumi untuk balik ke Banyuwangi, Kevin duduk di jok depan. Aku di belakang. Dia dari tadi ngobrol sama pak Mursid terus. Aku dicuekin!

Aku salah apa, sampai dia berubah dingin lagi sama aku? Argh! Kesel!

Oke! Kalau dia ngajakin perang dingin, aku juga bisa bersikap acuh. Bodo amat! Dia mau cuek kek, mau kesambet setan alas kek, mau kedinginan sampai mati kek, aku nggak akan peduli lagi!

Mending, aku lanjutin cerita fiksi di podcast daripada mikir Kevin yang nggak jelas. Kusumpal dua telingaku pakai headset buat dengerin podcast, sekaligus biar nggak denger suara obrolannya Kevin sama pak Mursid yang bikin hatiku sakit karena dicuekin.

Tapi sumpah, ini nyiksa banget! Aku nggak bisa konsentrasi dengerin podcast! Aku berusaha mengalihkan tatapan keluar jendela, atau merem, atau liatin cicak kawin di atap (btw, kok ada cicak masuk mobil?), tapi lagi-lagi mataku tergoda buat melihat Kevin di jok depan. Argh!

Aku cuma bisa uring-uringan dalam hati, nggak bisa nanya langsung sama dia, soalnya nggak dikasih kesempatan. Dia juga selalu menghindariku, kayak aku ini kusta yang harus dijauhi.

Bahkan waktu kami berhenti untuk makan siang, istirahat, dan sholat, dia masih nggak mau ngomong sama aku. Dia mungkin menganggapku jin yang nggak kelihatan. Sampai kami balik lagi ke mobil dan melanjutkan perjalanan pun, dia masih tetep cuek. Nyebelin!

Semua perhatian yang pernah dia berikan padaku selama di Karanganyar mendadak musnah, nggak tau kemana. Kalau akhirnya cuma seperti ini. Terus, maksud dari pernikahan kami kemarin itu apa? Meskipun buku nikah udah kami bawa masing-masing, tapi nggak mengubah status keperawananku, cuma mengubah status lajang jadi nikah. Sama aja nggak guna!

Aku pengin nangis tapi gengsi!

Aku cuma bisa nahan kesel di jok tengah sambil nguping obrolan dia sama pak Mursid soal topik yang nggak aku ngerti. Obrolan mereka seputar cara ganti ban mobil, pengalaman pak Mursid selama menjadi sopir hotel, peluang bisnis wisata di Banyuwangi, makanan khas Banyuwangi, sampai sejarah berdirinya Banyuwangi. Pembicaraan mereka blas nggak ada yang menyangkut soal aku. Seolah-olah aku ini nggak pernah ada di antara mereka. Kejam!

Tau gini aku tadi minta anter Ibu sampai kosan-ku, daripada dicuekin kayak orang bego!

Aku gondok banget sampai nggak sadar tertidur. Pas bangun, tau-tau kami udah sampai di rumah kos-ku. Pak Mursid yang nurunin barang-barangku dari bagasi. Sementara Kevin tetep duduk di depan tanpa menoleh padaku sama sekali. Nih orang maunya apa, sih? Terus aku harus gimana? Kalau aku ada salah mending diomongin langsung daripada didiemin gini. Aku bener-bener mau nangis. Air mataku udah menggenang di pelupuk. Biar nggak malu-maluin, aku cepet-cepet menyeka mataku pakai ujung sweater abu-abu yang dikasih Ibu kemarin.

Waktu aku bilang makasih ke pak Mursid karena udah nganter kami pulang-pergi dengan selamat, Kevin baru buka kaca jendela lalu bilang,"Thank's. See you later."

Aku baru mau buka mulut buat jawab omongannya, tapi dia udah nutup kaca jendelanya duluan. Terus, pak Mursid jalanin mobilnya ninggalin aku sendirian di depan rumah kos. Sumpah, ya! Aku kayak sampah yang habis dipakai dibuang gitu aja tanpa perasaan. Kejaaam!

Aku menyambar pegangan koper dengan emosi sambil menenteng tas karton besar yang isinya oleh-oleh buat ibu kos dan sebagian penghuni kos yang kukenal, sama buat cemilanku sendiri. Lalu, aku berjalan menuju pintu pagar rumah kos.

Sebelum kami pulang tadi, Ibu mengajak kami membeli oleh-oleh. Kami bagi tugas. Aku beli buat orang-orang di kos. Kevin beli buat kru hotel. Semua oleh-oleh yang kami beli tadinya mau dibayarin Ibu. Tapi langsung ditolak sama Kevin. Dia yang bayarin semua oleh-oleh itu.

Ibu juga disuruh beli oleh-oleh buat orang-orang di rumah. Pak Mursid juga. Bahkan Bi Sumi yang Mbaknya asli orang Karanganyar juga disuruh beli. Pokoknya, semua orang disuruh beli oleh-oleh sama Kevin.

Duitnya Kevin unlimited kali, ya? Begitu habis, langsung diisi lagi. Jadi rekeningnya nggak pernah kosong. Dia nggak pernah bingung kehabisan duit, ngasih aku mahar semilyar aja nggak pakai mikir. Aku malahan yang jadi mikir, duit segitu banyak mau dipakai untuk apa? Satu milyar, loh! Gila! Bisa mandi uang dong aku.

Eh tapi, itu cuman omongan doang, sih. Buktinya, sampai sekarang rekeningku masih belum ada mutasi. Sebelum tidur di mobil tadi sempat aku cek, belum ada duit masuk se-rupiah pun ke rekeningku. Kalau aku hubungkan sama sikap dinginnya, berarti Kevin beneran menganggap pernikahan kami kemarin cuma mainan. Atau bahkan pernikahan itu sebagai bentuk balas dendamnya karena aku udah bersikap melebihi batas. Kalau bener gitu, keterlaluan.

Sebenarnya, nggak masalah dia melakukan itu padaku sebagai bentuk balas dendam karena aku udah lancang memberi perjanjian semacam : aku nganter dia ketemu Bi Sumi, dan dia ngasih aku sperma buat bikin anak. Tapi masalahnya, Ibu juga ikut terlibat. Beliau bersedia jauh-jauh datang dari Lawang ke Karanganyar hanya untuk menghadiri pernikahan kami. Tapi ternyata, Kevin cuma menganggap pernikahan itu main-main.

Main-main di sini maksudku, nggak menepati janjinya ngasih aku anak, atau bikin aku hamil, tapi malah nyuekin aku habis-habisan. Padahal aku nggak pernah menuntut dia macam-macam, seperti harus ngasih mahar semilyar, atau dibayari ini itu, atau menebus keperawananku seharga ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah seperti yang dilakukan Maya ke Liand. Aku nggak kayak gitu. Tapi dia udah sejahat itu padaku.

Aku menghela napas, berusaha mengusir sesak dalam dada. Aku yang salah, udah terlalu berharap banyak sama Kevin. Jadi baper gini.

Ya, udahlah. Lupakan Kevin. Apapun yang sudah terjadi, biarkan terjadi, aku harus tetap melanjutkan hidup.

"Oi, jadi masuk nggak, sih?"

Suara serak milik seorang perempuan ngagetin aku. Pas kepalaku menoleh, ternyata mbak Dilla, LC karaoke, lagi berdiri di sampingku.

"Eh, maaf, Mbak." Aku cengengesan sambil buka pintu pagar rumah kos.

"Dari tadi aku nungguin kamu buka pintu, tapi kamunya malah bengong. Napa, sih? Kamu dari mana, bawaannya banyak banget gitu?"

Cewek berambut lurus pirang sebahu ini melihatku penuh selidik.

Aku buruan masuk halaman rumah kos sambil menarik tas koper sebelum ditanyai macem-macem sama dia."Baru jenguk sodara di Karanganyar, Mbak. Aku masuk kamar dulu, ya." Setelah pamitan, aku langsung kabur ke kamarku sampai lupa ngasih oleh-oleh buat dia. Nanti ajalah. Belum kubagi-bagi juga.

Di dalam kamar, habis nutup pintu, aku mengembuskan napas lega. Tapi pas menghirup oksigen dalam-dalam, aroma lembab dan busuk kamar kos yang udah ditinggal lama langsung menusuk hidungku, bikin aku batuk-batuk.

Pemandangan handuk tergolek di kasur, piring dan gelas di meja yang belum kucuci, segunung pakaian kotor yang belum sempat kubawa ke laundry, dan kecoa-kecoa yang berlarian kesana kemari mengerubungi tempat sampahku yang lupa dibuang bikin aku tambah frustrasi.

Tubuhku merosot sampai ke lantai. Kututup wajah pakai dua tangan, mau nangis udah nggak sanggup, mau teriak udah nggak punya tenaga. Aku cuma bisa lemes.

Tuhan ... Aku nggak sanggup lagi hidup di kamar kos sekumuh ini.

Apa kubakar aja kamar ini biar aku nggak perlu bersih-bersih lagi?

*****
 

"Aruna!"


Mbak Nola menyambutku di ruang briefing karyawan restoran dengan wajah semringah. Kedua tangannya terentang lebar.

Aku cuma balas sapaannya dengan narik satu sudut bibir ke atas, tanpa mau balas pelukannya. Kalau bukan atas nama profesionalisme kerja demi gaji bulanan, aku pengen bolos kerja hari ini. Aku pengen males-malesan di kamar kos sampai dikerubungi kecoa atau sampai jamuran.

"Ih, nggak semangat gitu? Kenapa, deh?" Mbak Nola melepas pelukan terus menatapku aneh."Sini, yuk. Kita masuk ruangan dulu." Dia menarik tanganku untuk diajak ke ruangan manajer makanan dan minuman.

Di dalam ruangan, Mbak Nola menggeser kursinya sampai ke depan tempat dudukku."Gimana? Gimana? Kalian udah ngapain aja di Karanganyar?"

Aku nggak langsung jawab. Kuletakkan tas karton kecil berisi oleh-oleh khas Karanganyar khusus untuk Mbak Nola yang tadi kubawa dari kamar kos. Kemarin aku sengaja beli pia ubi ungu kualitas premium untuk mbak Nola, karena dia seneng banget sama makanan dari bahan ubi, apalagi ubi ungu. Orang ini, meskipun tampangnya Raisa, tapi selera makannya Didi Kempot.

"Kami udah nikah resmi di Karanganyar." Aku memberitahu sambil melepas blazer dan meletakkanya di punggung kursi.

Mbak Nola terpekik kayak anak kucing kepenyet bantal."Yang bener lo?!"

Aku ngangguk males. Jujur, aku sama sekali nggak berminat ngomongin segala hal yang berbau Kevin. Aku pengennya ngomongin soal lain, seperti jadwal kegiatan kami hari ini, atau food festival yang akan diselenggarakan hotel minggu depan. Tapi itu nggak mungkin. Mbak Nola pasti bakal mendesakku untuk cerita semua hal yang kulakukan sama Kevin di Karanganyar.

"Gimana ceritanya kalian bisa mendadak nikah? Lo sekarang jadi nyonya Kevin Heaton, dong? Gilak! Mana surat nikah lo? Sini, gue mau lihat."

Aku tau, segudang pertanyaan bakal ia ajukan hari ini. Dan, masih sepagi ini aku udah nggak punya tenaga buat jawab semua pertanyaan itu. Meski begitu, aku tetep buka tas buat ngambil buku nikah dan menyerahkannya ke Mbak Nola. Aku sengaja bawa buku ijo itu sebagai bukti sahnya pernikahan kami kalau-kalau Mbak Nola nanya. Terbukti, sekarang dia nanya.

"Buset! Beneran ini Kevin pake blangkon." Mbak Nola ketawa ngakak habis bilang gitu."Kalian nikah secara Islam, berarti lo berhasil maksa dia ngucap syahadat dulu, dong?"

"Nggak. Dia sendiri kok yang mau masuk Islam." Enak aja maksa. Dia malahan yang maksa aku nikah. Eh, ternyata cuma buat dicampakkan kayak gini. Ngeselin banget.

"Lagak lo kayak yang nggak butuh aja. Kayak Kevin yang butuh nikah sama lo."

Emang iya.

Tapi aku males ngomong, nanti dikira halu.

"Pakai pelet apa lo sampai Kevin mau nikahin lo? Terus, lo udah kawin belum sama dia? Udahlah ya. Pengantin baru pastinya malam pertama langsung belah duren, dong. Gimana? Itunya gede nggak? Muat nggak masuk punya lo?"

Astaga. Kalau boleh milih, mending aku pingsan daripada harus jawab pertanyaan-pertanyaan mbak Nola.

Belum sempet kujawab, mbak Nola udah nanya lagi,"Tapi heran ya, kenapa Kevin mau nikahin lo? Padahal dia bakal nikah sama tunangannya dua bulan lagi, kan? Aneh banget gitu lho."

Mendengar ocehan mbak Nola soal Kevin bikin mood-ku tambah hancur berantakan. Bodo amat lah dia mau nikah kapan, sama siapa, aku nggak mau peduli lagi.

Aku nggak menggubris lagi semua pertanyaan itu. Jempolku menggulir jadwal hari ini yang sudah disusun rapi sama Vina, asisten penggantiku. Semalam dia ngirim email berisi semua file yang sudah dia kerjakan selama aku cuti.

"Mbak, jam 9 ada rapat seluruh bagian untuk menyambut food festival, di hall. Selesai rapat, ada kunjungan food enthusiast di Marlin. Semalam, chef Daniel udah kukonfirmasi buat nyiapin semua menu spesial restoran." Aku berusaha bersikap profesional lagi.

Mbak Nola berdecak kesal menanggapi perubahan sikapku."Nggak asik lo, Na. Pagi-pagi udah ngomongin kerjaan. Gue kan masih kepo sama cerita lo bisa ngawinin Kevin. Dari kemarin-kemarin gue telepon nggak lo angkat. Sok sibuk banget lo. Mau nanya Kevin juga gue nggak enak. Kami masih terikat hubungan kerja, bakal nggak profesional kalau gue nanya-nanya soal hubungan kalian. Ayolah, Na, ceritain dulu. Gue tuh penasaran."

Aku menghela napas. Tadinya males banget cerita kebodohanku bisa terjebak rencana balas dendam Kevin. Tapi karena melihat Mbak Nola memohon gini, aku jadi nggak tega. Kuputuskan untuk menceritakan kronologi perjalanan kami dari awal sampai kemarin malam. Dan, ditanggapi dengan tawa ngakaknya lagi. Alah, persetan sama moodku, udah ambyar sejak malam pertamaku gagal sama Kevin.

"Duh, maaf, Na. Gue ngebayangin lo dipergokin Ibu lo sendiri lagi pakai lingerie. Nggak malu lo?"

Aku menggeleng."Nggak. Ibu pernah melihatku telanjang pas aku kecil."

"Ya beda lah. Lo sekarang udah gede, lagi nungguin Kevin datang buat malam pertama pula. Pasti malu banget ya lo."

Aku menghela napas."Udah kuceritain semua. Sekarang, kalau Mbak Nola mau membullyku, silakan. Tapi tolong, nanti aja habis rapat di hall."

"Iyaa!" Mbak Nola teriak nyolot sambil bangkit dan menyambar tas karton isi oleh-oleh pemberianku. Dia menggeret kursinya kembali ke tempat semula."Jahat banget sih pikiran lo. Gue nggak mau bully, cuma penasaran maksud Kevin bersikap kayak gitu ke elo tuh kenapa."

Aku mendesah sambil mengambil permen penyegar mulut di tas, biar napasku nggak bau, soalnya tadi belum sempet makan atau minum apapun sebelum berangkat ke hotel. Cukup kamar kosku aja yang bau, napasku jangan."Nggak tau. Kalau aku tau, nggak mungkin tampangku semales ini, Mbak."

"Iya, sih." Mbak Nola mengambil kaca dalam tasnya untuk membenahi riasan lagi sebelum kami rapat."Tapi sumpah aku penasaran. Nanti kalau lo ada kabar lagi dari Kevin, jangan lupa kasih tau gue, ya."

Aku bergumam males menanggapi perintahnya."Hm, iya."

Sambil nunggu mbak Nola selesai dandan, aku main game di Hp. Aku nggak perlu dandan juga. Buat siapa? Kevin udah kucoret dari daftar gebetanku. Nggak tau siapa yang bakal kugebet selanjutnya. Aku udah putus asa. Bodo ah, nggak usah ngomongin anak bule lagi. Ngadopsi bayi lokal yang minim konflik ajalah.

Kulihat Mbak Nola lagi benerin blazer sama ikat leher yang terbuat dari kain syal warna kuning cerah. Aku juga tergerak untuk membenahi penampilanku sebelum berangkat ke hall, meskipun nggak pakai retouch make-up.

Hari ini aku pakai seragam standar perkantoran, kemeja putih lengan panjang sama rok span selutut warna hitam, dipermanis dengan syal yang sama dengan milik Mbak Nola. Rambutku dicepol rapi ke atas biar nggak gerah. Sepatuku nggak flat lagi. Ibu beli sepatu berhak sedang untukku.

Di Villa kemarin, Ibu ngasih aku banyak barang, seperti Lingerie, sepatu, sweater, alat make-up, bahkan sampai BH dan celana dalam juga dibawain buat aku. Ibu ngerti banget kalau anaknya ini jarang beli barang-barang itu demi irit.

"Kamu nggak mau ngasih alamat kosmu, sih. Kalau Ibu tau, pasti udah sering Ibu kirimi kamu macem-macem, Nduk. Ibu juga bisa ngirim kamu makanan, jadi kamu bisa lebih irit lagi."

Gitu protes Ibu waktu memberi barang-barang yang dibawakan dari Lawang untukku.

Jangan salah, semua barang pemberian Ibu baru dan branded semua, bukan bekas atau diskonan. Sebagai pemilik rumah makan dengan banyak cabang, uang Ibu sangat banyak. Bahkan, beliau pengen aku nggak usah kerja di hotel, nunggu Ibu di rumah sambil bantu-bantu ngurus rumah makan. Tapi, aku nggak mau. Aku lebih menikmati berjuang sendiri di sini, jauh dari orang-orang toxic sejenis mbak Arimbi dan suaminya.

Protes ibu cuma kutanggapi dengan senyuman. Karena aku tau, kalau Ibu sampai tau alamatku, nggak cuma barang-barang yang kubutuhkan saja yang beliau kirim, tapi beliaunya sendiri yang akan datang ke rumah kos-ku sambil bawa dua pria kekar untuk memaksaku pulang ke Lawang.

Itu pernah terjadi dulu, bikin aku malu setengah mati. Soalnya, semua penghuni rumah kos sekaligus warga sekitar melihat adegan aku meronta-ronta dipaksa dua pria kekar masuk ke mobil.

Sumpah, malu-maluin! Aku sampai harus pindah rumah kos untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan nggak penting dari para penghuni kos, males jelasin satu-satu dan berulang-ulang. Sejak saat itu, aku nggak pernah mau ngasih tau alamat rumah kosku lagi pada Ibu. Kapok!

"Yuk, Na. Kita berangkat ke hall sekarang." Penampilan Mbak Nola udah rapi. Dia juga udah pakai blazer lagi dan bersiap mau keluar ruangan. 

Aku pun menyambar blazer di kursi, memakainya cepat dan berjalan di belakang mbak Nola.

Dalam perjalanan aku baru sadar."Mbak, rapat kali ini kok aneh. Biasanya rapat semua divisi cukup pakai meeting room di sebelah hall. Kenapa sekarang harus pakai hall? Apa ada tamu penting?"

"Ada." Mbak Nola menjawab sambil ngutak-ngatik Hp."Pak GM juga dateng."

Aku manggut-manggut mendengar jawabannya.

Iya, sih. rapat ini bakal serius. Soalnya, aku denger dari Vina kemarin kalau Food Festival tahun ini bakal diadakan meriah banget. Ada sponsor besar yang menyokong pesta ini berlangsung.

"Mbak Nola tau sponsor utama tahun ini?" tanyaku sambil mendorong salah satu pintu ganda hall untuk kami masuki.

"Suami lo." Jawaban mbak Nola bikin mataku terbelalak lebar."Tuh, orangnya." Dagunya mengarah ke cowok bule paling jangkung di ruangan ini yang berpakaian formal dan necis.

Aku terperangah lebar melihat Kevin sedang berdiri di antara para petinggi resor, GM, wakil GM dan para sponsor penting lain yang punya perusahaan makanan terbesar di Jawa Timur.

Diantara semua orang penting itu, dia yang jadi sponsor utama Food Festival tahun ini? Wow.

post-image-6678ee93d5eb0.jpg

Bukan hanya itu. Padahal ini cuma rapat biasa, maksudku, bukan acara bangsawan penting seperti jamuan makan malam, atau penobatan takhta kerajaan, atau pesta dansa mencari jodoh seperti dalam dongeng Cinderella tapi penampilannya yang pakai setelan jas licin dipadukan sepatu kulit super mahal itu bikin aku minder. 

Pria sekelas dia, punya istri berkasta rendah seperti aku?

"Na, kita duduk di sana, deket si Farid." Mbak Nola menunjuk dua kursi yang masih kosong. Mungkin sengaja dikosongkan untuk kami.

Aku mengangguk, lalu berjalan membuntuti Mbak Nola melewati deretan kursi-kursi yang dibungkus kain satin putih. Sepatu kami tidak berbunyi berisik ketika menginjak karpet tebal. Meskipun masih pagi, tapi lampu-lampu sudah dinyalakan, karena hall ini tertutup rapat dan kedap suara. Satu-satunya sumber ventilasi hanya dari 22 buah AC yang berderet di sebelah utara ruangan.

post-image-6678eea703ab6.jpg


"Halo, Rid. Boleh kami duduk di sini?" tanya Mbak Nola sopan. Sejak hampir kepergok quickie di ruangan pak Rendy, dia jadi berlagak sopan di depan Farid. Pencitraan seorang pemimpin.

"Boleh, Mbak. Silakan. Dua kursi ini memang disediakan untuk kalian." Farid menjawab dengan gestur tak kalah sopan.

Setelah mendapat izin dari Farid, kami segera menduduki kursi masing-masing. Aku mengeluarkan Hp untuk menyiapkan materi yang akan dibahas di rapat ini.

"Nola, Aruna, sedang apa kalian duduk di sini?" Pak Rendy menegur kami dari tempat duduknya di samping Farid.

"Ikut rapat. Apa lagi?" Mbak Nola menjawab keheranan.

"Tempat kalian bukan di sini. Tapi di sana." Pak Rendy menunjuk empat kursi yang ada di bawah AC dekat dengan podium direksi.

"Tapi biasanya, divisi Resto dan Humas yang duduk di sana. Kenapa sekarang berubah?" tanya Mbak Nola semakin keheranan.

Pak Rendy berdeham, kelihatan salah tingkah sambil benerin dasi."Sekarang aturannya diubah, karena yang punya gawe divisimu."

"Siapa yang ngubah?" Mbak Nola mewakili rasa penasaranku. Tahun-tahun sebelumnya divisi makanan dan minuman ikut duduk di deretan divisi lain di sini, kenapa sekarang berubah?

"Jangan banyak tanya, turuti saja perintahku." Pak Rendy nggak mau dibantah tapi juga nggak nunjukin siapa yang mengubah aturan ini. Bikin aku tambah kepo. Ini pasti perintah langsung dari direksi, sampai pak Rendy nggak berkutik gini.

Tiba-tiba Farid mencondongkan tubuhnya padaku, lalu berbisik,"Sponsor utama kita yang nyuruh kalian duduk di sana."

Eh? Kevin? Kenapa?

"Ayo, Na, kita pindah tempat duduk."

Belum sempet aku tanya alasannya ke Farid, Mbak Nola udah berdiri dan berjalan menuju deretan kursi dekat podium. Aku menyusul berjalan di belakangnya.

Dalam perjalanan menuju kursi depan, tatapanku otomatis tertuju pada Kevin yang masih berdiri di depan podium. Dia kelihatan sedang serius berbicara dengan orang-orang penting. Waktu pria bule itu menyadari kehadiran kami, kepalaku langsung menunduk. Sampai setelah duduk pun aku masih nggak berani lihat dia. Sumpah, aku malu jadi istri aristokrat sekelas Kevin Heaton. Penampilanku yang seperti babu ini, mana pantas bersanding sama orang semewah dia?

Tunggu.

Aku yang keGRan.

Aku yang nganggap pernikahan kami serius, bukan bercanda.

Kevin nggak pernah menganggap begitu.

Mungkin, dia menganggap pernikahan kami kemarin cuma sebagai bahan lelucon yang akan dibahas di meeting sebentar lagi.

Mungkin, dia akan menertawakan reaksi terkejutku waktu menerima mahar senilai 1 milyar padahal cuma bohong.

Mungkin, dia akan mencemooh Ibuku yang mau menerima menantu sekaya dia. Itu sebabnya dia menyuruh aku dan Mbak Nola duduk di kursi ini.

Mungkinkah begitu?

Ya, Allah. Perutku mules. Gimana kalau semua asumsiku ini bener? Mau ditaruh di mana mukaku dipermalukan di depan orang banyak sampai melibatkan direksi seperti ini?

Kamu sih, Na, udah bikin perjanjian aneh-aneh sama bangsawan sekelas Kevin, jadi dibales kejam gini, kan?

Tuhan ... rasanya aku pengen lari saja dari hall ini. Nggak apa-apa dipecat, yang penting aku dan Ibuku nggak dipermalukan di depan umum gini.

"Mbak, aku boleh ke toilet dulu, nggak?" Aku nekat pengen kabur tapi izin mbak Nola dulu. Udah gila nih aku.

Tapi ... semua direksi, termasuk Kevin, sudah menduduki kursi podium.

"Nanti aja lah, udah mau mulai ini." Mbak Nola berbisik, nggak merestui niatku kabur.

Duh .... Gimana ini? Kalau aku kabur sekarang, bakalan jadi sorotan semua orang dalam ruangan ini, Mbak Nola yang bakalan kena marah pak Rendy. Aku nggak tega.

Tapi, kalau aku nggak kabur, Kevin bakal membantaiku habis-habisan dalam rapat ini. Apalagi pas aku ngelirik podium, Kevin sedang menatapku dingin, penuh hawa membunuh.

Tolong aku, Tuhan!

TBC.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 14. Akuisisi!
2
0
⚠️ Bacaan dewasa untuk usia 21+ Pembaca di bawah umur dilarang menyentuh lapak ini.  *****  Aruna Jayanti benci pernikahan. Dua peristiwa buruk di masa lalu memberinya pemahaman bahwa menikah hanya akan menambah kerumitan hidup. Meski begitu, impiannya adalah punya anak blasteran cantik atau tampan seperti anak-anak selebgram yang dia ikuti. Setelah pencarian panjang, ia berhasil menemukan high quality bule: tampan, terlihat cerdas, bermata biru, berkepribadian baik. Sempurna.  Kevin Heaton datang ke Indonesia dalam rangka perjalanan bisnis sekaligus ada misi yang harus dilaksanakan. Di tengah kedua aktivitasnya itu, ia bertemu dengan gadis manis berkulit sawo matang. Secara fisik, tidak ada yang aneh dengan gadis itu. Tubuh dan wajah eksotiknya lumayan. Hanya saja, permintaan untuk dihamili membuat Kevin yakin, ada yang salah dengan otak gadis bernama Aruna itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan