
Kanaya, sahabat Yasmin sekaligus Rava, menceritakan masa lalu Rava yang ternyata sangat kelam dan brutal. Yasmin baru mendengar semua cerita tersebut. Selama mereka menikah, Rava tidak pernah menceritakannya pada Yasmin.
Pagi ini, waktu aku, Ummi dan Mama sarapan di ruang makan, Rava berpamitan berangkat kerja.
"Nggak sarapan dulu, Rav? Ini udah dibeliin Yasmin bubur ayam. Tadi ada tukang bubur lewat depan rumah." Mama mertuaku bertanya setelah suamiku mencium punggung tangan kanannya.
"Nggak usah, Ma. Aku buru-buru, ada rapat. Di kantor juga ada sarapan, kok." Dia beralih pada Ummi untuk ganti mencium punggung tangannya. "Berangkat dulu, Umm."
Ummi mengangguk. "Hati-hati di jalan."
Setelah menjawab, "Ya, Umm." Mas Rava beralih padaku untuk mencium puncak kepalaku. "Berangkat dulu ya, Sayang."
Aku membeku dipanggil 'Sayang' oleh laki-laki yang sudah menikahiku hampir sebelas tahun ini. Sudah lama sekali dia tidak memanggilku seperti itu. Mungkin sejak aku hamil Emmir. Biasanya Rava memanggilku 'Mama', sama seperti anak-anak memanggilku.
Aku hampir saja terbawa perasaan, tapi kemudian ingat. Dia bersikap seromantis ini pasti karena sedang ada Ummi dan Mama di sini. Dia ingin menunjukkan pada para ibu bahwa kondisi rumah tangga kami tetap baik-baik saja. Atau, dia sedang meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa kami masih baik-baik saja.
Jika itu keinginannya, maka akan kuturuti. "Iya, Sayang. Hati-hati di jalan. Jangan lupa nanti video call aku kalau udah sampai tujuan."
Mas Rava tersenyum menanggapi ucapan mesra yang sengaja kubuat manja. "InsyaaAllah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Aku dan para Ibu membalas serempak.
Usai kepergian Rava, ada rasa muak menggelayuti hatiku ketika Mama mertuaku membanggakan Mas Rava di hadapan Ummi.
"Rava tuh pekerja keras ya, Umm. Baru kemarin aqiqahan anaknya, sekarang udah harus dinas lagi. Capek lho pastinya."
Ummiku hanya membalas, "Iya."
Kalau biasanya kutanggapi percakapan kedua Ibu ini dengan senang hati agar suasana diantara mereka tidak canggung. Kali ini, kubiarkan saja Mama mertuaku ramai berceloteh sendiri meskipun ditanggapi datar oleh Ummi.
Aku tidak nafsu makan. Kubawa ke dapur bubur yang cuma berhasil masuk perut tiga sendok. Waktu aku akan membangunkan kedua putriku, Hpku berdering. Nama Kanaya tertera di layarnya.
"Assalamu'alaikum, Nay."
"Wa'alaikumsalam, Yas. Gue ada waktu luang hari ini. Ketemuan, yuk," ajak Kanaya.
"Sekarang?"
"Bisa, kalau lo longgar."
Aku melihat jam di dinding ruang makan yang menunjukkan pukul 06.45, masih terlalu pagi. Lagipula, aku belum memandikan anak-anak, belum menunggui mereka sarapan, belum memerah ASI untuk Emmir, dan Bibi juga belum datang. Aku bisa diomeli Mama kalau keluar sekarang dengan mengabaikan anak-anakku.
"Gue belum beres ngapa-ngapain ini. Gimana kalau jam satu aja, Nay? Sekalian makan siang."
"Boleh. Tapi lo yang traktir, ya? Kan lo yang butuh informasi dari gue. Jadi lo harus bayar gue pakai makanan. Oke?"
Aku tersenyum mendengar permintaan itu. "Oke, deh. Ketemuan di mana kita?"
"Di Bakmi GM PIM, udah lama banget gue nggak makan di sana."
"Siap. Nanti ya jam satu. Jangan telat."
"Lo kali yang telat. Rumah lo kan jauh. Ya udah kalau gitu, sampai ketemu nanti. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah menutup telepon, aku bergegas membangunkan anak-anak, menyuruh mereka mandi, menyiapkan sarapan, memerah ASI, lalu ganti memandikan Emmir. Dan sisanya kuhabiskan dengan mendampingi para Ibu mengobrol sambil menunggu jam satu siang tiba.
Aku sama sekali tidak menikmati obrolanku dengan para ibu, sebab mama mertua selalu membanggakan Rava. Dan itu sangat tidak sesuai dengan kenyataan yang sedang kuhadapi. Mama bilang, meskipun reputasi pilot buruk di luar sana, Rava tidak pernah terlibat skandal apapun dengan pramugari atau perempuan lain. Mama bilang, dia tetap setia padaku dan sayang pada anak-anak kami.
Poin terakhir mungkin benar, Rava sayang pada anak-anak kami. Tapi ... dia tidak setia padaku. Dan dia terlibat skandal dengan Rana, mungkin juga dengan Santi si pramugari.
Hatiku yang mulai ngilu terselamatkan oleh suara denting Hp. Spontan aku menunduk pada pesan baru dari Kanaya.
Lo berangkat sekarang gih. Keburu macet. Gue udah di jalan ini.
Pesan dari Kanaya kubalas singkat dengan 'Oke'. Lalu aku pamit pada para Ibu, "Ma, Umm, aku keluar dulu, ya. Ada perlu sama ibu-ibu paguyuban."
Aku terpaksa berbohong. Sebab, tidak mungkin kukatakan alasanku sebenarnya menemui Kanaya.
Ummi membalas pamitku dengan berkata, "Hati-hati di jalan, Yas."
Sedangkan Mama berkata, "Cepet pulang, jangan mampir-mampir. Seorang isteri keluar rumah tanpa didampingi suami itu nggak baik. Jangan lupa ijin Rava dulu kamu pergi ke mana."
Aku hanya menjawab singkat, "Iya, Ma." Aku sungguh malas menanggapi wejangan itu. Bagiku, wejangan Mama seperti kicauan burung yang tak ada artinya.
Dan pada Ummi aku berpesan, "Titip anak-anak ya, Umm."
Setelah mendapat anggukan dari Ummi, aku berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian, berdandan tipis, dan menciumi Emmir sebelum berpamitan pada dua putriku.
Sepuluh menit kemudian aku sudah berada dalam mobil. Kulajukan Honda jazz putih ini keluar dari gerbang perumahan dan segera disambut kemacetan jalan raya. Aku memberi kabar pada Kanaya bahwa jalanan macet, mungkin akan terlambat. Syukurnya dia memaklumi.
Tiga puluh menit kemudian aku sampai di PIM, memarkir mobil, dan bergegas menuju outlet bakmi GM.
"Nay!" Aku melambaikan tangan pada sosok wanita tinggi semampai berambut ikal sebahu yang sedang duduk di salah satu kursi outlet.
"Yas!" Kanaya berdiri, menyambutku dengan pelukan dan ciuman pipi kanan kiri. Seketika wangi parfum mahal menyeruak ke hidungku. "Sampai lumutan gue nungguin lo di sini."
Aku meringis sambil menggeret kursi di seberang Kanaya untuk diduduki. "Sori, sori. Macet banget, gila. Gue jadi nggak enak sama lo."
Wanita berkemeja putih kasual dipadukan celana jeans super ketat ini menyeringai menanggapi ucapanku. "Kalau gitu, traktir gue makan yang banyak ya. Biar gue seneng."
Aku mengambil lembar daftar menu dari atas meja. "Beres. Gue traktir sampai lo kenyang. Udah pesen belum?"
"Belom. Kan nungguin lo dateng." Kanaya juga sedang melihat daftar menu.
"Ya, udah. Pesen sekarang. Bebas lo mau pesen apa. Gue bayarin."
"Aseeekkk."
Setelah berkutat dengan lembar daftar menu, kami menjatuhkan pilihan mie ayam spesial GM untukku, dan mie ayam bakso untuk Kanaya. Pesanan kami segera dicatat oleh pelayan.
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku bertanya to the point pada Kanaya, "Jadi, gimana? Rava beneran menghamili Santi?"
Wanita seumuran mas Rava ini mendongak dari layar Hpnya dan memberiku tatapan aneh. "Kok lo langsung nuduh gitu?"
Aku menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan itu. "Bukan menuduh, tapi bertanya. Apa benar Rava menghamili Santi?"
Kanaya tidak langsung menjawab pertanyaanku, tapi malah balik bertanya, "Lo dikasih tau siapa?"
Sepertinya tidak akan mudah mengorek informasi dari teman SMA mas Rava ini. Itu sebabnya aku memberinya tatapan tegas. "Denger ya, Nay. Di rumah gue lagi ada Mama mertua sama Ummi. Gue tinggalin mereka sama anak-anak demi bisa ketemu lo. Gue juga rela mentraktir sepuas lo. Jadi gue minta, jangan bertele-tele ngasih informasi ke gue. Meskipun bukan dari lo, gue yakin gue masih bisa dapat informasi itu. Gue bisa nanya langsung ke Mita, teman Santi."
Mendengar ucapan seriusku, Kanaya meletakkan Hpnya lalu bersedekap di atas meja. "Iya, iya. Santai kenapa, sih? Gue cuma pengen tau lo dapat informasi itu dari mana? Padahal kasusnya udah lama, lima tahun yang lalu. Kenapa baru lo ungkit sekarang?"
"Bukan urusan lo, Nay." Aku menjawab cepat, "Lo mau ngasih tau gue atau nggak? Kalau nggak, gue pulang sekarang. Gue nggak ada waktu buat nongkrong di sini."
Kanaya mengangkat kedua tangannya seperti buronan yang menyerah pada polisi. "Oke. Oke. Gue nggak akan ngorek-ngorek lagi. Tapi lo harus janji, setelah gue ngomong jujur ke elo dan misalkan lo rame sama Rava, tolong jangan bawa-bawa nama gue. Gue cuci tangan dari urusan rumah tangga lo sama Rava."
Aku mengangguk setuju. "Gue janji. Lo tau gue orangnya konsisten."
Kanaya mengangguk, aku pikir untuk menanggapi ucapanku. Ternyata dia menjawab pertanyaanku sebelumnya, "Iya. Bener. Suami lo yang menghamili Santi. Dia juga minta pertanggungjawaban. Tapi Rava malah nyuruh dia menggugurkan kandungan."
Astaghfirullah. Ternyata benar. Bukan cuma menghamili Rana. Lima tahun yang lalu, Rava juga menghamili seorang pramugari.
"Setelah itu Santi resign. Tapi Mita, sahabatnya, nggak terima. Gobloknya, dia nggak berani nuntut secara hukum. Dia cuma bisa bikin heboh maskapai dengan maki-maki Rava di kantor. Justru Rava yang akhirnya mensomasi Mita pakai pengacara dengan tuntutan mencemarkan nama baik. Lucunya, setelah itu malah Mita yang minta maaf ke Rava biar nggak diperkarakan lebih jauh."
Ya, Allah. Ternyata begitu ceritanya.
Tapi tunggu, bisakah aku mempercayai cerita Kanaya ini? Bagaimana kalau di berbohong padaku, mengingat wataknya yang sedikit nyentrik dari manusia biasa?
"Lo punya bukti kalau anak yang dikandung Santi itu anak Rava?"
"Ada. Bentar." Kanaya mengacungkan jari telunjuknya yang lentik kemudian mengutak-atik Hp sebelum diserahkan padaku. "Lo lihat. Ini anak Santi. Cewek. Umurnya sekarang udah empat tahun. Mirip anak lo, nggak?"
Refleks aku membekap mulut melihat anak perempuan dalam foto ini yang sangat mirip dengan Aisyah. Bedanya, di dahi dekat alis anak ini ada tahi lalat kecil. Kalau Kanaya tidak memberitahuku bahwa ini adalah anak Santi, aku pasti sudah mengira anak ini adalah Aisyah.
"Thalia namanya. Gue dapat foto ini dari Mita. Dia masih sering memberiku informasi soal Santi. Sekarang Santi dan anaknya tinggal di Bandung, belum menikah, dan bekerja sebagai pegawai mini market."
Ya Allah. Ternyata Rava sudah sangat menzalimi Santi. Padahal dulu aku membenci perempuan itu karena termakan omongan Rava. Dia berkata, Santi dan Mita memfitnahnya. Padahal dia tidak mengenal akrab dua pramugari itu. Rava hanya sebatas tahu nama mereka, tapi tidak pernah kenal dekat.
Bahkan Rava menuduh Santi menyukainya dan menawari tubuhnya waktu mereka sama-sama sedang bertugas terbang ke luar negeri. Tapi karena ditolak, Santi jadi menuduh Rava sudah menghamilinya.
Sekarang, dengan adanya pemberitahuan Kanaya disertai bukti foto anak ini, aku merasa sudah menjadi manusia paling dungu yang bisa dibodohi suamiku sendiri.
Pantas saja Rava berani berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Dia pasti berpikir aku bisa dibodohi lagi.
"Kenapa lo nggak ngasih tau gue yang sebenarnya, Nay? Kenapa waktu itu lo diem?" Aku bertanya dengan nada menyalahkan. "Kalau lo ngomong, gue bisa mengantisipasi hal ini terjadi lagi."
Kanaya terkejut mendengar ucapanku. "Rava buntingin anak orang lagi?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Kanaya yang terkesan lelucon itu, padahal bagiku ini sangat menyakitkan.
"Yas, beneran Rava ngebuntingin cewek lain lagi?" Kanaya mengulang pertanyaan yang sama. Dan aku masih enggan menjawab.
Untungnya pesanan datang. Fokus kami beralih pada menu makan yang dibawakan oleh pelayan.
Sialnya setelah pelayan pergi, Kanaya bertanya padaku lagi, "Yas, beneran deh, Rava hamilin siapa kali ini?"
Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat tanya Kanaya yang terasa ganjil. "Kali ini? Berarti Rava nggak cuma sekali itu menghamili perempuan lain?"
Kanaya mengedikkan bahu. "Ya nggak tau, makanya gue nanya. Setelah Santi, Rava menghamili siapa lagi sekarang?"
Sambil menggulung mie memakai garpu, aku menggelengkan kepala. "Nggak ada. Udah buruan dimakan dulu mienya, mumpung masih anget."
Kanaya berdecak. "Lo, ah. Nggak seru."
Menghadapi biang gosip seperti Kanaya ini, aku harus berhati-hati. Jangan sampai omonganku tersebar luas dan menjadi konsumsi publik. Sudah banyak korbannya. Ibu-ibu sesama isteri pilot atau bahkan pramugari yang curhat pada Kanaya sudah tersebar luas aibnya ke masyarakat umum. Aku tidak mau bernasib sama seperti mereka.
"Gue nggak tega ngomong jujur soal Santi ke elo." Tiba-tiba Kanaya membuka suara.
Aku yang baru saja menelan sesuap mi seketika mendongak. "Kenapa lo nggak tega?"
Kanaya mengambil tisu untuk membersihkan mulut dari kuah mi. "Lo terlalu baik, Yas. Gue nggak tega."
Aku mendecih menanggapi alasan klisenya.
Kemudian kami terdiam lagi untuk menikmati menu makan masing-masing.
"Dari dulu gue pengen ngomong ini ke lo." Kanaya berkata lagi sambil mengunyah bakso. "Lo tau nggak, kenapa gue ngomong lo gue-an sama lo padahal kita sama-sama dari Malang?"
Aku mengedikkan bahu menanggapi pertanyaan Kanaya. "Nggak tau. Gue juga dari dulu penasaran. Kenapa gitu? Gue sih nurut aja. Lo ngajak ngomong Jakartaan, ya gue tanggepin gitu."
"Lo nggak penasaran kenapa Hasyim cara ngomongnya juga sama?"
Aku mengangguk. "Iya. Penasaran. Tapi pas gue tanya, dia cuma jawab adaptasi aja karena kita sekarang udah tinggal di Jakarta."
Kanaya terbahak-bahak mendengar ceritaku. Dia bahkan tersedak makanannya, lalu segera mengambil es jeruk untuk diminum. "Nggak gitu. Duh, gue nih yang ada di tengah-tengah, gatel pengen ngomong ini dari dulu." Kanaya meletakkan kembali es jeruknya ke atas meja.
"Apaan?" Aku mengernyit serius.
"Hasyim tuh ya, dari dulu naksir berat sama lo. Tapi karena kalian berdua sepupuan, dia jadi nggak pernah ngomong jujur sama elo. Dan biar bisa move on dari lo, dia ngajak ngomong lo-gue ke elo, Rava, dan juga gue. Soalnya, kata Hasyim sendiri loh ini, dia kalau ngomong aku-kamuan sama elo jadi baper. Jadi nggak bisa move-on dari elo. Terus, biar lo nggak curiga, dia juga nyuruh gue ngomong Jakartaan sama lo."
Mulutku menganga lebar mendengar pemberitahuan mengejutkan ini. Tapi kemudian kukibaskan tangan sebagai penyangkalan. "Ngaco lo. Nggak mungkin Hasyim naksir gue. Seleranya tinggi kayak Rana."
Jari telunjuk Kanaya mengarah padaku. "Justru itu. Dia mau pacaran sama Rana karena wajahnya mirip banget sama lo waktu jaman muda dulu."
Eh? Benarkah?
"Menurut lo, wajah gue mirip Rana?" Aku menunjuk wajahku sendiri.
Aku jadi sadar. Itukah sebabnya Rava menyelingkuhi Rana karena wajah perempuan itu mirip wajahku saat masih muda?
"Mirip banget." Kanaya berkata dengan ekspresi dramatis. "Bahkan gue takut Rava bakal jadi fucek boy lagi kalau lihat cewek seger macam Rana. Apalagi wajahnya mirip lo."
Aku membeku mendengar tebakan Kanaya.
Benar. Itu sudah terjadi. Malahan sekarang, Rana sedang mengandung anak suamiku. Dan mungkin sekarang mereka sedang bingung mencari dokter yang mau menggugurkan kandungan.
"Terus nih ya ..." Pikiran kalutku kembali dibuyarkan oleh suara Kanaya. "Pas lo dilamar Hanif, Hasyim patah hati banget. Terus dia lega waktu lo nolak lamarannya. Eh, tapi lo malah nerima pinangan Rava. Hasyim tambah ngamuk lagi sampai ngelabrak gue. Katanya, kamu nggak becus jaga pacar!" Kanaya menirukan suara Hasyim, lalu tertawa terbahak-bahak.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tapi kemudian menyadari sesuatu dari ucapan Kanaya. Dia tadi bilang apa? Pacar? "Lo ... mantan pacarnya Rava?"
Kanaya memberiku tatapan tak percaya. "Jangan bilang lo baru tau."
Aku membelalak mengetahui satu fakta baru lagi. "Serius? Lo mantan pacarnya Rava?"
"Astaga, Oneng! Kemana aja lo?? Asal lo tau, ya. Gue sama Hasyim tuh sama-sama korban kalian berdua! Rava mutusin gue untuk nikahin lo. Hasyim patah hati, karena lo nikah sama Rava. Makanya itu gue jadi deket sama Hasyim karena kami sering curhat-curhatan masalah kalian."
Ya, Tuhan. Kenapa aku baru tahu soal ini? "Bahkan Rava nggak pernah cerita soal lo pernah jadi mantannya." Aku memberitahu Kanaya.
"Nggak heran sih. Rava emang udah berengsek sejak dulu. Di depan lo aja pencitraan, padahal aslinya parah banget tuh orang. Dia nggak pernah cerita ke elo kalau gue mantannya karena gaya pacaran kami emang gila-gilaan. Tapi gue nggak segoblok Santi yang sampai mau dibuntingin."
"Gila-gilaan gimana maksudnya?" Aku bertanya penasaran.
"Sex, drugs, clubbing, bahkan orgy. Bobrok banget lah pokoknya."
Astaghfirullah. Padahal selama ini aku mengenal Rava sebagai sosok laki-laki yang baik, tidak neko-neko, pintar, rajin beribadah, dan rendah hati. Tapi sekarang, kebusukannya mulai terkuak satu-satu.
"Gue bukan cewek pertama yang pacaran kayak gitu sama Rava. Dia udah jago ngerayu cewek sejak SMA. Banyak cewek rela dia tiduri meski tanpa imbalan, gue salah satunya," jujur Kanaya, menunjuk dirinya sendiri. "Tapi sejak kenal lo, dia berubah total jadi anak alim, nggak mau gonta-ganti cewek lagi, dan serius pengen jadi cowok baik-baik. Gue pikir begitu, makanya gue pilih mundur dan merelakan Rava buat lo. Gue pilih nikah sama temennya yang sesama pilot. Eh ternyata dia kesandung skandal sama Santi. Rava balik lagi jadi bejat kayak dulu."
Mendengar cerita Kanaya tentang masa lalu Rava, aku merasa tidak mengenal suamiku sama sekali. Dia ternyata menyembunyikan banyak hal dariku. Bukan hanya dia, tapi juga semua orang. Seolah mereka bersekongkol untuk menutupi semua keburukan Rava di hadapanku.
Aku bahkan hampir menghujat Tuhan. Mengapa tabir masa lalu suamiku yang sangat bejat baru dibuka sekarang setelah kami punya anak tiga?
Tapi kemudian aku ingat pernah menolak perjodohan yang ditawarkan Abah dan Ummi padaku dulu. Aku menolak dijodohkan dengan seorang syarif bernama Hanif. Mungkin, ini hukuman bagiku karena sudah menolak calon imam soleh pilihan kedua orangtuaku.
Lamunanku dibuyarkan oleh suara denting Hp. Waktu kubuka, pesan itu dari Kanaya, berisi sebuah foto anak perempuan cantik yang wajahnya mirip Aisyah. Anak dari hubungan gelap Rava dengan Santi. Hatiku perih mengingat hal itu. Suamiku punya anak dari wanita lain. Dan dia tidak mau bertanggung jawab. Bajingan sekali.
Air mataku meluruh, kuusap cepat. Kemudian kudongakkan wajah dengan tatapan yang kupaksa tegar. "Makasih ya, Nay."
Kanaya mengangguk. Tatapan matanya yang tadi bercahaya kini berubah redup. Sambil menjulurkan tangan untuk mengusap-usap punggung tanganku, dia berkata, "It's OK, Yas. Apapun masalah yang sedang lo hadapi sama Rava, gue yakin lo pasti mampu menghadapinya. Gue kenal lo sebagai wanita hebat yang kuat. Lo wanita terhormat. Oleh sebab itu, ingat pesan gue ini. Jangan mau direndahkan sama Rava, atau sama laki-laki manapun. Lo berharga. Dan lo harus tetap mempertahankan harga diri lo itu baik-baik."
Diberi dukungan seperti itu, hatiku menghangat. Buliran-buliran bening meleleh dari sudut mataku. "Makasih, Nay. Gue akan ingat pesan lo."
"Hidup lo akan baik-baik saja, dengan atau tanpa Rava. Gue yakin itu." Sekali lagi, Kanaya mengusap-usap tanganku.
Aku mengangguk sambil menggenggam erat Hpku.
Ya. Aku akan baik-baik saja tanpa Rava. Aku yakin itu.
TBC.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
