
⚠️ Bacaan dewasa untuk usia 21+
Pembaca di bawah umur mohon jangan menyentuh lapak ini.
*****
Namaku Ningsih Sri Astuti. Biasa dipanggil Ning, atau Sih. Bapakku sakit keras, butuh biaya pengobatan. Sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga yang tidak bekerja, dan aku masih kuliah.
Karena desakan ekonomi itulah, aku dan ibu berusaha menjual tanah luas kami di desa. Aku menawarkan tanah itu pada seorang pengusaha kaya raya bernama Tony. Tapi harga tanah yang kutawarkan terlalu murah dari harga rata-rata....
Namaku Ningsih Sri Astuti. Biasa dipanggil Ning, atau Sih. Tapi aku lebih suka dipanggil Ning yang dalam bahasa Jawa artinya Nona muda. Sesuai sama usiaku, dua puluh tahun. Aku tidak mau dipanggil Sri atau Tuti. Karena di desa Kanyoran banyak nama seperti itu.
Saat ini aku sedang menghadiri pemakaman Mas Jaka, mantan tunanganku. Entah mantan atau bukan, soalnya kami nggak pernah ditunangkan secara resmi, hanya perjodohan lisan antara kedua orangtua kami.
Ya, benar. Mas Jaka baru saja meninggal. Sia-sia usaha Maya menjual diri di kota demi biaya pengobatan mas Jaka. Nyatanya, laki-laki ganteng itu mati juga.
Mungkin Mas Jaka kualat sudah menolak perjodohan kami, malah lebih memilih perempuan binal seperti Maya. Sekarang lihat, mati kan dia? Itu hukuman dari Tuhan karena sudah berani menolakku.
Tapi aku bersyukur. Seandainya dia tidak menolak perjodohan kami, dan mau menikahiku, mungkin nasibku akan sama seperti Maya. Ditinggal mati waktu sedang hamil delapan bulan. Amit-amit.
Perempuan berperut buncit itu sekarang sedang menyanyikan lagu sholawatan di kuburan basah Mas Jaka. Dia sudah seperti orang tidak waras. Mudah-mudahan saja dia tidak gila sungguhan. Kasihan bayinya kalau sampai Maya gila. Sudah bapaknya meninggal, ibunya gila pula. Ngenes!
Tatapanku beralih pada tamu-tamu yang datang di pemakaman ini. Mereka semua tampak seperti orang kaya. Ada dua bapak berpakaian setelan jas hitam yang terlihat mahal. Walaupun usia mereka --sepertinya-- seumuran Bapakku, tapi wajah mereka jauh lebih ganteng dari Bapakku. Pembawaan mereka juga berkelas, kelihatan kalau mereka adalah orang-orang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Belakangan baru aku tahu bahwa mereka adalah kontraktor terbaik se-pulau Jawa.
Di antara para tamu itu ada Bapak GM resor Puhsarang yang diisukan punya hubungan gelap dengan Maya. Kalau tidak salah namanya Liand. Maya pernah menjual tubuh pada pria itu untuk biaya operasi Mas Jaka di Singapura. Beberapa warga desa bahkan bergosip bahwa anak yang dikandung Maya itu anak Pak Liand, bukan anak Mas Jaka. Aku tidak tahu mana yang benar. Tapi kalau dilihat dari kelakuan binal Maya, gosip itu mungkin saja benar.
Ada lagi tamu bule laki-laki tampan bermata biru, didampingi laki-laki berambut cepak yang juga tampan. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi sama seperti tamu-tamu lain yang berasal dari kota, tubuh atletis mereka dibalut setelan jas warna hitam. Penampilan mereka semua terlihat sangat berkelas. Seolah mas Jaka ini orang penting selevel pejabat.
Tidak heran. Alarmarhum Mas Jaka memang orang yang baik. Walaupun sudah menolak perjodohan kami, semasa hidupnya dia tetap bersikap baik padaku. Tidak seperti Maya yang pembawaannya ingin mencakar wajahku saat berpapasan denganku di jalan.
Ah, sudahlah.
Dari tadi aku bercerita soal Mas Jaka dan Maya terus. Ini kan ceritaku. Seharusnya aku bercerita tentang diriku sendiri bukan tentang mereka.
"Ning, Cah Ayu. Ayo ngewangi Bude Parmi masak soto nggawe tamu. (Ayo bantu bude Parmi masak soto untuk tamu)." Ibu membuyarkan lamunanku.
Sambil membenahi jilbab hitamku, aku menganggukkan kepala. "Nggih, Bu."
Sebelum aku ikut berjalan bersama Ibu menuju dapur Bude Parmi, laki-laki yang berdiri di sebelah pria bule itu menolehkan kepala padaku. Kami bertemu pandang. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai bentuk keramahan. Dia balas tersenyum padaku.
Dan senyuman itu ... menawan hatiku.
*****
Aku disuruh Ibu datang ke acara selamatan tujuh harinya Mas Jaka.
Sebagai anak kepala desa, tenagaku sering dibutuhkan untuk membantu memasak hidangan para tamu di acara hajatan warga.
Malam ini, tamu-tamu dari kota tidak ada yang hadir, kecuali laki-laki yang tersenyum padaku di makam mas Jaka. Laki-laki tampan yang berdiri di sebelah pria bule perlente.
Aku baru tahu namanya Tony. Dia satu SMA dengan Mas Jaka dan Maya. Dia adalah anak pemilik club malam dan beberapa cafe di Kediri dan Surabaya. Bahkan kabarnya, keluarga Tony sedang membangun vila di dekat sini. Itu artinya, dia adalah anak orang kaya.
Aku tertarik mendekatinya. Tapi kemudian urung, karena ternyata dia tidak datang sendirian. Ada perempuan cantik keturunan Arab yang mendampingi. Maya memanggil perempuan itu dengan sebutan Salma. Dan Salma selalu menempel mesra pada Tony. Hubungan mereka kuasumsikan sebagai pacaran.
Asumsiku itu ternyata benar. Bude Parmi sering menggoda Salma dengan memberi julukan, "Calon Pengantin." Berarti, mereka memang sedang menjalin hubungan serius hingga ke jenjang pernikahan.
Baiklah. Aku mundur teratur lagi. Ternyata Tony juga bukan jodohku.
"Kenapa sih, jodoh orang itu selalu cakep-cakep?" Aku bertanya kesal pada Ajeng yang sedang menciduk nasi dari dandang untuk diletakkan di piring.
"Ya belum tentu. Banyak juga kok suami orang yang jelek. Misalnya Ratna, temen kita SMA. Suaminya kan si Gino itu. Menurutmu Gino cakep?"
Aku mendengkus menanggapi pertanyaan Ajeng. "Nggak sih. Tapi maksudku, kenapa setiap aku ketemu orang ganteng selalu sudah ada yang punya?"
Ajeng tertawa menanggapi keluhanku. "Berarti dia bukan jodohmu. Siapa tau jodohmu itu malah lebih cuakep wajahnya. Ya to?"
Aku tersenyum masam. "Tak aminkan dulu, Jeng."
"Wis kono, buruan dianter sotonya ke para tamu. Tahlilannya sudah mau selesai itu lho."
Aku bergegas berdiri untuk mengambil nampan dan meletakkan empat piring soto di atasnya.
Pelan-pelan aku berjalan ke depan dan disambut oleh pemuda ganteng berambut cepak. Jantungku berdebar waktu Tony tersenyum dan bertanya, "Ini soto yang mau dibagikan ke para tamu?"
Aku mengangguk malu-malu sambil tersenyum. "Iya, Mas."
Dia segera mengambil piring dari nampan yang kubawa lalu mengulur-ngulurkannya pada para tamu. Waktu piring di nampan sudah habis, aku segera pergi ke dapur dan kembali ke ruang tamu dengan nampan yang sudah terisi penuh dengan piring-piring lagi. Tony mengulurkan piring-piring itu lagi pada para tamu yang belum kebagian. Begitu seterusnya, sampai semua tamu sudah mendapat sajian soto.
Aku kembali berlari ke dapur untuk mengambil dua piring soto untuk Tony dan Salma. Waktu aku mengulurkan piring kedua, dia menumpahkan kuah soto ke baju putihku.
"Sori, sori. Aku nggak sengaja. Panas, ya? Sakit, ya?" Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemeja untuk mengusap bekas kuah di bajuku.
Kebetulan cipratan kuah itu mengenai bagian dadaku. Aku canggung menerima usapan Tony. "Ma-- Mas, nggak usah. Biar aku aja."
Sadar bahwa yang diusap bagian sensitif dari tubuh perempuan, Tony semakin gugup. "So-- sori, ya. Aku nggak bermaksud kurang ajar. Nih, kamu usap sendiri." Dia memberikan sapu tangannya.
Aku menerima sapu tangan itu dengan pipi yang semakin panas. "Nggak apa-apa, Mas. Makasih."
Setelah kejadian canggung itu, aku kembali ke dapur. Sedangkan Tony kembali duduk di deretan para tamu.
Di dapur, aku duduk dekat Ajeng sambil senyum-senyum. Aku senang mendapatkan sapu tangan Tony. Kupandangi saputangan bekas kuah soto ini dengan perasaan berbunga-bunga.
*****
Seminggu setelah acara selamatan mas Jaka, Bapakku sakit keras.
Aku dan Ibu membawa Bapak ke rumah sakit untuk diperiksa, bahkan juga melakukan cek laboratorium. Lalu dokter memberi vonis kanker nasofaring akibat terlalu banyak merokok. Sejak saat itu, Bapak sering keluar masuk rumah sakit untuk melakukan kemoterapi. Meskipun sudah memakai BPJS, kami tetap mengeluarkan banyak biaya. Sebab obat yang diminum rutin oleh Bapak ada yang tidak di-cover BPJS. Belum lagi biaya akomodasi untuk berobat. Selain itu, Bapak juga harus menjalani operasi untuk mengambil jaringan kanker dalam lehernya.
Kami sudah habis-habisan mengobati Bapak. Biaya yang dibutuhkan semakin banyak, tapi harta yang kami miliki semakin menipis. Hasil panen pun banyak yang gagal. Gaji Bapak sebagai kepala desa tidak mencukupi. Hutang kami juga semakin menumpuk. Bahkan kuliahku terpaksa cuti dan ibu sudah menjual semua sapi milik kami untuk menutup hutang. Tapi semua itu tetap saja belum mampu mencukupi kebutuhan kami.
Bapak memutuskan untuk menjual tanah di Selopanggung dekat kandang kuda. Kami sudah menawarkan tanah itu kemana-mana, tapi tidak ada yang mau membeli. Kata Ibu, tanah itu dijual 300 juta saja tidak apa-apa, asalkan laku. Padahal harga aslinya bisa mencapai 500 juta. Karena tanahnya seluas dua hektar di pinggir jalan raya.
"Seandainya tanah itu terjual. Kita nggak harus jatuh miskin. Operasi kedua Bapakmu bisa dilakukan. Dan kamu bisa kuliah lagi."
Mendengar harapan Ibu, aku --yang masih sering bolak-balik Kediri-Surabaya untuk memperjuangkan kuliahku-- berinisiatif menemui Tony di Coyote Club miliknya.
Aku tahu tempat apa itu. Aku sering melihat di film dan membaca buku novel. Klub malam adalah tempat orang-orang melampiaskan penat dengan cara berjoget dan minum minuman keras. Aku juga tahu kalau Maya pernah jadi DJ di klub Tony. Aku tahu itu dari gunjingan warga desa.
Dengan tekad kuat, aku terpaksa melepas jilbab. Tidak mungkin kan aku ke klub degan memakai jilbab? Bisa-bisa baru sampai pintu masuk aku sudah diusir oleh petugas keamanan.
Aku memberanikan diri memakai kaus super ketat dan rok sepaha yang kupinjam dari teman non Muslimku. Aku juga berdandan ala selebgram yang super glowing. Lalu dengan jantung berdebar aku berangkat naik taksi online menuju Coyote Club.
Sesampainya di sana, aku mengembuskan napas lega sebab petugas sekuriti tidak mengusirku. Lalu aku masuk lebih dalam dan refleks menutup telingaku rapat-rapat. Suara dentuman musik menggelegar sangat keras sampai dadaku rasanya bergemuruh dan gendang telingaku bergetar. Baru sekali ini aku masuk klub malam. Dan aku sangat terkejut mendengar musik berdentum sekeras ini.
Tidak hanya itu, di dalam ruangannya juga gelap gulita. Pencahayaan hanya berasal dari lampu disko warna-warni yang berputar-putar sesuai hentakan musik. Kepalaku jadi pusing. Aku kesulitan menemukan Tony di antara lautan manusia yang terus bergerak tak pernah diam.
Aku berjalan kesana-kemari sambil membawa amplop cokelat berisi sertifikat tanah, tapi wajah pemuda yang kukenal tidak kutemukan di manapun. Tubuhku tertabrak dan terpental oleh desakan manusia-manusia berbau alkohol.
Aku kelelahan lalu memutuskan untuk menepikan diri di meja panjang yang berisi sejumlah minuman keras. Aku mengenalnya sebagai bartender karena pernah melihatnya di film-film.
Seorang bartender datang dan berteriak, "Mau minum apa, Kak?!"
Aku mengibaskan tangan untuk menolak tawarannya, lalu ganti berteriak, "Aku mau ketemu Tony! Di mana dia?!"
Bartender itu mengernyitkan dahi lalu menatapku dari ujung rambut sampai ujung kepala seperti sedang menyelidiki identitasku. Kemudian jari telunjuknya mengarah pada ruangan di seberang lautan manusia. "Kamar VIP!"
Aku mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan di dada sebagai tanda terimakasih. Aku lelah berteriak.
Kuseret langkahku menerobos lautan manusia lagi. Lima detik kemudian aku berhasil mencapai kamar VIP. Ketika pintunya kuketuk, seorang pria tegap berkepala botak membukakan pintu, dan bertanya, "Siapa?"
"Aku mencari Tony! Ada di dalam?!" Aku berteriak lagi karena takut suaraku tenggelam dalam bisingnya musik.
"Kamu siapa?" Anehnya, pria ini tidak perlu berteriak untuk bisa kudengar suaranya.
"Aku Ningsih! Anak kepala desa Kanyoran!" Ah, sial. Mana kenal Tony padaku? Aku mengibaskan tangan untuk meralat jawabanku. "Bilang padanya, aku teman Maya! Ada yang harus kubicarakan soal Maya, penting!"
Aku terpaksa memakai nama Maya agar Tony mau menemuiku.
"Tunggu sebentar." Pria tegap itu menutup pintu, meninggalkanku diantara dentuman musik yang memekakkan telinga.
Beberapa detik kemudian pintu kembali dibuka, dan pria tegap itu mempersilakan aku masuk.
Aku senang, usahaku menemui Tony sudah berhasil, tapi belum seutuhnya lega karena tujuanku menemuinya belum tentu berhasil.
Di dalam kamar VIP, Tony sedang duduk bersama pria bule perlente yang dulu pernah kulihat di pemakaman mas Jaka. Tampaknya mereka sangat akrab. Karena sudah dua kali ini aku melihat mereka bersama.
"Lho, kamu?" Tony menunjukku. Aku baru tahu bahwa ruangan VIP ini kedap suara. Tony tidak perlu berteriak untuk berbicara padaku.
Aku mengangguk lalu tersenyum. "Iya, Mas. Ini aku, Ningsih, tetangganya Mbak Maya." Demi bisa menjual tanah, aku terpaksa memanggil Maya dengan sebutan Mbak.
"Ada perlu apa? Maya kenapa?" Tony yang semula merebahkan punggungnya ke sofa, kini duduk tegak dengan wajah cemas.
Aku mengibaskan tangan agar dia tidak perlu cemas. "Ng-- nggak ada apa-apa kok, Mas. Mbak Maya baik-baik saja. Tapi, ada yang perlu aku omongkan sama Mas. Keberatan nggak kalau kita cuma ngobrol berdua saja?" Aku bertanya sambil melirik bule di sebelah Tony.
Tadinya kupikir bule itu tidak paham dengan ucapanku, ternyata dia mengangkat kedua tangan dan berkata, "Oke, Ton. Kamu ngobrol dulu sama dia. Kayaknya penting. Nanti kalau kalian sudah selesai, hubungi aku lagi."
Aku terperangah mendengar bule itu fasih berbahasa Indonesia. Bahkan logatnya tidak terdengar aneh, sangat alami. Seperti sudah sejak lahir tinggal di Indonesia.
"Sori, Bro. Aku nggak berniat mengusirmu." Tony membalas dengan wajah sungkan.
"It's OK." Bule itu mengacungkan jempol lalu berdiri dari sofa. Ketika berjalan melewatiku, aku mengucapkan, "Maaf, sudah mengganggu."
Bule itu tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa. Silakan teruskan kepentinganmu." Sopan sekali dia.
Kini, tinggal aku dan Tony berada di dalam kamar VIP. Bahkan, pria tegap yang tadi membukakan pintu untukku juga ikut keluar bersama bule itu.
"Ada perlu apa ... maaf, siapa tadi namamu?" Tony bertanya dengan nada suara sopan.
"Ningsih. Panggil saja Ning kalau kepanjangan. " Aku memberitahu sambil tersenyum.
"Ada perlu apa, Ning?" Sadar bahwa aku masih berdiri, dia menggeser tubuh lebih jauh untuk memberiku ruang. "Silakan duduk."
Malu-malu aku duduk di hadapannya. Sofa ini berbentuk L, sesuai sudut ruangan. Itu sebabnya posisi kami sekarang sedang berhadapan. "Sebelumnya maaf kalau aku memakai nama Mbak Maya untuk menemuimu. Soalnya, kalau nggak pakai nama Mbak Maya, aku nggak yakin kamu mau menemuiku."
Tony tertawa mendengar pengakuanku. "Nggak apa-apa. Seingatku, kamu pakai jilbab, kan? Atau kamu cuma berjilbab waktu menghadiri acara keagamaan seperti acara selamatan almarhum Jaka dulu?"
Aku menggelengkan kepala untuk menyanggah tebakannya. "Sehari-hari aku juga pakai jilbab kok, tapi demi bisa menemuimu di sini, aku terpaksa melepas jilbab."
Senyuman Tony memudar. Bahkan bibirnya bergerak pelan menyebut kalimat istighfar. "Masalah penting apa yang membuatmu melepas jilbab demi bisa menemuiku di sini?"
Aku meremas amplop coklat yang sedari tadi kubawa mondar-mandir dalam klub ini. Kusodorkan amplop itu pada Tony. "Aku ingin minta tolong padamu. Amplop ini berisi sertifikat tanah milik keluargaku. Tolong, beli tanah itu."
Tony terkejut mendengar permintaanku. Tapi dia tetap menerima amplop itu dari tanganku, lalu membaca isinya secara lisan. "Luasnya sekitar dua hektar. Lokasi di Selopanggung." Matanya bergerak-gerak membaca isi sertifikat tanah.
"Dekat kandang kuda. Di pinggir jalan. Sangat strategis untuk lokasi bisnis seperti cafe, rumah makan, atau apa saja." Aku menambahkan informasi.
"Berapa?" Tony bertanya tanpa basa-basi.
"Sebenarnya, harga aslinya 500 juta, tapi karena aku sedang butuh uang untuk biaya pengobatan Bapak, kujual 300 juta." Aku menjawab secara jujur tanpa ada yang ditutupi.
Tony menutup sertifikat tanah dan mengembalikannya padaku. Kupikir dia akan menolak tawaranku, tapi ternyata dia mengangguk. "Sabtu ini aku ke Kediri. Tunjukkan lokasi tanahnya padaku."
Aku hampir bersorak mendengar ucapannya. "Benarkah? Kamu akan membeli tanahku?"
Tony mengangkat satu tangan untuk menahan euforiaku. "Jangan senang dulu. Aku perlu melihat lokasi dan keadaan tanahnya sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak."
Aku menganggukkan kepala berulang kali. "Iya. Aku paham. Tapi kujamin, kamu pasti akan menyukai tanahnya."
Tony tersenyum dengan wajah sangat tampan. "Oke. Kalau begitu sampai bertemu hari Sabtu."
Masih dengan antusias aku bertanya, "Sabtu ini, kan?"
Tony mengangguk. "Iya, Sabtu ini."
Refleks aku meraih tangannya untuk kucium penuh takzim. "Makasih, Mas. Makasih banyak."
Tony sempat membeku dengan wajah kaku.
"Kalau gitu aku permisi dulu. Assalamu'alaikum."
Tony membalas. "Wa'alaikumsalam. Ning, tunggu!" Tapi kemudian dia memanggilku sebelum aku sempat menjangkau pintu.
"Ya?" Aku menoleh dengan senyuman yang masih terukir di bibir.
"Jangan lupa pakai jilbab waktu kita bertemu nanti."
Hatiku terenyuh mendengar pesannya. Tidak hanya ganteng, tajir, dan sopan, Tony ternyata juga sangat baik hati. Dia memedulikan auratku.
"InsyaaAllah." Aku menjawab lalu melanjutkan langkah keluar dari kamar VIP.
Setelah menutup pintu aku bersorak, "Yes!"
TBC.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
