
Pilu ini, ternyata bukan miliknya sendiri.
Hana akhirnya ke rumah sakit sendirian. Untungnya hari ini nyeri itu tidak datang, jadi Hana bisa menyetir sendiri ke rumah sakit. Meski sudah hari ke sebelas, ia masih saja haid. Hana yakin ada yang tidak beres dengan tubuhnya.
Tiba di rumah sakit, Hana langsung mendaftar ke poli kandungan. Setelah mendapat nomor antrean, Hana diminta menunggu lagi. Selang berapa lama seorang perawat memanggil nama Hana, memeriksa tekanan darah dan menanyakan beberapa hal tentang keluhan yang dirasakan Hana.
"Ibu sudah coba testpack?" tanya perawat ramah.
Deg!
Perasaan Hana langsung tidak enak. Ia menggeleng. "Tapi saya kan haid, Sus," jawabnya dan berusaha berpikir bahwa pertanyaan perawat itu lah yang aneh. Tidak masuk akal orang yang haid disuruh testpack. Kalau hamil, sudah pasti Hana tidak haid. Lagipula bulan ini memang sudah tanggalnya Hana haid.
Perawat itu tersenyum, kemudian menuliskan sesuatu pada rekam medis milik Hana. "Baik, Bu."
"Ee... Sus, apa mungkin sa-saya... ke-guguran?" tanya Hana gugup. Kenapa ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya?
Hana makin gugup. Perasaannya sungguh makin tak karu-karuan. Apa mungkin ia hamil? Tapi bulan lalu ia masih haid. Ia juga jarang berhubungan dengan Aris. Namun tak menutup kemungkinan karena Hana juga tidak KB. Bagaimana bila ia benar hamil dan keguguran? Hana meremas perutnya yang tiba-tiba terasa melilit.
"Tunggu diperiksa dokter dulu ya, Bu," jawaban sang perawat hanya membuat Hana mengangguk pasrah.
Benar. Belum tentu. Mungkin saja hanya gangguan haid. Mudah-mudahan saja begitu. Hana terus merapal doa.
Hana kembali duduk di ruang tunggu. Di poliklinik eksklusif sebuah rumah sakit swasta ternama di kotanya itu sebenarnya cukup nyaman. Namun entah mengapa perasaan Hana menjadi tidak nyaman setelah pemeriksaan itu.
Hana mencoba menelepon Aris. Setelah satu kali panggilan diabaikan, satu kali ditolak, baru panggilan ketiga diangkat oleh Aris.
"Apa sih, Han? Aku lagi sibuk," jawab Aris sebelum Hana sempat mengeluarkan kalimatnya.
"Aku lagi di rumah sakit, Yang."
"Oh, Jadi ke rumah sakit." Suara Aris mulai melembut.
"Heem. Yang... kamu bisa nggak hari ini cuti setengah hari?"
Aris menghela napas di seberang sana. "Kenapa lagi, sih? Kamu udah ketemu dokternya? Dokter bilang apa?"
"Belum sih. Tapi... perasaan aku nggak enak," cicit Hana.
"Aduh apa sih, Han. Nggak penting banget. Ketemu dulu aja sama dokternya, tanya penyakitnya apa? Minta obat, bayar, pulang. Udah nggak usah aneh-aneh. Aku mau ada rapat penting, jangan ganggu."
"Tapi nanti kalau aku kenapa-napa gimana?" Hana mulai merengek. Ia benar-benar takut bila keguguran.
"Aku mau ada rapat penting, Han. Apa aku harus batalin rapat dan nemuin kamu di sana yang cuma nggak enak perasaannya?"
Hana melengkungkan bibirnya ke bawah. Rasanya tak enak hati. Benar, Aris bekerja juga untuk dirinnya. Kenapa harus menganggu pekerjaan Aris padahal dugaannya belum tentu terbukti.
"Nggak usah. Kamu rapat aja."
"Yaudah. Aku lanjut, ya."
Klik. Aris memutuskan pembicaraan mereka membuat Hana makin nelangsa.
Hana menghela napas. Demi membunuh waktu, Hana memilih untuk ke kafe dalam rumah sakit. Tadi perawat bilang dokter masih ada tindakan jadi baru bisa ke poliklinik satu jam lagi. Satu jam terlalu lama untuk Hana yang sedang overthinking.
***
Sambil menyesap ice chocolatenya, Hana kembali membuka sosial media. Tadinya ia ingin mengintip status Mayla yang sedang liburan ke Labuan Bajo. Sahabatnya itu pasti tidak menyiakan kesempatan untuk pamer liburannya di sosial media. Dugaan Hana benar, Mayla mengunggah beberapa foto liburannya. Gadis itu terlihat bahagia, Hana jadi ketularan bahagia dan melupakan sejenak kesedihannya. Ia juga melihat status Eliz yang tengah menemani suaminya kerja ke luar kota. Lalu status Nadine yang lagi-lagi sedang menautkan tangannya dengan tangan lelaki. Tampak mereka berada di sebuah café. Nadine membubuhkan caption.
'Udah kangen lagi,'
"Hh, indahnya masa pacaran," gumam Hana. Ia juga merasakan keindahan itu waktu pacaran dengan Aris, namun semua berubah setelah mereka menikah. Kini Aris begitu dingin dan cuek.
"Tapi apa pacar Nadien pengusaha, ya? Jam segini udah bisa pacaran," gumam Hana lagi kemudian memilih mematikan ponselnya. Ia malas lama-lama membuka sosial media.
Melihat jam tangannya, Hana rasa ini sudah waktunya dokter mulai praktik. Hana gegas meninggalkan kafe dan menuju poliklinik yang berada di lantai dua.
Saat keluar dari kafe, Hana justru berpapasan dengan Rima dan Yusuf. Orang tua Nadine.
Sebagai tetangga dan teman anaknya, Hana berinisiatif menyapa mereka lebih dulu.
"Lho? Ngapain di sini, Han?" Tanya Rima ramah.
"Periksa aja, Bu. Ibu ke sini periksa juga?" tanya Hana teringat dengan cerita Nadine tentang ibunya yang kena Syaraf kejepit.
"Enggak. Ini nganter Bapak medical check up. Syukur hasilnya bagus," jawab Rima.
Hana tersenyum ke arah Yusuf, ayah sambung Nadine. "Alhamdulillah. Sehat-sehat terus Bapak dan Ibu."
Rima mengangguk, begitu juga Yusuf ikut mengaamiinkan doa Hana.
"Bu Rima gimana? Masih terapi? Atau sudah sembuh? Maaf ya, Bu, Hana belum sempat jenguk."
Rima mengerutkan dahi mendengar kalimat Hana.
"Eh? Terapi apa?"
"Lho? Katanya Ibu... syaraf kejepit?" tanya Hana hati-hati, khawatir ia salah ingat dengna informasi yang disampaikan Nadine.
Rima dan Yusuf saling pandang. Kemudian Rima tertawa kecil. "Ya ampun, itu kan udah setahun lalu, kamu masih inget aja, Han."
Giliran Hana yang melongo. Tahun lalu? Bukannya belum ada dua minggu yang lalu Nadine...
"Han, kami duluan, ya. Itu supir udah nunggu di depan," ucap Rima.
"Eh iya, Bu, Pak... hati-hati."
Rima dan Yusuf meninggalkan Hana yang masih memroses kalimat yang disampaikan Rima dan alasan yang dikemukakan Nadine dua minggu lalu itu.
***
Hamil di luar kandungan dan harus dilakukan prosedur operasi.
Hana langsung lemas setelah mendengar vonis dokter. Hana bahkan tidak focus dan tidak bisa memerhatikan dengan jelas segala prosedur yang disampaikan oleh perawat, hingga berkali-kali harus minta diulang. Tanpa menunggu Aris yang mendadak tidak bisa dihubungi, Hana memutuskan untuk setuju dilakukan operasi pada malam harinya.
Hana menunggu di ruang rawat inap sambil menangis. Rasanya menyesakkan sekali. Mengetahui bahwa selama ini ada jabang bayi yang sangat diharapkan justru tidak bisa diselamatkan. Dokter bahkan tidak tahu berapa usia janin Hana. Yang jelas janin itu tidak bisa berkembang karena tidak berada di rahim, tempat yang seharusnya. Buah cinta Hana dan Aris itu berada di saluran tuba falopi. Itu yang menyebabkan Hana merasakan kesakitan luar biasa dan mengalami pendarahan.
Hamdan dan Ani, orangtua Hana datang menemani Hana saat Aris tidak bisa dihubungi. Bahkan Hamdan lah yang akhirnya mengurus segala dokumen untuk keperluan operasi. Ani tidak berkata banyak, apalagi melihat Hana yang terlihat sangat sedih dan enggan didekati.
Hana memilih meringkuk di atas bed pasien. Tidak berbicara maupun menyapa. Hana hanya sesekali mengangguk saat perawat meminta izin untuk melakukan tindakan. Sembari menahan rasa nyeri di perutnya yang ternyata tak ada apa-apanya dibanding nyeri di hatinya.
Dwi dan Titik, mertua Hana ikut hadir di rumah sakit setelah mendengar kabar itu. Hanya Aris yang masih belum bisa dihubungi, bahkan sampai Hana masuk ruang operasi.
"Yang sabar ya, Mbak. Mudah-mudahan diberi ganti yang lebih baik." begitu kata salah seorang perawat di ruang operasi sebelum operasi berlangsung. Hana mengaamiinkan sepenuh hati sembari tersenyum tipis. Selanjutnya prosedur operasi dilakukan. Hana dibius lokal, hanya bagian perut ke bawah saja. Hana masih sadar saat operasi berlangsung, mendengar percakapan dokter dan perawat di sana juga tahu saat tangannya menggigil karena suhu ruang operasi yang begitu dingin.
Pikiran Hana terasa begitu kosong, hingga tiba di ruang observasi, yang Hana rasakan hanya dingin dan kosong. Wanita itu memejamkan matanya. Apa kabar Aris? Apa lelaki itu tahu bahwa Hana harus merasakan semua ini sendirian? Bahkan kini Hana sudah tidak sempurna lagi, satu tuba falopi dan ovariumnya harus diangkat. Kini Hana hanya seorang wanita yang punya satu ovarium. Meski kata dokter Hana masih tetap bisa hamil, tapi rasanya Hana sudah tidak sempurna lagi sebagai wanita. Hana merasakan pukulan terbesar dalam hidupnya saat ini. Sayangnya, suami yang diharap menjadi belahan jiwanya justru tidak mendampinginya di saat-saat terpuruknya.
***
Kesal mungkin tidak cukup untuk mewakilkan perasaan Hana saat melihat Aris ketika ia dipindahkan ke ruang perawatan. Lelaki itu pun hanya diam tampak salah tingkah dan tidak tahu harus berbicara apa di depan Hana. Sampai orangtua dan mertua Hana pergi, Hana masih enggan berbicara dengan Aris. Begitu pula sebaliknya.
Aris merasa bersalah sekaligus iba pada Hana, tapi ia juga takut jika mengeluarkan kalimat, bisa jadi salah dan justru memperkeruh suasana. Apalagi saat melihat Hana juga enggan mengeluarkan suaranya pada Aris. Lelaki itu hanya diam sembari melakukan instruksi dari perawat untuk membantu Hana dalam pemulihan pasca operasi.
Meski tetap menunggui Hana dan membantu sang istri dalam beberapa hal, namun mereka masih perang dingin. Tidak ada yang membahas sama sekali kejadian kali ini. Hana sudah tidak bisa marah, apalagi Aris kembali perhatian saat dirinya sedang tak berdaya seperti ini.
Aris bahkan membantunya buang hajat dan mandi. Mata Hana berkaca-kaca saat melihat ketelatenan Aris dalam mengurusnya. Di dalam kamar mandi ruangan itu tangis Hana akhirnya pecah, setelah beberapa hari ia tahan sendiri.
Aris memeluknya hangat. Pria itu pun merasakan sesak yang sama.
"Maaf, Han," gumam Aris sembari mengelus tubuh telanjang sang istri yang baru saja ia keringkan dengan handuk.
Hana makin tergugu dan mengeratkan pelukannya. Pilu ini, ternyata bukan miliknya sendiri.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
