Aku, Kamu, dan Air

0
0
Deskripsi

“Terima kasih, ya,” bisiknya pelan. “Karena hari ini kamu bikin aku merasa… pantas.”

Engfa menatapnya. Lurus. Penuh ketulusan yang tidak pernah ia berikan sembarangan.

“Kamu memang pantas, Char.”

 

Sebelum berpisah, Charlotte menarik Engfa ke dalam pelukan yang lama. Tidak tergesa, tidak canggung. Hanya pelukan yang ingin menyampaikan satu hal sederhana: aku di sini, dan aku ingin tetap di sini.

Langit Bangkok sore itu tampak seperti lukisan. Birunya lembut, disapu perlahan oleh cahaya jingga dari matahari yang mulai condong ke barat. Gedung-gedung tinggi masih memantulkan bayangan kesibukan kota, tetapi di dalam ruang ganti studio, tempat mereka menyelesaikan syuting terakhir.

Lebih tenang. Lebih senyap. Seolah waktu sengaja melambat, memberi ruang bagi sesuatu yang tak terucap. Bukan sekadar perpisahan dari sebuah proyek, melainkan sesuatu yang lebih personal. Lebih dalam.

Engfa duduk santai di bangku rias, mengenakan kemeja putih yang longgar dengan lengan digulung hingga siku. Rambutnya dibiarkan terurai seadanya, menciptakan kesan kasual yang tetap memikat. Di tangannya, ada bungkus keripik rumput laut yang hampir kosong. Entah dari mana datangnya, tetapi sejak tadi mulutnya sibuk mengunyah. Wajahnya tampak lelah, namun matanya masih bersinar—pantulan dari rasa puas sekaligus haru setelah melewati proyek impian yang melelahkan jiwa dan raga.
 

 

Petrichor akhirnya rampung.

Dan itu berarti… waktunya untuk berpisah. Atau mungkin, justru awal dari sesuatu yang baru?

 

Langkah pelan terdengar dari arah belakang. Charlotte muncul dengan rambut yang sedikit acak-acakan, sisa dari adegan terakhir. Ia mengenakan hoodie abu-abu kebesaran, dipadukan dengan celana hitam longgar. Sederhana, tapi entah kenapa tetap terlihat cantik. Di tangannya, ada dua gelas kopi susu dingin. Ia berhenti tepat di belakang Engfa, lalu mengangkat satu gelas dan menyodorkannya ke arah bayangan Engfa di cermin.

 

“Untuk kamu,” katanya pelan. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu kamu nggak suka minuman yang terlalu manis.”

Engfa menoleh perlahan, menerima gelas itu dengan tatapan heran bercampur senyum kecil.

“Kamu ingat kalau aku suka oat milk?”

Charlotte duduk di kursi sebelahnya, wajahnya ikut menghadap cermin. Ia tersenyum tipis.

“Aku ingat lebih banyak dari yang kamu kira, P’Fa.”

Jantung Engfa berdetak lebih cepat. Charlotte belum pernah memanggilnya begitu sebelumnya.

“Kenapa manggil aku P’Fa?”

Charlotte mengangkat bahu ringan. “Karena aku ingin. Karena itu bikin kamu terasa… lebih dekat.”

Engfa menyipitkan mata, setengah menggoda.

“Dan lebih tua?”

Charlotte menggeleng, lalu tersenyum lembut. “Lebih berarti.”

Engfa tertawa pelan, lalu mengulurkan bungkus keripiknya.

“Charl, kamu yakin nggak mau satu? Rasanya kayak cinta yang gagal move on. Gurih, tapi nyesek.”

Charlotte menahan senyum, menggeleng pelan.

“Kamu tuh bisa ya, romantis tapi absurd.”

“Itu bakat lahir,” jawab Engfa cepat, matanya berbinar. “Aku tuh walking contradiction. Lucu tapi sensitif. Kuat tapi lemah… kalau kamu tiba-tiba senyum.”

Charlotte menoleh. Tatapan mereka bertemu di depan cermin.

Hening.

Lalu tawa kecil terdengar, ringan tapi penuh makna. Charlotte segera menunduk, pura-pura sibuk menghapus eyeliner yang sebenarnya sudah luntur sejak tadi. Diam di antara mereka justru terasa seperti pelukan sunyi. Mereka terlalu takut untuk berkata terlalu banyak, atau mungkin justru takut berkata terlalu sedikit.

Tiba-tiba, ponsel mereka bergetar hampir bersamaan. Seperti kebetulan yang terlalu tepat untuk disebut kebetulan. Mereka sama-sama membaca pesan yang masuk.

 

“Selamat! Kalian terpilih untuk proyek 4 ELEMENTS. Kalian adalah elemen AIR.”

 

Charlotte menoleh cepat.

“Kita satu elemen, P’Fa…”

Engfa menatap layar ponselnya, lalu Charlotte.

“Aku air, kamu air… cocok! Kita jadi tsunami cinta. Bisa bikin fandom tenggelam.”

Charlotte tertawa, lalu mendorong pelan pundak Engfa.

“Apaan sih…”

“Ya abis gimana dong? Aku seneng banget. Kita masih bisa bareng.”

Charlotte mengangguk. Tapi dalam diam, hatinya mulai gelisah.

Karena akhir-akhir ini, setiap momen bersama Engfa… mulai terasa terlalu nyata.

Dan rasa takutnya juga semakin nyata.

 

 

~

Mereka akhirnya melangkah keluar dari studio. Langkah-langkah yang ringan, tapi membawa beban emosi yang tak terucap. Tanpa rencana, tanpa agenda kerja, mereka naik ke mobil dan melaju menuju dermaga ICONSIAM.

Charlotte yang menyetir. Diam-diam fokus, tangan kirinya menggenggam setir dengan tenang, sementara tangan kanan sesekali menyesuaikan volume musik. Di sebelahnya, Engfa sibuk menjadi DJ dadakan. Ia memutar playlist galau berisi lagu-lagu Thai-pop lawas, bernyanyi tanpa malu sambil menjadikan botol air minumnya sebagai mikrofon.

Perjalanan itu bukan sekadar pelarian dari rutinitas. Dunia terasa terlalu sempit untuk menampung semua rasa yang mulai tumbuh, menyesaki ruang hati. Mereka butuh langit yang luas, air yang tenang, dan waktu yang tak diburu siapa pun.
 

Setibanya di parkiran basement, Charlotte memarkirkan mobil, mematikan mesin, lalu menatap Engfa. Perempuan di sebelahnya masih bernyanyi dengan semangat, seolah hidup hanya tentang lirik lagu dan kebebasan.

 

“P’Fa,” panggil Charlotte pelan.

“Hm?” sahut Engfa, masih memegang botol air seperti mikrofon.

“Kamu sadar nggak sih… akhir-akhir ini kita jadi aneh?”

Engfa langsung menghentikan musik. Ia menoleh dengan alis sedikit terangkat.

“Aneh gimana? Aku masih cantik, kamu masih cuek, dan semesta masih penuh drama,” jawabnya ringan, mencoba mencairkan suasana.

Namun Charlotte tidak tertawa. Tatapannya serius.

“Aku nggak ngerti,” katanya. “Kamu tuh kadang bikin aku pengen deket terus. Tapi di sisi lain….”

Charlotte menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. “Takut kamu bukan beneran suka aku. Takut aku cuma kebawa suasana. Takut semua ini cuma karena kita sering bareng.”
 

Engfa menatapnya dalam-dalam. Wajahnya serius, tapi tetap membawa kelembutan.

“Kamu tahu kan… aku udah suka sama kamu dari lama,” ucapnya pelan.

Charlotte terdiam. Kata-kata itu langsung mengetuk ruang paling dalam di dadanya.

“Bahkan sebelum kita syuting bareng,” lanjut Engfa. “Sebelum ada kamera, sebelum semua sorotan. Aku suka kamu dari cara kamu ngelihat orang, dari cara kamu diam tapi dalam. Dan dari caramu benerin rambut pake tangan kiri setiap kamu gugup.”

Charlotte nyaris tidak bisa bicara. Suaranya tercekat.

“Tapi kalau kamu merasa semua ini cuma ilusi dari kebersamaan di lokasi syuting… ya sudah,” kata Engfa, kali ini lebih lirih. “Aku juga bisa pura-pura biasa. Bisa, tapi capek.”
 

Charlotte menggigit bibir bawahnya. “P’Fa…”

“Kalo kamu belum siap, nggak apa-apa. Tapi jangan pura-pura nggak tahu,” lanjut Engfa tenang, meski matanya menyiratkan harap yang nyaris putus.

Charlotte akhirnya membuka suara. “Aku nggak pura-pura. Aku cuma bingung. Aku tuh nggak kayak kamu yang bisa ngomong semua perasaan dengan santai.”

Engfa mendekat sedikit. Wajahnya kini hanya beberapa inci dari wajah Charlotte.

“Aku juga nggak santai, Charl.”

 

Charlotte kembali terdiam. Ia ingin menjawab, tapi suaranya hilang entah ke mana. Matanya hanya menatap Engfa. Dalam. Lama. Menyakitkan.

Dan dalam keheningan yang terasa panjang itu, Charlotte akhirnya berkata,

“P’Fa…”

Ia menunduk, lalu melanjutkan dengan suara nyaris berbisik, “Maaf aku belum bisa bilang aku juga suka kamu…”
 

Engfa hanya mengangguk. Kali ini tidak ada canda. Tidak ada tawa.

“Hm. Oke.”

Tapi beberapa detik kemudian, senyumnya muncul lagi. Jahil, tapi hangat.

“Walaupun kamu belum bisa bilang, aku udah anggap kamu crush official-ku sejak 2019. Jadi kamu udah kalah start jauh.”

Charlotte tertawa kecil. Ringan, tapi tulus. “Kamu gila.”

“Gila cinta,” sahut Engfa cepat.

Dan seperti itu, ketegangan perlahan mencair. Seperti langit yang kembali cerah setelah hujan reda, meski awan belum sepenuhnya pergi.
 

 

~

Sore itu perlahan berubah menjadi malam. Langit Bangkok membentang kelabu keunguan, dengan sisa cahaya matahari yang mengintip malu di balik gedung-gedung tinggi. Mereka berjalan beriringan di tepi sungai dekat ICONSIAM. Angin malam berembus lembut, membawa aroma khas air sungai yang bercampur wangi parfum Charlotte. Aroma itu ringan, namun menetap—seperti kenangan yang tidak ingin pergi.

Suasana begitu tenang. Tak banyak orang. Hanya ada dentingan pelan kapal kecil yang melintasi air, suara lampu-lampu yang perlahan menyala, dan langkah kaki mereka yang serempak tanpa disengaja.

Tanpa banyak kata, Charlotte menggenggam tangan Engfa.

 

“Menurutmu… kita ini seperti air, bukan?” tanya Charlotte, suaranya nyaris tenggelam dalam semilir angin.

Engfa memandangi sungai di depan mereka. Senyumnya tipis.

“Kita seperti sungai dan laut,” jawabnya tenang. “Selalu ingin bertemu. Tapi kadang ada daratan yang memisahkan. Tapi saat akhirnya bertemu, mereka menyatu, tidak bisa dipisahkan.”
 

Charlotte tersenyum kecil. Tapi matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar senang—ada gugup, ada harap, ada sesuatu yang nyaris bocor dari kendali.

“P’Fa… kamu mau tahu satu hal?”

Engfa menoleh pelan. “Apa?”

Charlotte mendekat. Lebih dekat dari biasanya.

“Kamu itu selalu menenangkan aku,” ucapnya lirih. “Tapi kamu mungkin akan menjadi seperti air yang terus mengalir tanpa bisa aku tahan.”
 

Engfa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Charlotte—dalam, lembut, dan penuh pengertian.

“Charlotte…”

Charlotte tidak membiarkan jeda terlalu lama. Ia maju satu langkah, menatap mata Engfa dengan keyakinan yang baru saja ia temukan dalam dirinya.
 

“Boleh aku cium kamu?”

 

Engfa tidak menjawab dengan kata-kata. Tapi sorot matanya cukup sebagai jawaban. Tenang, tapi membuka ruang.

Ciuman itu akhirnya terjadi. Bukan karena tuntutan peran atau skenario. Tapi karena keinginan yang tumbuh diam-diam dan menolak untuk terus disimpan. Seperti lanjutan dari angin malam, ciuman itu lembut, dalam, dan tidak terburu-buru. Tak perlu disembunyikan. Di bawah cahaya kota yang pantul di permukaan air, mereka berhenti berpura-pura.

 

Setelah momen itu, mereka duduk di bangku taman kecil yang menghadap sungai. Suasana sunyi, tapi terasa penuh.

Charlotte menyandarkan kepalanya di bahu Engfa.

“Kamu capek?” tanyanya pelan.

“Sedikit,” jawab Engfa. “Tapi aku nggak mau pulang dulu.”
 

Charlotte langsung menoleh. Matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan jawaban benar di soal ujian sulit.

“Menginap di tempatku?” tanyanya cepat, nyaris spontan.

Engfa tertawa. Suara tawanya ringan, seperti tisu yang terbang tertiup angin.

“Nanti. Aku masih ingin duduk di sini sebentar,” katanya.

“P’Fa…”

“Hm?”

“Kalau proyek ini dan the Water selesai… kamu janji nggak asing?”

Engfa mengangguk. Perlahan, tapi pasti.

Charlotte tersenyum. Sebuah senyum kecil yang menenangkan.

“Kalau kamu air… aku mau jadi lautnya.”

Engfa menoleh padanya. Ada rasa yang bergelombang di balik sorot matanya.

“Kalau begitu… jangan pernah kering.”

Malam terus merayap. Waktu bergerak pelan, seolah ikut menikmati kebersamaan mereka. Akhirnya mereka berdiri, bersiap untuk kembali.

Namun Charlotte masih menggenggam tangan Engfa. erat, seakan takut kehilangan lagi setelah akhirnya berani mengakui perasaannya.

“Terima kasih, ya,” bisiknya pelan. “Karena hari ini kamu bikin aku merasa… pantas.”

Engfa menatapnya. Lurus. Penuh ketulusan yang tidak pernah ia berikan sembarangan.

“Kamu memang pantas, Char.”

Sebelum berpisah, Charlotte menarik Engfa ke dalam pelukan yang lama. Tidak tergesa, tidak canggung. Hanya pelukan yang ingin menyampaikan satu hal sederhana: aku di sini, dan aku ingin tetap di sini.

“Selamat malam, P’Fa.”

“Selamat malam, Charlotte.”

 

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidak peduli dengan hari esok. Karena dalam keheningan yang tersisa, mereka mulai berjalan ke arah yang sama.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Denting yang Tak Pernah Padam
0
0
“Besok ketemu Charlotte…” gumam Engfa, lirih. Hampir seperti doa yang ia bisikkan hanya untuk dirinya sendiri.Ada kegugupan yang asing dalam dadanya. Bukan sekadar karena akan tampil di hadapan kru atau kamera. Tapi karena ia harus berdiri di depan seseorang yang telah mengubah poros hidupnya, tanpa tahu harus bersikap seperti apa. Haruskah ia pura-pura lupa dengan malam itu?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan