
Namaku Clara Andini Rahmadi. Aku seorang wanita yang memiliki segalanya—kecantikan, kekayaan, dan jabatan CEO di usia muda. Segala sesuatu yang kuinginkan selalu berhasil kudapatkan. Jadi, apa salahnya jika aku menginginkan Bima, suami dari asisten rumah tanggaku yang tampan?
Kenapa tidak? Selama ini aku sudah menikmati hobi rahasiaku dengan aman, diam-diam merebut pacar teman-temanku dengan kelebihan yang kumiliki. Bukan karena cinta, tapi semata-mata untuk kemudian kutinggalkan saat mereka sudah...
“Aku gak ngerti kenapa Danu tiba-tiba mutusin aku, Clara. Padahal kami bentar lagi mau nikah. Aku gak tau apa salahku...” curhat Lina, sahabat sekaligus sekretarisku di kantor. Sudah dua jam dia terus saja menangis pilu sembari bergelayut di lenganku. Mungkin saking sedihnya diputuskan sepihak oleh calon suaminya.
“Udahlah, Lin. Cowok kayak Danu itu gak usah ditangisi lagi, artinya dia gak baik buat kamu. Lupain dia dan cari cowok lain deh. Tenang aja, dunia gak seluas daun kelor kok,” pungkasku enteng.
“Tapi ini udah ketiga kalinya aku gagal nikah, gimana bisa tenang aja? Aku udah terlanjur percaya dan cinta sama Danu. Tapi kok dia gampang banget mutusin aku gitu aja?”
“Sebenarnya simpel sih, Lin. Jawabannya ya... karena kalian memang gak jodoh.”
Tangis Lina malah makin kencang mendengar omonganku. Kubiarkan saja dia melampiaskan tangis. Rasanya mulai jenuh dengan curhatannya. Tangis perempuan itu malah menjadi-jadi.
Tak lama kemudian, ponselku berdenting lirih, ada pesan masuk dari seseorang yang kutunggu sejak tadi.
Clara, aku sudah mutusin Lina. Kita bisa jalan bareng kan mulai sekarang?
Bibirku menyunggingkan senyum tipis. Rasanya begitu puas bisa merebut Danu, tunangan Lina. Andai Lina tahu akulah yang jadi penyebab Danu meninggalkannya, termasuk dua tunangan Lina sebelumnya, entah apa tanggapannya. Tapi aku tak peduli. Ada kepuasan tersendiri bisa merebut pacar-pacar Lina selama ini. Aku bisa membuktikan diriku lebih memesona dan lebih segalanya dari sahabatku itu.
Saat sedang menikmati kepuasan merebut tunangan Lina, mendadak pintu ruanganku terbuka lebar, spontan aku langsung terkejut melihat siapa yang datang. “Oh, jadi gini kelakuan CEO Rahmadi Group? Jangan-jangan kamu itu beneran menyimpang ya, Clara? Pantesan jadi perawan tua. Lesbong ternyata,” ejek Vira, saudara sepupuku.
Spontan kulepas lengan Lina yang masih bergelayut di lenganku. Apalagi Vira datang bersama nenekku, Oma Fatimah.
“Jaga mulut kamu, Vira! Jangan asal tuduh, kami cuma ngobrol biasa. Lina lagi curhat aja kok.” Aku jadi lepas kontrol dan emosi mendengar tudingan Vira.
“Clara, mataku masih normal dan bisa melihat kalian tadi ngapain. Gak mungkin kan gak ada apa-apa di antara kalian? Seorang CEO dan sekretarisnya sedang ada affair. Oh No. Oma lihat kan kelakuan cucu kesayangan Oma ini?” Vira terus memprovokasi Oma yang sejak tadi hanya menatapku tajam.
“Gak usah sok kayak abis nangkap maling deh, Vira. Kalau kamu iri karena aku yang diangkat Oma jadi CEO, gak usah menjatuhkanku dengan cara licik seperti ini.”
Vira tertawa dan menjentik daguku. Kutepis tangan usilnya itu.
“Hei, kalem dong. Aku lihat sendiri kok gimana sekretarismu ini manja banget dan nempelin kamu terus, jijik banget tau.”
Aku cemas mendengar tudingan Vira. Apalagi kulihat Oma terus menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Bisa-bisa jabatanku sebagai CEO di perusahaan Oma bakal dicabut dan digantikan Vira. Dasar licik sepupuku ini. Dia selalu berusaha menjegalku dari dulu dengan segala cara.
“Sudah...sudah. Kalian gak usah berantem terus. Jelaskan sama Oma, Clara. Apa ini semua benar?”
“Kami gak ada apa-apa, Oma. Lina memang begitu karakternya dari dulu sejak kami masih kuliah. Manja dan rada kolokan, apalagi kalau lagi mode curhat gitu,” pungkasku sembari memberi kode ke Lina agar segera pergi dari ruanganku.
“Maaf, Bu Fatimah. Saya pamit dulu, mau beresin kerjaan.” Tanpa menunggu persetujuan Oma, Lina langsung angkat kaki meninggalkan ruang kerjaku.
Oma masih menatapku seakan masih tak percaya dengan pembelaanku tadi.
“Clara, apa ini yang jadi alasan kamu masih melajang sampai usia kepala tiga begini?”
“Oma... Clara masih normal kok, nggak belok seperti tuduhan Vira. Clara kan udah bilang belum siap nikah. Nanti-nanti aja deh nikahnya. Toh tanpa menikah pun Clara sudah punya segalanya.”
“Nggak. Kamu belum punya segalanya. Oma minta cucu menantu sama kalian berdua. Dalam bulan ini juga, Oma akan lihat siapa di antara kalian yang duluan membawa calon cucu menantu ke hadapan Oma, dialah yang akan Oma serahi perusahaan ini.”
“Ta-tapi bukannya Oma sudah mengangkat Clara jadi CEO, Oma?" Aku mulai merasa tak aman dengan ancaman Oma yang sepertinya serius.
“Ya, memang benar. Tapi perusahaan ini masih jadi milik Oma. Jabatan kamu masih bisa Oma serahkan sama Vira kalau dia menikah duluan.”
Otakku mendadak beku rasanya. Permintaan Oma adalah suatu hal yang nyaris mustahil kulakukan. Menikah adalah poin penting yang tidak akan ada dalam kamus seorang Clara Andini Rahmadi. Meski aku sering merebut diam-diam pacar Lina, Rina, Tari dan teman-temanku yang lain, tapi bukan berarti aku ingin menikah dengan mereka. Bagiku, ini hanya hobi rahasia, sekaligus sebagai pembuktian kalau aku bisa menaklukkan semua laki-laki di dunia ini dengan segala kelebihan yang kupunyai. Tak ada sedikitpun niat untuk menikahi salah satu dari laki-laki itu. Karena mereka memang tak layak dijadikan pasangan hidup, para lelaki itu menyukaiku hanya karena harta, jabatan dan kecantikan yang kumiliki.
Karena sudah tak mood bekerja lagi, meski hari masih siang, kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan beban pikiran yang luar biasa beratnya. Percuma untuk terus melanjutkan pekerjaan bila pikiran sudah kusut begini. Entah di mana harus menemukan calon suami seperti yang diinginkan Oma, tapi sekaligus bisa kukendalikan dengan mudah sebagai bonekaku, tentu saja lelaki itu tak boleh menguasai harta kekayaanku. Aku tak mau Vira sampai berhasil merebut jabatan yang mati-matian kuperjuangkan sejak dulu.
“Mbaaakkk! Mbak Ratih!” Teriakku memanggil pembantuku saat baru saja masuk rumah.
Kuhempas tubuh lelahku di atas sofa empuk di ruang tamu yang begitu lengang.
“Mbak Ratih, tolong buatin jus jeruk!"
Tapi tak ada sahutan dari pembantuku yang sudah dua tahun setia menemaniku di rumah besar ini. Mama dan papa sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. Aku sebatang kara karena tak punya saudara kandung. Hanya Oma serta keluarga Vira kerabatku yang masih tersisa, tapi kami tak pernah akur, karena sejak dulu aku dan Vira seperti bersaing dalam segala hal.
Aku berdiri dari tempat dudukku, rasanya kesal bukan kepalang karena tak mendapat sahutan dari Mbak Ratih. Ke mana perempuan itu? Awas saja kalau asyik drakoran di kamarnya. Akan kupecat dia. Enak saja mau ongkang-ongkang kaki tinggal di rumahku.
Langkahku menuju dapur terhenti saat kudengar suara Ratih yang sedang berbincang dengan seseorang di dekat kolam renang yang terhubung dengan dapur. Posisinya membelakangi pintu tempatku berdiri.
“Tapi kita harus nyari ke mana uang sebanyak itu, Mas? Seratus juta itu banyak banget. Gajiku setahun aja gak nyampe segitu,” kata Ratih pada orang itu.
“Tapi kalau Ibu gak segera ditangani, bakal fatal, Ratih. Kita gak bisa biarin Ibu seperti ini terus, tiap hari Ibu selalu mengeluh karena sakit jantungnya makin parah,” sahut lelaki yang bicara dengan Ratih.
“Andai aja sejak dulu Ibu dibuatkan kartu BPJS, pasti kita gak bakal kelabakan kayak gini, Mas.”
Aku berdehem memutus obrolan mereka.
“Ehem. Mbak Ratih lagi ngobrol sama siapa?”
Keduanya langsung berdiri kikuk menoleh ke arahku.
“Maaf, Bu Clara. I-ini suami saya, baru datang dari kampung.” Si lelaki menoleh dan mengangguk santun.
Aku langsung tertegun menatap lelaki di samping Ratih itu. Betapa sangat tak serasinya mereka berdua sebagai suami istri. Ratih bertampang ndeso, rambut dikuncir dua, perawakan yang layaknya pembantu, sementara lelaki ini begitu tampan dengan tubuh atletis, cara berpakaian yang enak dipandang mata. Tak seperti orang kampung dan suami pembantu pada umumnya. Wajahnya mirip seperti artis Evan Sanders, sama sekali tak cocok dengan Ratih yang ibarat upik abu di mataku.
Diam-diam senyumku mengembang menatap lelaki itu, sepertinya aku sudah menemukan orang yang tepat untuk memenuhi kemauan Oma.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
