
MENGANDUNG ADEGAN DEWASA 21++
Dara sibuk dengan sarapan, tapi ketegangan muncul ketika Adrian memuji bantuan Steve. Kehadiran Steve di meja semakin menambah ketidaknyamanan. Ketegangan memuncak saat Adrian tiba-tiba pergi, meninggalkan Dara dengan Steve. Percakapan coba mengalihkan ketegangan, tapi Steve mengungkapkan perasaan yang kompleks. Dara terjebak dalam ketidaknyamanan yang semakin memuncak.
Pagi itu, suasana di dapur terasa hangat dan penuh keakraban. Dara sibuk mempersiapkan sarapan untuk Adrian, suaminya. Bau harum kopi yang baru diseduh memenuhi udara, berpadu dengan aroma manis roti panggang yang baru keluar dari pemanggang. Sesekali, Dara memandang keluar jendela, melihat sinar matahari pagi yang menerobos dedaunan, memberikan sentuhan damai di hatinya yang sedikit resah.
Adrian muncul dari kamar dengan rambut yang masih sedikit berantakan, menyiratkan kelelahan semalam. Namun, senyum lembut di wajahnya tetap terlihat, memberikan rasa hangat di hati Dara. Dengan langkah santai, Adrian menuju meja makan dan meraih secangkir kopi yang telah disiapkan Dara.
“Terima kasih, sayang,” ucap Adrian dengan nada ramah, menatap Dara penuh kasih. “Sarapan ini terlihat luar biasa.”
Dara membalas senyumannya. “Aku senang kamu menyukainya,” jawabnya sambil menyusun piring dengan hati-hati. Ia selalu berusaha memastikan segalanya sempurna untuk Adrian, meskipun pikirannya terasa berat sejak semalam.
Ketika mereka mulai menikmati sarapan, topik tentang kejadian semalam muncul di antara obrolan ringan mereka. Dara berusaha tetap tenang saat Adrian menyebut nama Steve, sekretaris pribadinya. Namun, jantungnya terasa berdebar, mengingat momen yang membuatnya tidak nyaman.
“Steve benar-benar membantuku tadi malam,” ujar Adrian sambil menyeruput kopi. “Dia tahu aku kelelahan dan memastikan aku sampai rumah dengan selamat. Aku sangat beruntung memiliki sekretaris yang setia seperti dia.”
Dara mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menyusup di hatinya. “Ya, kita harus berterima kasih padanya.” Suaranya terdengar tenang, meskipun ada sedikit gemetar yang sulit disembunyikan.
Adrian tersenyum dan meletakkan cangkir kopinya. “Bagaimana kalau kita makan siang bersama nanti? Ajak Steve juga. Itu akan jadi kesempatan bagus untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita.”
Dara tertegun, tapi dia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum tipis. “Tentu saja, sayang. Ide yang bagus.”
Adrian tersenyum puas. “Steve pasti akan senang. Aku yakin dia akan menikmati kebersamaan kita.”
Namun, di balik senyuman itu, hati Dara mulai terasa berat. Membayangkan pertemuan dengan Steve membuatnya gugup. Semalaman, bayangan pertemuan mereka terus berputar-putar di kepalanya, mengguncang ketenangan yang ia coba bangun.
Sinar matahari yang cerah menyambut Dara ketika ia melangkah keluar rumah menuju kantor Adrian. Namun, meskipun cuaca begitu indah, pikirannya penuh dengan kecemasan. Setiap langkah terasa berat, dan bayangan Steve kembali menghantui benaknya.
Ketika Dara tiba di kantor, ia langsung disambut oleh sosok pria yang menjadi pusat pikirannya.
“Selamat pagi, Dara,” sapa Steve dengan senyuman ramah. Mata pria itu memancarkan kehangatan yang membuat Dara merasa semakin tidak nyaman.
“Selamat pagi, Steve,” jawab Dara, suaranya terdengar pelan. Dia mencoba tersenyum sopan, meskipun hatinya bergetar hebat.
Steve memperhatikan Dara sejenak sebelum melanjutkan. “Saya dengar kita akan makan siang bersama nanti. Saya sangat menantikannya.”
Dara hanya mengangguk, berusaha menjaga jarak emosional. “Ya, Adrian yang mengusulkannya. Dia ingin kita berterima kasih atas bantuanmu.”
Steve tersenyum, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. “Pak Adrian sangat baik. Tapi saya senang bisa membantu, terutama untuknya.”
Dara merasa ada nada tersembunyi dalam kata-kata itu, sesuatu yang membuatnya semakin gelisah. Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, waktu makan siang pun tiba.
******
Restoran favorit Adrian sudah ramai ketika mereka tiba. Dara, Adrian, dan Steve duduk di meja yang menghadap jendela besar, memberikan pemandangan kota yang sibuk. Namun, suasana hati Dara tetap tegang. Dia berusaha keras menjaga ketenangan, meskipun kehadiran Steve begitu terasa di sampingnya.
Percakapan dimulai dengan santai. Adrian memuji kinerja Steve, memuji loyalitas dan kerja kerasnya. Dara hanya tersenyum sopan, meskipun pikirannya jauh dari situasi itu. Namun, suasana berubah ketika Steve mulai berbicara.
“Pak Adrian sering membicarakan Nyonya Dara di kantor,” ujar Steve, suaranya lembut tapi penuh arti. “Dia selalu berkata bahwa Anda adalah istri yang luar biasa.”
Adrian tersenyum bangga, menatap Dara dengan penuh kasih. “Tentu saja. Dara adalah segalanya bagi saya. Saya sangat beruntung memilikinya.”
Dara merasa hangat mendengar kata-kata suaminya, tetapi perhatian Steve membuatnya merasa tidak nyaman. Mata pria itu terlalu lama memandangnya, dan senyumnya mengandung sesuatu yang sulit ia artikan.
“Saya iri pada Pak Adrian memiliki istri secantik dan sehebat Nyonya Dara,” ujar Steve, kali ini dengan senyuman tipis yang terasa menusuk.
Dara mencoba tetap tenang, tetapi hatinya berdebar hebat. Sebelum dia sempat merespons, telepon Adrian berdering, memotong suasana canggung itu.
“Maafkan saya, saya harus pergi. Ada urusan mendadak yang harus saya tangani,” kata Adrian dengan nada tergesa. Ia bangkit dari meja, menatap Dara dengan tatapan menenangkan. “Aku akan kembali secepatnya.”
Dara hanya bisa mengangguk, menyembunyikan kekhawatirannya. Setelah Adrian pergi, suasana di meja menjadi sunyi. Steve duduk di hadapannya, memperhatikan Dara dengan intensitas yang membuatnya semakin gelisah.
“Aku minta maaf jika aku membuatmu tidak nyaman,” ujar Steve tiba-tiba, memecah keheningan.
Dara menggeleng cepat, mencoba tersenyum. “Tidak, aku baik-baik saja.”
Namun, Steve tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Dara lebih dalam. “Semalam aku tidak bisa tidur sama sekali,” katanya pelan, nada suaranya terdengar lebih intim.
Dara menahan napas, merasakan detak jantungnya semakin cepat. “Oh, benarkah? Apa yang membuatmu sulit tidur?” tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Steve tersenyum tipis. “Aku tidak tahu. Mungkin pikiranku terlalu sibuk... memikirkan sesuatu yang penting.”
Dara merasa dadanya sesak. Kata-kata itu terasa terlalu dekat, terlalu pribadi. Dia mencoba mengalihkan topik. “Apakah kamu sudah punya pacar, Steve?” tanyanya, berharap percakapan ini menjadi lebih ringan.
Steve tertawa kecil. “Tidak, aku belum punya. Sulit menemukan seseorang yang cocok.”
Dara mengangguk pelan. “Seperti apa tipe wanita idamanmu?”
Steve memandang Dara dengan intensitas yang membuatnya sulit bernapas. “Seperti istri Pak Adrian.”
Dara terkejut. Kata-kata itu terasa seperti pukulan di dada. Namun, dia mencoba tetap tenang. “Semoga kamu segera menemukannya,” ujarnya pelan.
Steve menggeleng, senyumannya pudar. “Aku rasa tidak. Karena jika aku menemukannya, aku tidak akan pernah bisa melepaskannya. Itu terlalu berbahaya.”
Dara merasa detak jantungnya berpacu cepat. Kata-kata itu sarat makna yang sulit ia abaikan. Dia mengangkat gelasnya, mencoba menenangkan diri, sementara pikirannya terus bergulat dengan perasaan yang kian membingungkan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
