
Cinta berada di urutan kesekian dalam daftar tujuan hidup yang ingin dicapai Dita. Bahkan saat sang adik naik ke pelaminan lebih dulu, Dita tidak masalah. Ia sibuk bekerja dan mengumpulkan uang, demi memenuhi standar sang ibu yang menilai kesuksesan dengan jumlah kekayaan.
Hingga suatu hari Dita bertemu Arkha. Direktur Utama di perusahaan tempat Dita bekerja yang memikat hati Dita sejak pertama kali jumpa. Takdir juga berpihak pada Dita yang memberinya jalan menjadi sekretaris Arkha. Namun, seiring...
Dita and The Boss - Bab. 31
"Bu ... ibu!" Dita turun dari sofa dengan tergesa, lalu berjalan cepat mengejar ibunya yang sudah pergi dari sana.
Otot leher Miranti sendiri seolah kaku. Ia tidak berniat menoleh sedikitpun bahkan saat Dita terus saja memanggil.
"Bu ... Dita ... ." Dita mengubah langkahnya menjadi berlari saat melihat ibunya berjalan memasuki kamarnya. "Bu, dengarkan Dita dulu!" Dita menahan pintu kamar ibunya yang akan ditutup.
"Tidak perlu. Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun dari kamu," jawab Miranti dingin.
Pegangan tangan Dita pada daun pintu melemah. "Tidak mau mendengar, atau tidak mau mengerti, Bu?" tanyanya parau.
"Kamu berharap ibu mengerti? Kamu yang salah kenapa kamu yang menyalahkan ibu karena tak mau mengerti?" Miranti juga menurunkan tangannya dari pintu.
"Aku bukannya mau menyalahkan ibu," kilah Dita. "Tapi, benar kan, menjelaskan ataupun tidak, ibu tetap menganggap aku salah. Aku payah. Aku gagal."
Tidak ada jawaban dari Miranti, sementara air mata kian menggenang di pelupuk mata Dita. Kali ini Dita tak cukup mampu menghalau air mata itu untuk turun. Ia akhirnya menangis di depan pintu kamar ibunya yang belum tertutup sempurna itu.
"Dita mengaku salah, Bu. Dita sangat jauh dari harapan ibu. Sebagai anak sulung, Dita cuma bisa menghabiskan uang ibu. Maafkan, Dita, Bu," ucap Dita tersedu.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada Rany yang menangis sambil menatap Dita pilu. Ia juga tidak mau kesuksesannya malah jadi belati yang menyakiti kakaknya sendiri.
"Benar yang ibu bilang. Dita labil. Dita pikir menjadi sekretaris akan memudahkan jalan Dita untuk mencapai karir yang lebih baik. Tapi ternyata keadaannya malah seperti ini. Dita tidak lebih dari pegawai kontrak biasa yang kehilangan segala tunjangan jabatan Dita waktu dulu. Dita memang tidak berguna ya, Bu."
"Jangan marah sama Dita, Bu." Seperti anak kecil yang baru saja berbuat salah pada ibunya. Dita memohon, kedua lengannya kompak bergantian menyeka air matanya.
Dita tahu sang ibu kecewa padanya. Namun, tidak tahukah ibunya kalau Dita juga jauh lebih kecewa pada dirinya sendiri. Dita merasa ia benar-benar tidak becus menjadi anak. Seiring air matanya yang terus turun, Dita merasa kakinya melemas. Pintu kamar ibunya terlihat ditutup dari dalam. Dita berpegangan pada pintu, tapi akhirnya ia terduduk di dinginnya lantai. Miranti ikut serta menutup pintu hatinya untuk Dita
***
Esok paginya Dita memutuskan untuk masuk bekerja. Pada akhirnya Rany membawa serta Chava saat bekerja ke luar rumah, tentunya dengan bantuan suster. Sampai di kubikelnya ia langsung memulai membereskan pekerjaannya yang tertunda selama tiga hari ini. Untungnya Arkha mau mengerti dan memberinya izin. Dita yakin, jika atasannya bukan Arkha ia tidak bisa meminta izin seenaknya begitu.
Suara derap langkah terdengar di telinga Dita, ia refleks berdiri dari kursinya. Masih di dalam kubikelnya ia menyapa Arkha yang baru saja datang. Tidak lupa dengan senyuman lebar yang selama ini ia persembahkan untuk Arkha. Namun, tidak dengan hari ini, senyum itu hanya segaris saja. Rasa tidak enak karena sudah izin begitu lama berpadu dengan perasaan bersalah pada Miranti yang masih menggulung, membuat Dita malas untuk tersenyum.
Arkha yang menyadari senyum Dita tampak berbeda, membawa langkahnya menuju kubikel sekretarisnya itu. "Bagaimana keadaan Ibumu, Dita?" tanyanya.
"Baik, Pak," jawab Dita pendek.
Mendapat respon seperti itu, cukup menohok hati Arkha. Apalagi dilihatnya Dita juga menyembunyikan wajahnya dengan kembali menunduk. Arkha yang biasa mendapat senyum paripurna milik Dita tentu merasa kehilangan. Ia bahkan tidak bisa menikmati pemandangan alis lebat dengan mata berbinar indah milik Dita.
"Saya sedang mengatur ulang jadwal Bapak hari ini," ucap Dita. "Nanti kalau sudah selesai, saya ke ruangan bapak," imbuhnya lalu mengangguk sopan dan kembali menduduki kursinya. Arkha tertegun sesaat, lalu mundur dari sana dan melanjutkan langkahnya menuju ruangannya.
Seharian bekerja, Arkha terus memikirkan sikap Dita padanya yang berubah. Tadi Dita bilang akan menemuinya di ruangan, tapi hampir jam dua belas siang, gadis itu belum muncul juga. Sedang, kegiatan Arkha hari ini dihabiskan dengan mengikuti rapat daring dari dalam ruangannya.
Arkha memutuskan berjalan keluar dari ruangan, berniat mencari keberadaan Dita. Namun, baru ia membuka pintu, gadis itu muncul sambil membawa satu kotak makan siang milik Arkha. Arkha menyempatkan diri melirik kubikel Dita, mencari kotak makan siang milik gadis itu, tetapi tidak ada.
"Pak saya pamit mau makan siang di luar. Kalau ada perlu sesuatu, bapak bisa langsung hubungi saya ya, Pak," ucap Dita di ambang pintu.
Belum mendapat jawaban dari Arkha, Dita lantas berjalan memasuki ruangan bosnya itu. Ia langsung menyiapkan makan siang Arkha di meja seperti biasa.
"Dita ... kamu menghindari saya?" tanya Arkha tiba-tiba.
Pemikiran itu ia dapat begitu mengingat terakhir kali bersama dengan Dita. Di malam konser itu. Mungkin saja Dita tak merasa nyaman setelah ia dengan lancang memeluk gadis itu.
Dita menunduk, seolah membenarkan tuduhan Arkha. Namun, sejurus kemudian ia mengangkat wajah, lalu menggelengkan kepala pelan. "Untuk apa saya menghindari Bapak," jawabnya.
"Tapi, kamu kelihatan murung sekali hari ini? Apa ada sesuatu yang terjadi? Atau kamu masih butuh libur untuk menjaga ibu kamu. Saya mengizinkan, Dita. Setidaknya sampai ibu kamu sembuh," tutur Arkha.
"Saya minta maaf, kalau sikap saya membuat Pak Arkha tidak nyaman, karena membawa masalah pribadi ke pekerjaan." Dita menyesali kali ini tidak cukup mampu menyembunyikan perasaan yang mengganggunya. Biasanya ia paling mahir menekan segala perasaan sedih setiap kali memiliki masalah dengan ibunya.
"Tidak apa-apa, Dita. Tapi kalau memang kamu butuh waktu untuk menenangkan diri, kamu bisa pulang dulu. Kamu juga kelihatan kurang sehat."
Dita melihat Arkha menatapnya dengan lekat. Namun, kali ini ia tidak merasakan apapun. Isi kepalanya kini dipenuhi rasa bersalahnya pada sang ibu. Untuk urusan perasaan pada Arkha sepertinya Dita juga akan berpikir ulang. Dita tidak ingin salah paham hanya karena sikap Arkha malam itu.
"Saya baik-baik saja, Pak. Saya cuma mau makan siang di luar. Jam satu nanti saya kembali lagi ke kantor," jawab Dita akhirnya. "Saya permisi dulu, ya, Pak!"
Arkha menatap punggung Dita yang menjauh. Berpikir mungkin saja Dita memiliki masalah dengan ibunya. Pintu sudah Dita tutup dari luar, Arkha duduk di sofa menyantap makan siangnya seorang diri. Padahal tadi ia berencana meminta Dita untuk menemaninya makan siang.
Perasaan untuk menghibur dan membantu Dita keluar dari masalahnya begitu terasa kuat. Arkha sampai menunda makan siangnya, dan memilih kembali ke meja kerjanya mengambil ponselnya yang tertinggal di sana. Dibukanya ruang obrolannya dengan Dita di ponsel dan mulai mengetikkan pesan.
[Izinkan saya membantu menyelesaikan masalah kamu, Dita? Bukankah sebagai teman kita harus saling membantu?]
Sent.
Dita and The Boss - Bab. 32
[Izinkan saya bisa membantu menyelesaikan masalah kamu, Dita? Bukankah sebagai teman kita harus saling membantu?]
Dita hanya tersenyum saja membaca pesan yang ia dapat dari Arkha. Kembali meletakkan ponselnya ke atas meja, Dita menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi milik Tania yang sedang ia duduki. Tania sendiri yang menawarkan Dita untuk beristirahat di ruang kerjanya. Meski awalnya Dita mengajak Tania bertemu untuk makan siang bersama. Namun, Tania yang menyadari Dita butuh beristirahat, meminta temannya itu untuk beristirahat di ruang kerjanya, sementara Tania melanjutkan pekerjaannya di luar.
Lima belas menit lamanya Dita berhasil memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya sejenak. Meski sebentar, tetapi sudah membuatnya merasa sedikit lebih segar.
[Terima kasih, Pak. Tapi saya baik-baik, saja.]
Pesan itu Dita kirimkan pada Arkha sebelum ia bergegas kembali menuju kantor. Sedikit ada rasa bersalah yang dirasakannya mengingat ia tidak langsung membalas pesan Arkha tadi, melainkan hanya membaca saja dan malah tertidur. Dita berharap, Arkha tidak akan berpikir aneh-aneh hanya karena hal itu.
Sepulang bekerja, Dita memilih langsung beristirahat. Ia berharap dengan istirahat yang cukup dapat membuat tubuhnya kembali bugar, tentunya dengan perasaan yang seperti sedia kala. Dita tahu ia tidak akan bisa memutar waktu demi menyenangkan hati ibunya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menerima resiko dan menjalaninya dengan ikhlas, karena Dita percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Esok harinya, Dita bekerja dengan suasana hati yang lebih baik. Apalagi setelah Rany memberi kabar tentang keadaan ibu mereka yang juga sudah membaik, Dita amat bersyukur mendengarnya. Ibunya juga sudah mau dibantu oleh suster saat menjaga Chava. Bagaimanapun itu semua memang demi kebaikan Miranti juga.
Sore ini Dita baru saja menyelesaikan rapat persiapan event Wedding Festival yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Ya, meski event ini juga dipercayakan kepada tim event organizer, tetap saja dari pihak GWM tetap membentuk tim pelaksana yang bertanggungjawab akan segala sesuatunya soal event Wedding Festival ini.
Setelah ini Dita perlu merapikan notula rapat sebelum ia serahkan pada Arkha. Bekerja dengan cepat, begitu selesai merapikan notula rapat, Dita memasuki ruangan Arkha untuk menyerahkannya. "Permisi, Pak Arkha," ucap Dita begitu membuka pintu.
Entah mengapa gestur tubuh Arkha tampak seperti pria itu tengah menunggu kedatangannya. Jika biasanya Arkha selalu menunduk menatap layar laptop, kini pandangan ia dan Dita begitu mudah bertemu. Seperti sekarang, keduanya masih bersitatap dari tempat mereka masing-masing. Hingga Arkha lebih dulu memutus pandangan, beralih pada layar laptop. "Ada apa?" tanyanya tanpa melihat Dita.
"Saya baru saja menyelesaikan rapat bersama tim pelaksana event Wedding Festival, Pak." Dita mengatakannya seraya berjalan menghampiri Arkha di mejanya. "Saya mau melaporkan hasil rapat tadi ... ."
"Bisa tunggu sebentar lagi, Dita?" sela Arkha.
"Bisa, Pak," jawab Dita lalu memutar tubuhnya lalu berjalan menuju sofa.
Dari tempat duduknya, Dita mengamati Arkha yang tampak serius menatap layar laptopnya. Entah apa yang sedang dilihat bosnya itu hingga memintanya menunda melaporkan hasil rapat.
"Saya sedang menonton video konser beberapa waktu lalu Dita," ucap Arkha seperti menebak pikiran Dita. "Dari video saja terasa kemeriahannya."
"Oh, ya, Pak?" balas Dita kemudian beranjak dari duduknya.
"Lihat, Dit!" seru Arkha yang menjadi sebuah panggilan untuk Dita menghampirinya.
Kini Dita sudah berdiri di sisi kursi Arkha. Berdua menonton video yang diunggah akun resmi GWM di Youtube. Keduanya sama-sama tersenyum mengingat mereka ada di antara ribuan manusia di sana. Hingga suara ketukan pintu terdengar, Dita dan Arkha sontak mengangkat wajah tanpa mengubah jarak yang begitu dekat di antara mereka.
"Lho, Arkha!" seru Wisesa yang baru saja datang.
Dita yang terkejut, langsung bergeser dari tempatnya berdiri. Arkha pun ikut berdiri seraya merapikan rambut dan jasnya. Melihat Arkha, Dita ikut melihat penampilannya sendiri dan merapikan pakaiannya yang tidak kenapa-kenapa.
"Kenapa, Kek?" tanya Arkha lalu melirik Dita.
"Kalian masih bekerja?" tanya Wisesa lalu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Masih, Pak. Sedikit lagi," jawab Dita berusaha menutup rasa salah tingkah. Dita sudah duduk di sofa sekarang, menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. Khawatir Wisesa menganggap buruk dirinya yang tadi berdiri begitu dekat dengan Arkha. Ya, meski ia dan Arkha bahkan pernah lebih dekat dari itu.
"Memang kenapa, Kek?" Arkha pun tak kalah grogi.
"Kita kan mau berangkat ke Bandung sore ini. Kakakmu sudah menunggu," jawab Wisesa.
"Karena Kak Vina tadi bilang kalau tidak jadi makan malam sama Kak Pras, Arkha kira kita nggak jadi berangkat sore ini. Lagipula tadi Kakek bilang jam dua, sekarang sudah jam lima," sahut Arkha.
"Ya, Kakek ada urusan sebentar tadi," jawab Wisesa. "Ayo berangkat sekarang, kamu sudah berkemas, kan?"
"Arkha menyusul saja, Kek. Karena Dita masih perlu melaporkan hasil rapat bersama departemen operasional tadi," jawab Arkha.
"Maaf, Pak. Mungkin kita bisa berdiskusi lewat video call nanti, selama Pak Arkha di perjalanan," usul Dita kemudian.
Arkha melirik Dita di sofa, lalu kembali duduk dan memalingkan wajah ke arah laptop. "Saya tidak begitu nyaman jika berdiskusi di dalam perjalanan," jawabnya dingin.
Dita terkejut mendapati jawaban seperti itu. Ditambah Wisesa yang bergabung duduk di sofa sebelahnya membuat Dita tambah canggung. Ia terus memutar otak mencari solusi.
"Bagaimana kalau hari senin pagi saja, Pak?" tanya Dita.
"Acara akan digelar dalam waktu dua minggu lagi, saya perlu memeriksa segala sesuatunya dengan cepat. Jadi, bisa cepat dikoreksi dan diperbaiki secepatnya juga. Bagaimana kalau kamu ikut saya saja ke Bandung. Jadi kita akan berdiskusi hari Sabtu besok," jelas Arkha lagi-lagi mengejutkan Dita.
Wisesa sendiri hanya mengulum senyum. Sepasang anak muda ini benar-benar menggemaskan, pikirnya. "Ya, sudah. Tiga puluh menit lagi, Kakek tunggu di bawah," ucap Wisesa lalu beralih pada Dita, "cukup kan, untuk kamu bersiap dalam waktu setengah jam?"
"Cukup, Pak," jawab Dita cepat. Ia langsung pamit pada Arkha dan Wisesa. Yang ada di pikirannya sekarang hanya bagaimana caranya bersiap dalam waktu 30 menit, sementara ia perlu kembali pulang ke Kos. Tidak ia duga, mobil Arkha dan Kakeknya itu sampai menjemputnya di depan Indekos. Membuat ia tidak enak hati.
Begitu di dalam mobil, Dita baru benar-benar sadar kalau saat ini ia ikut keluarga bosnya ke luar kota dan bukan untuk keperluan pekerjaan. Hanya kebetulan saja Arkha yang tidak mau menunda pekerjaan hingga hari senin.
"Dita, mana hasil rapat tadi?" tanya Arkha tiba-tiba.
Dita terkejut sesaat, tapi dengan sigap mengeluarkan tablet miliknya dari dalam tas, lalu mulai membacakan notula rapat. Arkha menyimak dengan seksama, sambil juga melihat file notula itu di tablet miliknya. Diskusi berlangsung selama perjalanan yang melewati Tol Cipularang itu.
Diam-diam Dita heran sendiri pada Arkha yang tidak konsisten dengan ucapannya. Tadi pria itu bilang tidak nyaman jika berdiskusi di tengah perjalanan. Namun, sekarang pria itu begitu serius membicarakan rencana Wedding Festival itu. Wisesa sesekali ikut memberi saran, meski dalam hati geli sendiri melihat sikap cucunya yang cukup berbeda pada Dita.
Mereka akhirnya tiba di tujuan pukul sepuluh malam. Mobil berhenti di lobi Grand Wisesa Resort (GWR), Dita turun bersama Arkha sementara Wisesa menunggu di dalam mobil bersama Pak Rusdi. Berjalan ke dalam resort, Dita mengerti kalau ia akan menginap di resort ini sementara Arkha dan kakeknya akan pulang ke rumah mereka.
Kedatangan ia dan Arkha disambut dengan sangat baik oleh para petugas resort. Dita dapat menyaksikan bagaimana hubungan baik yang terjalin antara Arkha dengan para pegawai bahkan hingga level paling bawah.
"Pak Arkha, saya ke kamarnya dengan bapak ini saja," bisik Dita lalu menunjuk petugas resort yang berjalan lebih dulu dengan membawa serta tas milik Dita. "Pak Arkha langsung pulang saja, kasihan Pak Wisesa menunggu kelamaan di depan."
Arkha tampak mengusap tengkuknya, tapi tidak mengucap apapun. Ia menghentikan langkah lalu memanggil pegawai resort yang membawakan tas Dita. Entah apa yang mereka bicarakan karena Dita memilih sedikit menjauh.
"Kalau begitu, saya pulang, Dita," ucap Arkha.
"Terima kasih banyak, Pak," balas Dita.
Arkha sudah membalikkan tubuh dan pergi dari sana. Dita kembali mengikuti pegawai resort menuju kamar yang akan ia tempati malam ini. Dan, begitu tiba di kamar itu, Dita merasa takjub. Kamar yang ia datangi ini ia yakini adalah kelas kamar termahal yang ada di GWR.
Dita hanya mampu menutup mulutnya yang menganga melihat ke sekelilingnya. Pegawai staf yang pamit pun, tidak Dita hiraukan. Dengan norak, Dita memeriksa seluruh sudut kamar itu. Kaca yang membentang di sisi tempat tidur, balkon serta kolam renang pribadi, jangan lupakan interior estetik yang memanjakan matanya.
Ditengah keterpanaannya, muncul pemikiran kalau staf tadi salah mengantarnya. Mungkin seharusnya bukan kamar ini yang ia tempati, pikir Dita. Namun, sebuah pesan masuk di posnelnya yang berasal dari Arkha.
[Saya harap kamu suka dengan kamar yang kamu tempati sekarang. Selamat berlibur. Selamat ulang tahun, Dita.]
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
