#UnlockNow Takdir Alisya (Chapter 17)

4
0
Deskripsi

"Aku mau membuat teh. Mau?"

"Ya?" Renan hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Dan dengan baik hatinya Alisya mengulangi pertanyaannya. "Aku ingin minum teh. Mau juga?"

Renan hanya mampu mengangguk karena masih terlalu tidak percaya pada akhirnya Alisya mau berbicara padanya.

"Apa kamu keberatan menunggu jika aku mandi dulu?" tanya Renan.

Alisya mendengus pelan. "Aku hanya menawari teh. Bukan mangajak minum teh bersama."

 

 

Chapter 17 : Totalitas Setan

 

"Mamaaaaa!!!"

 

Alisya tersentak ke alam nyata setelah bermimpi Bryan meraung memanggil sambil menangis. Kepalanya langsung berdenyut nyeri sekali karena tiba-tiba terbangun.Perlahan Alisya menajamkan penglihatan. Memindai sekelilingnya yang dirasa tidak asing sama sekali. Lalu pandangannya berhenti di satu titik. Di mana Bryan sedang tertidur pulas di gendongan Renan, pria itu juga tengah tertidur.

Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut hebat, Alisya mencoba menggeser kakinya agar menapak ke lantai. Ingin sekali dia segera mendekat ke Bryan karena teringat mimpi buruknya tadi.

"Alisya," Renan terjaga karena mendegar pergerakan Alisya. Segera ia mendekat lalu perlahan menidurkan Bryan.

"Saya ingin pulang," ucap Alisya lalu kembali menangis. Jika tidak ada Bryan di dunia ini, mungkin sekarang dia ingin mati saja. Banyak hal yang menghantam dirinya sehingga rasanya tak mampu lagi untuk sekedar menegakkan kepala.

Perlahan Renan duduk di sampingnya. Jika bisa, ingin sekali ia merengkuh tubuh yang sedang bergetar itu. Tapi Renan paham, tidak akan semudah itu mendapat kesempatan dari Alisya. Ia sadar, banyak sekali kesalahan yang ia perbuat.

"Jangan ambil Bryan!" pinta Alisya lagi sebagai permohonan terbesarnya. Dalam mimpinya, ia melihat Bryan di dalam mobil yang semakin menjauh darinya. Anak itu berteriak memanggil namanya karena tidak ingin berpisah. Sungguh, rasa sakitnya masih terasa bahkan hingga dirinya terbangun dari pingsan.

"Tidak akan. Bryan akan tetap bersama kita. Selamanya."

Alisya memaksa kepalanya untuk menoleh ke samping. Menatap Renan dengan sangat lelah. Dia sudah tidak mampu lagi mengartikan semua sikap Renan. Sampai detik ini, tak ada yang bisa ia percaya. Bahkan ketika Renan dengan ragu memegang tangannya, Alisya sudah tidak mampu melawan.

"Apa yang bisa membuatmu tenang?" tanya Renan sambil mengusap punggung tangan Alisya dengan ibu jarinya.

"Sejak lama aku ingin tahu banyak hal. Ingin dengar banyak penjelasan. Tapi sekarang tidak lagi. Tidak tahu, masih adakah ketenangan di dunia ini. Terserah kalian mau menghancurkan hidupku sampai seperti apa. Aku terima. Jika bisa, secepatnya saja biar aku lekas mati."

Mata Renan terpejam dan napasnya memberat. Penyesalannya tak bisa digambarkan lagi. Sebesar itu ia telah menyakiti wanita yang sangat ia cintai.

"Kalau kamu mati, aku juga. Di kehidupan ini, jika aku tidak bisa bersamamu mungkin di kehidupan setelah mati, aku bisa bersamamu." balasnya dengan nada penuh keseriusan.

Air mata Alisya kembali deras. Setiap kali Renan berkata, saat itu juga menimbulkan rasa sakit yang sangat nyeri di hati. Mulut setan masih saja manis jika berbicara.

Alisya tak mampu berkata-kata lagi ketika Renan yang semula duduk di sampingnya berpindah tempat berlutut di depannya. Sambil kembali memegang tangannya, Renan berkata lagi, "Aku memang jahat, Al. Aku egois karena hanya memikirkan apa yang menjadi keinginanku. Mengikat kamu dengan beban berat. Membiarkan kamu menghadapi segala macam masalah sendirian. Dan setelah kamu baik-baik saja, aku pulang hanya untuk kembali membuatmu hancur."

"Aku minta maaf, Al. Kamu boleh marah sepuas yang kamu mau, tapi jangan pernah pergi dariku. Aku yang sudah membuat hidup mu dan Bryan sulit maka aku yang akan selalu menjaga kalian. Aku akan selalu melindungi kalian dari apapun. Tapi aku mohon, jangan pernah jauh dariku."

Renan menunduk di pangkuan Alisya dengan penuh penyesalan. Ia rela menukar semua yang dimiliki saat ini demi bisa mendapatkan maaf dari Alisya. Akan tetapi, semua hal yang ia miliki tidak berarti apa-apa seiring dengan Alisya yang menarik tangannya. Ia juga bergeser agar kepala Renan berpindah dari pangkuannya.

"Al," panggil Renan lirih. Suaranya berat, seberat hatinya yang kembali mendapat kenyataan bahwa Alisya memberi isyarat bahwa ia tidak bisa memaafkan dan tidak bisa menerima lagi.

Alisya menggeleng sambil sesenggukan. "Aku tidak bisa pada percaya pada siapapun."

"Percaya padaku, Al! Aku tidak akan membuat hidupmu sulit lagi."

"Terakhir kali sebelum kamu ke luar negeri. Kalimat seperti itu juga terucap. Tapi kenyataannya, aku tetap hancur sendirian."

Renan kembali menunduk. Tak malu sama sekali walaupun ikut meneteskan air mata. Sejenak hanya suara isakan Alisya yang memenuhi kamar itu. Renan beranjak ingin memeluk Alisya, namun wanita itu segera mengangkat tangannya menahan tubuh Renan sebagai bentuk penolakan. Ia tidak bisa menerima apapun yang Renan lakukan dan ucapkan.

"Alisya," Renan menyebut namanya dengan nada yang semakin berat.

Dan hal yang selanjutnya terjadi tidak pernah terpikirkan sedikitpun di kepala Alisya. Tanpa ia duga, Renan bersujud di depannya. Menempelkan keningnya di kaki Alisya sambil terus memohon maaf padanya.

Alisya terus memberontak ingin menarik kakinya namun Renan memegangnya erat. Sekarang ia bingung, se-totalitas inikah jika setan sedang ingin mengelabuhi mangsanya?

"Semua yang kamu lakukan itu karena Bryan?"

Renan akhirnya mengangkat kepalanya menghadap Alisya. Melihat wanita itu menatapnya dengan lekat, Renan menegakkan tubuhnya lalu kembali memegang tangan Alisya.

"Karena kalian," balas Renan cepat dan penuh keyakinan. "Kalian alasan dari semua yang aku lakukan. Bryan akan punya hidupnya sendiri suatu saat nanti. Tapi aku hanya punya kamu di sisa hidupku."

Alisya memejamkan matanya agar kabut yang kembali menghalangi segera hilang. "Bagaimana caranya aku percaya lagi? Dulu aku juga sangat percaya padamu, tapi kenyataannya semua tak sama seperti yang kamu ucapkan."

"Kasih aku kesempatan, Al!"

"Jika tidak berhasil?"

Renan menunduk, ia tak ingin gagal lagi mempertahankan Alisya. "Abaikan aku dan anggap tidak pernah mengenalku. Tapi jangan pernah pergi jauh dariku."

Ia serius. Lebih baik merasakan sakit karena diabaikan Alisya daripada harus sakit tidak pernah melihatnya dan tak bisa melindunginya lagi. Dulu, Alisya pergi dengan alasan karena mengira Renan jahat. Dan sekarang setelah Renan memberi penjelasan lalu Alisya tetap ingin pergi, berarti memang tak ada jalan kesempatan lagi untuknya bisa bersama Alisya.

 

 

///////////////////////////////////////////////////////////////////////

 

 

Renan seperti sedang diuji kesungguhannya dalam menebus kesalahan pada Alisya. Bagaimana tidak, jika hampir dua minggu berlalu sejak hari di mana ia meminta kesempatan, belum ada satu kata pun yang keluar dari mulut Alisya untuknya. Masih untung ada Bryan yang hadir di tengah mereka, sehingga sedikit mencairkan suasana meskipun tetap saja tidak ada interaksi di antara mereka.

Hampir dua minggu tinggal di tempat yang sama namun tak pernah saling bertegur sapa. Atau lebih tepatnya, Alisya selalu menghindari pertemuan dengan Renan. Dari sore Renan pulang kerja hingga pagi berangkat, Alisya memilih mengurung diri di kamar. Baru akan keluar ketika Renan berangkat kerja atau jika pria itu telah tertidur.

"Alisya dan Bryan sudah makan?"

"Den Bryan sudah, Pak. Tapi bu Alisya sepertinya belum. Tadi sore saya lihat hanya menyuapi."

Wajah Renan mengerut saat mendengarkan jawaban dari asisten rumah tangga yang waktu itu dan kini ia panggil kembali.

"Sekarang sudah tidur?" Ia kembali bertanya karena hari ini pulang lebih malam dari biasanya. Banyak hal yang harus ia selesaikan. Salah satunya datang ke rumah orangtuanya.

"Den Bryan sudah dan bu Alisya juga sudah di kamarnya."

Renan hanya bergumam lalu beranjak dari ruang makan, tidak menyentuh makan malamnya sedikitpun.

Langkahnya kembali berat menapaki anak tangga menuju lantai dua. Ternyata rasanya tetap berat, dekat dengan Alisya tapi tak pernah bisa mendengar suara dan melihat senyumnya. Tapi mungkin itu yang terbaik, dari pada harus jauh dari Alisya dan Bryan. Renan harus tetap menjaga mereka, karena dirinya yang memulai semua ini. Tak akan ia biarkan mereka hidup sulit lagi.

Kakinya berhenti melangkah tepat di depan kamar Alisya. Sejauh matanya memandang, hanya sebuah kesunyian yang nampak. Cukup lama ia berdiri di sana dengan pikiran yang kalut. Detik itu juga, dia menyadari, hidupnya benar-benar sulit tanpa Alisya.

Ternyata keadaan ini lebih menyakitkan. Ketika ia dan Alisya terpisah jarak yang jauh, rasanya tidak seberat ini karena masih ada harapan. Namun sekarang walaupun berdekatan, rasanya jauh lebih sakit karena ia sadar, harapannya untuk bisa meraih Alisya tidak sebesar dulu.

Renan sedikit tergagap ketika tiba-tiba pegangan pintu bergerak dan sebelum dia pergi dari sana, pintu sudah terbuka disusul wajah Alisya yang juga terkejut.

"Maaf, aku di sini." ucap Renan kemudian tanpa menunggu jawaban Alisya, ia berjalan menuju kamarnya sendiri.

"Aku mau membuat teh. Mau?"

"Ya?" Renan hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Dan dengan baik hatinya Alisya mengulangi pertanyaannya. "Aku ingin minum teh. Mau juga?"

Renan hanya mampu mengangguk karena masih terlalu tidak percaya pada akhirnya Alisya mau berbicara padanya.

"Apa kamu keberatan menunggu jika aku mandi dulu?" tanya Renan.

Alisya mendengus pelan. "Aku hanya menawari teh. Bukan mangajak minum teh bersama."

Seperti diajak terbang tinggi lalu dihempaskan ke bumi. Itu yang Renan rasakan. "Kalau begitu, letakkan saja di meja makan, nanti aku minum setelah mandi."

Alisya melenggang pergi tanpa menjawab. Menyisakan Renan yang semakin tersiksa dengan batinnya sendiri. Apa begini yang Alisya rasakan ketika mendapat perlakuan tidak baik darinya? Kalau iya, Renan bersumpah akan menebusnya seumur hidup karena rasanya sungguh tidak nyaman.

Akhirnya, dengan gerakan tidak sesemangat sebelumnya, ia meneruskan rencana mandi dan baru turun setengah jam kemudian.

Di sana kembali ia hanya menemui kesunyian. Ada secangkir teh yang berada di meja. Teh yang tidak lagi hangat karena tidak ada Alisya di sana. Tetap ia raih teh itu, meneguknya hingga habis.

Renan menyandarkan kepala ke kursi. Wajahnya mengerut parah sambil menggenggam erat cangkir kosong nya. Banyak sekali hal yang ia pikirkan, dan yang terberat adalah keadaan ini. Keadaan di mana ia tak bisa lagi meraih Alisya. Semua terjadi karena kebodohannya.

Dengan perasaan setengah marah dan lelah, tanpa sadar ia membanting cangkir ke lantai hingga pecahannya berceceran.

"Alisya?"

Mereka sama-sama terkejut lagi. Alisya berlari karena terkejut mendengar suara pecahan sementara Renan terkejut karena masih ada Alisya di sini. Ia pikir Alisya sudah kembali ke kamarnya sejak tadi.

Tanpa menjawab, Alisya berjalan mengambil alat kebersihan untuk membersihkan pecahan cangkir yang sudah berserakan.

"Jangan! Biar aku saja nanti." cegah Renan namun tak diindahkan oleh Alisya.

"Memang begini kah cara hidupmu? Melampiaskan masalah dengan menghancurkan?" gumam Alisya. "Bukan hanya orang lain, bahkan dirimu sendiri juga bisa terluka karena ini."

Tepat sekali yang Alisya ucapkan karena memang saat ini Renan ikut terluka dalam.

Renan ingin mengambil alih kain yang Alisya gunakan untuk mengumpulkan serpihan cangkir, namun naasnya, bagian runcingnya menggores telapak tangan dekat ibu jarinya. Darah segar langsung menetes deras ke lantai.

Alisya menatapnya dengan ngeri namun yang terluka tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun. Renan tetap berusaha mengambil alih alat kebersihan yang Alisya pegang.

"Cuci dengan air mengalir! Aku ambilkan plester luka." ucap Alisya dengan tenang namun penuh ketegasan, membuat Renan akhirnya mengalah. 

Setelah mencuci lukanya beberapa saat di bawah aliran air, Renan duduk di sofa dan tak lama kemudian Alisya datang membawa obat luka dan plester. Tanpa ia sangka sebelumnya, Alisya meraih tangannya lalu dengan hati-hati memberinya obat.

Mendapat perlakuan seperti itu, hati Renan kembali berdenyut nyeri. Menerima kebaikan Alisya tapi tanpa ada kepastian apakah wanita ini akan bersamanya. Bisa saja dia akan pergi dan tak memberinya kesempatan lagi.

Renan kembali merasakan berada di posisi Alisya. Beginikah perasaan Alisya ketika dia salah paham dengan sikap baik yang Renan lakukan? Alisya sakit hati menerima kebaikan Renan karena mengira mereka tidak akan pernah bersama. Apakah Alisya sedang membalas semua perbuatannya? Kalau iya, ia sangat berhasil karena kini Renan benar-benar merasa hancur hidupnya karena tidak bisa bersama Alisya.

"Kenapa kamu pergi tanpa penjelasan?"  Tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari mulut Alisya padahal ia sedang fokus menutup luka Renan.

"Semua sudah diatur tanpa sepengetahuan ku. Waktu itu aku masih terlalu lemah dan pengecut untuk melawan papa."

"Seharusnya kamu katakan. Bukan meninggalkan aku tanpa penjelasan."

"Aku takut kamu tidak akan mau menungguku, Al. Aku tahu, banyak yang ingin memiliki mu."

Alisya menegakkan pandangannya. Menatap tajam ke arah Renan. "Karena itu kamu menghancurkan masa depanku?"

Renan tertunduk lalu berkata lirih, "Maaf. Aku jahat."

Penyesalannya terlalu banyak. Ia sadar telah menghancurkan masa depan Alisya demi keegoisannya.

"Meskipun jauh, aku tetap berusaha menjaga kamu.  Aku berusaha menyelesaikan semuanya secepat mungkin agar bisa segera kembali untuk menemui kamu. Tapi hari itu aku benar-benar terkejut ketika melihat kamu adalah salah satu karyawan kantor. Aku bodoh dan terlalu lemah percaya pada orang karena ternyata mereka memberikan laporan palsu, mereka telah berada di bawah kekuasaan papa. Begitu juga kamu yang sudah berada di genggaman papa. Papa selangkah lebih maju daripada rencanaku. Sampai akhirnya aku merubah semuanya. Satu-satunya cara untuk mengalahkan papa adalah menduduki kekuasaan yang lebih tinggi darinya."

Alisya mencari-cari kejujuran di mata Renan, dan tak susah menemukannya. Akan tetapi rasanya masih amat sulit mempercayai setiap ucapannya.

"Tapi untuk apa pak Tio sampai berbuat sejauh itu hanya demi aku? Aku ini bukan siapa-siapa."

Renan tersenyum tipis sebelum menjawab. "Kamu berharga, Al. Mereka tahu kamu adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Sedangkan mereka ingin aku menjadi penerus mereka. Dunia bisnis sangat keras, mereka tidak ingin apa yang mereka bangun dari nol hancur begitu saja. Papa butuh aku untuk bisa semakin memperluas bisnisnya. Tapi sayangnya aku tidak bisa mengikuti semua permintaan papa. Aku memilih kamu. Oleh sebab itu, kamu dianggap pengganggu oleh merek."

Terdengar menyakitkan tapi Alisya paham. Meskipun dulu keluarganya cukup berada, tapi masih sangat jauh jika dibandingkan dengan keluarga Renan. Mungkin menurut mereka Alisya sangat tidak sebanding dengan Renan.

"Lalu?"

Senyum Renan semakin tercetak jelas. Alisya nya yang dulu mulai kembali.

"Lalu aku tidak peduli pada mereka. Aku tetap akan  memilih apa yang aku yakini sebagai kebahagiaan dan kehidupan," Renan meraih kembali tangan Alisya. "Kamu dan Bryan."

Alisya tak menolak karena sesungguhnya saat ini hatinya sudah lelah untuk melawan keadaan.

"Bu Clarissa?"

"Nasibnya tak jauh beda denganku. Perjodohan ini bukan karena dasar keluarga, melainkan dasar bisnis. Dan dia juga keberatan dengan itu. Ketika aku memutuskan untuk mundur, dia menyambutnya dengan senang hati."

Alisya termenung. Yang di depannya ini masih setan atau tidak?

"Apa yang terjadi dengan mas Panji?"

Bukan hanya senyumnya yang kembali tercetak, hati Renan kini serasa lepas dari bongkahan penyesalan yang selama ini memenuhinya karena Alisya sudah mulai mencair hatinya.

"Aku yang seharusnya tanya. Apa yang terjadi sampai dia bisa membawa sertifikat tanah itu? Apa dia mencurinya?"

Alisya menggeleng cepat. "Aku yang menitipkan."

Renan menarik napas panjang. Ini salah satu alasan ia tak ingin Alisya jauh. Alisya adalah wanita yang hatinya terlalu tulus, sehingga dia tidak pandai menilai mana yang betulan baik dan mana yang tidak. Baginya, semua orang itu baik.

"Aku mendapat laporan bahwa Panji sudah menjual tanah itu. Aku pantau apakah uangnya akan sampai padamu, tapi ternyata tidak. Dia berencana membawa uang itu kabur ke luar pulau. Kemarin aku ingin mencegahnya, tapi kamu datang di saat yang tidak tepat."

Pikiran Alisya semakin kalut. Kenapa semua bisa serumit ini. Semua kenyataan yang terjadi berbanding terbalik dengan yang ia pikiran selama ini.

"Lalu siapa setan yang sebenarnya?"

Meskipun suasana sedang sedih, Renan tetap bisa tertawa mendengar pertanyaan Alisya.

"Tetap aku Raja Setannya."

Alisya mendengus mendengarkan kesombongan raja setan ini.

"Mau aku tunjukkan siapa lagi setannya?"

Pertanyaan Renan dijawab dengan anggukan oleh Alisya.

"Tari."

Mata Alisya membeliak. Tak percaya sama sekali jika Tari sebenarnya tidak baik padanya. Selama ini dia banyak membantunya.

"Dia mata-mata yang mama bayar lebih dari gaji karyawan untuk selalu mengawasi kamu."

Penjelasan Renan membuat Alisya memutar kembali semua hal yang pernah ia lakukan bersama Tari. Dan beberapa yang janggal langsung muncul.

Tari selalu menjadi orang pertama yang selalu tahu berita tentang keluarga Renan. Apa mungkin itu salah satu cara menghasut Alisya agar semakin benci pada Renan?

Alisya juga ingat, Hasmita datang ke apartemen ini setelah Alisya terpaksa memberi alamatnya pada Tari agar bisa mengirimkan barang-barang nya setelah resign padahal Renan pernah mengatakan bahwa tidak akan ada yang tahu Alisya dan Bryan tinggal di sini.

"Dan aku mengirimkan orang untuk selalu menjagamu di kantor."

Ucapan Renan kembali membuat Alisya menatapnya. Kejutan apalagi yang ingin Renan berikan.

"Resti. Dia yang menjagamu."

Mulut Alisya menganga. Yang ini lebih mengejutkan. Resti yang selama ini sering ia umpati dalam hati ternyata adalah orang utusan Renan. Mau tidak mau Alisya kembali mengingat Resti. Memang ia galak dan judes, tapi selalu saja memudahkan izinya ketika terpaksa harus tidak masuk kerja.

Ya Tuhan!

Renan memegang ke dua sisi wajah Alisya karena wanita itu terlihat begitu syok. Diarahkan nya agar Alisya membalas tatapannya.

"Aku yang membuat kamu berada di posisi serumit ini. Maka aku juga yang akan menebusnya. Jangan pergi dan jangan abaikan aku lagi. Bolehkah?"

Alisya menatapnya ragu sebelum akhirnya mengangguk dan membuat Renan kembali tersenyum lalu memeluknya.

Jalan hidupnya sudah seperti ini. Tak ada pilihan selain melewatinya. Dan mungkin akan terasa ringan karena ia tak akan sendirian melewatinya. Akan tetapi ada sebagian hatinya yang masih ragu. Bagaimana jika Renan berbohong?

Biarkan. Ia sudah terlatih untuk kuat. Jika harus hancur sekali lagi, mungkin tak akan sehancur yang dulu karena kini ia adalah wanita yang sudah dipaksa kuat oleh keadaan.

 

To Be COntinued

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #UnlockNow Takdir Alisya (Chapter 18)
9
0
“Sebenarnya aku sudah menyiapkan waktu dan tempat yang spesial untuk melamar kamu. Tapi sepertinya kamu tidak sabar.” ucap Renan dengan ekspresi yang sangat menyebalkan di mata Alisya. Ternyata kegelisahannya terbaca oleh Renan.“Dasar Setan!” umpat Alisya lirih agar tidak terdengar oleh Bryan namun cukup terdengar oleh Renan dan membuatnya terbahak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan