#UnlockNow Takdir Alisya (Chapter 13)

2
0
Deskripsi

"Aku dengar tadi kamu ribut dengan salah satu staff?"

"Tidak ribut. Dia hanya mencurahkan kekesalannya karena ada seorang office girl yang berani-beraninya menggoda bosnya."

"Demi Tuhan, Alisya. Gunakan mulut kamu itu untuk membela diri! Bukan hanya untuk mendebat setiap ucapanku!"

"Apa yang harus saya bela? Bukankah benar yang mereka ucapkan? Saya ini hanya seorang wanita murahan penggoda atasan. Bahkan saya sampai punya anak tanpa pernikahan."

"Kamu dan Bryan berharga untukku." 

 

Chapter 13 : Pengunduran Diri

 

"Uang segitu buat apa, Al?"

Alisya hanya mampu menunduk saat mendapat pertanyaan itu dari Diah. Sepulang dari menjemput Bryan, ia mengarahkan motor menuju rumah Diah. Walaupun terbesit rasa tidak enak, tapi akhirnya Alisya tetap datang kepada Diah karena baginya, Diah dan Hendra orang-orang baik yang selalu mengerti keadaannya.

"Bukannya kami nggak mau kasih pinjam, tapi kami harus tahu dulu mau dipakai apa uang itu? Kamu kelihatan sedang punya masalah, Al!" Hendra ikut menambahkan yang mana semakin membuat Alisya tertunduk dalam.

Niat hati tak ingin menceritakan aib masa lalunya, tapi rasanya tak punya pilihan lain. Dia tetap membutuhkan bantuan agar bisa lepas dari keadaan yang menyakitkan ini.

"Aku mau mengundurkan diri dari kantor, Mbak, Mas. Tapi aku harus bayar denda. Setelah ini aku mau jual tanah peninggalan mama. Aku janji pasti kembalikan uangnya."

Hendra masih menuntut penjelasan sedangkan Diah yang sesama wanita bisa merasakan kesedihan Alisya meskipun dia sendiri juga tidak paham apa alasan Alisya sampai ingin mengundurkan diri. Padahal Alisya sendiri yang pernah bercerita bahwa sangat bersyukur bisa mendapat pekerjaan itu.

"Tapi kenapa sampai harus mengundurkan diri?"

Pada akhirnya, tak ada pilihan lain. Mengalirlah cerita dari bibir Alisya. Mulai dari masa lalunya yang begitu buruk hingga Renan datang kembali dan membuat hidupnya kembali berantakan.

"Nah kan! Sudah aku duga sejak awal. Pasti Renan itu bukan orang baru buat kamu." ucap Hendra.

"Kenapa dia jahat banget sama kamu sih?" sahut Diah yang lebih condong ke sebuah protes.

Alisya menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan. "Aku yang salah. Jika sejak awal aku tidak mudah terbujuk—" Ia tak mampu meneruskan kata-katanya. Hanya tangisan yang mampu menggambarkan betapa ia menyesali masa lalunya yang buruk.

Diah kembali mengusap punggung Alisya untuk menyabarkannya sambil melirik ke arah Hendra untuk membuat persetujuan tentang pinjaman uang yang Alisya minta.

Memahami apa yang istrinya maksud, akhirnya Hendra yang mewakili kata. "Yang tenang, Al! Kami bantu sebisa kami. Kalau memang itu sudah yang terbaik menurut kamu. Sudah yakin 'kan?"

Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Alisya berhenti menangis. Dia melempar tatapan penuh tanya pada Hendra. Namun kemudian dia kembali termenung sebelum akhirnya menjawab, "Yakin, Mas. Awalnya aku ingin bertahan demi Bryan. Tapi kembali aku berpikir, di dunia ini hanya aku yang Bryan punya, jika aku bertahan dan hancur sendirian, dia tidak akan punya siapa-siapa lagi yang akan menjaganya."

Baik Hendra maupun Diah sama-sama terkesima dengan jawaban Alisya. Mereka kompak menoleh ke arah Bryan yang berada tak jauh dari mereka. Anak itu sedang konsentrasi menata kepingan puzzle.

"Setelah ini kamu mau tinggal di mana, Al?" tanya Diah yang tiba-tiba merasa sedih akan berpisah dengan Bryan.

"Ada lah, Mbak, nanti." jawab Alisya. Sejujurnya dia sendiri belum tau akan pergi ke mana, yang jelas tidak akan tinggal di apartemen itu dan tidak akan juga pulang ke rumah papanya.

"Atau Mas Hendra saja yang beli tanah warisan dari mama ku?" tanya Alisya tiba-tiba terlintas ide itu. Jika mereka mau, tentu Alisya tidak akan mematok harga seperti dengan orang lain dan yang pasti dia tenang karena kenal dengan pemilik tanah yang baru. Tanah itu dia anggap sebagai kenang-kenangan terakhir dari mamanya, dan satu-satunya. Jika tidak dalam keadaan mendesak seperti ini, tentu tidak akan menjualnya.

Diah dan Hendra saling pandang, kemudian Hendra kembali mewakili istrinya untuk menjawab. "Maaf, Al. Untuk itu kami belum bisa. Kami sedang mengumpulkan uang agar bisa melakukan program bayi tabung lagi."

Sorot mata Alisya meredup. "Maaf ya, aku merepotkan kalian. Mengganggu rencana kalian."

Diah merangkul pundaknya dengan sayang. "Enggak lah! Kami pernah melakukannya di sini tapi gagal. Rencana mau mengulangnya di luar negeri dan tentu biaya yang dibutuhkan lebih banyak. Masih proses mengumpulkan tapi belum cukup."

"Iya, Al. Kamu bisa pakai dulu sebagian untuk membayar denda di kantor kamu. Semoga nanti cepat mendapat jalan keluar dan tanahnya cepat laku."

Alisya mengangguk lega sekaligus pasrah. Dua orang yang sejak awal sangat baik padanya, dan hingga detik ini masih tetap baik. Dia berpikir bahwa cara Tuhan menulis takdir memang sangat unik. Tidak ada manusia yang tidak berjuang dengan takdirnya. Diah dan Hendra, hidup berkecukupan, bahagia dan harmonis. Tapi untuk mendapatkan anak, harus berjuang melalui cara rumit dan mahal. Sedangkan dirinya, bisa semudah itu hamil hanya dengan satu kali kesalahan. Rasanya jika mengingat kesalahan di masa lalu itu, Alisya ingin mencabik-cabik dirinya sendiri. Merasa paling berdosa dan tak berharga. Tapi berdasarkan yang pernah ia dengar, Tuhan itu sangat luas kemurahannya. Dosa sebesar apapun akan diampuni asal mau benar-benar menyesalinya. Saat ini, yang dia harapkan adalah Tuhan masih menerima penyesalannya.

 

 

////////////////////////////////////////////////////////////////

 

 

Renan berjalan tergesa menuju lift yang akan mengantarkannya langsung ke unit tempat Alisya dan Bryan selama ini tinggal. Jika memungkinkan, dia memilih langsung melompat agar cepat sampai daripada harus menunggu lift yang bergerak sangat lambat.

Begitu lift berdenting, tak menunggu pintunya terbuka sempurna, ia langsung melangkah keluar. Memeriksa bagian bawah lalu segera naik ketika tak mendapati Alisya ataupun Bryan di sana.

"Alisya!" panggilnya bersamaan dengan membuka pintu kamar Bryan. Hendak bersuara lagi namun tertahan karena melihat sosok yang ia cari sedang berusaha menidurkan Bryan.

Dengan gerakan teramat pelan, Alisya menyelimuti Bryan hingga batas dada lalu beralih menatap lelaki yang masih berdiri di ambang pintu dengan wajah tak sabarnya.

Alisya berjalan keluar diikuti Renan yang masih menuntut penjelasan darinya, meninggalkan Bryan sendirian menikmati tidur siangnya.

"Ada apa?" tanya Alisya tenang ketika mereka sudah berada di lantai bawah.

"Kamu mengundurkan diri? Dari mana kamu dapat uang untuk dendanya? Kenapa tidak minta padaku?"

Masih dengan sikap tenangnya Alisya mengaduk gula yang baru saja ia tambahkan pada kopinya. "Menurut Anda kenapa?" tantangnya.

"Alisya!" Renan mengerang kesal. "Aku yang meminta kamu untuk keluar dari kantor, itu berarti aku yang akan menanggung dendanya. Aku sudah minta Bima untuk mengembalikan uang kamu."

"Tidak perlu dan saya sedang tidak menuruti permintaan Anda. Saya keluar atas dasar kemauan saya sendiri." balas Alisya tak mau kalah yang berhasil membuat Renan diam.

Alisya juga ikut terdiam. Sebenarnya dia belum akan mengajukan surat pengunduran diri itu hari ini. Setidaknya menunggu akhir bulan agar sisa denda yang harus ia bayar sedikit berkurang. Namun karena sudah tidak lagi sanggup berada di sana menghadapi ucapan dan tatapan merendahkan dari orang-orang kantor, akhirnya surat itu ia ajukan lebih cepat.

Sejak kejadian Renan dan ibunya mendatangi Alisya di ruang belakang, gosip-gosip semakin berkembang dan tentunya Alisya menjadi orang yang paling tersorot salahnya. Jelas saja dia yang paling dianggap jual diri kepada Renan, tidak mungkin sekali jika seorang Renan yang dianggap  rela merendahkan diri untuk dirinya. Lagi-lagi uang yang mereka lihat.

"Aku dengar tadi kamu ribut dengan salah satu staff?"

"Tidak ribut. Dia hanya mencurahkan kekesalannya karena ada seorang office girl yang berani-beraninya menggoda bosnya."

Tangan Renan mengepal mendengar jawaban Alisya. Ditatapnya Alisya dengan tajam. "Demi Tuhan, Alisya. Gunakan mulut kamu itu untuk membela diri! Bukan hanya untuk mendebat setiap ucapanku!"

Alisya tertawa hambar kemudian meminum kopinya agar kembali mendapat ketenangan. Setelahnya baru ia menjawab, "Apa yang harus saya bela? Bukankah benar yang mereka ucapkan? Saya ini hanya seorang wanita murahan penggoda atasan. Bahkan saya sampai punya anak tanpa pernikahan."

Renan benci mendengar Alisya merendahkan dirinya sendiri. "Kamu berharga!"

Alisya menatapnya dengan lekat. Nada bicara, tatapan dan gestur Renan berubah total ketika mengucapkan itu.

"Kamu dan Bryan berharga untukku." kata Renan lagi.

Alisya tak ingin bereaksi berlebihan. Dia masih ingat, yang ada di depannya adalah setan yang selalu saja akan pintar mengelabuhinya.

Keterkejutan kembali menyapa Alisya ketika tiba-tiba Renan menggenggam tangannya. "Jangan pergi dari sini! Beri aku waktu sedikit lagi agar bisa memperbaiki keadaan."

Alisya hampir saja terhanyut dalam tatapan dan buaian yang Renan berikan. Dengan cepat ia menarik tangannya namun ditahan oleh Renan.

"Alisya, jangan pernah berpikir untuk pergi dari sini." Kali ini tidak terdengar seperti perintah melainkan permohonan yang teramat tulus dari Renan.

Lama mereka saling mengunci tatapan. Alisya melihat sosok itu. Sosok yang dulu pernah sangat berarti baginya. Sosok yang selama ini ia tunggu kedatangannya. Akan tetapi, muncul lagi bayang-bayang kesedihan dan kesulitan yang terjadi setelah pria ini datang. Membuat Alisya kembali menarik tangannya perlahan dan kini berhasil.

"Keadaan seperti apa yang ingin Anda perbaiki?"

"Semuanya. Dan itu semua tentang kesalahanku. Aku minta maaf karena telah membiarkan kamu lama dalam kesulitan."

Air mata Alisya meleleh. Satu kata maaf yang ia tunggu selama ini akhirnya terucap dari mulut Renan. Tapi itu saja belum cukup, dia masih membutuhkan banyak sekali penjelasan darinya.

Renan menundukkan dirinya di depan Alisya hingga menumpukan keningnya di tangan Alisya. Sejenak larut dalam pikiran masing-masing.

Keheningan mereka terpecah oleh sering ponsel yang berada di saku Renan. Segera ia menjawabnya, "Ada apa, Bim?"

Renan memijit keningnya dan menatap penuh sesal ke Alisya sambil mendegar penjelasan dari Bima bahwa ada masalah yang harus segera ia bereskan.

"Aku harus pergi sekarang," ucap Renan sesaat setelah menutup teleponnya. "Tetap di sini, aku akan kembali. Setelah itu, kamu bisa tanyakan semua hal yang ingin kamu tau."

Ya ampun, manisnya mulut setan!

Alisya tetap bungkam ketika Renan berdiri lalu kembali menunduk untuk mencium keningnya. Hati dan pikirannya saling berbenturan. Ada sebagian dirinya yang percaya pada ucapan Renan, tapi ada sebagian lain yang menyangkalnya.

"Oh ya, Alisya. Aku tau bagimu aku ini setan. Tapi tolong ingat kata-kata ku! Tidak semua yang terlihat baik itu benar-benar baik. Dan sebaliknya."

Dapat didengar dengan jelas tapi Alisya tetap tidak ingin semudah itu terhanyut oleh kata-kata Renan.

Setelah pria itu tak terlihat lagi, Alisya tetap bertahan di sana, mengaduk kopi tanpa meminumnya. Renungannya baru terhenti ketika sebuah panggilan masuk dari seorang kurir yang mengantarkan barang-barangnya dari kantor. Tadi dia meminta tolong pada Tari untuk mengirimkan sisa barangnya yang masih tertinggal. Terpaksa memberitahukan alamat ini karena ia pikir Tari tahu sedikit cerita masa lalunya yang berasal dari keluarga berada. Ia mengaku apartemen ini adalah satu-satunya aset yang masih tersisa setelah keluarganya bangkrut.

Tidak banyak barangnya, hanya cangkir dan piring yang biasa ia pakai, dokumen-dokumen kontrak, sepasang sepatu dan sandal, lalu sepasang pakaian dan perlengkapan mandi. Tidak begitu berharga memang, tapi rasanya tidak rela meninggalkan di sana.

Kepalanya menoleh cepat diikuti langkah yang terhenti saat ia mendengar lift berdenting. Ada apa gerangan Renan kembali?

Alisya membelalak khas orang terkejut ketika mendapati Hasmita dan asistennya yang datang diantar seorang satpam. Saking terkejutnya sampai dia tak mampu bergerak maupun menjawab ketika Hasmita menyapanya. Namun pada akhirnya dia bisa memaksa langkah untuk menyambut... entah tamu atau pemilik apartemen ini.

Hasmita terus memandang Alisya tanpa suara. Sangat kentara sekali aura kecewa dan marahnya sehingga Alisya sudah bisa sedikit membayangkan apa yang akan terjadi.

"Alisya," Hasmita mengawali dengan menyebut namanya. "Ketika naik ke sini, saya masih berharap bahwa apa yang orang-orang katakan tentang kamu dan Renan itu salah. Tapi harapan saya hancur ketika melihat kamu berdiri di sini. Atau masih ada kemungkinan lain, Alisya? Katakan jika ini milik kamu sendiri! Bukan Renan yang memberi."

Alisya seperti kehilangan nyawanya saat ini juga. Apakah sekarang waktunya semua terbongkar?

"Bu Hasmita tau seperti apa keadaan saya."

Jawaban yang berikan disambut desahan kecewa oleh Hasmita membuat Alisya semakin merasa bersalah. Hasmita dan Tio sudah sangat baik kepadanya selama ini, tapi secara tidak langsung ia telah mencoreng nama besar mereka.

"Bryan anaknya Renan?"

Pertanyaan yang kembali membuat Alisya tak berdaya.

Mendapati Alisya yang hanya diam saja, kembali membuat Hasmita mengeluh kecewa bahkan menangis.

"Maafkan anak saya ya, Alisya!" ucapnya lirih. "Lagi-lagi dia membuat ulah. Semua salah saya dan papanya yang terlalu mengatur hidupnya sehingga dia sering membuat ulah agar kami berhenti menekan hidupnya."

Alisya terhenyak di tempatnya. Reaksi yang ia pikiran tidak sesuai dengan kenyataannya. Dia kira Hasmita akan marah besar karena melihatnya tinggal di apartemen milik Renan, terlebih lagi tahu bahwa Bryan adalah anak Renan.Tapi wanita itu malah menangis.

"Kamu korban ke dua, Alisya. Sebelum ini Renan sudah punya anak dari seorang wanita. Dan kami juga baru tau setelah anaknya besar. Sampai sekarang juga kami yang menanggungnya, Renan sama sekali tidak mau bertanggung jawab. Awalnya memang dia akan baik karena tujuan Renan adalah menjadikan anak dan wanita itu untuk mempermalukan kami, setelah tujuannya berhasil, Renan akan melupakan mereka."

Entah sudah ke berapa kalinya Alisya harus merasakan hatinya terkoyak oleh kenyataan. Namun, yang ini seperti puncak rasa sakitnya. Sampai habis air matanya untuk menangis. Ternyata memang setan tetaplah setan.

Hasmita menggenggam tangannya. "Tapi karena kamu wanita baik, kami tidak akan membiarkan kamu begitu saja, Alisya. Saya dan papanya Renan sudah berunding untuk menyudahi kelakuan Renan, karena kelihatannya dia memang benar jatuh cinta pada kamu. Namun kami juga harus tetap menyelamatkan nama baik keluarga kami." 

"Apa maksud Bu Hasmita?"

Hasmita menatap Alisya dengan penuh rasa tidak nyaman. "Kami hanya bisa mengambil salah satu dari kalian. Jika Renan mencintai kamu, silakan kalian menikah, tapi kami tidak bisa membawa Bryan masuk ke dalam keluarga kami. Tapi jika Bryan yang harus kami ambil, maka dengan berat hati kami tidak bisa membiarkan kalian menikah. Nanti akan kami urus alasannya jika hal ini terkuak ke publik."

"Saya tidak memilih keduanya." tidak perlu waktu lama untuk Alisya berpikir karena kedua hal itu tidak akan pernah ia pilih salah satunya. "Bu Hasmita tidak perlu khawatir. Saya tidak akan mempermalukan keluarga Anda karena saya memang sudah berniat pergi. Orang-orang tidak akan tahu tentang saya dan Bryan."

Hasmita menangis di depan Alisya. "Biarkan kami yang memberikan semua fasilitas yang kamu dan Bryan butuhkan."

Alisya menggeleng tegas. "Tidak perlu. Saya bisa mengurus Bryan sendiri. Lebih baik Bu Hasmita mengurus anak lelaki yang terhormat itu. Agar dia tidak lagi menghancurkan hidup orang lain demi keinginannya sendiri."

"Alisya,"

"Masa depan saya sudah hancur oleh anak Ibu. Tentu saya tidak akan membiarkan masa depan Bryan bernasib sama. Tidak usah dianggap Bryan adalah keturunan dari anak Anda. Dan tidak perlu ada tanggung jawab dalam bentuk apapun dari keluarga Anda. Dia anak saya, selamanya hanya anak saya."

 

To Be Continued

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #UnlockNow Takdir Alisya (Chapter 14)
3
0
“Mama, kenapa kita tidak pulang ke rumah om Renan lagi?”“Bian Sayang, kita tidak boleh merepotkan bos Mama terus menerus. Maka dari itu, sekarang kita tinggal di sini. Bian sama Mama.”Anak itu nampak sedih namun pada akhirnya mengangguk. Bryan tetap menjadi anak yang pengertian.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan