
"Inget! Tetap jaga 6M!" ucap Lila lagi sebelum aku benar-benar pamit. Mau tidak mau aku penasaran, setauku prokes yang dianjurkan cuma 5M.
Seperti tau tentang rasa penasaranku, Lila tertawa. "Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas dan mencintai Akmal!"
Happy Reading
PART 4 : PROKES 6M
JOVITA
"Vi, udah sedia paracetamol berapa?"
Bu Martha berbisik sesaat sebelum rapat diakhiri. Hari ini seperti yang sudah rutin dilakukan, diadakan rapat umum, semua civitas rumah sakit yang sedang tidak jaga shift diundang tanpa terkecuali. Agendanya penguatan kembali komitmen menjalani visi dan misi, evaluasi layanan dan terakhir lain-lain.
Nah bagian lain-lain ini yang bakal bikin Tim Bu Martha konsumsi paracetamol berhari-hari, termasuk aku yang kini duduk di samping beliau.
"Udah saya siapin satu box, Bu!" bisikku.
Bu Martha tersenyum tipis, seakan mengisyaratkan bahwa setelah ini kami akan jadi orang yang paling populer di seantero rumah sakit ini.
Sebelum mengumumkan berita terakhir, Bu Martha menarik napas dalam. "Untuk pengumuman tambahan, dengan berat hati kami sampaikan kebijakan baru dari pemangku yayasan bahwa per tanggal 21," Bu Martha sengaja menjeda untuk mengisi kembali mental. ".. tidak ada uang lembur bagi karyawan yang masuk di hari libur hari besar, sebagai gantinya, akan kami ganti dengan uang makan senilai dua puluh ribu." lanjut beliau.
Dan benar saja seperti yang sudah-sudah, aula utama rumah sakit ini langsung riuh, ada yang teriak ada yang menyoraki, ada yang diam saja karena syok.
Salah seorang pegawai mengangkat tangannya untuk meminta izin memberikan tanggapan. "Maaf Bu, kami tau keadaan sedang seperti ini, banyak orang terdampak. bagaimana dengan nasib kami yang pelayanan, Bu? Kami harus mengorbankan waktu libur yang seharusnya bisa kumpul dengan anak dan istri, tapi harus tetap kerja. Kemarin kita sedikit terhibur dengan adanya yang lembur, dan sekarang? Uang dua puluh ribu dapat apa Bu? Mending sekalian tutup aja rumah sakit ini di hari libur!"
Beberapa yang lain langsung teriak setuju. Aku tetap duduk anteng menjaga wibawa tanpa menunjukkan ekspresi terpengaruh, selayaknya yang dilakukan bu Martha.
Itu bukan karena kami sombong dan nggak peduli karyawan ya! Tapi itu trik yang Bu Martha ajarkan agar kita tetap tampil wibawa di depan karyawan meskipun dalam hati kita juga tetap perang batin, kasihan dengan kebijakan yang menyusahkan sebagian besar karyawan.
Dan seperti yang sudah biasa terjadi, Bu Martha selalu sukses tampil wibawa untuk menjawab semua protes dari karyawan. Hingga akhirnya rapat ditutup dengan damai atau mungkin dipaksa damai.
Aku berjalan bersama Bu Martha menuju ruangan, beliau tetap berjalan dengan penuh wibawa, tetap menyapa karyawan yang berpapasan dengan ramah. Tapi begitu masuk di ruanganku, beliau langsung mengunci pintu dan menghempaskan tubuh di sofa.
"Oviiiii... Mau meledak kepala saya!" keluhnya.
Selanjutnya Bu Martha tertawa pelan sambil memegang kepalaku layaknya anak sendiri. Bukan tertawa bahagia, tapi tertawa miris. Aku lumayan dekat dengan beliau, terkadang beliau bisa seperti mamaku sendiri.
"Duh Vi, nasib kita kok gini amat ya! Nggak selesai-selesai jadi bulan-bulanan orang sekantor! Setiap ada kebijakan dari atasan kita yang harus jadi tameng menghadapi karyawan. Kalau kinerja karyawan menurun gara-gara kebijakan yang nggak sesuai kita juga yang dituntut atasan. Kita ini kayak bola nggak sih, Vi? Di tendang kesana kemari."
Aku membalasnya dengan tertawa pelan lalu memijit pundak beliau. "Kata Bu Martha sendiri kita harus melakukan apapun pekerjaan dengan sepenuh hati, nanti pasti akan ada balasan kebaikannya sendiri. Bu Martha udah selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kantor ini. Kalau mau selesai ya jalan satu-satunya resign, Bu! Tapi kalau saya belum mau, masih pengin ngumpulin uang buat beli jet pribadi!"
Akhirnya Bu Martha tertawa mendengar leluconku. Padahal menurutku garing, aku ini bukan tipe orang yang bisa melucu. Kata Lila kalau aku melucu malah bikin perut kembung karena nggak bisa bikin tertawa.
"Kayaknya saya yang udah harus pikir-pikir, Vi! Kalau anak saya udah lulus dan dapat kerja, dia minta saya berhenti!"
Diam-diam aku salut dengan atasanku ini, beliau adalah single parent, seorang pekerja keras dan baik hati, ya meskipun kadang galak juga. Selama ini beliau berjuang untuk membesarkan anak semata wayangnya, yang sebentar lagi akan menjadi seorang tentara.
"Eh Vi, kayaknya kamu nggak usah kerja lama-lama kalau pengin beli jet pribadi. Secara pacarnya aja udah mentereng gitu!"
Aku menatap bingung ke Bu Martha. "Pacar yang mana lagi, Ibu? Saya ini seorang yang mandiri, suka melakukan apa-apa sendiri, tidak butuh teman berbagi."
"Halah, bilang aja jomblo!" sahut Bu Martha dengan cepat dan akhirnya kami berdua tertawa. "Itu lho, legal officer kebanggaan Andromeda, kemarin saya lihat habis rapat kamu jalan bareng sama dia! Cocok lho Vi, ganteng!"
"Bu Martha juga pacaran sama Pak Rio? Kemarin saya lihat Ibu jalan bareng sama Pak Rio!" balas ku.
Reflek Bu Martha langsung memukul lenganku. "Sembarangan!"
Aku tertawa puas. "Nah! Jalan bareng bukan berarti pacaran kan Bu? Saya kemarin cuma nggak sengaja makan bareng aja! Dia temannya dr. Rafa."
"Oalah.. Kirain. Eh kamu jadi cuti besok?"
Aku mengangguk mantap, hari jumat aku mengambil cuti agar bisa libur tiga hari nyambung sama weekend. Tidak ada rencana pergi jauh karena memang keadaan belum memungkinkan, pandemi ini membuat ruang gerak terbatas.
"Oke kalau gitu, thank you udah kerja maksimal dan maaf beberapa hari ini kamu lembur terus. happy holiday! Janji deh, saya nggak bakal ganggu kamu!" ucap Bu Martha sambil berlalu dari ruanganku, tapi beberapa detik kemudian beliau kembali membuka pintu. "Tapi hp diaktifin ya, kalau sewaktu-waktu saya butuh!" ucap beliau sambil tertawa.
Semoga kebutuhan Bu Martha yang wajar-wajar saja sehingga aku nggak harus datang ke kantor di waktu cuti.
~~
Hari yang udah aku nantikan akhirnya tiba. Karena cutiku kali ini terbilang mendadak, aku tidak punya persiapan matang untuk travelling jauh, apalagi nona Lila tidak bisa ikut ambil cuti. Akhirnya aku putuskan untuk menghabiskan liburan di rumah orangtua. Lumayan di sana bisa staycation di kamar sambil menghabiskan daftar film yang ingin aku tonton.
Sebelum aku pulang, aku harus rela dijadikan probandus oleh Lila. Aku merelakan dua lubang hidungku yang mungil dijadikan mainan oleh sahabatku itu.
"Jangan dalem-dalem, Lil!!" seruku sesaat sebelum Lila memasukkan alat swab ke hidungku.
Dia hanya menunjukkan sikap hormat sebagai jawaban karena sedang memakai alat pelindung level tiga.
Air mataku meleleh begitu saja saat Lila dengan lihai mengusap bagian dalam hidungku. Hanya beberapa detik tapi rasanya luar biasa. Aku langsung berdiri dan ke kamar mandi untuk bersin saat Lila selesai mengambil sampelku.
Dia melepas face shield dan sarung tangannya sambil tertawa puas melihat aku yang bersin berulang kali.
Setelah sepuluh menit kemudian Lila menunjukkan hasilnya. "Maaf Bu Jojo, sepertinya anda dan suami harus berusaha lebih keras lagi karena hasilnya strip satu dan saya nyatakan negatif.
Aku tak segan untuk mendorong tubuhnya hingga dia terhuyung. "Salah server!!" protesku.
Dia masih tertawa. "Kamu nggak tau kan penemuan terbaru bahwa janin bisa terdeteksi lewat ingus?"
Bisa-bisanya aku mendengarkan ucapan konyolnya sampai akhir. "Terserah!!" jawabku. "Udah sini mana surat keterangannya, aku pengin cepet pulang. Mau liburan!"
Lila menyerahkan surat hasil swab antigen ku sambil mencibir. "Mau tidur di rumah tante aja pakai gaya-gayaan liburan. Salam buat tante dan Om sama berondong manisku, Jovan!"
Aku menatap ngeri, pantas saja adikku-Jovan-selalu kabur kalau ada Lila main kerumah.
"Inget! Tetap jaga 6M!" ucap Lila lagi sebelum aku benar-benar pamit. Mau tidak mau aku penasaran, setauku prokes yang dianjurkan cuma 5M.
Seperti tau tentang rasa penasaranku, Lila tertawa. "Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas dan mencintai Akmal!"
Sial! Satu menitku terbuang sia-sia untuk mendengarkan ketidakwarasan Lila. Dia semakin terbahak melihat wajah kesalku. Dia membalas lambaian tanganku, dan aku buru-buru pergi sebelum Lila kumat lagi.
Dengan berbekal surat keterangan hasil rapid ini aku lebih tenang lagi pulang ke rumah. Terlepas dengan segala kontroversi yang terjadi tentang virus itu, aku memilih tetap menjaga kesehatan dan prokes, tidak ada salahnya agar bisa melindungi diri sendiri dan keluarga.
Aku menyetir dengan santai karena jalanan pagi ini lumayan sepi, membuat aku hanya butuh waktu 45 menit untuk sampai rumah mama, biasanya bisa satu jam atau lebih. Rumah orangtua masih satu provinsi dengan tempat tinggalku, hanya saja karena kantorku lumayan jauh akhirnya aku lebih memilih tinggal sendiri di daerah dekat kantor.
Suara cempreng Lila masih terngiang di telinga, masih terekam jelas gimana lantangnya dia mengingatkan agar aku selalu menjaga prokes, membuat aku otomatis mencuci tangan sebelum masuk rumah.
Mama langsung memelukku erat saat aku baru saja membuka pintu. "Ya Ampun Kak! Mama kangen banget, sejauh apa sih rumah ini, sampai butuh waktu satu bulan baru nyampe?"
Aku hanya bisa meringis bersalah, langsung saja meminta maaf karena kerjaan lagi nggak manusiawi banget.
Dari mama aku beralih menyapa Jovan yang sedang serius di depan laptop, dia hanya mengangkat tangannya sebagai tanda menyapaku, sepertinya dia lagi kuliah online dan nggak bisa di ganggu.
Dari Jovan aku menghampiri papa yang sedang duduk di sofa ruang tengah, sibuk dengan ponselnya.
"Pa?" sapa ku seraya meraih tangan papa.
"Baru sampai?" sahut papa tanpa mengalihkan pandangnya dari layar ponsel.
"Iya, Pa! Papa apa kabar?"
"Baik!" jawab papa dengan nada dingin dan masih saja tanpa memandangku.
Aku pamit dan berjalan menjauh dari papa dengan perasaan yang tiba-tiba berubah. Tadi aku senang bisa pulang bertemu keluarga setelah sekian lama, tapi mendapati papa yang masih bersikap dingin padaku membuat aku tiba-tiba ingin mengubah rencana liburanku.
Di kamarku ada sebuah bingkai foto di meja, di sana ada aku yang baru saja di wisuda dengan selempang cumlaude dan membawa buket bunga. Di sampingku ada mama, papa dan Jovan yang tersenyum bahagia.
Kalau boleh jujur, aku rindu sikap hangat papa, aku rindu ditanya papa tentang bagaimana kerjaanku hari ini, aku rindu melihat ekspresi bangga papa dan kesabaran papa mendengarkan aku bercerita, padahal terkadang ceritaku tidak penting, tapi papa selalu menjadi pendengar yang baik.
Setetes kristal bening leleh dari mataku tanpa bisa aku bendung. Aku rindu papa yang dulu.
Aku buru-buru mengusap air mata saat mendengar ponselku berbunyi. Aku sudah was-was sekali karena yang bunyi adalah ponselku yang aku pakai khusus untuk kerjaan.
Kelegaan langsung memenuhi hatiku saat nama Akmal yang tertera di layar ponsel, aku sudah khawatir jika Bu Martha atau orang kantor yang telepon.
"Vi! Sorry gue telepon. Cuma mau tanya jadi nggak kita join liburan? Gue weekend ini free, udah ambil cuti senin, tapi kalau lo nggak bisa nggak apa-apa."
Aku menepuk kening sendiri, benar-benar baru ingat aku pernah berencana jalan bareng Akmal. Aku langsung meminta maaf karena lupa dan terlanjur pulang ke rumah orang tua. Tapi jawaban Akmal lebih membuat aku terkejut lagi.
®©®
AKMAL
Gue orangnya jarang melakukan sesuatu tanpa rencana. Kalau niat mau jalan atau liburan biasanya gue siapin segala macemnya terlebih dahulu jauh-jauh hari. Tapi kali ini agak sedikit keluar jalur. Entah apa yang membuat gue tiba-tiba memutuskan untuk menghabiskan weekend plus satu hari cuti ke daerah rumah orangtua Jovita.
Tadi siang gue telepon dia untuk menanyakan rencana liburan bareng, dan berita konyolnya dia lupa sama rencana ini, udah keburu mudik duluan ke rumah ortu. Ya gue hanya sekedar rekan kerjanya aja, wajar kalau lupa. Lagian rencana itu juga cuma iseng aja bukan sebuah janji.
Gue memang lebih sering melakukan hal yang terencana, tapi kalau soal omongan kadang suka nerocos gitu aja keluar dari mulut. Seperti tadi, mulut gue nggak kekontrol banget waktu tiba-tiba tanya sama Jovita, bolehkah gue nyusul dan liburan di sana. Dan udah gue bilang, Jovita itu bukan cewek yang ribet, dia hanya butuh beberapa detik untuk mikir dan langsung mengiyakan pertanyaan gue tanpa embel-embel apakah tujuan gue sebenarnya, karena emang gue hanya sekedar pengin liburan.
Gue langsung check in di hotel yang kebetulan banget dapet yang dekat dengan rumah Jovita. Baru malam ini gue janjian ketemuan sama dia di sebuah cafe.
"Sorry nih gue jadi ngerepotin!"
Jovita mengambil tempat di depan gue. "Mau jawaban jujur nggak?" tanyanya sambil tertawa.
"Gue udah deg-degan duluan, Vi!"
Dia semakin tertawa. "Sejujurnya ganggu dikit sih, gue udah menyusun rencana mau tidur tapi berhubung lo turis di daerah kekuasaan gue, maka gue relakan rencana tidur."
Udah gue bilang, Jovita orangnya asyik. Gue nggak perlu susah payah untuk memeriahkan suasana.
"Jadi besok gue mau diantar kemana nih, gue kan nggak begitu hafal tempat-tempat di sini, gue nurut aja sama yang punya kekuasaan."
"Gue ajak adik gimana? Dia kayaknya yang lebih paham daerah sini." tanya Jovita sambil tertawa pelan merasa ironi, tadi membanggakan diri sekarang malah mengaku adiknya yang lebih tau.
Gue sama sekali nggak masalah, malah senang ada tambahan teman jalan. Akhirnya setelah menyusun rencana, didapat keputusan besok kita akan jalan ke pantai bersama adiknya Jovita.
Malam itu gue nggak tau kenapa ada sesuatu yang sedang Jovita pikirkan. Mungkin aja ada masalah lagi di kerjaannya. Gue cuma iseng ngajak dia nonton sehabis makan tadi, dan diiyakan olehnya.
Setelah gue pikir-pikir, belakangan ini hidup gue banyak rencana mendadak dan hal iseng. Tapi iseng yang harus gue syukuri.
PART 5 : Golden Sunset
JOVITA
Entah ini kebetulan yang ke berapa kali, mungkin ketiga atau enggak keempat aku bisa jalan bareng Akmal. Sampai detik ini aku mengakui bahwa dia bisa menjadi teman yang lumayan seru. Tidak pernah meributkan sesuatu yang tidak penting, mau ngopi ya tinggal jalan, mau makan ya tinggal cari, semuanya mengalir begitu saja.
"Jovan nggak ada capeknya! Beda umur kali ya? Gue aja udah engap banget dia masih kuat lanjut!" ujarnya.
Aku menertawakan Akmal yang berjalan mendekat sambil meregangkan otot-ototnya. Sejak dua jam yang lalu Akmal dan Jovan semangat melihat biota yang ada di laut dangkal ini. Sedangkan aku memilih duduk, menikmati pemandangan laut lepas.
Ada untungnya juga datang kesini saat pandemi, karena tempat ini sepi dan kami bisa leluasa menikmati setiap jengkal bagian pantai. Tapi kasihan juga mendengar cerita pengelola tempat ini, tadi aku sempat ngobrol dengan salah satunya, pemasukan mereka berkurang drastis. Hampir semua pedagang di sini tutup, untung tadi aku menuruti perintah mama saat beliau dengan semangat menyiapkan bekal untukku dan Jovan. Walaupun hanya untuk dua orang, tapi aku yakin untuk enam orang pun merata, mama paling nggak mau anak-anaknya kelaparan.
"Dia pasti pusing banget kuliah online, makanya semalam pas gue ajak langsung semangat banget." jawabku.
Akmal melepas snorkelnya sambil berkata, "Anak sekarang kasihan banget ya, kuliah online, kalau pusing ya pusing sendiri. Kalau dulu pusing kan bisa langsung nongkrong sama teman."
Aku setuju dengan ucapannya, pandemi ini juga berdampak menurunkan kualitas pendidikan. Bertatap muka dengan dosen atau guru saja tingkat kepahaman murid ada yang tidak maksimal, apalagi jarak jauh!
Aku mendekatkan minuman dan roti bakar ke dekat Akmal. Dan melihat itu dia malah tertawa. "Gue mau minta tadi tapi malu, eh untung lo lumayan peka, Vi!"
"Kalau kata orang Jogja, 'isin ra wareg!'"
Akmal menggigit roti bakar sambil mengerutkan keningnya. "Apaan itu? Lo bisa bahasa jawa?"
"Dikit," jawabku sambil meringis pelan. "Artinya kalau malu-malu nggak akan kenyang!"
Tawa Akmal semakin terdengar keras. "Ya gue ini lagi tahap mencari tau lo itu orang yang mudah illfeel nggak, nanti kalau gue main comot aja, besok-besok lo malah jadi ogah jalan sama gue lagi."
Akmal menggaruk rambutnya sambil meringis. "Kali aja lo mau jalan bareng lagi!" imbuhnya cepat saat melihatku hanya tertawa pelan.
Di saat itu, ponsel Akmal berbunyi namun dia meletakkannya kembali setelah tau siapa yang memanggilnya dan halal serupa berulang sampai tiga kali.
"Gue ke sana dulu, Mal!" pamit ku karena merasa tidak enak, kalau saja Akmal nggak mau mengangkat telepon karena ada aku di sini.
Namun Akmal buru-buru mencegah. "Sorry, telepon gue ganggu ya?"
Buru-buru aku menggeleng. "Nggak lah, angkat aja! Gue ke sana dulu."
"Kalau lo mau ke sana karena pengin lihat-lihat, silahkan! Tapi kalau karena telepon gue, nggak usah. Gue nggak angkat karena gue nggak pengin aja." terangnya.
Aku mengurungkan niat untuk pergi karena tertarik pada sesuatu yang Akmal ucapkan. "Kenapa nggak pengin angkat?"
Dia mengedikan bahu dengan santai. "Di hari libur gini, gue punya prioritas. Yaitu menikmati waktu luang. Itu tadi temen gue yang udah sejak semalam telepon, dia butuh bantuan gue, karena gue anggap masalah dia nggak terlalu urgent ya udah, gue tolak. Gue bilang lagi di luar kota."
"Kenapa, Vi?" tanya Akmal lagi, mungkin dia heran melihat aku yang bengong menatapnya. "Gue kebanyakan makan ya? Sorry." imbuhnya sambil meringis.
Aku menggeleng cepat, bukan itu yang membuat aku bengong. "Habisin aja kalau mau. Gue cuma lagi tertarik sama ucapan lo tadi. Gimana caranya lo bisa dengan mudah menolak permintaan, padahal itu teman lo lagi butuh bantuan?"
Sekarang giliran Akmal yang menatapku heran. "Emang kenapa? Ya kalau gue nggak bisa bantu ya gue tolak, lihat-lihat masalahnya juga sih, dan gue anggap temen gue tadi nggak terlalu darurat."
Dari Akmal aku mengalihkan pandangan ke laut lagi. Aku merasa sedikit tersentil dengan ucapannya. Pengin rasanya bisa seperti Akmal.
"Gimana caranya lo bisa dengan mudah menolak permintaan orang lain?"
Akmal secara terang-terangan menunjukkan ekspresi heran. "Maksudnya, Vi?"
Kemudian aku bercerita bahwa aku ini orang yang nggak enakan dan susah sekali bilang tidak, hampir semua permintaan orang-orang yang kenal, selalu aku iya kan tidak peduli aku yang malah jadi susah.
"Kenapa bisa begitu? Emang lo nggak keberatan selalu mengiyakan permintaan teman?" cecarnya.
"Masalahnya itu, Mal! Gue kadang ngerasa berat tapi yang ada dipikirkan gue, jika orang minta tolong sama gue, berarti orang itu butuh banget, kalau nggak gue tolong rasanya ngeganjel banget di hati, kayak nyesel gitu nggak bantuin."
Akmal mengangguk beberapa kali dan kini dia memandang lautan luas. "Coba deh Vi, perlahan lo rubah mindset itu! Mungkin sampai detik ini lo masih ngerasa mampu, tapi suatu saat lo bisa jadi susah sendiri. Gue jadi inget beberapa hari yang lalu pas ngopi sama Rafa dan Lila, Lila bilang dia bingung deskripsiin lo, antara baik, polos atau bego!"
Aku tertawa sekaligus khawatir. Mereka bertiga jalan bareng, yang bikin aku was-was adalah mulutnya Lila yang nggak ada saringannya, aku takut dia ngomong yang enggak-enggak sama Akmal. Kalau cuma ngomongin masalah kejelekanku nggak masalah, tapi kalau dia sampai promoin aku di depan Akmal, aku janji akan bikin perhitungan sama dia.
"Separah apa rasa nggak enakan lo, sampai Lila bilang lo bego?" selidik nya.
Sebelum menjawab aku minum dulu, sambil mengingat sebagian hal kecil tapi konyol yang pernah aku lajukan karena rasa tidak enak pada teman. "Pernah gue ada undangan nikah, janjian sama teman. Terus temen gue minta tolong dijemput,"
"Masih wajar sih itu, Vi!" sahut Akmal cepat.
Aku tertawa geli sebelum melanjutkan. "Masih ada lanjutannya, Mal! Jarak rumah gue ke tempat acara nikah lebih deket dari jarak rumah gue ke rumah teman itu, terus temen gue minta tolong buat beliin kado pernikahan dulu sebelum jemput dia. Dan gue lakuin semuanya. Pernah ada orang yang minjem duit juga, dulu dia bilang mau buat operasi ibunya, udah dua tahun lalu itu, dan sekarang nggak ada kabar."
"Banyak?"
"Ya, cukuplah buat beli es doger sekalian gerobak dan motor abangnya." jawabku mencoba merasa enteng.
Akmal menatapku dengan terperangah, "Pantes sih, Vi, kalau Lila bilang lo bego." ucapnya dan detik berikutnya dia meminta maaf karena tidak sengaja meledekku.
Aku tidak marah sama sekali, malah ikut tertawa juga. Aku juga merasa kok, memang aku ini nggak tegas sama diri sendiri, mungkin benar kata Lila, aku bego. Kadang nggak sadar kalau dimanfaatkan orang lain.
"Gue juga sadar sih, Mal. Tapi beneran susah banget bilang tidak, apalagi gue merasa bisa bantu." ungkapku.
Akmal kembali tersenyum untuk membesar kan hatiku. "Coba mulai dari jujur sama diri sendiri, Vi! Sayangi diri lo sendiri juga! Nggak semua hal bisa lo lakukan, nggak semua permintaan orang lain bisa kita penuhi, diri kita punya batas kemampuan. Jangan sampai kita mementingkan orang lain tapi diri kita sendiri yang terbebani. Kata orang-orang pinter itu, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik." ujarnya.
Setelah sekian lama, aku baru menemukan sesuatu yang tepat untuk menampar diriku sendiri. Bahwa diriku ini punya batas kemampuan, dan sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
"Kalau kata papaku, Bahagia itu berawal dari sehatnya batin, Vi! Nggak akan kita mencapai kebahagiaan secara sempurna kalau batin kita sendiri masih penuh beban." imbuhnya dan kembali diakhiri dengan senyum teduhnya.
Lagi-lagi aku tertampar dengan kata-kata Akmal, bahagia berawal dari batin yang sehat. Sedangkan aku masih selalu perang dengan batinku sendiri.
"Makasih ya, Mal! Maaf, Gue jadi curhat."
"Selain konsultasi soal hukum, gue juga siap 20 jam untuk konsultasi masalah lo, Vi!" canda Akmal.
Aku ikut tertawa lagi. "Nanggung amat cuma 20 jam."
"Biasanya 4 jam kalau malam gue tidur dan nggak bisa diganggu, maksudnya kalau gue tidur susah bangunnya, kata Rafa kebiasaan gue 4 jam itu pingsan bukan tidur. tapi kalau lo butuh banget gue, jangan ragu untuk gangguin gue."
Aku mengucapkan terimakasih atas tawarannya entah bercanda atau serius tapi tentu saja aku tidak akan merepotkannya untuk masalahku ini. Sarannya kali ini sudah cukup berefek bagiku.
"Lo deket banget sama Rafa?" Aku mencoba merubah bahasan.
"Lumayan, dulu kita satu SMA, kuliah juga universitasnya sama cuma beda fakultas tapi tetap diusahakan nongkrong bareng. Tapi gue terbilang yang paling jarang ikut kumpul-kumpul, karena kampus gue yang jaraknya paling jauh." terangnya.
"Pasti lebih suka hangout sama cewek-cewek ya?"
Akmal tertawa keras, "Lo bukan orang pertama yang nebak gitu. Ya gue nggak munafik sih, emang suka jalan sama cewek tapi kalau gue bilang alasan yang sebenarnya pasti lo juga nggak akan percaya. Papa gue itu family Man banget, beliau selalu memprioritaskan keluarga, gue dididik seperti itu, dan mungkin karena dari kecil apa yang gue dengar dari papa itu sama dengan apa yang papa lakukan, jadi kayak udah nancep gitu di kepala gue. Keluarga nomor satu. Papa selalu bilang, gue boleh nongkrong, boleh jalan, boleh berkelana kemanapun tapi jangan lupakan keluarga, karena keluarga satu-satunya tempat yang akan menerima kita dalam keadaan apapun."
Lagi? Ucapan Akmal membuat hatiku berdesir. Papanya Akmal mirip sekali dengan papaku, tapi dulu sebelum aku membuat beliau kecewa. Sekarang papa hanya sebatas menganggapku anak yang lahir dari istrinya. Tak pernah sudi memberiku nasehat atau teguran. Aku benar-benar telah kehilangan kasih sayang papa.
"Tapi semakin dewasa dan bertambah tua, semakin banyak gue bertemu orang-orang, gue jadi bersyukur punya keluarga yang baik, nggak semua orang seberuntung gue, Vi. Ada yang merasa keluarga adalah sumber kesedihan, ada yang malah nggak nyaman tinggal di rumah, dan itu semua membuat gue semakin ingin menjaga kebahagiaan keluarga gue. Sambil ikut berdoa agar orang-orang yang belum beruntung itu bisa segera menemukan kenyamanan keluarga." ucap Akmal yang membuat hatiku berdenyut, entah ke berapa kalinya.
Aku salah satunya yang tak beruntung itu, Mal! Dulu aku merasakan apa yang namanya kehangatan keluarga. Tapi sekarang aku merasa lebih nyaman tinggal sendiri.
🔹🔹🔹
AKMAL
Gue ngerasa mulut gue ini bener-bener butuh diperiksa ke dokter, kali aja ada saraf yang eror atau apa, soalnya daritadi gue nerocos tanpa rem, dan sekarang gue nyesel sendiri, gue nggak tau kata-kata gue yang mana yang salah sehingga membuat Jovita berubah ekspresi jadi sedih. Setidaknya itu yang gue tangkap dari wajahnya saat ini.
"Sorry, Vi! Gue daritadi banyak omong ya? Maaf kalau ada kata-kata gue yang bikin lo nggak nyaman."
Mendengar ungkapan maaf gue, Jovita langsung menoleh dan tersenyum lebar, berusaha merubah ekspresinya. "Nggak lah, justru gue mau ngucapin makasih karena dapat banyak hal dari saran lo."
Sebenarnya gue ini tipe yang kepo-an banget, level penasaran gue udah level parah, tapi untungnya gue bisa mengendalikan rasa itu. Sejujurnya gue penasaran, pengen banget tanya apa yang mengganjal di diri Jovita, rasanya ada sesuatu yang membebani hatinya. Tapi setelah gue pikir lagi, nggak sopan. Batas gue cuma sampai disini.
"Ah payah Kak! Gue cariin ternyata udah di sini aja! Padahal di ujung sana pemandangannya jernih banget, bagus. Nyesel pasti nggak sampai sana." Jovan datang dengan badan yang masih basah kuyup. Diam-diam gue senang dengan kedatangan pemuda ini, jadi bisa mengalihkan rasa kepo gue pada Jovita.
Gue melempar botol air mineral yang Jovan minta dan ditangkapnya dengan sempurna. "Seminggu ini sibuk banget, gue nggak sempet olahraga, Van, jadinya baru nyelam sebentar udah engap banget."
"Gue sih maklum Kak, usia memang nggak bisa dibohongi! Kayak kakak gue nih, ngakunya malas kalau diajak nyelam padahal karena napasnya udah ngos-ngosan karena usia yang makin tua!" jawabnya sambil tertawa.
"Sialan!" Jovan semakin tertawa saat tanpa sengaja gue dan Jovita bisa barengan mengumpat ke dia. Tadinya gue sempat mikir kalau adiknya Jovita nggak suka ada gue, secara kan tiba-tiba aja Jovita ngajak dia jalan bareng gue yang bukan siapa-siapa ini. Tapi ternyata dia nggak jauh beda dengan kakaknya, humble anaknya.
Menghabiskan waktu seharian di pantai bersama kakak beradik ini bukan sesuatu yang buruk, malah seru. Kami beranjak dari sini setelah puas menikmati golden sunset. Mampir makan malam dulu baru setelahnya gue kembali ke hotel dan mereka berdua pulang ke rumah.
Rencana gue masih pengin stay sehari lagi di sini tapi kayaknya pulang aja, atau siapa tau nanti ada acara mendadak lagi.
Langkah gue ke kamar mandi terhenti karena suara pesan masuk. Dari layar pop up gue lihat nomor baru, tapi gue malas buru-buru membukanya. Baru setelah lima belas menit berlalu dan gue selesai mandi, gue buka pesan tadi.
0811101502xx
Terimakasih seharian ini lo udah alih profesi jadi temen curhat gue, Mal. Semoga jamuannya nggak mengecewakan.
Gue hampir jadi orang gila karena senyum-senyum sendiri mendapat pesan dari nomor baru yang gue tebak pasti ini nomor pribadi Jovita. Langsung lah gue save nomornya.
Gue lumayan tersanjung karena nomer gue akhirnya kesimpen di hp pribadinya bukan hp kerjaan. Tapi gue juga langsung sadar, ini Jovita bukan cewek lain yang gue kenal sebelumnya. Mungkin bagi beberapa cewek, menyimpan nomor cowok di hp pribadi itu sesuatu yang istimewa, tapi belum tentu bagi Jovita. Gue ingat tadi dia sempat cerita, dia udah parno duluan saat ponsel kerjaannya bunyi, dia kira bosnya yang telepon, tapi ternyata dari gue.
Dari situ gue jadi yakin, apa yang dia lakukan ini bukan sesuatu yang istimewa hanya sebatas agar tidak parno lagi kalau gue telepon. Noted.
PART 6 : Life Must Go On
JOVITA
"Berdasarkan pengamatan ku yang nggak pernah salah, ini punggung berondong manisku, dan ini punggung Akmal. Nggak salah lagi, ini jelas potongan rambut Akmal, nanti aku cari tau Akmal punya celana kolor warna ini enggak."
Sama sekali aku enggan memperdulikan Lila yang sejak tadi heboh mengamati postingan di feed instagram milik Jovan yang di unggah beberapa menit yang lalu. Sekilas tadi aku juga melihat postingan itu, Jovan memposting fotonya dan Akmal yang sedang mengamati sunset di tepi pantai minggu lalu. Aku hafal betul, karena aku yang mengambil gambar itu dari belakang mereka agar View sunsetnya terlihat.
Satu hal yang aku amati, Jovan mengetag akun instagram Akmal, sudah saling follow aja mereka.
Lila mencomot cemilan yang sedang aku nikmati sambil nonton film di kamar. Malam ini Lila mendadak pulang ke rumahku, katanya kangen. Antara percaya nggak percaya sih.
"Jujur deh sama aku, kamu kemarin liburan bareng Akmal kan?"
"Iya, nggak sengaja. Mendadak juga itu rencananya." jawabku malas.
Lila langsung berteriak heboh sambil lompat-lompat di kasurku, kadang aku benar-benar nggak habis pikir, ada ya jenis dokter yang kayak gini?
"Gercep banget itu Si Akmal padahal baru kemarin aku kasih wejangan." Lila langsung menutup mulutnya merasa keceplosan ketika aku langsung menatapnya penuh selidik.
Aku mengambil bantal dan langsung memukulnya beberapa kali sebagai tanda protes karena apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Pasti Lila sudah ngomong aneh-aneh sama Akmal.
Bukannya marah, Lila malah tertawa puas. "Jangan nethink dulu dong! Aku cuma bilang kamu itu orangnya terlalu baik mendekati bego, jadi jangan macem-macem. Atau aku sendiri yang akan suntik mati dia."
Lila tetaplah Lila, orang yang paling nyebelin sekaligus orang yang paling aku sayang. Dia selalu menjaga aku dengan caranya. Tapi kali ini aku benar-benar harus membuat perhitungan sama dia.
"Kamu malu-maluin, Lil! Ngapain ngomong gitu sama Akmal? Memang Akmal ada tujuan apa sama aku? Kita beneran hanya sekedar teman ngobrol."
Aku semakin kesal saat Lila malah bertepuk tangan sambil tertawa. "See? Sejak kapan seorang Jovita punya pikiran malu di depan cowok? Biasanya kamu itu paling nggak peduli anggapan cowok kalau memang cowok itu nggak berarti apa-apa buat kamu."
Lila memegang kedua sisi wajahku dan menggerakkannya beberapa kali. "Dengerin kata-kataku! Lupain masa lalu kamu dengan cowok brengsek itu! Jangan bego lagi, pengalaman pertama kamu jatuh cinta memang buruk, tapi jangan terus-terusan menghukum diri kayak gini. Hidup kamu harus terus berjalan, kamu berhak bahagia."
Setelah sekian lama, akhirnya aku mengakui bahwa aku nggak bisa bersikap sok kuat lagi di depan Lila. Tatapan Lila berubah jadi sendu saat tangannya basah oleh air mataku. Dia mengusapnya lalu memelukku. "Sorry kalau aku tadi terlalu maksa kamu. Jangan pikirin omonganku lagi tentang Akmal, aku nggak mau bikin kamu mikir berat. Soalnya kamu ngerepotin kalau udah mikir berat, pasti sakit. Aku hanya terlalu semangat pengin lihat kamu bisa membuka hati lagi, bisa tertawa lepas lagi, dan aku pikir Akmal orang baik, aku udah banyak dengar cerita dari Rafa. Tapi sumpah, aku nggak akan ngomong tentang Akmal lagi, kalau bikin kamu terbebani."
"Terimakasih Lil." Hanya itu yang bisa aku katakan, Lila berhasil membuat aku jadi cengeng malam ini. Tapi tanpa aku sadari hatiku jadi lega setelah bisa menangis sepuasnya di pelukan Lila. Selama ini aku selalu menahan agar tidak menangis, dan rasanya memang sesak di dada.
"Hadeeeh, piyama gue basah!" keluh Lila setelah lima belas menit berlalu hanya dengan suara isak tangisku.
Reflek aku memukul lengannya, dan selanjutnya kita tertawa bareng. Lila sudah seperti saudara perempuan bagiku, dia sahabat yang paling awet, yang selalu ada untukku hingga detik ini. Sempat pergi juga ketika aku membuatnya kecewa, tapi dia kembali untuk merangkul ku.
.
.
.
"Permisi Ibu, cek suhu dulu ya?" sapa seorang satpam sebelum aku masuk Mall sore ini seusai kerja.
"Silahkan, Pak."
"36, 4, Silahkan Ibu. Selamat berbelanja jangan lupa tetap jaga jarak!" sambung satpam itu dengan sangat ramah.
Aku membalas senyumnya lalu masuk, sebelum menuju tempat yang aku inginkan, terlebih dulu aku mampir ke coffeshop, membeli satu cup untuk menemani acara belanjaku sore ini.
Tujuanku ke sini adalah mencari kado untuk Lila yang dua hari lagi akan berulang tahun. Pengin banget aku bisa sefrontal Lila, menyampaikan apa yang dia mau, tanpa malu. Gadis galak itu tanpa rasa segan dan malu, mengungkapkan keinginannya padaku untuk dibelikan jam tangan sebagai kado ulang tahun. Akhlakless banget kan?
Tapi sama sekali aku tidak keberatan, untuk orang yang berharga dalam hidupku, aku nggak pernah keberatan untuk memberikan apa yang membuatnya senang.
Satu jam memaksa mata untuk memilih jam tangan yang paling cocok untuk Lila, dan akhirnya pilihanku jatuh pada jam tangan Casio Baby G berwarna putih. Model yang cocok untuk Lila, menurutku. Dan seharusnya menurutnya juga.
"Ovi!"
Aku berbalik begitu saja sesaat setelah keluar dari membeli jam dan ada yang memanggilku.
Dari kejauhan Akmal melambaikan tangannya kemudian mendekat bersama dua temannya. "Habis belanja?" tanyanya setelah berhasil sampai di depanku.
"Iya. Lagi cari makan di sini?" Aku bertanya karena tadi Akmal dan kedua temannya bediri di depan sebuah restoran.
"Baru selesai meeting." jawabnya. "Oh ya, kenalin ini teman-teman gue."
Aku menyambut uluran tangan kedua teman Akmal sambil menyebutkan namaku. Mereka sempat berbasa basi menanyakan tentang pekerjaanku, mungkin merasa saudara seayah, seperti kata Akmal. Setelahnya kedua teman Akmal pamit pulang lebih dulu, sedangkan Akmal minta izin bareng denganku.
Pertemuanku dengan Akmal selalu tak terduga, dan selalu mengalir begitu saja tanpa rencana. Seperti saat ini, setelah kedua temannya tak terlihat lagi, aku dan Akmal berjalan menuju tempat makan.
Aku memang berencana mencari makan sebelum pulang, aku sudah mempersilahkan Akmal untuk pulang lebih dulu, karena aku pikir tadi dia sudah makan, tapi pria ini tanpa keberatan memilih menemani aku makan. Sedangkan dia hanya cukup memesan kopi.
"Ini akun ig lo bukan, Vi?" Akmal menunjukkan layar ponselnya dan tertera akunku di sana.
"Iya, mau follow?"
Akmal mengangguk kemudian kembali menunjukkan ponselnya sebagai bukti dia sudah follow, bersamaan dengan notifikasi yang muncul di ponselku. Langsung saja aku terima dan follback akunnya.
Sekilas aku melihat feed yang ada di akunnya, Akmal termasuk yang jarang posting, feed terakhirnya sama seperti milik Jovan, View liburan di pantai minggu lalu tapi dengan foto yang berbeda. Dari postingannya aku jadi yakin apa yang kemarin dia ceritakan tentang keluarga, dia memang seorang yang begitu mencintai keluarganya. Hanya ada sekitar 30 postingan dan itu sebagian besar foto kedua orangtuanya, ada satu foto keluarga besarnya yang cukup banyak, mataku yang sudah minus ini tak begitu jelas melihat wajah-wajahnya tanpa kacamata.
"Lo beneran nurun sama papa lo ya? Family Man."
Akmal tertawa pelan, "Belum sebaik papa sih, gue masih suka kabur-kaburan. Apalagi kalau udah ngumpul semua keluarga. Bukannya nggak suka, cuma malas aja kalau dapat pertanyaan keramat. Ya you know lah, pertanyaan macam apa itu."
"Kapan nikah?" tebakku dan Akmal kembali tertawa untuk membenarkannya.
"Risih aja sih ditanya-tanyain kapan nikah, nggak pengin apa, umur udah lebih dari cukup, karir udah oke, tapi belum nikah. Ya yang kayak gitu-gitulah."
Aku menertawakan ekspresi lucunya, memang pertanyaan-pertanyaan seperti sering terjadi di kumpulan keluarga, aku sendiripun suka Risih juga, seakan hidup itu hanya tentang nikah. Jarang banget ada yang nanya, gimana kerjaannya, lancar nggak, atau apa gitu yang lain yang lebih enak di dengar.
"Ya emang apa yang lo tunggu sih, bener kan kerjaan lo udah oke, nggak mungkin banget kalau nggak ada cewek di sekitar hidup lo. Rasa-rasanya model kayak lo gini, nggak mungkin kalau belum pernah pacaran."
"Duh kok gue kayak bad boy banget sih kesannya. Ya ada lah pasti, gila aja hidup selama 30 tahun belum pernah pacaran. Cuma semakin lama gue semakin mikir, buang-buang waktu aja kalau terus-terusan main-main sama cewek. Bokap udah kasih warning ke gue, udah waktunya cari yang serius. Tapi ya gimana malah belum nemu-nemu yang gue mau. Fokus ke keluarga sama kerjaan aja dulu, sambil cari-cari yang benar-benar gue mau."
Salah satu yang membuat seru ngobrol bareng Akmal adalah dia itu orangnya apa adanya banget. Nggak pernah menutupi apapun atau berusaha menonjolkan kebaikan dirinya.
"Jadi keluarga apa pasangan dulu nih fokusnya?" tanyaku.
"Keluarga atau pasangan? Ya jelas keluarga! No debat! Karena itu prinsip pribadi gue. Keluarga sudah hadir dari gue bayi, menerima semua baik buruknya gue. Tapi kalau ada cewek yang bisa melebihi atau minimal sama kayak yang keluarga gue lakukan, nggak akan gue lepas lagi." jawab Akmal dengan semangatnya.
Oke Mal, aku bantu doa semoga segera menemukan sosok yang lo inginkan.
Selesai makan, aku dan Akmal kembali berjalan menuju parkiran. Terlebih dulu Akmal mengantarku sampai ke mobil.
"Hati-hati, Vi!"
"Mobilnya di mana?" tanyaku setelah menutup pintu mobil.
Akmal tersenyum lebar sambil menggaruk rambutnya, gestur yang selalu dia lakukan saat dia malu. "Gue nunggu taksi."
"Lo nggak bawa mobil?"
Dia menggeleng. "Gue kesini bareng sama dua teman tadi, lupa kalau nggak bawa mobil."
"Ya ampun, Mal!" Aku jadi merasa bersalah, gara-gara ingin menemani aku makan dia harus repot. "Masuk!" ucap ku lagi.
"Hm? Gimana?" tanyanya masih belum paham.
"Masuklah, gue antar ke kantor, anggap aja sebagai ucapan terimakasih gue udah ditemenin makan tadi."
🔹🔹🔹
AKMAL
Seumur-umur baru ini gue disopirin sama cewek cantik selain kakak gue. Biasanya mana mau cewek-cewek yang pernah jalan sama gue untuk nyetir, boro-boro. Sampai gue bengong sendiri saking terkejutnya ketika Jovita tiba-tiba nawarin gue tumpangan ke kantor dan nolak waktu gue tawarin biar gue aja yang nyetir. Salah gue sendiri sih tadi lupa kalau nggak bawa mobil.
"Yang ini bukan sih? Gue belum hafal banget." tanya Jovita setelah sampai di komplek perkantoran.
Aku menunjuk gedung yang masih ada di ujung. "Yang itu, tapi sampai sini aja nggak apa-apa kalau lo keburu pulang, udah sore banget ini."
Jovita tidak merespon, masker yang menutupi sebagian wajahnya benar-benar menyisakan sorot mata yang tajam. Dia tetap melajukan mobilnya hingga benar-benar berhenti di depan tower kantor gue.
"Total 150 ribu, Pak!" ucapnya.
Otomatis gue tertawa. Jovita ini susah di tebak orangnya, kadang bisa jutek, kadang bisa lucu juga, tapi dibalik itu semua gue merasakan dia ini orang yang tingkat kepeduliannya tinggi. Care banget sama orang lain.
"Gimana kalau 150 ribunya dalam bentuk tiket nonton?" tanya gue.
Dasar mulut gue, bener-bener udah konslet!
"Lo sedang ngajak gue nonton?" tanyanya sambil tertawa geli.
"Gue pikir pertemuan kita selalu tak terencana, kali aja sekarang gue bisa berencana ngajak lo nonton jadi persiapannya lebih oke lagi. Ya anggap aja sebagai tanda terimakasih gue karena udah diantar kesini.
Jovita tertawa, meskipun tertutup masker, gue masih bisa melihat tawa manisnya.
"Jadi gimana? Malam minggu besok?" tanya gue lagi.
"Oke! Sabtu malam besok!" jawabnya.
Sial. Jovita, cewek pertama yang bikin gue jadi tampak bego, gue jadi gagu banget kalau berhadapan sama dia.
"Gue jemput ya?
"Boleh." jawabnya tanpa ada pancaran ekspresi apapun di matanya. Biasanya kalau ada cowok yang minta izin jemput, di cewek akan malu-malu gitu, tapi ini malah gue yang malu-maluin, bisa-bisanya malah jadi gue yang gugup.
Gue masih berdiri di depan kantor menunggu sampai mobil Jovita menjauh, baru melangkah dengan ringan menuju ruangan.
Begitu gue masuk, langsung disambut sorakan heboh dari teman-teman termasuk dua orang yang tadi berkenalan dengan Jovita tadi.
"Akhirnya, temen gue laku, Ya Allah!"
"Jomblo high quality siap melepas jabatan!"
"Gue mau pizza sebagai traktirannya!"
"Cepet guys cari seragam batik!"
Dan masih banyak lagi sorakan dari mereka. Segitu lamanya kah gue nggak laku sampai pada heboh begini? padahal baru setahun ini gue menyandang status jomblo, dan lagian mereka hanya lihat gue diantar seorang cewek. Udah heboh banget.
"Atur ajalah!" Mereka kembali bersorak mendengar jawaban ngawur gue.
Gue langsung meninggalkan mereka, masuk ke ruangan untuk kembali mengecek kerjaan hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, udah lewat banget dari jam pulang.
Di saat gue bersiap pulang, seseorang masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Tanpa aku harus menoleh pun sudah hafal siapa yang selalu masuk tanpa mengetuk, ditambah aroma parfumnya yang begitu menyeruak, parfum yang sama yang selalu dia pakai sejak dulu, sehingga aku hafal banget aromanya.
“Kamu kok tadi pulangnya nggak bareng sama yang lain?”
"Oh, iya. Aku Masih ada perlu." jawab gue sesingkat mungkin agar perempuan bernama Davira di depan gue ini pergi.
Vira —nama panggilannya— menahan lengan gue saat gue beranjak keluar ruangan untuk segera pulang.
"Malam minggu ini, papa dan istrinya ngundang kamu ke pesta ulangtahun pernikahan mereka. Ada beberapa yang diundang juga kok! Tapi karena memang acara dibatasi untuk menjaga Prokes, nggak banyak yang diundang. Kamu datang ya?"
Dengan memaksa tersenyum gue menurunkan tangannya. "Sampaikan salamku ke Pak Wira dan istri, semoga pernikahannya langgeng. Dan aku mohon maaf karena nggak bisa datang. Aku udah ada janji sebelumnya."
"Mal!"
Vira kembali memanggil nama gue.
“Aku minta maaf kalau aku benar-benar ada salah, tapi tolong jangan siksa aku begini. Setahun ini aku coba introspeksi diri, apa yang salah dari aku sampai kamu milih putus. Setidaknya tolong kasih aku penjelasan, kenapa hubungan kita harus berakhir seperti ini?” rintihnya.
Akhirnya gue memutuskan untuk berbalik menghadap ke Vira. "Kamu nggak salah apa-apa Vir, aku yang salah. Aku yang terlalu berharap lebih ke kamu. Lupain semuanya, kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku."
"Akmal!" panggil Vira lagi tapi kini dengan suara lirih, dia sudah menangis.
Vira berjalan cepat dan langsung menghambur ke pelukan gue, menangis tersedu di dada gue. Tadinya gue pengin langsung pulang, tapi nggak mungkin gue tinggalin Vira dalam keadaan begini.
Vira adalah anak dari Pak Wira, salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan tempat gue kerja ini. Gue pernah menjalin hubungan dengannya selama dua tahun, tapi karena ada beberapa hal yang nggak bisa gue tolerir, setahun yang lalu gue terpaksa harus mengakhiri hubungan ini.
Gue mencoba mengusap punggung Vira agar dia lebih tenang. Gue memang pernah mencintai gadis ini, selama berbulan-bulan gue berusaha melupakan dia, dan gue harus bersyukur, usaha gue nggak sia-sia. Gue berhasil, bahkan saat ini rasanya gue seperti sedang memeluk Amanda—kakak gue sendiri.
"Kasih aku kesempatan lagi, Mal!"
"Sorry, Vir! Aku nggak bisa."
PART 7 : Hari Berwarna
JOVITA
"Kok lo selalu bisa dapat tiket sih, Mal? Setahu gue karena masih terbatas banget jadi kayak antri gitu dapat tiketnya."
"Kebetulan ada teman yang bantuin. Btw, lo suka nggak nonton genre film kayak tadi? Gue bingung, lo bilang terserah jadi gue asal pilih film aja."
"Suka-suka aja sih, asal nggak horor! Malas gue kalau horor."
Akmal malah menertawakan aku, "Malas apa takut?" ledeknya.
"Ya karena takut jadi malas, gue sering lembur, nggak mau meracuni pikiran gue aja."
"Bisa aja jawabnya!" jawab Akmal dengan tawa dan tangan yang mampir di kepalaku, mengusap rambutku sekilas. Aku anggap itu hanya reflek biasa. Kayak Lila, kalau ketawa biasanya sambil mukul lengan ku.
Sabtu malam ini Akmal beneran mewujudkan ajakannya beberapa hari yang lalu. biasanya aku hanya menghabiskan waktu di rumah, masa kayak gini mau pergi juga terbatas banget, tapi setelah setahun berjalan, aktifitas mulai kembali normal, tinggal pinter-pinternya kita aja menjaga kesehatan dan mematuhi Prokes.
"Masih jam segini, mau pulang apa mau kemana dulu?" tanya Akmal.
"Gue terserah aja, posisi gue cuma numpang."
Lagi-lagi Akmal tertawa sambil mengusap rambutku. Kebiasaan dia mungkin.
"Gue sebenarnya pengin minta tolong lo pilihin kado buat kakak gue yang ulang tahun. Mandiri banget dia, udah bilang kado apa yang harus gue beli, baik banget kan kakak gue?"
Kini aku yang tertawa, merasa senasib sama Akmal. Tau banget rasanya, punya orang yang suka frontal begitu. Tapi malah bagus nggak sih? Jadi apa yang kita kasih benar-benar bermanfaat dan pasti dia pakai.
"Kakak lo pengin apa?"
Akmal menunjukkan ekspresi pasrahnya sambil menunjukkan daftar barang yang diinginkan kakaknya. Aku jadi tertawa sendiri. "Kakak lo suka bikin kue ya? Bukannya dia dokter?"
"Hobi banget, tiap libur kerja pasti ngacak-ngacak dapur. Nyokap gue juga suka bikin kue, nah ceritanya kakak gue ini kan belum lama ini nikah lagi, terus pindah ke rumah suaminya. Otomatis alatnya nggak selengkap di rumah ortu kan, jadilah dia minta alat-alat itu sama gue sebagai hadiah ulang tahun."
"Alah, nggak bakalan habisin gaji lo satu bulan juga!"
"Apaan, Vi! Nggak segitunya juga!"
Sekilas tadi aku melihat daftar alat-alat yang kakaknya minta, bread maker, Electric oven, stand mixer dan beberapa lagi, sungguh kakak yang baik, terniat sekali menyiksa adiknya. Menyiksa maksudnya untuk seorang cowok yang sibuk kerja kayaknya jarang banget tau alat-alat seperti itu. Wajar aja kalau Akmal bingung.
Aku geli sendiri melihat wajah frustasinya, akhirnya aku putuskan untuk merekomendasikan Akmal sebuah pusat barang elektronik, aku pernah menemani Bu Martha mencari barang di sana, sejauh ini kayaknya yang terlengkap. Tapi sayangnya jam segini sudah tutup.
"Kalau gitu besok gue jemput lagi gimana, Vi?" tanya Akmal.
"Boleh sih, tapi agak siangan ya?"
"Siap!"
Dan itu adalah acara keduaku dan Akmal yang terencana setelah berulang kali jalan bareng tanpa rencana.
Keesokan harinya dia menjemputku lagi di jam sepuluh, kayaknya dia udah pasrah banget padaku untuk mencarikan barang-barang yang kakaknya minta. Tapi aku salut sama dia, walaupun permintaan kakaknya itu cukup sulit dia nggak protes sama sekali, sesayang itu sama kakaknya.
Seperti biasa, sebelum masuk tokonya, harus cuci tangan, cek suhu dan memakai masker. Setelah lolos, aku masuk dan diikuti Akmal, entah sadar atau enggak, kini Akmal menggenggam tanganku.
"Yang ini bread makernya, dah silahkan pilih yang sesuai sama kantong Bapak!" ucap ku.
"Yang bagus yang mana, Vi?"
Untuk urusan itu aku juga nggak begitu paham, aku penganut yang lebih mahal pasti yang lebih bagus, tapi belum tentu juga kan? Akhirnya aku putuskan untuk bertanya pada pelayan tokonya.
Setelah mendapat pertimbangan dari pelayan toko, akhirnya Akmal dapat alat pertama. Lanjut alat kedua dan seterusnya. Baru setelahnya aku menunggu dia bertransaksi sekaligus mengisi kelengkapan alamat pengiriman.
"Yuk!" ajak Akmal setelah selesai. "Maaf nunggu lama." lanjutnya sambil meraih tanganku lagi dan kini kita turun dari lantai dua menuju parkiran.
"Makan dulu ya?" tanya Akmal lagi tapi sudah bersiap membelokkan mobilnya memasuki sebuah restoran yang tak jauh dari pusat elektronik tadi.
Akmal memesan menu yang sama denganku, sambil menunggu makanan datang, aku mengungkapkan rasa penasaranku sejak kemarin.
"Lo adik yang baik banget, Mal!"
"Sayangnya cuma lo yang bilang gitu, kakak gue nggak pernah," jawabnya yang diikuti tawa. "Kakak gue itu tipe-tipe kayak Lila gitu, agak frontal tapi cengeng. Walaupun gue sering digalaki tapi dia yang selalu ada buat gue. Makanya gue bisa dekat banget sama dia."
Aku masih menahan-nahan bibirku agar tidak bertanya tentang rasa penasaranku, tapi sepertinya Akmal bisa membaca ekspresi wajahku. Dia tersenyum geli sambil menerima pesanan kami yang sudah datang. "Tanya sama gue gratis lho, Vi!"
Aku hanya meringis, lalu minum dulu baru akhirnya aku bertanya. "Kemarin lo bilang kakak lo belum lama nikah lagi? Maksudnya ini bukan pernikahan yang pertama?" Aku bertanya dengan hati-hati takut menyinggung Akmal tapi dianya malah tertawa.
"Kirain mau tanya apa, Vi! Iya kakak gue nikah lagi, pernikahan pertamanya gagal karena mantan suaminya nggak tanggung jawab, kakak gue yang selalu mencukupi kebutuhan keluarga. Begitu kakak gue lahiran langsung urus perceraian, gue sama ortu udah khawatir banget sama kondisi psikisnya karena kakak gue hancur banget waktu proses cerai itu, beruntung banget setelah dua tahun berlalu dan berusaha move on akhirnya dia menemukan lelaki yang lebih baik, baru bulan kemarin itu dia nikah. Inget nggak pertama kali kita ketemu pas lo makan sama Rafa dan Lila? nah itu gue baru habis selesai syukuran sama keluarga untuk pernikahan kakak gue, terus gue melarikan diri, biasalah diberondong pertanyaan sama om-om dan tante-tante!"
Akmal melanjutkan ceritanya sebelum aku merespon. "Tapi entah kenapa, gue belum terlalu yakin alasan kakak gue cerai itu masalah ekonomi. Kakak gue itu saking cintanya sama mantan suaminya jadi seakan nutupi masalah yang sebenarnya. Nggak sekali dua kali gue desak, tapi tetap nggak mau jujur, selalu masalah ekonomi yang dia bilang. Akhirnya gue sama ortu pasrah aja, nggak maksa lagi, yang terpenting sekarang kakak gue udah bahagia, walaupun gue curiga kalau masalah sebenarnya itu adalah tentang perselingkuhan. Nyokap larang gue buat cari tau, kata beliau udah ditutup aja, kasihan kakak kalau luka hatinya di ungkit-ungkit terus."
Aku mendengarkan cerita Akmal dengan seksama, merasa punya pengalaman buruk tentang hal yang sama.
"Apa yang lo pikirkan tentang perselingkuhan, Mal?"
Akmal menghabiskan makanan di mulutnya dulu, kemudian minum dan baru menjawabku. "Nggak ada yang bisa dibenarkan dari perselingkuhan. Orang-orang yang selingkuh itu sama saja merusak harga dirinya sendiri. Apalagi kalau sudah menikah, nafsu nggak akan pernah ada habisnya kalau selalu dituruti. Nggak akan ada pasangan yang sempurna, pasti akan ada aja ketidak cocokan dengan pasangan, tapi bagi gue kalau gue sudah memutuskan untuk menikah ya apapun keadaan pasangan akan gue terima, menikah bukan lagi tentang rasa cocok tidak cocok tapi tentang komitmen. Kekurangan apapun akan coba gue terima, karena gue sendiri juga masih banyak kekurangan. kecuali kalau pasangan gue selingkuh, gue udah nggak bisa lagi terima. Pasangan gue selingkuh itu artinya dia merasa ada yang lebih baik dari gue, jadi buat apa lagi gue pertahankan seseorang yang udah nggak mau sama gue."
Aku bingung kenapa ngobrol dengan Akmal selalu saja membuat hatiku nggak karuan. Pria ini selalu bisa memberikan jawaban yang menamparku dan akhirnya bisa menyadarkan aku.
🔹🔹🔹
AKMAL
"Gue naik taksi aja Mal, kalau lo mau jemput mamanya."
Jelas gue tidak menerima usulan Jovita. Gue yang jemput dia, udah gitu ngerepotin dia, masa iya gue biarin dia pulang sendiri.
Siang menjelang sore ini gue masih bersama Jovita setelah tadi gue ajak dia muter-muter cari hadiah buat kakak gue. Sewaktu kita lagi makan, tiba-tiba mama telpon minta dijemput, katanya mama lagi ada acara sama teman-temannya di dekat kantor gue. Tadi berangkat di antar papa dan rencana mau menginap di apartemen gue.
"Kalau lo ikut jemput nyokap dulu gimana? Terus nanti gue drop nyokap di apartemen baru gue antar lo pulang.
Jovita malah menertawakan ide yang gue sampaikan. "Gue dengernya aja udah ribet banget, Mal! Nggak apa-apa, gue naik taksi daripada lo muter-muter."
Gue beneran ngerasa nggak enak, kesannya nggak tanggung jawab banget. gue paksa lagi Jovita, dan mungkin karena dia udah bosen dengar ocehan gue akhirnya dia mau ikut gue jemput mama dulu.
Perjalanan menuju tempat yang mama share lock, gue curi-curi pandang ke Jovita yang duduk anteng, ekspresinya lempeng aja. Biasanya cewek kalau mau ketemu orangtua cowok suka gugup terus berulang kali ngaca, kata teman-teman gue. Kalau gue sendiri baru pertama bawa cewek ketemu mama, yaitu Davira. Dan sehari sebelumnya Davira udah sibuk persiapan, beli baju baru, sepatu baru sampai ke salon juga hanya untuk ketemu mama.
Bukan maksud gue banding-bandingkan keduanya. Cuma gue mau bilang, setelah gue kenal Jovita, gue jadi bisa mematahkan pendapat teman-teman soal ribetnya wanita, soal gimana rempongnya berhadapan dengan wanita, Jovita itu pembawaanya anteng dan kalem tapi nggak pernah gagal dalam penampilan. Jadi ini gue nggak terlalu khawatir bawa Jovita ketemu mama, malah gue lebih khawatir reaksi mama ketemu Jovita.
Gue memarkirkan mobil di depan sebuah hotel tempat mama reuni bersama teman-teman bidannya dulu. "Vi, lo tunggu sini aja, biar gue masuk cari mama."
"Janganlah! gue ikut."
Tanpa bisa gue cegah, Jovita sudah keluar mobil dan menyamakan langkah gue. Tambah nggak enak lagi nih gue, harus bikin Jovita tambah capek.
Tidak susah mencari keberadaan mama, karena hanya ada rombongan mama yang berada di ballroom hotel ini.
"Dek!!" teriak mama begitu melihat tampang gue di depan pintu ballroom yang sudah di buka.
Dari ekor mata gue melihat Jovita menahan tawanya mendengar mama memanggil gue dengan embel-embel 'Dek'. Entahlah di mata nyokap, gue ini masih anak ingusan yang sering nangis minta permen. Gue udah pernah protes, tapi kata mama udah terlanjur seneng panggil gue begitu. Ya sudah, menyenangkan hati orangtua katanya pahala gede banget.
Gue langsung mencium tangan mama dan menerima pelukannya. "Ma, kenalin ini teman Akmal, namanya Jovita."
Seusai gue kenalin, Jovita langsung menyapa dengan ramah dan mencium tangan mama. Begitu juga dengan mama, menyambut ramah, beliau sempat melirik gue dengan senyum yang sangat mencurigakan. Gue udah hafal banget apa yang mama pikirkan.
"Panggil Tante Emi aja ya! Yuk duduk dulu, masih ada minuman!"
Mama mengajak Jovita duduk dan melupakan anak gantengnya ini. Gue udah nahan napas begitu tau mama mengajak Jovita bertemu teman-temannya yang masih bertahan di sini.
"Calon mantunya ini, Bun?" tanya salah satu teman mama.
Mama melirikku sekilas. "Kata anakku sih teman," jawab mama sambil senyum-senyum.
Gue nggak peduli reaksi teman-teman mama, gue terus menatap Jovita dengan tatapan bersalah karena udah bawa dia ke sini. "Maaf ya kalau mama bikin lo nggak nyaman." bisik gue setelah bisa menyelinap mendekati Jovita.
Diluar kekhawatiran gue, Jovita tidak marah sama sekali dia malah menertawakan gue yang udah bingung banget. "Santai aja, Dek! Tante Emi baik kok."
Jelas gue melotot. Kalau keluarga yang panggil gue begitu masih gue terima, kalau Jovita? Jelas malu-maluin gue.
Selanjutnya gue hanya duduk di pojokan sambil nyemil puding sisa acara geng mama tadi. Sedangkan mama malah tambah asyik ngobrol sama beberapa temannya yang belum pulang, ditambah Jovita yang juga gabung di sana.
Baru sekitar setengah jam kemudian mama pamit dan menghampiri gue bersama Jovita. "Ayo pulang, malah keenakan makan!" ajak mama tanpa rasa bersalah.
Gue hanya bisa menghela napas sedangkan Jovita menahan tawanya. Yang ngundur waktu pulang siapa, yang diomelin siapa, dasar mama! Untung cinta mati gue.
Tidak hanya sampai disitu penyiksaan mama pada gue anak kandungnya. Mama sengaja mengajak Jovita duduk di belakang, menyisakan gue yang duduk sendirian sebagai sopir. Udah gitu sepanjang perjalanan mereka asyik banget ngobrol tanpa melibatkan gue. Malah sampai tukeran nomor telepon. Kalau gue pikir mama lebih cocok jadi marketing dulunya daripada jadi bidan. Kebayang orang mau lahiran malah diajak ngobrol.
"Kapan-kapan main ke rumah Tante ya! Nggak usah nunggu Akmal yang ngajak, dia kan orangnya nggak ramah!" ujar mama ketika sampai di depan tower apartemen gue.
Jovita mencium tangan mama sambil tertawa, "Kok beda sama yang biasanya ya Tante? malah biasanya cerewet banget." jawab Jovita.
"Berarti lagi nggak kambuh dia!" jawab mama lagi laku keduanya kembali tertawa.
Gue langsung buru-buru mengantar mama sampai lift, membiarkan beliau menuju unit gue, udah biasa beliau kesini, jadi nggak akan nyasar.
Gue langsung lari menuju mobil lagi dan segera mengantar Jovita pulang. "Sorry ya, Vi! Rencana cuma mau belanja malah jadi sampai sore lo bareng gue.
Jovita yang kini sudah duduk di depan menjawab tanpa keberatan sama sekali. "Kayaknya kita udah biasa jalan tanpa perencanaan. Santai aja Mal, gue kebetulan lagi nggak ada kegiatan apa-apa. Kalau nggak lo ajak tadi, palingan juga cuma rebahan di rumah."
Begitu sampai di rumah Jovita gue ikut turun dan mengantar dia sampai depan rumah. “Sekali lagi makasih ya, Vi! Gue udah ngerepotin banget hari ini.”
"Gue capek jawabannya, Mal!"
Mau nggak mau gue ikut tertawa geli, gue sadar udah sejak tadi terus mengucapkan terima kasih dan maaf padanya. Karena gue merasa benar-benar nggak enak.
"Vi!"
Jovita berbalik lagi ketika gue memanggil. "Sekali lagi terima kasih, jangan kapok gue repotin lagi ya!" ucap gue sambil mengusap rambutnya.
Jovita hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. "Hati-hati pulangnya. Nanti kalau sempat kabari gue!"
Gue pulang dengan perasaan yang sulit gue ungkapin, yang jelas hari ini terasa berwarna.
PART 8 : Seleksi Awal
AKMAL
Hari yang indah, bangun pagi langsung tersedia sarapan. Memang benar kata bokap, kenyamanan rumah itu bukan terletak pada mewah tidaknya tapi terletak pada isinya. Kalau ada perempuan pasti nyaman. Gue iyain aja, entah beneran wejangan atau salah satu trik papa kasih warning ke gue untuk segera cari istri.
"Makanya kamu itu sering-sering pulang ke rumah, biar rutin sarapan sehat!"
Wejangan pertama dari mama di pagi ini. Mari kita dengar selanjutnya!
"Atau kalau kamu lebih betah tinggal di apartemen, ya cari orang yang bantu-bantu, biar ada yang siapin sarapan."
Wejangan kedua, dan ini belum intinya.
"Tapi daripada nanggung cari ART mending sekalian cari istri. Biar ada teman di setiap waktu. Beda rasanya kalau udah punya istri. Kamu pulang kerja pasti lebih semangat karena ada yang nungguin di rumah. Terus kamu lebih bisa mengontrol diri karena nggak hanya hidup sendiri udah berdua. Kalau udah ada istri, cari pahalanya gampang, cari berkah juga gampang. Tinggal kamu sayangi dan muliakan istri udah deh tuh pahala, rejeki dan berkah ngalir terus di hidup kamu."
Nah ini intinya. Gue suruh cari istri.
"Kamu kebiasaan kalau punya pacar selalu sembunyi-sembunyi dari mama. Inget umur udah 30, jangan kebanyakan main-main lagi! Mama itu bukannya mendesak kamu, takdir orang beda-beda, tapi ya kamunya jangan nyantai aja!"
"Iya."
"Jangan iya-iya aja, Dek! Kesan pertama Mama untuk Jovita, oke!"
Gue meletakkan sendok dan menatap mama dengan terkejut. "Kenapa jadi Jovita? Dia cuma teman Akmal, Ma! Jangan aneh-aneh kirim pesan ke dia ya, Ma! Beneran Akmal cuma temenan."
Mendengar ucapan gue mama langsung terlihat tak sesemangat tadi. "Udah Mama duga sih! Mana mau Jovita sama kamu! Gercep lah! Jangan kebanyakan mikir!"
Kini giliran gue yang tak semangat menatap mama. "Iya Ibu Emi tersayang! Perintah akan hamba laksanakan!" ucap gue seraya menunduk di depan mama.
Mama memukul lengan gue sambil tertawa kemudian memeluk gue. "Maafin mama ya kalau masih sering cerewetin kamu! Belajar dari kegagalan kakak kamu, Mama pengin kamu benar-benar dapat yang terbaik," ujar mama. "Jovita udah masuk untuk tahap awal seleksi!" lanjut mama sambil tertawa geli melihat wajahku yang mulai frustasi.
Hari ini gue berangkat lebih pagi karena jarak rumah ke kantor lebih jauh. Setelah menginap semalam di apartemen, mama minta antar pulang, katanya kangen sama papa padahal yang dikangenin lagi ada kerjaan di luar kota.
Wajar aja mama nggak bosan nyuruh gue sering pulang kesini, semenjak kakak gue pindah ke rumah suaminya, rumah jadi sepi. Gue jadi merasa bersalah, mungkin kalau mama memaksa lagi, gue akan pindahan ke rumah. Berkorban sedikit untuk jarak kantor yang jauh asal mama senang. Tapi mama dan papa itu orangnya pengertian banget, nggak akan mungkin maksa anaknya.
Di tengah perjalanan gue dapat telepon dari orang kantor, suruh langsung ke rumah sakit Harapan Sehat, ada rapat mendadak di sana. Meskipun jaraknya jadi lebih jauh lagi, entah kenapa gue malah merasa semangat.
Gue sampai di rumah sakit sedikit terlambat, rapat sudah berjalan sekian menit. Gue mengedarkan pandangan dan berhenti di satu titik di mana ada Jovita yang juga melihat gue dan tersenyum. Dia duduk di deretan nomor dua, masker yang senada dengan bajunya semakin menyempurnakan penampilannya.
Gue balas senyumannya kemudian gue duduk di samping atasan gue. "Ada masalah, Pak?" tanya gue karena sebelumnya tidak ada pembicaraan mengenai rapat ini.
Pak Bayu salah satu direksi pusat PT. Andromeda mencondongkan wajahnya. "Bagian lu ini, Mal! Bakalan repot lu beberapa hari kedepan!" jawabnya dengan nada setengah mengejek. Atasan gue yang satu ini memang beda dengan yang lain.
"lu bakal ngantor di sini beberapa hari, tapi tenang, nanti lu akan kerjasama dengan bagian HRD dan personalia anak cabang PT kita, rumah sakit ini. Cantik orangnya!" lanjut Pak Bayu.
HRD rumah sakit ini? Jovita?
Perhatian gue teralih ketika direktur utama rumah sakit ini meminta waktu. "Seperti yang kita tau, keadaan di negara kita belum begitu membaik, roda perusahaan kita, khususnya rumah sakit ini masih tertatih, kebijakan pemerintah menuntut kita untuk selalu prima melayani konsumen, pasien terus berdatangan, disamping itu karyawan kita juga mulai terjangkit virus ini, sedangkan pencairan dana operasional kita dari jaminan kesehatan tersendat, tentu sangat berpengaruh jalannya rumah sakit ini,"
"untuk itu, saya sebagai pimpinan rumah sakit ini meminta bantuan dari direksi pusat. Kami punya beberapa usulan kebijakan, ini baru sebatas wacana untuk menyelamatkan jalannya rumah sakit ini. Pertama adanya pemutusan hubungan kerja bagi beberapa karyawan, kami sudah minta bagian HRD untuk menyaring karyawan berdasarkan kontrak kerja, atau kebijakan kedua, kita kurangi kuota untuk pasien yang menggunakan jaminan kesehatan, dan memperbanyak kuota pasien umum. Tentu kedua kebijakan itu terdengar buruk, tapi kita juga harus mengupayakan agar rumah sakit ini tidak bangkrut."
Orang-orang yang ada di ruangan ini berubah tegang. Nggak gue pungkiri, pandemi mulai membuat roda perusahaan ini tersendat. Kemarin gue sempat ngobrolin hal ini bersama Pak Bayu, dari seluruh anak cabang Andromeda, rumah sakit Harapan sehat ini yang paling berpengaruh.
"Mungkin dari Pak Akmal selaku konsultan hukum bisa memberikan tanggapannya?"
Gue langsung bersiap diri, dan entah dorongan apa yang membuat gue harus melirik dulu ke arah Jovita, dan anehnya lagi gue jadi lebih bersemangat setelah bertemu tatap dengan mata Jovita walaupun sekilas.
"Berdasarkan laporan dan evaluasi dari seluruh anak cabang, memang sektor di bidang kesehatan ini yang paling berpengaruh bahkan hampir diambang defisit, karena posisi kita sebagai perusahaan swasta harus berbenturan dengan kebijakan pemerintah. Tapi mendengar usulan dari Pak Direktur tadi, saya rasa masih harus dikaji ulang. Untuk memberikan pandangan, saya harus melihat isi kontrak kerja karyawan yang tersaring. Berdasarkan uu ketenagakerjaan yang baru Kita sebagai pengelola perusahaan tidak bisa semudah itu melakukan PHK, apalagi dilihat dari lonjakan pasien yang tidak sebanding dengan karyawan yang kita miliki, pengurangan karyawan sangat tidak efisien."
Gue mengedarkan pandangan dulu, siapa tau ada yang ingin mengoreksi ucapan gue tadi. Karena tidak ada yang bersuara, gue melanjutkan analisa gue tentang usulan dirut tadi.
"Mengenai usulan kedua, saya rasa lebih bisa dipertimbangkan. Saya juga harus memeriksa ulang isi perjanjian pihak kita dengan pihak BPJS."
"Terimakasih tanggapannya, kami sangat memohon agar jajaran direksi pusat mempertimbangkan usulan kami." sahut Pak Dirut rumah sakit.
Pak Bayu, sebagai wakil direksi pusat meminta izin untuk bersuara. "Kita sudah sempat membahas hal ini tempo hari, untuk sementara kita tempatkan dua staf ahli di sini untuk beberapa saat sampai di dapat kebijakan terbaik untuk menyelamatkan rumah sakit kita. Mulai besok Pak Akmal sebagai staf ahli bidang hukum, dan Pak Fikri sebagai staf ahli keuangan akan berkantor di sini, kami mohon suport data dari bidang personalia dan keuangan, agar secepatnya bisa kita dapat kebijakan yang terbaik, untuk perusahaan dan karyawan."
Selama hampir lima tahun bekerja di perusahaan ini, status gue sebagai staf di kantor pusat, dan selama itu juga gue sering di tempatkan di beberapa anak cabang perusahaan. Tapi gue akui, baru kali ini gue merasa sesemangat ini berkantor di anak cabang.
🔹🔹🔹
JOVITA
Siapa sangka berawal dari ketidak sengajaan berlanjut menjadi kerjasama dan seakrab ini. Harus aku akui, Akmal bukan hanya teman jalan yang asyik, tapi dia juga rekan kerja yang baik.
Sudah sejak dua hari yang lalu dua staf pusat berkantor di sini, membantu mencari jalan keluar terbaik untuk rumah sakit ini, menyelamatkannya dari jurang defisit.
Sejak dua hari ini juga tim Bu Martha selalu pulang malam guna memilih dan memilah surat perjanjian kontrak kerja karyawan, keadaan saat ini benar-benar menuntut semua pihak bekerja keras. Dan kita lagi berusaha banget agar jangan sampai ada pengurangan karyawan.
"Vi? Udah makan?" tanya Bu Martha di sela-sela kesibukan kami.
"Tadi Mbak Ovi baru minum teh, Bu! Katanya nanti setelah selesai ini baru makan." bukan aku yang menjawab tapi Sita yang juga ikut lembur malam ini.
Bu Martha yang sudah bersiap pulang lebih dulu kembali duduk dan menatap galak ke arahku. "Ingat ya peraturan tim kita! Nggak boleh ada yang lapar kalau lagi lembur!" ujar Bu Martha.
Aku hanya bisa meringis, tadi emang belum pengin makan. "Iya Ibu, ini saya makan!"
Akhirnya aku berdiri mengambil makanan bagianku yang tadi dipesankan oleh Bu Martha
Sementara Sita merapikan berkas-berkas, Bu Martha pamit pulang dan aku mulai menyiapkan makan malam, meskipun rasanya tidak enak sekali.
"Mau dipesankan yang hangat?"
Aku mendongak saat tiba-tiba Akmal sudah berdiri di depanku. “Kirain udah pulang daritadi, Mal?”
Akmal mengambil tempat di sampingku. "Tadi gue cuma antar Fikri ke depan sekalian ambil file di mobilnya."
Saat ini di lantai tiga ini tinggal aku, Akmal, Sita dan satu staf keuangan. Aku menutup kembali makan malamku yang baru aku ambil tiga sendok.
Akmal masih duduk anteng di sampingku di saat dua temanku pamit pulang lebih dulu. Baru setelahnya aku mengambil tas dan bersiap pulang. Tapi gerakanku terhenti saat tiba-tiba Akmal memegang tanganku lalu dahiku.
"Bener dugaan gue!" ucapnya.
"Apanya, Mal?"
"Gue perhatiin daritadi lo pucet. Lagi sakit, Vi?"
Aku menggeleng, aku hafal banget sama tubuhku, udah biasa seperti ini kalau lagi capek banget suhu tubuh naik, tapi biasanya besok udah pulih setelah bangun tidur.
"Yakin?" Akmal meyakinkan lagi saat aku menjelaskan tentang kebiasaan tubuhku ini.
"Iya. Udah biasa begini."
Pukul delapan malam ini aku dan Akmal pulang, melewati lantai bawah yang mana masih ramai pasien dan petugas jaga malam. Untung saja Lila jaga pagi jadi dia nggak akan berulah saat tau aku jalan barengan sama Akmal.
"Gue antar pulang ya, Vi? Besok gue jemput lagi, kan gue masih ngantor di sini."
Nggak ada yang bisa aku lakukan selain tertawa geli melihat ekspresi Akmal yang sejak tadi nggak santai. Entah apa yang dia pikirkan, padahal aku sudah meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.
"Please! Jangan tolak! Gue khawatir lihat lo yang pucet sama lemes gitu!"
Yang dikatakan Akmal nggak sepenuhnya salah, tapi aku masih cukup kuat untuk membawa mobil sampai rumah. Bukan pertama kalinya aku begini kalau lagi capek.
"Makasih banget, Mal! Tapi lo juga butuh istirahat, kalau antar gue dulu, nanti lo pulangnya muter jauh banget."
"Vi!" Akmal menahan tanganku. "Gue nggak masalah, mending gue muter jauh daripada pulang tapi kepikiran lo nyetir dalam keadaan kayak gini."
Kali ini ekspresi Akmal lebih serius, aku merasakan pusing semakin melanda, rasanya udah nggak sabar pengin tidur. Akhirnya aku terima tawaran Akmal daripada memperlambat waktu tidurku.
Akmal menyuruhku menunggu di depan pintu rumah sakit sedangkan dia berjalan cepat ke parkiran. Aku berpamitan pada satpam yang berjaga kemudian masuk mobil saat Akmal sudah berhenti di depan.
"Tidur aja Vi, lumayan kan sampai rumah lo nanti!" ucapnya bersamaan dengan laju mobil yang semakin jauh dari rumah sakit.
"Makasih ya, Mal!"
Dan aku nggak ingat lagi, sejak kapan mulai tertidur. Walaupun merasa nggak enak diantar Akmal, tapi aku harus bersyukur, bantuan Akmal cukup berefek bagiku. Aku jadi bisa tidur di mobil, bahkan benar-benar nggak sadar hingga sampai rumahku.
Aku bangun ketika mendengar bunyi klakson mobil Akmal menyapa security komplek. Beberapa kali datang kesini membuat mereka sudah familiar dengan mobil Akmal sehingga tak perlu lagi melewati pemeriksaan.
"Sorry, Mal, malah gue tinggal tidur." sesalku.
"Nggak apa-apa. Lo beneran udah enakan?"
Aku menghela napas dan mengangguk, walaupun merasakan tubuh yang masih kurang enak tapi rasanya udah nggak secapek tadi. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih pada Akmal yang diangguki olehnya.
Sebelum aku benar-benar turun, Akmal kembali memegang dahiku, kemudian mengusap rambutku. "Langsung istirahat, Vi! Besok masih harus kerja keras. Sebenarnya kalau memungkinkan, gue akan menyarankan lo izin sehari agar bisa memulihkan tenaga, tapi kayaknya dilihat dari model-model kayak lo ini bakalan menolak."
Aku ikut tertawa mendengar ucapan Akmal. "Model yang kayak gimana sih gue?"
Akmal menarik tangannya dari rambutku. "Model Ibu HRD yang selalu bertanggung jawab memikirkan nasib karyawannya tapi suka lupa sama nasib diri sendiri." jawabnya sambil meringis dan mengacungkan dua jarinya sebagai tanda maaf.
"Ya udah nanti gue pikirin nasib sendiri."
Aku turun dari mobil Akmal dan menunggunya sampai tak terlihat lagi. Di saat aku membuka kunci pintu, ponselku berdenting dan detik berikutnya aku harus banget ngomel.
Lila mengirim foto disertai kata-kata yang sungguh mengesalkan. Lagian darimana sih dia dapat fotoku saat hendak naik mobil Akmal di depan rumah sakit tadi?
Oh iya, aku lupa tidak ada Lila tapi masih ada Rafa. Jodoh lah emang mereka!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
