
BLURB
Sudah jatuh tertimpa tangga. Perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan nasib seorang Cut Syifa Humaira Ramli. Sudah gagal menikah ditambah mendapat bos baru yang super sekali.
Seorang bos yang mampu merubah dirinya dari pribadi yang manis dan santun menjadi pribadi yang suka mengumpat.
Bagaimana tidak kalau dia harus menghadapi atasan barunya yang super galak dan kejam yang memaksa Cut Syifa memberi bosnya julukan ‘Burung Hantu’.
Segudang hal aneh membuat Cut Syifa tak bisa memahami apa yang...
BAB 1
TAARUF
Pagi yang sangat cerah untuk mengawali hari. Alhamdulillah, sampai saat ini aku masih diberi kenikmatan dan kesehatan untuk menjalani hidupku. Hari ini aku libur kerja dan aku berencana menyambangi sahabatku yang betah sekali di pesantren.
"Ma, Syifa berangkat, ya!"
"Hati-hati, Syif. Ini bawa buat Icha!" kata Mama sambil menyerahkan paperbag berisi makanan.
Setelah menerimanya, aku mencium pipi Mama dan hendak keluar.
"Eh tunggu, Syif! Ini satu lagi." Mama memberikan aku satu bungkus lagi.
"Buat Icha juga?"
"Bukan, ini buat gus di pesantrennya Icha atau buat kang pondok yang kamu temuin, siapa tahu bisa jadi mantunya Mama."
Aku melongo menatap Mama. Sungguh mamaku ini kalau tidak mantu, ya nikah, itu terus yang selalu beliau bahas. Memang ada masalah ya kalau sampai umurku 24 tahun ini belum nikah juga? Ya ... bukannya aku enggak mau nikah, tapi kalau belum ketemu calonnya, bagaimana, dong?
"Mama, kok, ngajarin anaknya genit, sih?"
"Ya bukan genit, jodoh memang sudah ditentukan sama Allah, tapi kita juga wajib berusaha."
"Iyaaa, terserah Mama sajalah."
Segera aku pamit dan meninggalkan Mama sebelum lebih panjang lagi materi nikah yang akan Mama sampaikan. Aku sayang, kok, sama Mama, sayang banget malah. Namun, kadang aku gemas juga, tingkahnya selalu saja ajaib. Padahal Papa bilang, akulah yang mewarisi sifat ajaib Mama. Kadang enggak terima saja, sih.
Haha ... ampun, Ma!
Mama dan Papa dulu juga alhamdulillah pernah nyantri. Malah keluarga Papa adalah keluarga seorang kiai. Papa merupakan keponakan seorang kiai di daerah Yogyakarta. Nah, Mama dulu santri biasa di pesantren itu dan tidak tahu bagaimana ceritanya, jadi deh dijodohkan sama Papa. Eh, tapi walaupun santri biasa dan kelakuannya ajaib, Mama seorang hafizah Quran, lho dan alhamdulillah nurun ke anak-anaknya.
Tak terasa karena terus melamun, taksi yang aku tumpangi sudah sampai tujuan. Aku segara turun dan berjalan menuju pesantren Icha.
Aku berjalan menyusuri gang kecil sambil membawa paper bag titipan Mama. Aku jadi geli sendiri mengingat perintah Mama. Memang, sih, kakakku nikah di umur 22 tahun. Tapi, ya biar sajalah, takdir orang, kan, enggak sama.
"Asalamualaikum," sapaku saat sudah berada di depan kamar Icha.
"Wa alaikumussalam!" jawab penghuni kamar itu serempak. Di dalammya ada sekitar enam santri termasuk Icha. Aku segera masuk dan memberikan makanan titipan Mama, semuanya. Ya, semuanya! Bodo amatlah pesan Mama tadi, ya kali aku harus nemuin kang pondok atau anak kiai. Aku yakin, Mama tadi juga cuma bercanda.
"Wah, Mbak Syifa tahu saja kalau tanggal tua belum ada kiriman," kata seorang teman Icha sambil tertawa.Aku memang sudah akrab dengan mereka karena sering ke sini.
"Haha, iya, sama-sama! Tahu banget aku rasanya tanggal-tanggal kritis begini!”
Icha langsung membuka makanannya dan aku ikut mencicipi titipan Mma sambil bersenda gurau dengan mereka. Lalu, tiba-tiba Icha mengajakku keluar untuk mengobrol empat mata.
"Apaan, sih, Cha?" tanyaku.
"Syif …," kata Icha serius.
"Apa?"
"Kamu, kan, sudah lulus pesantren, hafalanmu juga insyaallah sudah bagus banget—"
"Bagus apanya, sih?Orang masih amburadul," potongku cepat karena mulai greget sama Icha.
"Halah, jangan dipotong dulu! Setidaknya, kamu sudah lancar pokoknya. Nah, kamu mau enggak aku jodohkan sama Gus Rizki?"
Aku menatap nanar ke arah Icha. Kenapa, sih, dengan orang-orang terdekatku? Apa aku kelihatan sudah tua banget?
"Syif, bagaimana? Malah bengong!"
"Kamu jangan bercanda, Cha. Aku belum mikirin nikah, aku masih mau ngaji benerin hafalanku, masih pengen kerja juga."
"Halah, Syif, merendah terus. Nih, ya, kemarin Ning Faza bilang sama aku kalau ada temanku yang masuk kriteria, bisa dijodohkan dengan kakaknya yang bernama Rizki, beliau minta dikenalkan. Dan aku kira, kamu masuk banget."
"Apaan, sih, Cha! Kamu tahu sendiri aku kayak apa, enggak cocoklah sama anak kiai yang sangat menjunjung tinggi kekaleman!"
Saat kami tengah ngobrol serius, tiba-tiba datang seorang perempuan cantik, lalu tersenyum ramah ke arah kami.
"Nah, ini dia Ning Faza," sapa Icha, aku hanya membulatkan mata. Yang dibilang beneran?
"Hai, Cha.Ini siapa?" tanyanya ramah.
"Ning, ini Syifa yang pernah Icha ceritain. Bagaimana?"
Ning Faza tersenyum manis sekali sambil memperhatikan aku. Sungguh, aku geregetan dengan Icha, bisa-bisanya dia melakukan hal sejauh ini tanpa bicara dulu.
"Masuk!" kata Ning Faza sambil tos dengan Icha. "Kamu masih lama di sini?" tanyanya.
"Eee, ya belum tahu, Ning," jawabku.
"Ikut aku, yuk!"
Aku gelagapan karena tiba-tiba Ning Faza menarik tanganku. Aku hanya bisa pasrah sambil menatap tajam ke arah Icha. Dia hanya tertawa saat aku mengacungkan kepalan tangan.
Ning Faza membawaku ke seberang jalan pesantren. Di sana ada sebuah tempat makan yang nyaman. Ning Faza mengajakku duduk, lalu dia terlihat menghubungi seseorang.Tidak lama kemudian, dia kembali.
"Syif, mau pesan apa?" tanyanya.
"Minum saja, Ning. Jus mangga segar kali, ya?" kataku santai.
"Haha, kamu enggak jaim, ya. Suka deh aku."
Lalu, kami memesan minum dan tidak lama kemudian, datang seorang lelaki dengan pakaian rapi menghampiri kami, lalu dia duduk di samping Ning Faza.
"Syif, maaf ya mungkin kamu kaget, tapi seperti yang Icha bilang, kalau aku mau ngenalin kamu sama kakakku ini."
Aku hanya tersenyum kaku saat Ning Faza menunjuk arah kakaknya, sungguh aku tidak menyukai terjebak dalam keadaan seperti ini.
"Ini Mas Rizki, dia memang ingin taaruf dan minta bantuanku. Nah, mungkin enggak perlu lagi ya aku jelaskan. Intinya aku kenalkan kalian, untuk selanjutnya terserah kalian saja."
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum kaku sambil menunduk, malu banget mau lihat kakaknya.
"Perkenalkan, saya Rizki. Dengan?"
Deg!
Masyaallah ... suaranya adem banget! Syifaaa istigfar!
"Astagfirullah," gumamku pelan. "Saya Syifa. Cut Syifa Humaira Ramli," lanjutku.
Tanpa sadar, aku menyebutkan nama lengkapku, tapi sedetik kemudian, aku menyesal. Kok, kesannya aku pengen cepat disebut nama lengkapnya, ya? Aku semakin gugup karena dia tersenyum geli.
"Baiklah, nanti pasti saya hafal nama panjangmu."
"Hah? Maaf, bukan maksud saya."
"Terus maksudnya apa, Syif?" tanyanya semakin membuatku salah tingkah.
"Aduh, maaf. Jadi grogi, kan!" kataku terus terang.
"Haha, lucu kamu, Syif! Ya sudah, kita sudah kenalan dan saya permisi dulu ya karena ada hal yang harus saya kerjakan."
Setelah dia pergi, aku masih mencoba mengatur perasaanku. Ning Faza sejak tadi tidak berhenti tertawa melihat aku salah tingkah. Biarlah, membuat orang bahagia itu pahala!
Aku dan Ning Faza masih melanjutkan obrolan kami, saling bertukar pengalaman. Darinya, aku tahu banyak tentang Gus Rizki termasuk niatnya yang ingin segera menikah saat sudah menemukan wanita yang cocok. Dia adalah seorang dosen yang mempunyai usaha juga. Kata Ning Faza, kakaknya punya toko bahan makanan yang lumayan besar, biasa menyuplai restoran.
Tidak bisa aku pungkiri, sejak perkenalan tadi timbul rasa kagum di hatiku, apalagi sejak mendengar cerita dari Ning Faza. Namun, bukan karena pekerjaannya yang bagus ya, tapi karena dia yang dermawan. Kata Ning Faza, kakaknya punya satu tempat yang dia hibahkan untuk panti jompo dan dia sendiri juga aktif membantu mengurus jalannya panti itu.
Akan tetapi, sampai detik ini, aku belum mau menyimpulkan bahwa aku tertarik.Tidak semudah itu! Oh iya, jadi inget Mama. Maaf ya, Ma, Syifa ketemu gus, tapi makanannya sudah telanjur habis.
BAB 2
Sang Pemilik Hati
Setelah libur satu hari, aku kembali bekerja dan kebetulan hari ini aku dapat shift jaga siang. Aku datang lima belas menit lebih awal sebelum jam kerja. Aku memang lebih suka datang cepat agar bisa lebih leluasa menyiapkan pekerjaanku.
Saat ini, kami di divisi perawat yang terdiri dari tujuh personel sedang melakukan operan jaga. Kita memang hanya bertujuh karena klinik ini terbilang kecil, tidak ada fasilitas rawat inap dan hanya buka selama dua belas jam atau dua shift untuk melayani masyarakat yang membutuhkan.
"Shift pagi tadi dengan Dokter Alika. Kita ada 42 pasien, tidak ada tindakan UGD," kata Mbak Sarah teman divisiku yang paling tua dan sudah punya dua anak.
"Untuk O2 yang kemarin habis sudah diisi dan siap digunakan," tambah Wina, rekan kerja perawat juga dia masih muda, baru saja lulus dan bergabung di sini.
"Siap. Yang formulir Askep, sudah jadi?" tanyaku.
"Sudah, Mbak Syif. Aku taruh di laci stok, ya!" jawab Wina.
"Sip, bismillah dan semangaaat!" teriakku mencoba memberi semangat.
Setelah selesai operan, aku segera menyiapkan diri untuk bergantian tugas dengan Mbak Sarah dan Wina. Hari ini aku bertugas dengan Febri, sahabatku. Di sini aku memang berteman baik dengan semuanya, tapi aku punya beberapa sahabat yang dekat. Di antaranya Febri, Mbak Sarah, dan satu lagi Mas Guntur. Mas Guntur seumuran dengan Mbak Sarah, tapi baru memiliki satu anak, dia adalah perawat senior dan koordinator divisi keperawatan.
"Syif, mau enggak?" Febri menyodorkan kotak makanan berisi potongan buah, sahabatku satu ini sangat menjaga pola makannya.
"Wiiihh, segar, kayaknya. Simpenin buat nanti, ya!"
"Puasa, Jeng?" tanyanya.
"Insyaallah," jawabku sambil menulis rekam medis.
"Kagum aku punya sohib kayak kamu. Walaupun agak sableng, tapi rajin ibadahnya!" katanya dengan seenak hati yang diakhiri dengan tawa.
"Dasar Luna Maya!" sahutku sambil membenarkan letak jilbabku.
"Ih, bukan!! Aku Pevita!" protesnya karena tidak terima.
"Terserah Anda saja."
Aku dan Febri mulai melayani pasien yang terus berdatangan di shift ini. Mereka yang datang biasanya adalah orang tua dengan keluhan lutut sakit, pegal-pegal, nyeri sendi, dan sejenisnya. Jangan dipikir di sini penyakitnya parah-parah, ya!
Saat waktu asar, pelayanan dihentikan sementara. Aku bersyukur karena bisa bekerja di sini, klinik ini punya kebijakan agar semua pelayanan terhenti sementara saat tiba waktu salat dan juga mewajibkan bagi seluruh pegawainya berpakaian sopan dan tertutup karena memang kebetulan klinik ini semua beragama Islam.
Drrrt ... drrrt ... drrrt ....
Aku rasakan ponselku bergetar saat sedang melipat mukena seusai salat. Segera aku buka pesan yang masuk.
08233651xxxx
Assalamualaikum,
ini nomor saya Riski
Ya Tuhan, baru baca pesannya saja kenapa jantungku jadi berpacu lebih cepat begini, sih?
Me
Wa alaikumussalam. Iya, Gus. Bagaimana?
Jawabku hanya dalam hitungan detik. Aku enggak terlihat bersemangat banget, kan?
08233651xxxx
emm jangan panggil Gus, enggak enak! Panggil Mas saja, ya!
Mas? Haha ... aku kenapa, sih, bisa gugup begini? Padahal, aku juga manggil mas ke banyak orang, tapi kok ini rasanya beda, ya?
Me
Hehe Iya Mas
08233651xxxx
Syif, menindaklanjuti pertemuan kita kemarin, insyaallah saya siap meneruskan taaruf ini. Saya tunggu jawaban kamu, kalau kamu juga setuju, secepatnya saya akan bertemu orang tua kamu.
Aku menjatuhkan ponsel kesayanganku karena terlalu kaget. Buru-buru aku mengambilnya. Masyaallah, apakah secepat ini? Mamaaa, akhirnya ada yang mau juga sama anakmu!
Me
Saya minta waktu ya, Mas
08233651xxxx
Oke, saya tunggu kabar baiknya.
"Woyy! Kenapa senyum-senyum? Menang undian, ya?" tegur Febri, aku hampir jatuh karena senggolannya.
"Iya, dapet vocher nikah gratis," jawabku asal.
"Haaa? Beneran? Wah, beruntung banget, Syif. Nikah, kan, biayanya mahal, kamu malah dapat gratis."
Astagfirullah ... Febri memang cantik, sih, tapi daya sambungnya itu kadang lemot! Aku hanya membiarkan dia berimajinasi.
"Eh, tapi, kamu mau nikah sama siapa? Memang ada yang mau sama kamu?"
Allahuakbar, ini anak satu kalau ngomong asal, asal benar.
"Sudah, Feb, berisik. Itu kamu selesaikan askepnya! Bagianku sudah selesai."
Aku tidak menghiraukan lagi ocehan Febri yang masih penasaran dengan voucher nikah. Aku sudah menyelesaikan jatah askepku dan karena pasien sepi, belum ada yang berkunjung lagi, aku memilih membuka aplikasi Al-Qur’an di ponselku. Aku memulai muroja'ah hafalanku. Teman-temanku sudah tahu dengan kebiasaanku ini dan mereka juga tidak masalah karena aku selalu melakukannya ketika pekerjaan beres.
***
Aku menghempaskan tubuhku ke kasur saat sampai rumah. Kenapa rasanya capek banget, ya?
Ya iyalah capek, Syif, orang kamu habis dorong motor yang bannya bocor. Untung bocornya sudah masuk kompleks rumah, jadi aku putuskan untuk mendorongnya saja sampai rumah. Lagian, jam sepuluh malam mana ada bengkel masih buka di kompleks ini!
Aku segera membersihkan tubuh dan mengganti pakaian, lalu bergegas turun menemui Mama dan Papa yang masih bersantai di depan TV. Sesampainya di bawah, aku langsung duduk mengambil posisi di tengah mereka.
"Kamu kenapa, sih, Syif?" protes Papa karena aku mengusik kenyamanan duduknya.
"Aduh, Papa. Syifa capek, Pa, tadi dorong motor."
"Ya salah sendiri, coba kamu sudah nikah, habis jaga siang, kan, ada yang jemput."
Mulai deh, Mama! Aku lebih memilih pergi ke dapur daripada mendengarkan Mama, mencari sumber tenaga agar kuat menghadapi kanjeng ratu yang sedang bertitah. Aku kembali ke ruang TV dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan daging masakan Mama. Tidak lupa di tangan kiriku menggenggam sebotol air dingin.
"Astagfirullah, Syif, kira-kiralah masa anak perawan makannya seperti habis gempur bangunan!" pekik Mama saat melihat porsi makanku yang tak biasa.
"Hehe, tadi Syifa cuma buka puasa pakai air putih sama mangga, Ma, belum sempet makan."
"Iya, tapi ya enggak segitu juga, Sayang!" Mama belum mengalah.
"Ini nasinya dikit banget, Ma!"
Aku menyelesaikan makanku sambil mendengarkan tausiyah dari Mama. Sebenarnya aku selalu menghindari makan berat saat malam hari, cuma malam ini rasanya tenagaku terkuras untuk dorong motor.
"Pa, Ma, kalau ada yang mau serius sama Syifa, bagaimana?" tanyaku dengan sangat hati-hati sekembalinya dari dapur untuk cuci tangan dan piring.
"Serius, Nak?" Mama langsung kegirangan, berasa aku ini enggak laku banget.
"Serius, Ma!" jawabku malas.
"Papa senang, Syif, kalau ada yang mau serius sama kamu, asalkan orangnya baik dan paham agama, Papa setuju saja."
Bagaimana tidak paham agama, orang dia putra kiai, Pa! Aku malah takut dengan ekspresi Mama nantinya kalau tahu siapa yang melamarku.
"Kamu sudah yakin?" tanya Papa lagi.
"Emmm, Syifa masih minta waktu sama dia, Pa."
"Jangan lama-lama, tidak baik menggantungkan harapan orang, Syif!" titah Papa.
"Insyaallah, Pa!"
Aku bersandar di dada pPapa sambil terus merenungkan lamaran Mas Rizki, jangan ditanya Mama di mana, Mama masih asyik dengan dunianya sendiri, daritadi senyum-senyum. Mungkin, kalau saja kelihatan, di pikiran Mama itu sudah tersusun rapi warna baju pengantin sampai souvenir pernikahan.
Ya Allah, Ma, apa dengan Syifa menikah, Mama bisa tambah bahagia? Kalau iya, pasti Syifa lakukan, mungkin memang ini saatnya.
Setelah itu, aku pamit untuk ke kamar, bersiap untuk melakukan salat Istikharah. Izin orang tua sudah aku dapat, sekarang giliran aku memohon petunjuk pada Allah Sang Pemilik hati.
BAB 3
Lamaran
Hari ini di rumahku sedang berlangsung kesibukan kecil karena malam nanti akan ada acara lamaranku.
Ya, aku telah memutuskan untuk meneruskan taarufku dengan Mas Rizki. Setelah dia bertemu sendiri dengan Papa, malam ini dia dan keluarganya ke sini untuk melamarku secara resmi. Di rumah tidak banyak yang datang, hanya keluarga kecil. Ada Mbak Dira, Tante Meli, dan Om Agus yang merupakan orang tua Icha, Om Agus adalah adik Mama.
"Duh, akhirnya adikku nikah juga."
"Belum kali, Mbak, baru juga mau lamaran," tuturku santai sambil mengunyah pie buah kesukaanku.
"Syif, sana cuci tangan. Bersihkan juga mulutnya, masa mau lamaran malah ngunyah terus!" tegur Mama.
"Tanggung, Ma, satu lagi."
Setelah menghabiskan pie-ku, aku segera menuruti perintah Mama karena ternyata keluarga Mas Rizki sudah datang. Aku dan Mama segera bergabung dengan Papa dan Mas Aditya—kakak iparku. Papa menyambut keluarga Mas Rizki dengan ramah dan penuh tawadhu'. Seperti ini ya rasanya mau lamaran? Deg-degan, mules, kebelet pipis, apalagi kalau tidak sengaja bertemu tatap sama calon, rasanya seperti mentega dia atas teflon, meleleh.
Setelah didahului dengan ramah tamah, selanjutnya abinya Mas Rizki menyampaikan maksud dan tujuannya bertamu. Lalu, Papa juga sudah menyampaikan jawabanku. Acara berlangsung hikmat dan lancar, membuahkan keputusan bahwa aku dan Mas Rizki akan menikah bulan depan. Terlalu cepat, memang. Keluarga Mas Rizki yang memintanya, tapi tidak apa-apa juga daripada semakin lama malah semakin menimbun dosa.
"Terima kasih ya, Syif, kamu sudah melegakan hati Mama," ucap Mama sambil memelukku ketika acara telah usai.
Percayalah, hal kecil itu justru membuat aku sangat terharu. Bagaimana tidak? Mama yang lebih sering bertingkah ajaib malam ini bisa manis begini.
"Ya walaupun mungkin Rizki terpaksa kali ya milih kamu," tambah Mama sambil tertawa.
Subhanallah ... baru diterbangin, langsung dihempasin begitu saja. Mama siapa, sih, ini?
"Mama tega, sih, sama anak sendiri!" protesku.
"Hehe bercanda, Sayang, kamu dan Dira itu berlian Mama, selamanya akan jadi harta paling berharga buat Mama sama Papa."
Dan saat ini, air mataku sudah menetes. Walaupun aku dikenal cuek, tapi kalau sudah menyangkut orang tua, aku bisa cengeng banget.
"Mama habis ngiris bawang, ya?"
"Ha? Enggak, tuh!" jawab Mama sambil mengurai pelukannya.
"Hehe ... berarti aku kelilipan."
"Halah, kamu gengsian sama Mama sendiri, bilang saja terharu sama Mama!"
"Narsis," sahutku cepat diikuti gerakan memeluk Mama lagi. Setelah adegan dramaku dan Mama selesai, aku bergegas membantu Mbak Dira untuk membereskan piring-piring kotor dan jangan ditanya lagi saat ini aku sudah jadi bahan ledekan Mbak Dira dan Tante Meli.
***
Satu minggu telah berlalu, aku masih lumayan sibuk untuk menyiapkan acara pernikahanku. Aku belum memberi tahu teman-teman kerja tentang rencanaku kecuali sahabat dekatku, biarlah nanti saja sekalian kasih undangan.
"Eh, dengar belum, Dr. Hana mau resign, lho!" tanya Mas Guntur di sela-sela operan kita.
"Lha memang, kan? Beliau bilang kalau mau fokus sama anak dulu," sahut Mbak Sarah.
"Terus, kepala pelayanan medisnya ganti, Mas?"
"Jelaslah, Syif. Masa iya gue yang gantiin."
"Beeuhh, kalau gantinya Mas Guntur, aku jadi orang terdepan yang akan melengserkanmu!" jawabku sambil tertawa dan diikuti yang lain.
"Sialan lo, Syif, sudah mau nikah juga masih usil!" gerutu Mas Guntur.
"Memang nikah harus jadi berubah?"
"Ya enggak juga, sih. Cuma gue heran, deh, cowok itu kesambet apa sampai mau sama lo, cewek berisik."
"Hahah, parah lo, Gun. Walaupun begini, Syifa mah cewek idaman para ikhwan." Mbak Sarah ikut menyela.
"Weeekk! Ikhwan yang sudah mentok enggak dapat jodoh." Mas Guntur belum menyerah.
"Terus! Teruskan!" protesku.
Mereka hanya tertawa melihat aku yang cemberut. Sebenarnya sedih juga Dokter Hana mau resign, kita sudah nyaman banget punya atasan seperti beliau, tapi ya mau bagaimana lagi, secinta-cintanya pada pekerjaan, kalau keluarga lebih membutuhkan, apalagi suami sudah melarang, ya kita hanya bisa nurut. Semoga suamiku besok tipe yang pengertian, tidak memaksa aku harus berhenti kerja!
Sepulang jaga pagi hari ini, aku, Mbak Sarah, dan Mas Guntur janjian untuk ke mal sebentar, hanya sekadar jalan-jalan. Maklum, setiap tanggal 25, kita berasa orang kaya karena habis gajian. Nah, tanggal 26 balik lagi jadi sobat misqueen.
Mas Guntur mengajak kita makan di sebuah restoran Jepang karena dia hobi banget sama makanan itu.
"Melamun, Syif?" tegur Mbak Sarah, satu tangannya melambai di depan wajahku.
"Hehe enggak, kok, Mbak. Lama enggak main itu, jadi kangen," jawabku sambil menunjuk tempat bermain ice skating.
"Mainlah! Dirimu, kan, hobi banget, Syif. Pernah juara pula," sahut Mas Guntur.
"Besok, deh, pas aku libur."
Acara sore itu berakhir ketika Mas Guntur pamit pulang duluan karena harus menjemput istrinya. Aku dan Mbak Sarah masih meneruskan berkeliling mal karena dia mau membelikan baju untuk anaknya.
***
Malam harinya aku mengantar Mama ke acara rutinannya bersama teman-teman alumni pesantrennya dulu karena Papa sedang keluar kota dan kebetulan acaranya bertempat di Semarang.
"Nanti simaan Al-Qur’an dulu, Ma?" tanyaku sambil fokus menyetir.
"Iya, tapi dibagi biasanya jadi cepat khatamnya."
"Nanti Syifa ikut baca jatah Mama, ya!"
"Wah, kebetulan! Kamu saja ya nanti yang baca jatah Mama, juz 16-18! Mama lagi sakit banget ini tenggorokannya."
"Mama, ih, dikasih hati malah minta tambah jantung."
"Ya enggak apa-apa kali, Syif. Besok kalau kamu sudah nikah, kan, enggak bakalan gampang ikut Mama ke acara begini."
"Hmm, iya siap, Kanjeng Ratu!"
Begitu sampai, Mama langsung bergabung bersama teman-temannya dan melupakan anak manisnya ini. Alhasil, aku hanya diam saja mengekor ke mana pun Mama bergerak.
"Ning Nilna!" panggil Mama pada salah seorang temannya.
"Mbak Latif apa kabar?" sapa wanita itu, lalu saling berpelukan, kelihatannya seumuran dengan Mama.
"Alhamdulillah, Ning, oh iya perkenalkan ini anakku. Syif, ini kenalin teman Mama!"
Aku langsung salim dan mencium tangannya sambil menyebutkan namaku. Awalnya, ekspresi Tante Nilna seperti kaget, lalu cukup lama beliau memperhatikanku sampai akhirnya bersuara.
"Wah cantik ya, anaknya Mbak, sudah taken, belum?"
"Alhamdulillah, Ning, tiga minggu lagi nikah. Ini sudah bawa undangan sekalian."
"Alhamdulillah. Selamat ya, Syifa, semoga lancar, berkah."
"Amin, terima kasih, Tante Nilna!"
"Tanggal berapa, Mbak? Soalnya tiga minggu lagi keponakanku juga nikah, minta maaf ya nanti kalau berengan."
"Wah sayang sekali, Ning, padahal papanya Syifa berharap sekali keluarga Kiai Ahmad bisa hadir."
"Ya semoga enggak bareng ya, Mbak!" jawab beliau.
Acara simaan dimulai dan ternyata aku harus baca duet dengan Tante Nilna. Gugup banget rasanya, biasanya aku saling menyimak sama Mama, nah ini harus sama Tante Nilna, mana bacaannya bagus banget lagi!
Malam itu acara berlangsung lancar dan selesai sekitar pukul sepuluh malam, aku dan Mama pamit pulang duluan, takut kemalaman mengingat aku hanya pergi berdua dengan Mama.
"Ma, besok aku main ke mal, ya?"
"Main lagi? Tadi siang sudah, kan?"
"Mau main ice skating, Ma, kangen banget."
"Sendiri?"
"Janjian sama Manda, Ma, besok aku sama Icha juga, kok."
"Baiklah, tapi jangan lama-lama, takut masuk angin kamunya," ujar Mama.
"Siap, Bos!"
BAB 4
Karena Ice Skating
Hari ini aku benar-benar mewujudkan keinginanku bermain ice skating. Aku sudah janjian dengan Manda, dia adalah teman kursusku dulu waktu masih SD. Dulu, aku pernah menjuarai lomba ice skating tingkat Asia.
"Cha, aku ganti baju dulu, ya?"
"Yupps." Sepuluh menit kemudian, aku sudah siap dengan pakaian ice skating, celana training longgar, dan kaus tebal dengan bahan nyaman.
"Manda belum datang ya, Cha?"
"Belum, coba kamu telepon."
Sebelum aku menyelesaikan panggilanku, Manda sudah melambaikan tangannya, dia datang bersama Fadil, temanku juga. Aku beramah tamah sebentar dengannya, lalu kami segera masuk ke area, rasanya sudah tidak sabar. Aku dan Manda, juga Fadil mulai bermain dengan gerakan-gerakan yang dulu pernah kita pelajari.
Ice skating adalah salah satu hal yang bisa membuatku lupa kepenatan hidup, di sini ditemani udara dingin dan mendengar suara sepatu seluncur yang nyaring, terasa ada keistimewaan tersendiri bagiku.
"Hai!" sapa seorang gadis manis yang mengenakan jilbab tosca.
"Hai juga."
"Aku lihat, kamu mainnya bagus banget, sudah lama main?"
"Enggak juga, tapi alhamdulillah pernah juara juga, sih."
"Wah, keren, dong! Aku juga suka banget main di sini. Barengan, yuk!"
Aku mengangguk dan langsung mengikuti permainan gadis itu. Hampir dua jam kita bermain, entah kenapa, seakan stok energiku masih banyak dan enggan berhenti, bahkan Manda sudah istirahat sejak tadi.
Sekarang sudah hampir jam tiga sore, kalau tidak ingat janjiku dengan, Mama pasti aku masih lanjut bermain mumpung sedang tidak salat.
Aku bergabung dengan Manda, Fadil, dan Icha yang asyik dengan makanan mereka. Aku masih enggan berganti pakaian karena perut dan tenggorokanku belum bisa diajak kompromi, minta diisi dulu.
"Syifa!" panggil seseorang.
"Mas Rizki?" jawabku kaget.
Aku tidak menyangka bertemu dengannya di sini karena kita sudah sepakat untuk tidak bertemu sampai hari pernikahan dan hanya sesekali bertukar pesan.
Tidak aku pungkiri ada rasa bahagia bertemu dengannya, berlebihan tidak kalau aku bilang rindu dengannya? Astagfirullah.
Tapi ada sesuatu yang aneh dengan ekspresinya. Dia masih berdiri saja sambil menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan
"Mas Rizki kenapa?" tanyaku khawatir.
"Kamu kenapa berpakaian seperti itu dan main apa itu kamu?" tanyanya dengan ekspresi dingin.
"Oh ini, Mas, aku lagi ice skating, tapi sudah selesai."
Dia hanya menganggukkan kepala dan tampak berpikir. Setelahnya langsung pamit pulang meninggalkan kami yang heran dengan sikapnya dan entah kenapa, mendadak perasaanku tidak enak.
Pukul lima sore aku baru sampai rumah karena harus mengantar Icha dulu. Rasanya masih belum tenang, pikiranku masih tertuju pada sikap Mas Rizki tadi.
"Syif, baru pulang?" tanya Papa.
"Loh, Papa kapan sampai rumah?"
"Ini anak ditanya malah balik nanya. Papa sampai habis asar tadi."
"Hehe, iya, Pa."
"Syif, kamu ada apa?" tanya Papa terlihat khawatir, beliau mengusap lembut lenganku.
"Memang Syifa kenapa? Alhamdulillah baik-baik saja, kok, Pa."
"Ya sudah, kamu bersih-bersih dulu. Tadi Rizki telepon Papa, katanya malam ini mau datang."
Aku masih ingin bertanya, tapi Papa langsung masuk ke kamarnya. Sungguh perasaanku semakin tidak enak, kenapa Mas Rizki mau ke sini dan tidak mengabariku?
Dari sore hingga waktu isya aku terus beristigfar, pikiranku semakin tidak tenang hingga Mas Rizki datang dan ternyata dia dengan kedua orang tuanya.
"Maafkan Pak Ramli kalau kedatangan kami mendadak," ucap abinya Mas Rizki hati-hati.
Aku semakin tidak tenang melihat ekspresi abinya yang tidak enak dan sejak tadi Mas Rizki terus menunduk.
"Ah, tidak apa-apa, Mas. Sebentar lagi, kan, kita jadi keluarga," jawab Papa.
Abinya terlihat berbisik dan menyuruh Mas Rizki sendiri yang berbicara.
"Pak Ramli dan Syifa, sebelumnya saya minta maaf kalau apa yang ingin saya sampaikan nanti sangat tidak enak dan menyakiti hati. Sejak tadi siang saya bimbang, saya terus berdoa agar Allah memberi saya keyakinan, tapi justru sebaliknya, saya semakin ragu. Saya takut jika meneruskan semua ini malah tidak baik dan menyakiti satu sama lain."
Duarrr! Rasanya bagai disambar petir. Apa maksud Mas Rizki? Apa dia mau membatalkan pernikahan ini?
"Maksud Nak Rizki, apa?" tanya Papa yang sepertinya juga syok.
"Bismillah, dengan berat hati, saya membatalkan lamaran saya pada Syifa," katanya sangat pelan sambil menunduk.
Rasanya seperti melayang, entah ke mana jiwaku pergi. Mama sudah menangis di sampingku. Aku terus mengendalikan diri, apa karena tadi siang aku bermain ice skating? Tapi, aku tidak melakukan kesalahan apa pun, kan?
"Tapi, kenapa, Nak Rizki? Apa anak saya berbuat salah?" tanya Papa lagi, tapi terlihat jelas Papa sedang menahan emosinya.
"Mungkin salah saya, Pak, karena tidak mencari tahu dulu bagaimana keseharian Syifa, sampai tadi siang saya cukup kaget melihat penampilan Syifa seperti itu di tempat umum. Saya merasa keberatan jika Syifa berpakaian seperti itu dan pergaulannya yang cenderung tidak menjaga aturan agama."
"Maksud Mas Rizki apa? Ada yang salah dengan pakaian saya? Kalau yang Anda maksud adalah tadi siang, apakah salah jika saya bermain ice skating?" sanggahku penuh emosi karena merasa tersinggung.
"Seharusnya kamu bisa lebih menjaga sikap kamu, kita akan menikah dan saya tidak mau orang-orang berpikir jelek tentang kamu dan keluarga saya."
Sungguh, aku sangat marah mendengar kalimatnya barusan, seakan aku ini aib untuk keluarganya.
"Seharusnya, Mas Rizki peringatkan saya, mana saya tahu kalau apa yang saya lakukan itu bisa mempermalukan keluarga Mas Rizki!" jawabku dengan nada semakin meninggi, lalu Mama memegang tanganku.
"Saya minta maaf, Syif, hati saya terlanjur ragu, saya takut malah kita akan saling menyakiti kalau diteruskan."
"Apa Mas Rizki tidak memikirkan perasaan keluarga saya? Pernikahan kita tinggal menghitung hari, Mas, semua keperluan sudah disiapkan."
"Saya janji akan bayar semua kerugiannya, Syif."
"Bukan itu, Mas, saya tidak akan meminta sepeser pun dari Anda, saya hanya menyesal kenapa saya begitu gegabah menerima Anda. Seharusnya, dari awal saya sadar, saya memang tidak pantas untuk Anda," jawabku penuh amarah, enak saja dia bilang begitu.
Aku sudah muak dengannya, lalu dengan berat hati aku mencium tangan uminya dan pamit untuk ke kamar.
Ya Allah, bantu hamba melewati masa ini. Berikan orang tua hamba kesabaran dan kekuatan.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara mobil keluar dari rumahku. Pasti itu mobil Mas Rizki! Kenapa aku harus kenal dengannya kalau hanya seperti ini akhirnya? Bukannya mereka sendiri yang minta pernikahan ini dipercepat? Aku mencoba selalu berhusnuzan dengan Allah, aku yakin Allah punya takdir yang lebih indah untukku.
"Syif?" Suara Papa mengagetkanku, buru-buru aku buka pintu. Begitu beliau masuk, aku langsung menghambur ke pelukannya, cukup lama aku menangis di pelukan Papa, menghilangkan rasa sesak di dada.
"Maafin Syifa ya, Pa?"
"Ssst, bukan salah kamu, Syif. Mungkin dia bukan jodoh kamu. Insyaallah Papa kuat kalau kamu juga kuat, Papa malah bersyukur karena kamu tidak jadi menikah dengan laki-laki seperti itu. Laki-laki yang baik itu dia harus bisa bijaksana, kalau istrinya melakukan kesalahan, ya seharusnya yang dihilangkan itu salahnya, bukan malah hubungannya."
Aku sedikit lega karena kata-kata beliau, semoga di belakangku, Papa juga setegar ini.
"Betul, Pa. Enak saja bilang anak Mama bikin malu." Mama tiba-tiba masuk sambil tertawa, tapi matanya menahan tangis memancarkan kesedihan.
"Ma?"
"Sudah! Tidak usah dipikirkan, Sayang! Kamu yang kuat, ya, sabar juga. Pasti ada yang jauh lebih baik buat kamu nantinya," kata Mama sambil memelukku.
Kami bertiga berpelukan, entah hal apa yang akan kami hadapi besok, tapi saat ini aku benar-benar merasa nyaman. Aku juga bersyukur undangan belum sempat tersebar, waktu itu Mama hanya membagikan beberapa pada temannya yang jauh.
Ya Allah ... hamba berserah diri pada-Mu.
BAB 5
Burung Hantunya Limbad
Enam bulan kemudian ....
Aku hanya bisa pasrah merasakan ponsel di saku bajuku yang sejak tadi terus bergetar dan aku yakin seribu persen siapa yang tidak pernah punya rasa bosan meneleponku walaupun tidak pernah aku angkat.
"Iya, Ma, sebentar!" bisikku ketika akhirnya menyerah untuk mengangkat telepon.
"Nanti jemput Mama di rumah Jeni. Awas lupa!"
"Iya, Ya Allah, Mama enggak percaya banget sama anak sendiri!" Sebisa mungkin aku memelankan suara karena saat ini aku bersembunyi di bawah meja.
"Kamu itu pelupa soalnya, harus diingatkan berapa kali juga! Ingat, jemputnya di rumah Jeni, bukan Desi!"
"Masyaallah, iya Mamaku say—"
"Cut Syifa!"
DUGH!
"Awww ... innalillahi!" pekikku kesakitan, aku buru-buru memutus sambungan telepon Mama karena ada yang memanggil. Aku berdiri sambil memegangi kepalaku yang terbentur meja.
"Sedang apa kamu?" tanya sang pemimpin rapat, dari suaranya saja sudah tidak bersahabat banget.
Aku sedang rapat penting persiapan akreditasi klinik tempatku bekerja dan peraturan yang baru di sini adalah ketika rapat, tidak boleh main ponsel. Asal Anda tahu, aku, kan, enggak mainan, aku angkat telepon dari ratu!
Aku merasakan tanganku terus ditarik-tarik dan segera menoleh ke samping.
"Itu kamu ditanyain sama dokter!" bisik Febri.
"Eh? Iya, Dok, maaf," ucapku sambil menunduk.
"Aturannya masih berlaku!" serunya dengan ekspresi jutek. Astagfirullah, kalau tidak ingat dia atasan, sudah aku lempar ke kayangan!
Rapat dilanjutkan dan suasana kembali tenang, Dokter Alfarizky kembali memimpin jalannya rapat. Beliau adalah atasanku yang baru pengganti Dokter Hana, orangnya serem seperti Limbad, soalnya diam saja, terus matanya tajam. Eh bukan Limbad, sih, lebih cocok disamain burung hantunya Limbad.
Aku akui beliau rajin ibadahnya, pintar sekali masalah kerjaan, tampan juga agak kearab-araban, tapi percayalah, itu semua hanya sampulnya. Aslinya masyaallah bikin gedek! Nih ya, Mbak Sarah pernah nangis karena laporan bulananya dicoret-coret sama itu dokter galak, padahal setahuku, Mbak Sarah paling rapi kalau buat laporan.
Dia itu galak banget, dingin, jutek, dan tidak punya perasaan, beda banget sama Dr. Hana dulu. Jelas beda ya secara wanita dan laki-laki, tapi secara kepemimpinan, pokoknya yang ini nyebelin dan kenapa namanya harus Rizky? Aku jadi ingat kenangan buruk, kan? Kenapa semua yang namanya Rizky itu nyebelin? Tidak Rizky ini, tidak Rizki yang gagal nikah denganku, sama saja!
Rapat yang membosankan ini akhirnya selesai juga dan aku segera berkemas untuk pulang karena sudah jam empat sore dan aku harus segera menjemput Mama.
Lagian, Mama ngapain, sih, rajin banget jadi panitia pernikahannya Jeni?
Tapi, alhamdulillah mamaku beda denganku, kalau aku semacam punya rasa enggak nyaman ketika berbicara tentang acara pernikahan, kalau Mama hanya beberapa hari setelah pembatalan nikahku, terlihat sedih, lalu kembali menjadi mamaku yang ajaib lagi. Setidaknya itu yang beliau perlihatkan di depanku dan jujur, sikap orang tuaku yang ikhlas itu menjadi kekuatan tersendiri bagiku untuk bangkit dan melupakan kegagalan pernikahan itu.
"Syifa pesankan taksi online ya, Ma?" bujukku karena sebenarnya selain capek aku juga malas sekali ke rumah Tante Eka.
"Enggak mau, Mama takut dapet driver yang ganjen."
"Mama, kok, kepedean begitu, sih! Tapi, maaf Syifa capek habis rap—"
"Mama enggak peduli ya, Syif. Itu, kan, resiko kerjaan kamu, sekarang waktunya kamu berbakti pada Mama. Cepetan, Mama tunggu!"
Tut ... tut ... tut ....
Duh, Gusti!
Mama benar, tadi sudah melaksanakan kewajiban kerja, sekarang kewajiban bakti pada orang tua. Bayanganku sudah mulai horor ketika terlintas wajah Jeni dan Tante Eka muncul. Tante Eka adalah sepupu Mama, beliau dan Jeni itu orang yang paling santai sedunia, jadi banyak waktu banget untuk ngomongin hidup orang. Apalagi kalau disuruh jadi komentator hidup orang lain, aku jamin enggak akan ada yang terlewat sejengkal pun.
"Kamu mau pulang?" Lamunanku berhenti karena Dr. Alfarizky berhenti di depan motorku.
"Mau jemput Mama dulu, Dok!" jawabku santai.
Dia hanya mengangguk dan berlalu, aku masih menatap punggungnya dengan waswas, takut kalau dia berbalik dan memberiku tambahan pekerjaan. Proses akreditasi memang berat, banyak sekali dokumen yang harus dipersiapkan mulai dari SK, pedoman, dan SOP. Nah, sudah tahu beban kita berat, harus bagi waktu untuk pelayanan dan akreditasi, tapi dokter galak itu suka semaunya sendiri, enggak peduli karyawannya.
"Alhamdulillah." Aku mengehela napas, merasa lega karena dia sudah masuk ke dalam mobil. Buru-buru aku membetulkan letak helm dan menghidupkan motorku, berdoa, lalu—
"Cut Syifaaa!"
Allahuakbar ... apa lagi, Ya Allah! Mobilnya berhenti tepat di depanku.
"Semua SK dan pedoman keperawatan sudah sampai deadline-nya, segera email ke saya! Terima kasih, asalamualaikum!" katanya santai, lalu kembali memakai kacamata hitam, yang nyebelinnya malah nambah aura ketampanannya.
"Wa alaikumussalam."
Ya Allah ... andai santet itu tidak dosa, sudah dari kemarin aku kirimi dia!
***
“Eh, ada Syifa! Masuk, Syif!” Aku mengangguk dan mencium tangan Tante Eka. Beliau sedang memilah undangan, ada Jeni dan beberapa saudaraku yang lain juga.
“Syif, kapan nyusul Jeni? Kalian cuma beda beberapa bulan, loh!” tanya Tante Eka.
Nah, kan, mulai!
“Memang Jeni mau ke mana, Tante?” jawabku pura-pura bego.
“Haha, Syifa sukanya begitu. Jangan trauma karena pernah gagal, ya! Semoga cepat dapat lagi, alhamdulillah Jeni sekali kenal langsung sampai nikah! Insyaallah yang pertama dan terakhir.”
Tarik napas!
Aku memilih mempraktikkan rumus senyum 227 yang paling mujarab, tarik bibir masing-masing 2 cm ke kiri dan kanan lalu tahan 7 detik.
“Buruan ya, Syif, Tante pengen melihat kamu segera nikah, wanita itu punya batas masa subur, loh!”
“Mama jangan begitu, kasihan Syifa-nya. Aku jadi enggak enak,” sahut Jeni berlagak membelaku, dalam hati aku mencibir keras, sebentar lagi juga kambuh.
“Semoga kamu cepat didekatkan jodoh ya, Syif, kalau bisa yang lebih dari calonku. Alhamdulillah Mas Damar kerjaannya bagus, dia seorang manajer di sebuah restoran,” lanjut Jeni lagi. Nah, kan, apa aku bilang!
Bodo amat, Jen!
Hanya sepuluh menit di rumah Tante Eka, tapi rasanya ubun-ubunku sudah mendidih. Aku segera mencari keberadaan Mama dan yang dicari malah enak-enakkan mengobrol.
Tanpa babibu, aku langsung pamit dengan sopan pada saudara yang lain dan segera menarik mamaku, tapi yang namanya Mama Latif pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas, di mana ada pelung jodoh, pasti di situ langsung mempromosikanku.
"Kamu ini ambekan banget jadi perawan, Syif!" ujar Mama sambil mencubit pelan pinggangku.
"Ya siapa coba yang enggak malu, Ma, kalau di depan banyak orang, Mama tawar-tawarin Syifa. Dikira Syifa ini enggak laku apa?" Bukannya merasa bersalah, Mama malah tertawa puas banget.
"Haha, ya sudah Mama minta maaf! Kamu, sih, buruan cari jodoh makanya! Mama keburu tua ini enggak kuat gendong cucu!"
"Tunggu saja, Ma! Enggak lama lagi juga ada yang ngelamar Syifa!"
Aku hanya asal ngomong karena terlalu jengkel, tapi ternyata berefek besar pada Mama. Mama refleks berteriak senang membuatku harus mengerem mendadak.
"Kamu beneran sudah ada calon?"
"Sudah!"
"Alhamdulillah! Mama senang!" Saking senangnya, Mama memelukku dari belakang.
Diam-diam aku bersyukur, setidaknya saat ini lolos dari pembahasan pernikahan, urusan jodoh yang sudah nyata atau masih fiktif pikir belakangan. Aku enggak bohong loh, ya. Kita diciptakan sudah sekalian sama jodohnya, kan? Cuma belum ketemu saja. Nanti kalau sudah waktunya, pasti juga ketemu sendiri. Nantinya kapan, ya tunggu saja!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
