(A) Gus Nazril 6-10

7
0
Deskripsi

Part 6-10

Happy Reading

BAB 6

SALAH PAHAM

 

Sehari sejak kejadian mas Nazril melihatku menangis, aku sengaja ke UGD untuk melihat responnya. Seperti yang sudah-sudah, teman-temanku akan menjauh perlahan setelah mengetahui sisi terlemahku. Awalnya mereka akan selalu menghindar saat aku ajak makan atau kegiatan lainnya dengan alasan sibuk, kemudian lama-kelamaan mereka akan benar-benar menjauh dan menghilang.

Malamnya aku sempat berdoa agar Mas Nazril adalah orang yang berbeda dengan teman-temanku dulu, entah kenapa aku ingin sekali bisa menjadi temannya karena selama aku kenal dia, aku merasa dia adalah pendengar yang baik. Bukan berarti aku berharap mempunyai hubungan lebih, jujur hati kecilku juga ingin mempunyai sahabat untuk berbagi suka dan duka seperti kebanyakan orang, tentunya selain mama dan Gisel.

Tapi sepertinya Allah sudah kasih peringatan sejak awal, Mas Nazril benar-benar menghindariku seperti awal mulanya teman-temanku dulu meninggalkanku. Waktu aku masuk ke UGD dan menyapa Putri, Mas Nazril hanya tersenyum sekilas lalu berpamitan untuk keluar. 

Aku memang bukan orang yang layak menjadi teman, mungkin semua perkataan  papa itu benar. Aku yang lelet, aku yang lemah, aku yang cengeng, aku yang pembangkang dan aku yang jauh sekali dengan anak pertama papa. Cukup alasan bagi mereka untuk menjauhiku.

Saat ini mungkin sudah sekitar dua minggu aku tidak lagi menyapa Mas Nazril, dalam artian ngobrol lama saling bertukar pikiran seperti sebelumnya. Aku hanya sekedar menyapa saat tidak sengaja kita bertemu. Aku juga nggak pernah lihat dia jemput Ilyas lagi. Tidak ada reaksi apapun darinya saat kita berpapasan dan itu berarti memang aku tidak boleh mencoba berharap apapun pada orang lain. Aku akan kembali menjadi Ralin yang biasanya, yang hanya menghabiskan waktu bersama Mama atau Gisel.


*******


Nazril point of view

 

Tumpukan berkas di meja ini membuat gue benar-benar frustasi, hampir dua minggu ini gue harus berkutat dengan tim audit internal rumah sakit. Prof. Danu memasukkan gue ke tim audit internal begitu gue bergabung di rumah sakit ini.

Sepertinya beliau kualat sama gue, dulu waktu masih koas seneng banget bikin gue spot jantung. Kalau ad ague, bawaanya marah mellu tapi sekarang kebalik. Sekarang kalau ada apa-apa, pasti nyari gue, mungkin itu definisi benci jadi cinta.

Jadi tugas gue di tim audit internal bersama teman-teman yang lain adalah mengaudit kesesuaian kerja pegawai dengan standar prosedur yang ada setiap 6 bulan sekali, nah gue di tim klinis di bawah Prof. Danu. 

Sejak dua minggu lalu gue seperti lupa waktu, gue harus bagi pikiran antara kerjaan dan tugas 6 bulanan ini. Alhamdulillah semua tim sudah selesai mengaudit setiap unit dan minggu ini tinggal rekapan hasil temuan untuk selanjutnya dilaporkan kepada kepala rumah sakit. Tapi ada satu hal yang mengusik hati gue. Ralin!

Sejak kejadian waktu gue melihat dia menangis, dia seperti menghindar dari gue. Gue sudah lama nggak ngobrol sama dia karena proses audit ini yang benar-benar memakan waktu. Gue ngerasa ada sesuatu yang beda dengannya di balik senyum yang selalu dia tunjukkan selama ini.

Dia wanita yang nggak ngebosenin dilihat,  cerdas juga, ramah banget, plus murah senyum. Dari cerita Edo dia salah satu dokter kesayangan di rumah sakit ini karena sikapnya yang profesional dan berdedikasi tinggi. Tapi menurut gue jauh dari itu, ada hal yang tersembunyi. Matanya memancarkan sesuatu yang beda, seperti seorang yang rapuh. Nantilah gue pakai kemampuan detektif gue buat cari tau lebih dalam.

"Ralin???"

Gue menoleh saat suara Edo menyadarkan gue dari memikirkan Ralin.

"Mana?" tanya gue pada Edo yang sudah menyeringai lebar di samping gue.

Ngomong-ngomong kunyuk satu ini juga masuk tim audit.

"Di hatimuuuu!!" jawabnya dengan nada ala cabe-cabean. Gue sikut perutnya agar dia diam tidak menganggu konsentrasi dalam menyusun laporan audit.

Tapi saat gue menatap kertas yang persis di depan gue, gue langsung menoleh ke Edo yang sudah tertawa keras. Gue beneran kaget kenapa di buku catatan gue ada nama Ralin?

Gue yang nulis? Kok bisa? 

"Lo yang nulis Do?"

Edo langsung mencebik."Ya lo lah, siapa lagi? Masa iya gue nulis nama cewek lain, langsung digantung sama bini gue!!"

Gue beneran nggak tau kenapa bisa tanpa sengaja menulis nama Ralin di kertas ini. Mungkin karena tadi gue kepikiran sama dia, ya pasti karena itu.

"Lo naksir ya sama dia, Ril?" Edo mencoba memancing, tapi gue udah hafal banget sama kelakukan manusia ini.

"Hanya lelaki homo yang ngelihat dia nggak naksir. Eh Do, lo kenal Ralin sudah lama kan?" Gue alihkan rasa penasaran Edo tentang perasaan gue.

"Kenapa? Sudah siap buka hati lagi Gus??" tanyanya sambil memainkan alis.

"Ck! Jawab saja jangan banyak omong!"

Edo kembali mencibir tapi tetap menjawab. "Ya waktu doi mulai masuk sini, gue yang dimintain pendapat, langsung dong gue pilih dia, selain nilai prakteknya bagus, cantiknya kebangetan tuh anak. Lumayan buat refreshing mata kalau lagi banyak kerjaan."

Si Kunyuk! Seharusnya tadi gue rekam terus kirim ke Ervina-istrinya. Tapi Ralin emang cantik sih, cantiknya pakai banget di atas rata-rata.

"Lo ngerasa ada yang beda nggak sih dari dia?" Tanya gue lagi.

"Kalau gue sih ngelihat cuma pakai mata biasa jadinya ya biasa saja, kecuali lo ngelihatnya pakai mata hati juga! Baru deh ada yang beda!" jawabnya masih tetap cengengesan.

"Your Eyes, Do!"

"Your Kitchen!" balas Edo.

"Tolong deh Do! Yang waras dikit, bentar lagi anak lo lahir. Gue nggak rela keponakan gue dibesarkan oleh bapak model kaya lo!!"

Edo malah terbahak mendengar gue merajuk.

"Yang gue tahu dia tuh agak tertutup Ril, walaupun dia baik dan ramah banget ke anak-anak sini, suka bawain makanan juga tapi nggak ada yang tahu bagaimana kehidupan pribadinya. Doi tajir Ril, mamanya punya yayasan yang menaungi beberapa sekolah anak-anak, terus tau apotek assalam? Yang ada di mana-mana itu? Itu juga punya mamanya. Papanya juga katanya perusahaan propertinya di mana-mana sampai negara tetangga. Hanya itu yang gue tahu, kayaknya dia cuma tinggal berdua sama mamanya karena orangtuanya bercerai, terus kalau selebihnya gue nggak paham. Jiwa gosip gue nggak kaya lo!!" terangnya panjang lebar.

Jadi kenapa waktu itu dia nangis sambil menyebut nama papanya? Apa karena memang sudah tidak tinggal serumah dengan papanya?

"Gue dukung lo sama dia!" ucap Edo lagi dan kali ini gue yang balas mencebik.

"Gue sudah nggak percaya sih sama dukungan lo. Dulu juga lo bilang begitu!"

Mendengarnya, Edo terbahak. Dia dulu juga mengatakan kalimat serupa di saat gue dekat sama seorang perempuan. Bahkan dia yang meyakinkan kalau wanita itu terbaik buat gue. Tapi nyatanya apa? Wanita itu milih nikah sama orang lain. 

"Ya namanya manusia tempatnya salah, tapi gue salut sih sama lo yang sudah berhasil move on dari Lya! Setidaknya lo nggak beli rokok lagi waktu dinikahan gue karena melihat Lya menggandeng mesra suaminya!" jawabnya.

"Hidup harus terus berjalan!"

Edo mengacungkan dua jempolnya. "Sip!! Gue jadi pengen ke Lombok, pasti di sana ada serpihan-serpihan hati lo yang banyak tercecer di jalanan!" ucapnya sambil tertawa tapi kemudian mengumpat karena gulungan kertas yang gue lempar masuk ke mulutnya.

Dari awal melihat Ralin dengan telaten dan sabar nge-hecting tangan gue meskipun sudah waktunya dia pulang, jujur sih ada rasa aneh di hati gue. Rasa ingin mengenalnya lebih dekat tapi gue masih terlalu pengecut untuk bilang kalau gue tertarik. Gue nggak mau gegabah seperti dulu, gue nggak mau jatuh ke lubang yang sama.

 

BAB 7

DIA KEMBALI

 

Ralin point of view.

"Evaluasi Nadi!!" teriakku pada Putri dan Teguh yang hanya terdiam.

"Dok!" panggil Putri lirih sambil memegang lenganku tapi aku tidak peduli, aku terus memompa jantung pasien.

Walaupun Rasanya seluruh badanku sudah ingin menyerah, keringat sudah membasahi baju kerjaku tapi mendengar anak pasien yang terus memanggil ayahnya dari luar rasanya ada nyeri di hatiku. Aku melihat gambaran diriku waktu seusianya, menangis memanggil papa yang tak pernah pulang lagi ke rumah mama.

"Dokter!!" panggil Teguh agak keras. Aku tetap tidak peduli, aku yakin pasien ini akan bertahan.

"Kembalilah Pak, kembali!!! Kembali untuk anakmu!" ucapku dengan nafas tersengal pada pasien yang tidak mungkin mendengar kata-kataku, aku masih terus memompa jantungnya tidak peduli air mataku yang terus mengalir.

"RALIN!!"

Aku bahkan tidak peduli teriakan itu, aku tetap memompa jantung pasien. Pasien ini harus kembali, anaknya tidak boleh mengalami nasib sepertiku.

Tapi aku sadar aku tak cukup mampu, aku hanya manusia biasa yang punya batas kemampuan. Semua akan kembali pada takdirNya, Allah sudah berkehendak dan tidak ada yang bisa merubah. Pasiennya tidak tertolong, aku yang turun dari bed pasien mulai hilang kesadaran.

"Waktu kematian, 9.23!" ucapku dengan sangat lirih bersamaan dengan tubuhku yang terasa ringan seperti melayang.

Satu wajah yang berhasil aku rekam sebelum benar-benar semuanya gelap.

Mas Nazril.

 

*******


Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menetralkan rasa pusing yang begitu hebat.

Astaghfirullah.. Aku menghela nafasku berkali-kali.

Aku ingat kejadian tadi di UGD, tidak seharusnya aku melakukan hal itu. Aku sudah paham akan peluang hidup pasien itu tapi aku tetap memaksakan ambisiku. Aku terbawa suasana melihat anak yang menginjak remaja itu terus menangis memanggil ayahnya yang sedang meregang nyawa.

"Lin!"

Aku menoleh dan mendapati seseorang yang sedang menatapku penuh kekhawatiran.

"Mama!" Wanita yang paling aku sayang itu memelukku dan terus menguatkanku.

"Maaf ya Ma, Ralin ngerepotin lagi!"

Mama tersenyum, senyum teduh yang selama ini selalu memberikan efek tenang untukku. "Ralin tetap yang terhebat di mata Mama, tau kenapa?"

"Karena Ralin anak Mama!" jawabku sambil tertawa meskipun masih lemah, mama juga ikut tertawa sembari terus mengusap lenganku.

"Lin, Mama mau minta maaf juga. Tapi jangan anggap Mama meninggalkan kamu ya! Mama sudah terlanjur menyanggupi acara yang di Magelang, tapi kalau kamu nggak mau Mama berangkat, Mama bisa batalkan acaranya!" ucapnya penuh penyesalan.

Aku menggenggam tangan Mama. "Mama pergi saja, Ralin nggak apa-apa beneran. Ralin malah nggak enak kalau Mama batalin acara."

Aku merasa hanya dehidrasi ringan ditambah emosi yang meluap hingga membuat pingsan, mungkin satu hari dirawat sudah cukup bagiku.

"Kamu kenapa sih dari kemarin kayaknya nggak nafsu makan? Kalau Mama tinggal harus makan ya! Nanti Mama video call kamu setiap waktunya makan!"

"Iya Mama Sayaaaang!"

"Mama sebenarnya tenang ninggalin kamu karena ada yang janji jagain kamu selama Mama pergi." kata Mama dengan senyum menggodanya. Aku mengerutkan kening.

"Coba tebak siapa??" tantang Mama.

Mas Nazril?

Eh, kenapa tiba-tiba nama itu yang terlintas?

Akhirnya aku hanya menggeleng, tidak cukup percaya diri menyebutkan nama itu.

"Tuh!" kata Mama sambil menunjuk ke arah pintu.

"Gisel!!" Aku menutup mulutku karena terlalu kaget dan senang melihat kehadirannya.

Aku beneran terkejut sekaligus sedikit kecewa dengan harapanku sendiri. Sepersekian detik tadi aku berharap Mas Nazril yang berdiri di sana, tapi aku juga sangat bahagia karena sahabatku ada di sini. Gisel langsung berlari dan memelukku, rindu sekali dengan sahabatku ini.

"Aku tinggal sebentar saja kamu sudah harus pakai infus begini sih Lin!" ujarnya pura-pura marah.

"Sekali-kali ngerasain jadi pasien! Kapan datang?"

Dia tersenyum lalu duduk di sampingku."Sudah dari kemarin, rencana siang tadi mau ke sini kasih kejutan buat kamu. Eh malah aku yang terkejut denger dari tante kalau kamu pingsan pas kerja."

"Memang ini jam berapa?" tanyaku.

"Sudah jam 4 sore tau!"

Hah? Ya Tuhan betah banget aku pingsan.

Mama akhirnya harus pulang karena habis maghrib rombongannya akan berangkat ke Magelang. Mama akan menghadiri sebuah acara gathering dari komunitasnya sekaligus peresmian panti asuhan. Mama nggak enak kalau harus membatalkan acara itu karena pemiliknya adalah sahabat mama. Dan aku paham hal itu.

Aku kadang iri sama mama, beliau bertolak belakang denganku. Kalau aku cenderung menutup diri, mama sebaliknya. Beliau punya banyak teman dan kenalan. Mungkin itu tuntutan beliau sebagai seorang psikiater.

Aku melepas rindu dengan sahabatku ini, mengurai tumpukan cerita yang selama dua tahun kita lewatkan sampai nggak terasa matahari sudah tenggelam. Gisel membantuku untuk menunaikan sholat maghrib dan dengan setia menungguku sampa selesai.

Gisel baru pulang saat aku selesai makan dan sholat isya. Tadi juga ada Putri, Mas Edo dan beberapa teman lain yang menyempatkan diri menjengukku di sini. Aku sangat bersyukur, ternyata masih banyak yang peduli padaku.

Atas dasar paksaanku akhirnya Gisel mau pulang, aku akan merasa sangat bersalah kalau harus menahannya di sini karena ini malam penting untuknya. Dia memang pulang ke Indonesia karena ingin merayakan Paskah bersama keluarganya. Gisel berjanji akan kembali kesini tengah malam nanti kalau acaranya selesai.

Dan sekarang aku sendiri, hanya berteman hp dan macbook yang tadi dibawakan mama. Alhamdulillah aku sudah merasa jauh lebih baik tapi efek pingsan lama sampai jam 10 ini aku belum ngantuk sama sekali.

"Assalamualaikum!"

Aku menjawab salam tapi tidak bisa melihat siapa yang datang karena letak pintu yang agak tertutup tembok dari bedku. Mungkin perawat malam yang akan mengecek vital sign.

"Hai Lin!"

Sekian detik aku hanya berdiam diri, antara percaya dan tidak laki-laki yang belakangan ini muncul di mimpiku berdiri sambil tersenyum manis lengkap dengan jas putih yang masih melekat di tubuhnya.

"Hai Mas! Jaga malam ya? Atau jaga siang?" balasku.

"Jaga kamu saja bagaimana?" candanya, karena setelah menjawab dia tertawa. "Sudah enakan Lin?" tanyanya lagi

"Alhamdulillah," jawabku pelan sambil menetralkan rasa grogi.

Dia menarik kursi dan duduk di samping bed ku. "Tante kemana?"

"Mama ke Magelang Mas, ada acara."

"Oh, berarti kamu sendirian?"

"Nggak, banyak teman kok! Itu pada jaga di luar."

Dia tertawa lebar, matanya menyipit dan lesung pipi yang terlihat samar menambah sempurna komposisi wajahnya.

"Lin, kalau kamu sudah sehat betul hubungi saya ya! Saya mau ajak ke suatu tempat."

"Ke mana, Mas?"

"Ya ada lah nanti! Saya pasti minta izin kok sama mama kamu. Nggak diizinin ya sudah saya izin lagi!"

Aku tertawa dan anehnya aku merasa lebih bersemangat, mungkin karena tadi aku sendiri dan sekarang aku ada teman ngobrol.

"Eh Lin, itu dipakai nggak?" tanyanya sambil menunjuk laptopku yang ada di atas meja.

"Nggak Mas."

"Boleh pinjam sebentar?"izinnya.

Aku mengangguk dan dia segera mengambilnya, membawanya ke meja yang ada di sebelah sana.

"Saya pinjem ya! Sudah di kejar-kejar Profesor Danu, belum bisa hidup tenang kalau laporan belum saya serahkan!" ucapnya.

"Kamu nggak pulang Mas?"

Mas Nazril hanya meringis, "Numpang sebentar! Password Lin?"

Aku menyebutkan deret angka yang merupakan susunan tanggal ulang tahunku secara acak. Aku masih heran kenapa dia jadi baik lagi? Dulu setelah teman-teman sekolahku menjauh, mereka akan benar-benar melupakanku nggak ada yang kembali.

"Tidur saja Lin kalau ngantuk!" katanya tanpa menoleh, mata dan tangannya tetap fokus memasang flashdisk nya.

"Saya main game kalau nanti ketiduran bangunin saja, Mas!"

Dia hanya bergumam, aku memilih meneruskan game ku. Entah sampai jam berapa aku tidak ingat karena tiba-tiba aku merasa nyaman dan ngantuk.

 

 

BAB 8

MENENTANG RASA

 

"Jadi aku melewatkan banyak hal nih?"

Gisel menyuarakan rasa penasarannya ketika aku selesai sholat shubuh. Semalam Gisel bilang kesini jam setengah 2 malam dan aku baru sadar kehadirannya satu jam kemudian. Aku benar-benar tidak tau lagi caranya bersyukur punya sahabat sebaik Gisel.

"Apaan?"

"Semalam siapa yang tidur di sofa?" tanyanya lagi sambil menyenggol lenganku.

"Hah? Memang siapa?"

"Semalam waktu aku sampai sini ada cowok yang tidur di sofa nemenin kamu! Tahu begitu aku nggak usah kesini saja, malah gangguin malam romantis kalian!" terangnya.

"Jangan berlebihan deh Gis!" elakku. Sebenarnya aku sendiri tidak percaya, apa mungkin mas Nazril menjagaku di sini?

"Beneran, terus dia denger aku datang langsung bangun. Tanya aku siapa, awalnya agak nggak percaya sama aku, terus aku tunjukkin pesan dari mama kamu, baru dia pamit pulang. Gentle banget sih Lin! Sumpah cocok banget kalian, dia muka bangun tidur saja gantengnya nggak luntur. Akhirnyaaaaa, Ralinku punya pacar!"

Gisel terus nerocos sambil memelukku yang masih bingung. Mungkin pria itu hanya ketiduran di sini.

"Pacar apaan Gis! Ngawur kamu! Dia itu dokter sini. Mungkin ketiduran saja dia!" jawabku.

Gisel menggeleng, yakin sekali dengan pendapatnya."Ya terus kenapa ketidurannya milih di sini? Kan bisa di UGD atau di kamar mayat sekalian. Ayolah Beb, please! Sudah waktunya kamu pikirin kebahagiaan sendiri.”

"Kamu yang terlalu jauh berimajinasi, Gis! Aku beneran cuma sebatas rekan kerja."

Dia kembali menggeleng, kali ini disertai senyum lebar. "Okay dear! But Your eyes can speak a thousand words, even if no words are said! Bener kan?"

"Too much questions, Gis!"

Dia tertawa lalu memegang tanganku. "Lin, aku tau apa yang kamu alami selama ini bukan hal yang mudah. Tapi kamu juga butuh bahagia! Jangan tolak orang-orang yang mendekat, nggak semua orang sama kaya papa kamu Lin!"

Aku hanya menghela nafas, aku nggak mau berharap dengan orang lain! Setakut itu aku mencoba percaya sama orang lain dan akhirnya nanti akan ditinggalkan lagi.

"Jangan paksain Beb! Senyaman kamu saja ya! Aku yakin ada kok lelaki yang tulus buat kamu nantinya. Semangat Ralinku yang cantik!" ucapnya lagi.

Gisel dan mama, dua wanita ini yang terpenting dalam hidupku. Yang selalu ada kapanpun aku butuh bahkan di saat aku di titik paling lemah.

Gisel pamit pulang lagi, dia bersikeras akan balik ke sini siang nanti tapi aku melarangnya karena pagi ini aku sudah boleh pulang. Aku menyuruhnya ke rumah saja saat acaranya sudah selesai. Bagaimanapun aku nggak mau ganggu perayaan hari besarnya.

Mbak Anggi masuk dengan membawa peralatan untuk melepas infusku, diikuti Reza yang ceritanya akan visit, tapi malah langsung merebahkan diri di sofa.

"Aku harus ikuti caramu, Lin biar bisa tidur nyenyak semalam saja, lumayan!"

"Ngawur Za! Aku beneran pingsan kali!" protesku.

Mbak Anggi menimpali sambil tertawa, "Dari tadi itu minta gantian katanya sama Dokter!" 

"Sudah sehat kan Lin? Buruan pulang, nambah-nambahin kerjaan kita saja sih! Awas pingsan lagi!" 

Aku dan Mbak Anggi tertawa melihat Reza yang terus saja mengomel, orang ini selalu kasih perhatian dengan cara unik. Seperti saat ini, aku tau dia sengaja ngalihin perhatianku karena tahu Mbak Anggi akan mencabut infusku, mungkin agar aku tidak kesakitan padahal ya rasanya nggak sakit-sakit amat.

"Sudah Dok! Mau langsung pulang?" tanya Mbak Anggi.

"Iya Mbak, mau lanjut tidur di rumah!" jawabku dengan menekan kata tidur bermaksud meledek Reza yang sepertinya sudah terlelap di sana.

"Naik mobil sendiri Dok?"

"Mungkin, kalau naik mobil Reza paling juga nggak boleh!" candaku.

Tiba-tiba Reza terduduk "Kamu mau diantar?"

"Hah? Eh nggak! Bercanda Za!"

"Beneran juga nggak apa-apa. Ya? Kamu tungguin  selesai dinas pagi, Aku anterin pulang!"

Aku tertawa mendengar ide konyolnya. "Sekarang baru jam 8.30 dan kamu selesai jam 2, terimakasih deh ya!"

Dia hanya mendengus mendengar penolakanku.

"Dokter yakin bisa?"

"Insyaallah Mbak!"

Akhirnya setelah dibantu Mbak Anggi membereskan barang-barangku aku pulang. Sendiri. Masalahkah? Alhamdulillah Tentu saja tidak, aku terbiasa hidup hanya bersama mama, kalau cuma pulang sendirian pasca opname bukan masalah besar bagiku. Alhamdulillah lagi sakitku nggak parah. Aku pamitan dengan teman-teman yang sedang jaga, mengucapkan terimakasih dan tentu saja berjanji akan masak banyak makanan untuk mereka.

Aku berjalan santai menuju parkiran dan setelah menemukan mobilku--

"Ralin!"

Reflek aku menutup pintu mobil dan menoleh pada orang yang memanggilku. Dia tersenyum dan berlari mendekatiku.

"Mau pulang?" tanyanya.

"Iya Mas, jaga pagi ya? Maaf semalem saya beneran ketiduran." jawabku.

"Nggak apa, saya yang minta maaf karena gangguin istirahatnya. Pulang sendiri?"

Aku mengangguk. "Iya, mama belum pulang!"

"Boleh saya antar?"

Terang saja aku kaget. "Eh? Bagaimana?"

Dia tertawa sepertinya geregetan melihat ekspresi kagetku. "Saya antar Raliiiin!"

"Nggak usah Mas, saya nggak enak. Nanti ngerepotin." Tolakku.

Mas Nazril mengabaiakan ucapanku. "Mau pakai mobilnya siapa nih?"

"Eh?"

"Ya sudah mobil kamu saja, sana masuk!" titahnya.

Aku yang masih terbengong dengan instruksinya yang begitu cepat hanya bisa menatap setiap gerakannya. Dia masuk ke mobilku lalu menggerakkan kepalanya, kode agar aku masuk lewat pintu sebelah.

"Tenang, saya sudah izin sama Tante Rani kok!" ujar Mas Nazril setelah sekian lama kita hanya diam.

"Kapan izinnya?" Aku merubah posisi menghadapnya. Jujur aku agak canggung karena ini pertama kalinya aku semobil berdua saja dengan teman laki-laki. Dan entah kenapa tadi aku begitu mudah mengiyakan.

"Semalam, eh Lin besok masih dapat libur kan?"

"Masih Mas."

"Besok jadi ya ikut, saya jemput ke rumah!"

Aku yang terlalu bingung dengan semu tingkah mengejutkannya, hanya bisa mengangguk-angguk saja. "Mau kemana sih emangnya?"

"Ya adalah, besok saya jemput jam 9 ya!"

Mengangguk lagi, penasaran juga dia mau ngajakin kemana.

Perjalanan dari rumah sakit ke rumah terasa begitu cepat. Dengan Mas Nazril aku nggak perlu susah-susah cari topik. Kami bisa berdiskusi apapun, bisa tentang rumah sakit sampai tentang dana PKH yang nggak tepat sasaran. Seperti yang terlihat selama ini, Mas Nazril memang tipe lelaki pintar dan banyak wawasan. Benar kata mama, ngobrol sama Mas Nazril terasa menyenangkan.

Aku keluar mobil dan disambut Bik Lasmi yang langsung memelukku.

"Maaf ya Den ayu, Bibik nggak bisa nemenin di rumah sakit!"

Kuusap lengan kecilnya. "Nggak apa-apa Bik, Ralin sudah sehat kok. Oh ya, kenalin ini Mas Nazril. Teman Ralin di rumah sakit!"

Wanita yang aku sayangi itu tersenyum geli. "Den Nazril bibik sudah kenal! Waktu itu pernah mampir ya ketemu sama ibu!"

Aku menatap Mas Nazril yang hanya senyum-senyum nggak jelas. Orang ini kenapa selalu penuh kejutan?

Mas Nazril duduk di ruang tamu dan aku pamit ke kamar sebentar sebelum akhirnya kembali menemuinya.

"Mas, terus ini baliknya bagaimana?" tanyaku karena merasa tidak enak.

"Kamu ngusir saya?"

Aku memutar bola mataku, bukan begitu maksudnya kakak!

Dia tertawa melihat ekspresi jengahku, "Gampang Lin! Ini gue sudah pesan ojol, tinggal nunggu."

Nah kan, sudah membuat kejutan lagi.

"Saya beneran nggak enak deh Mas, jadi repot kan?"

"Ngomong repot sekali lagi saya kasih piring cantik!" ucapnya yang mulai bosan mendengar permintaan maafku.

"Ya sudah saya ngomong makasih banyak Dokter Nazril!"

Dia mendengus kesal, entah kenapa dia sering keberatan jika di panggil dokter.

Orang ini kenapa ya? Kenapa begitu bisa membuatku merasa tidak kesepian, semacam ada rasa nyaman dan aman jika sedang dengannya. Dan aku sedang berusaha keras menentang rasa ini.

 

 

BAB 9

LEMBARAN BARU

 

Mas Nazril benar-benar menjemputku di minggu pagi ini, tapi kali ini aku lebih santai karena dia mengajak murid favoritku, Ilyas. Tadi dia juga meminta izin sama mama dan sepertinya mama sudah mengetahui rencana Mas Nazril sebelumnya.

"Ilyas memang nggak rewel kalau ikut tapi nggak sama uminya?" tanyaku.

"Kamu mau kita berdua saja apa bagaimana ini maksudnya?"

"Alus benar buaya kalau ngomong, Mas!"

Dia tertawa lebar lalu sebelah tangannya mengusap rambut Ilyas yang duduk di pangkuanku.

"Ilyas sama saya lengket banget, asal dibawain susu aman dia. Malah dia yang nangis pengen ikut tadi, saya pikir kamu sudah tahu Ilyas dan nggak akan keberatan kalau dia ikut." Terangnya.

"Sama sekali nggak Mas! Kangen sama anak ini, sudah lama saya nggak main ke sekolah!"

Dia mencibir. "Itu kamu yang kebangetan, di depan rumah doang nggak pernah main. Kalau saya pasti pilih jadi gurunya anak-anak atau jadi pengasuh sekalian!"

"Sebegitu sayangnya sama anak-anak!"

Mas Nazril kembali tertawa mendengar ledekanku. "Nggak tahu juga, mungkin efek sering banget kumpul keponakan yang banyak banget. Dulu sebelum Ilyas lahir ada tuh ponakan  yang juga lengket banget, namanya Alfa. Tapi sekarang sama abang  sudah dimasukkan pesantren, jadi jarang ketemu. Gantilah si Ilyas ini!"

"Umur berapa memang?"

"Berapa ya, sampai lupa. Sudah SD kok dia!"

"SD sudah di masuk pesantren?" Aku kaget.

Mas Nazril mengangguk. "Iya, abang  memang punya prinsip hidup kuat. Dia punya target disetiap umurnya harus ngapain untuk keluarganya. Dia siapkan banget tuh masa depan anaknya!"

Aku hanya bergumam, suka salut saja kalau ada orangtua yang benar-benar menyiapkan masa depan anaknya. Kalau aku juga akan begitu, anakku tidak akan pernah aku biarkan merasakan apa yang aku alami.

"Lin!" Mas Nazril memetik jarinya di depan wajahku dan Ilyas ikut heran menatapku yang gelagapan. "Saya nanya tadi Lin, kalau kamu bagaimana sama anak-anak kamu nanti!"

"Oh.. Ya pada prinsipnya sama kan Mas? Semua orangtua akan mengusahakan yang terbaik buat anaknya, saya juga. Saya akan pastikan anak-anak saya besok mendapat kasih sayang dan perhatian penuh, saya akan biarkan anak-anak  tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhannya, nggak akan memaksakan ke mereka harus jadi apa, saya akan terus membesarkan hati mereka. Saya mau yang terbaik untuk hidup mereka!" Aku berbicara panjang lebar, seolah mengungkapkan apa yang selama ini aku rasakan dan memastikan, anak-anakku kelak tidak akan kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya.

Mas Nazril menghentikan mobilnya di lampu merah lalu memiringkan tubuhnya menghadapku. "Itu yang selama ini nggak kamu dapet ya Lin?"

Aku terdiam cukup lama, untuk kesekian kalinya aku cukup terkejut dengan responnya. Nggak tau kenapa orang ini bisa sepeka itu. Kehadiran Mas Nazril perlahan bisa mengubah mindset ku bahwa masih ada orang-orang yang punya rasa empati pada orang lain tidak malah merendahkan nasib orang lain. Aku hanya mengutarakan keinginanku untuk anak-anakku besok tapi nggak nyangka saja dia menangkap maksud lain dari kalimatku.

Mas Nazril mengangguk dan tersenyum lalu mulai menjalankan mobilnya lagi. Setelah moment yang cukup awakward tadi, dia tidak mengejar jawabanku. Dia malah mengajakku bicara hal lain yang cukup tidak berbobot. Aku cukup kaget saja mendapati kenyataan bahwa seorang yang terkenal cool, smart dan berwibawa seperti Mas Nazril bisa bertingkah konyol dan yang lebih parah dia tahu berita artis yang sedang cerai, menikah atau ganti pacar, bener-bener absurd ini orang. Dan satu hal lagi, aku merasa nyaman berteman dengannya.

Mas Nazril menghentikan mobilnya di sebuah gang pedesaan lalu turun dan memutari mobilnya membukakkan pintu penumpang untuk mengambil Ilyas dari pangkuanku.

"Lin, minta tolong bawa itu ya!"

Aku mengangguk lalu mengambil sebuah paperbag berisi makanan yang ada di belakang.

"Kita mau kemana sih Mas?" tanyaku sambil sedikit berlari menyamakan langkahnya.

"Ke rumah almarhum Pak Hadi Suwinto!"

Aku menghentikan langkahku dan dia pun ikut berhenti lalu menurunkan Ilyas dari gendongannya.

"Mau ngapain Mas?"

"Menghapus rasa bersalah seorang dokter yang merasa dirinya gagal karena tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien!" jawabnya dengan senyum menenangkan.

Aku menatapnya ragu.

"Bismillah, percaya sama saya. Eh sama Allah!"

Sempet-sempetnya dia bercanda, tapi cukup berefek bagiku yang tegang.

Mas Nazril menggendong Ilyas dan mengetuk pintu. Rumahnya cukup kecil, hanya sekitar berukuran 4x6 meter, tapi halamanya cukup luas dan ditumbuhi rumput-rumput ilalang. Tak lama kemudian keluar seorang ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya.

"Mas Nazril kan?" sapanya.

"Iya Bu!" jawab Mas Nazril, kan aku kaget lagi mendapati dia sudah seperti akrab banget dengan ibu ini?

Kami dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah ruangan yang cukup sempit dan hanya beralaskan tikar. Tak lama kemudian keluar seorang gadis remaja yang membawa nampan berisi tiga gelas teh.

Gadis ini, aku ingat! dia yang menangis memanggil-manggil ayahnya waktu itu. Aku terus memperhatikan gadis remaja ini, dia terseyum dan duduk di samping ibunya.

"Jadi ini teman saya yang kemarin saya ceritakan Bu!" Mas Nazril memberiku kode untuk berbicara.

"Bu, saya minta maaf ya. Saya tidak bisa menyelamatkan suami ibu waktu itu." sesalku.

Ibu itu tersenyum lalu menggenggam tanganku. "Bukan salah Dokter! Suami saya sudah lama sakit Dok! Walaupun saya sangat sedih tapi saya tahu Allah lebih sayang dan suami saya tidak kesakitan lagi. Saya malah berterimakasih karena Dokter membayarkan semua tagihan rumah sakit, sangat meringankan beban saya Dok!"

Aku menatap orang di sebelahku ini dengan ekspresi penasaran, siapa yang bayar?

Dia mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa tanpa suara, seperti bisa membaca ekspresiku. Nanti aku pasti menuntut penjelasannya.

"Terimakasih ya Bu, saya menyesal karena waktu itu terlalu terbawa perasaan sehingga lupa diri." ucapku lagi.

Ibu itu tersenyum sangat tulus. Kami cukup lama berada di sana dan juga jadi tahu banyak tentang keadaan keluarga ini. Pah Hadi punya dua anak, yang pertama gadis menginjak remaja ini, yang masih kelas 2 SMP, dan yang kedua baru berumur 3 tahun. Aku meminta izin untuk ikut membantu menyekolahkan anak-anak beliau, meskipun awalnya ibu itu menolak tapi akhirnya menerima dengan bantuan Mas Nazril. Beneran pinter ngerayu ini laki.

"Sudah lega kan?" tanya Mas Nazril sambil melajukan mobil setelah setengah jam yang lalu kami pamit dar rumah keluarga pak Hadi. Ilyas sudah tertidur di pangkuanku.

"Alhamdulillah, makasih Mas. Eh soal pembayaran tadi pasti kamu kan Mas? Kenapa bilang dari saya?"

Dia meringis. "Ya nanti tinggal minta ganti kan? Saya bantuin kamu habisin duit. Bingung kan caranya habisin duit?"

Jelas saja aku tidak sependapat dengan ucapannya. "Berlebihan sekali Anda! Tapi serius nanti saya ganti!"

"Nggak usah, saya ikhlas. Nggak penting mau dari siapa yang penting keluarga mereka terbantu." jawabnya.

Masyaallah, orang ini! Bingung aku bagaimana lagi cara mendeskripsikannya! 

"Lin, saya mau tanya tapi nggak nuntut jawaban. Kalau kamu nggak nyaman boleh nggak jawab!" Mas Nazril mengalihkan perhatianku ke hal lain.

"Okay!"

"Sekarang apa yang kamu pikirkan tentang orangtua?" tanyanya hati-hati sekali.

Aku tersenyum tipis lalu mencium pipi Ilyas untuk menghilangkan gejolak di hati yang tiba-tiba muncul.

"Dulu saya memang pernah ngerasa benci banget sama mereka Mas, terutama papa yang ninggalin saya dan mama. Saya benci karena perpisahan mereka membuat saya jatuh, membuat saya dijauhi teman-teman, saya harus mati-matian melakukan semua kemauan papa hanya agar dapat perhatian papa lagi. Tapi semakin kesini saya bisa menerima semuanya. Melihat mama yang malah terlihat bahagia walaupun hanya hidup berdua dengan saya, membuat saya yakin bahwa perpisahan mereka adalah yang terbaik. Mungkin saja kan kalau mereka tetap bersama demi saya malah akan menyakiti satu sama lain."

Mas Nazril menganggukan kepala tapi tatapannya tetap fokus ke depan. "Salah satu momen paling bahagia dalam hidup adalah ketika kita menemukan keberanian untuk melepaskan apa yang tidak dapat kita ubah Lin!"

Setuju sekali. "Saya sekarang masih mencoba membuka lembaran baru, menutup semua luka dimasa kecil saya Mas, tapi ya ternyata nggak semudah yang saya bayangkan."

"Kamu pasti bisa Lin! Kamu itu wanita kuat dan mandiri. Buang jauh sifat minderan! Kamu itu punya kemampuan Lin! Tapi yang terpenting adalah coba maafkan dan berdamai dengan masa lalu." ucapnya penuh keyakinan, bahkan lebih yakin dariku yang meragukan diri sendiri.

"Sekarang boleh saya yang tanya Mas?"

"Apa Lin?"

"Kenapa Mas Nazril masih mau temanan sama saya?"

Kedua alisnya tertaut. "Ya kenapa harus nggak mau?"

Terlebih dulu aku tersenyum masam. "Entahlah, dari dulu teman-teman selalu menjauh setelah tahu kehidupan saya!"

"Dan itu alasan kamu selama ini selalu tertutup?" tebaknya.

"Mungkin."

"Lin! Mulai sekarang kamu buang jauh perasaan minderan itu. Jadikan apa yang terjadi dulu itu sebagai pelajaran, percaya sama saya. Lingkungan kamu sekarang jauh lebih baik, saya yakin teman-teman kita itu akan tetap terima kamu apa adanya."

"Saya coba. Terimakasih buat semuanya Mas." ucapku tulus.

"Saya senang bisa bantu kamu tersenyum lagi, Lin!"

 

 

 

BAB 10

JAILANGKUNG

 

"Dok Ed, sahabatnya kemana sih?" tanya Putri di tengah-tengah acara makan siang.

"Siapa? Si Agus?"

Putri tertawa malu tapi mengiyakan pertanyaan mas Edo.

"Oh, biasalah diajak kencan sama Profesor Danu." Jawab Mas Edo sambil melirikku, entah lirikan apa itu.

Mas Nazril memang sedang ke Bangkok bersama Prof. Danu untuk menghadiri seminar kesehatan, terhitung sudah satu minggu sejak kita pergi ke rumah Pak Hadi. Senin malam dia berangkat.

Sejak saat itu juga aku jadi intens bertukar pesan dengannya, hampir setiap hari.

"Kok dr. Nazril bisa dekat banget sih sama Prof. Danu?" tanya Putri lagi, ini cewek kalau tanya harus sampai akarnya. Aku memilih menyimak obrolan mereka sambil menghabiskan soto favoritku.

Mas Edo menggeleng heran dengan kekepoan putri, tapi tetap menjelaskan apa yang dia tau. "Dulu waktu kita koas, Nazril langganan dapet dampratan malah, tapi mungkin karena Prof. Danu sudah ngincer otakknya yang encer kali ya, nyatanya setelah selesai iship Si Agus langsung ditarik ke Jakarta sama Prof. Danu. Dia diminta kerja di rumah sakit besar di bidang penelitian sebagai asisten Prof. Danu, beliau kan expert banget di bidangnya. Gajinya nggak usah gue ceritain ya, takut Teguh ngiler!"

"Berapa sih Dok, jadi penasaran gue!" tanya Teguh.

"Nggak usah, nanti malah Putri jadi mutusin polisinya lagi!" tolak mas Edo.

"Elah, Dokter cerita saja nggak usah kebanyakan syarat. Nih gue kasih bakso gue Dok, cepetan cerita!" protes Putri yang sangat penasaran dengan cerita Mas Nazril.

Mas Edo malah tertawa lebar tapi aku merasa matanya lebih sering mengarah padaku. "Ya pokoknya gede banget lah, ada satu kerjaan yang gajinya pakai dolar malah, tapi ya dia harus tinggal di China beberapa bulan. Nazril diajak Prof. Danu dalam beberapa penelitian termasuk  soal vaksin atau apalah, gue mah nggak paham yang begituan. Sampai akhirnya Prof. Danu pindah ke sini, sebenarnya beliau minta Nazril ke sini juga tapi ya dasar  Agus gesrek, dia malah baru mau belum lama ini."

"Kok bisa begitu Prof. Danu cinta mati begitu sama dr. Nazril?" tanya Teguh yang sepertinya juga penasaran.

"Awal mulanya dulu itu pas koas, di stase bedah Nazril yang sering terpilih jadi asisten mungkin cocok kali ya sama kerjanya, tahu sendiri kan bagaimana perfectnya Prof. Danu soal kerjaan. Nah terus tambah cocok sama Nazril ketika itu bocah dapet tugas khusus alias hukuman dari Prof. Danu!" terangnya sambil memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

"Hukuman apa Mas?" Akhirnya aku ikut penasaran dengan cerita Mas Edo.

"Nah!! Daritadi gue tunggu lo tanya malah diem saja. Kalau lo yang tanya, gue kasih sedetil-detilnya!" jawab Edo dengan jumawanya.

Aku hanya memutar bola mata, jengah dengan ledekannya.

"Jadi dulu Nazril pernah cinta pada salah seorang sahabat kami, seangkatan juga," Mas Edo menghentikan penjelasannya, dia malah menatapku yang entah kenapa juga jadi berubah antusias pengen tau ceritanya. Mas Edo lalu tersenyum miring.

"Cewek ini juga pinter orangnya, kesayangan Prof. Danu juga. Suatu ketika dia mangkir dari tugas Prof Danu nah minta gantilah dia sama Nazril dan saking bucinya mendekati bego, itu anak mau-mau saja gantiin cewek in Ijadi asisten operasi. Alhasil Prof. Danu marah dan kasih tugas ke Nazril kalau mau cewek ini lulus tepat waktu."

"Terus Dok?" Putri semakin antusias.

"Ya Si Nazril sanggupin tugasnya padahal waktu itu kita sudah mau ujian akhir, terus dia harus jatuh sejatuh-jatuhnya karena pada akhirnya cewek itu menikah dengan orang lain padahal Nazril sudah berjuang banget buat dia. Tapi gue ada satu pelajaran, bahwa ketulusan itu akan berbuah manis di masa depan. Dulu gue jadi saksi Nazril yang hidup pas-pasan dan berupaya sekuat tenaga agar bisa diterima orangtua cewek ini, tapi ya takdir nggak berpihak padanya. Dan sekarang berkat ketulusannya bantuin cewek itu malah doi jadi banyak banget rejekinya, disayangi sama Prof Danu juga!" Mas Edo mengakhiri ceritanya lagi-lagi dengan menatapku.

"Ya ampuuun, jadi pengen peluk dokter Nazril!" sahut Putri dan tiba-tiba menjerit karena Teguh memukul lengannya. Kami berempat memang cukup akrab, mungkin karena itu Mas Edo mau bercerita banyak pada kami.

"Kelanjutannya bagaimana Dok!" tanya Teguh.

"Butuh waktu lama sih dia buat move on, sampai dia milih tempat iship saja di Lombok!" 

"Wah, rugi itu cewek Dok! Sudah bagus dicintai malah menghianati. Kalau nggak ada dr. Nazril dia jadi lulusnya mundur kan? Atau malah bisa nggak lulus." Putri kembali menggeleng takjub dengan cerita masa lalu mas Nazril.

"Bukan jodoh Put, jangan suudzon deh!" sahutku dan hanya mendapat cengiran dari Putri. Mas Edo menatapku penuh arti sambil senyum-senyum. 

Whatever lah!

Kami berempat sepakat mengakhiri makan siang dan kembali tugas. Aku malah jadi kepikiran cerita Mas Edo. Nggak nyangka Mas Nazril pernah jatuh juga dan apa benar dia sudah bisa move on dan berdamai dengan masa lalunya?

Lah, kenapa juga kau penasaran dengan hal itu Lin!!

Aku dan Putri kembali mengobservasi pasien UGD, kebetulan jadwal jagaku pindah ke UGD lagi karena harus menggantikan Mas Nazril yang sedang dinas luar. 

"Dok hasil laboratoriumnya sudah jadi!" kata Putri sambil menyerahkan lembar hasil Laboratorium dan aku memeriksanya.

"Ibu, jadwal cuci darah bapak hari apa ya?" tanyaku pada istri pasien.

"Masih dua hari lagi, Dok!"

"Ini karena hasil  ureum dan creatininnya tinggi, kita rujuk untuk cuci darah hari ini dan karena hb juga rendah terpaksa bapak harus opname ya Bu, untuk transfusi darah!" ucapku.

Ibu itu tampak menghela nafasnya, dia terlihat sedih. "Bapak orangnya bandel Dok! Tiga hari ini bapak makan daging terus, minum air putihnya juga kurang!" Jelas ibu itu setengah berbisik, mungkin takut kalau terdengar suaminya. 

Aku ajak ibu itu duduk agak menjauh dari suaminya. "Ibu yang sabar ya, tapi ibu sudah tau kan kalau makanan tinggi protein itu pantangan untuk orang gagal ginjal?"

"Iya Dok, tapi bapak selalu marah dan ujungnya nangis kalau tidak dituruti."

"Iya Bu, saya paham. Ibu tambahin sabarnya ya, orang sakit biasanya perasaanya sensitif. Nanti pelan-pelan saya bantu kasih pengertian ke bapak ya Bu!"

"Makasih ya dokter cantik, Ibu selalu senang kalau dokter cantik yang ngerawat bapak."

Aku tersenyum mendengarnya, benar kata Mas Nazril, seburuk-buruknya kita pasti akan ada yang bersyukur dengan kehadiran kita. Maka dari itu kita harus selalu bersyukur dan menghargai diri sendiri.

Dan kenapa harus Mas Nazril terus yang aku ingat?? Oh Tuhan!!

"Hello everybody!!!"

Aku dan Mas Edo juga yang lain menoleh dan sedetik kemudian hanya keluhan yang aku dengar dari mulut teman-temanku di sini saat tahu siapa yang datang.

"Dok Ed ini dr. Nazril mau ngomong!" Helga menyerahkan ponselnya pada Mas Edo, dia sedang video call dengan Mas Nazril. 

"Dia lagi ngabarin kegiatannya di Bangkok!" kata Helga entah pada siapa karena sama sekali tidak ada yang bertanya, aku dan Putri hanya saling pandang.

Helga adalah salah satu dokter umum di sini, meskipun kerjaanya jarang banget pegang pasien. Dia bagian humas rumah sakit ini, sebenarnya aku pribadi nggak ada masalah sama dia, dari cerita Putri Helga tipe orangnya high class, bukan hanya pola hidupnya tapi cara bergaulnya juga pilh-pilih yang selevel dengannya. Dia selalu menjadi urutan tertatas nama yang menjadi bahan gosip di sini. Katanya sering cari masalah sama orang yang nggak disukai.

Kenapa katanya? karena aku nggak punya banyak waktu untuk mengurusi hal seperti itu, selama dia tidak merugikanku bukan masalah juga bagiku. Dan gosip terbaru dia lagi berusaha mendekati dokter baru yang terkenal pinter dan tampan, siapa lagi kalau bukan dr. Nazril.

"Kenapa Gus? Nomor gue sudah lo hapus apa bagaimana? Sampai harus lewat nomornya dia?" Mas Edo menunjuk Helga dengan tatapan malas, dari seberang Mas Nazril hanya tertawa.

"Gue tadi pencet nomor lo tapi nggak aktif. Terus tiba-tiba Helga video call gue. Ya sudah sekalian gue nyariin Lo!"

"Ada apa?" 

"You know what I mean!"

Mas Edo melirikku lalu menegakkan posisi duduknya di depanku. Dia memegang hp Helga tepat di depan wajahnya, entah apa yang dia lakukan tapi setelahnya mereka tertawa. Helga yang penasaran langsung mendekat ke Mas Edo dan tiba-tiba wajahnya cemberut lalu menarik paksa hpnya dan berlalu begitu saja dengan muka masam. 

"Kenapa sih Dok?" tanya Teguh

"Mana gue tau, Jailangkung kan begitu, datang atau pulang selalu nggak jelas."

Kami kompak tertawa mendengar jawaban ngawur dari mas Edo.

“Dokter Edo kalau ngomong suka benar sekali.” Sahut Putri.

Aku dalam hati berdoa agar tidak pernah berhubungan dengan Helga, malas sekali kalau harus meladeni orang macam dia. Orang yang haus akan pengakuan dan pujian. Naudzubillah.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Gus Nazril
Selanjutnya (A) Gus Nazril 11 - 15
8
0
Part 11 sampai 15Happy Reading…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan