(A) Gus Nazril 16-21

12
0
Deskripsi

Part 16 sampai 21 ya…

Happy reading

BAB 16

30 HARI MENUJU HALAL

Nazril Point Of View.

Gue masih di restoran abang bersama Ralin dan Ilyas, ini misi pertama gue mengenalkan Ralin ke keluarga. Maunya ya pertama kali bawa ke umi dan abi tapi takut dia nggak nyaman makannya gue bawa saja ke abang dulu dengan alibi makan siang. Ilyas saat ini sedang sibuk makan ikan kesukaannya dan dengan telaten Ralin menghilangkan duri ikannya agar Ilyas tidak kesulitan.

Kan! Kan! bayangan gue jadi kemana-mana. Bayangan tentang keluarga kecil bahagia, dimana gue sedang memandangi istri gue yang sedang menyuapi anak gue.

Abang dan Mbak Cut pamit karena harus pergi ke rumah sakit untuk periksa kehamilan Mbak Cut yang sudah masuk minggu ke 28 itu. Gue sudah mau nambah keponakan lagi, si abang rajin banget, Sean dan Alfa di kirim ke pesantren sedangkan mereka jadi pengantin baru lagi. Sungguh menyiksa batin gue!

Kembali ke Ralin!

Gue sebenarnya agak nggak percaya Ralin mau kasih kesempatan. Gue pikir dia akan langsung menolak dan gue harus berjuang lebih keras lagi. Eh tapi dia sendiri yang menawarkan untuk berjuang bersama.

Memang seharusnya begitu ya? Sebuah hubungan itu harus keduanya yang berusaha, kalau hanya salah satu pasti akan berat. Pantes gue dulu gagal sama Lya. Kayaknya cuma gue yang usaha, eh Lya juga berusaha juga sih. Berusaha mencari yang lebih baik dari gue.

Tapi ada yang mengganjal di hati gue, dia mau sama-sama berjuang agar gue juga bisa lupa sepenuhnya dengan Lya. Heran gue, Si Edo nyuci otak Ralin pakai apa sampai membuat Ralin yakin banget gue belum move on. Padahal masa-masa kelam gue sudah berakhir lama, semua sakit hati sudah gue buang ke laut.

Alhamdulillah walaupun agak lama tapi gue sudah bisa sepenuhnya lupain sakit hati gue beserta penyebabnya. Selama ini orang mengira kalau gue belum move on karena belum cari pasangan, padahal ya memang belum menemukan yang gue mau sampai akhirnya gue ketemu Ralin.

Sebenarnya gue sudah mau jelasin, tapi Ralin kelihatan banget ingin dirinya juga ikut andil dalam perjuangan '30 hari menuju halal' ini. Haha gue kepedean ya? Biarkan saja, gue yakin sih Insyaallah dia bakal nerima lamaran gue setelah waktu yang dia tentukan.

Gue biarkan saja dia dengan prasangkanya, biar dia juga yakin, ini cara gue membantunya membangun kepercayaan diri bahwa dia juga ikut memperjuangkan gue. Padahal gue yang akan berjuang keras di sini untuk membuat Ralin mau menghabiskan sisa hidupnya bersama gue.

"Papa, Ilyas mau es krim!"

Ah Si Ilyas, tau saja papanya lagi ngehalu!

"Sebentar ya!"

Gue menelpon pegawai abang minta tolong di antarkan es krim ke atas. "Lin! Mau juga?"

Tanya gue pada calon istri. Eh? Amin!

Dia menggeleng katanya sudah kenyang. Es krim mah buat seger-seger doang, mana bisa bikin kenyang. Itu kalau gue sih!

"Mas, sebenarnya sudah lama penasaran tapi lupa terus kalau mau tanya."

"Apa Lin?"

"Malam itu waktu pertama kali kita ketemu di rumah sakit, kamu kenapa sih kok bisa luka-luka? Tangannya juga agak parah?"

Gue cukup kaget dengan pertanyaannya, nggak nyangka dia masih penasaran kirain sudah lupa tapi gue beneran nggak mau membahas insiden itu lagi. Malu gue! Asli!

Meskipun enggan mengingat malam itu, gue tetap menjawab agar Ralin tak berpikir macam-macam karena dari ekspresinya, Nampak jelas dia tengah penasaran. "Kecelakaan kecil, misahin pasangan yang lagi bertengkar malah aku kena hantam suaminya!"

"Hah? Kok bisa?"

"Ya mereka bertengkar nggak tau tempat, aku lewat ya sudah coba tolongin saja. Eh malah suaminya ngajak berantem, ya sudah aku terima tawaran berantemnya tapi aku yang kalah!" Jawab gue, nggak bohong kok memang itu kenyataannya. Cuma itu baru intinya saja, lebih detilnya kejadiannya bagaimana gue malas cerita. Beneran bukan urusan gue, jadi nggak penting gue ceritain.

"Kamu itu Mas, jadi orang baik juga harus lihat-lihat kali!" Katanya sambil mengelap mulut Ilyas yang belepotan dengan es krim. Gue lagi berusaha keras ini mengusir imanjinasi indah di otak gue.

"Oh iya kenapa kamu di panggil 'papa' sama Ilyas? Dulu aku kira kamu duda lho Mas!" Tanya Ralin lagi.

Gue tertawa karena beneran lucu. "Duda keren dong!"

"Halah pedenya!" Cibir Ralin.

"Ya karena aku anggap dia anakku saja, bingung mau panggil apa. Adikku nikah sama abang sepupu. Dari jalur bapaknya Ilyas, aku ini omnya, nah dari jalur ibunya Ilyas aku ini pakdenya. Daripada pusing panggil papa saja tinggal nyari mamah mudanya! Yas! Bagaimana nyanyinya?" 

Ilyas yang sedari tadi asyik makan ice krim langsung nyaut saja.

"Ilyas lagi cari mama mama muda, mamah muda untuk si papa!" Dia lansung nyanyi sambil joget-joget. Jangan salahin gue, salahin tuh ayah kandungnya yang hobi banget nonton aplikasi kaya begitu.

Ralin tertawa lepas melihat aksi Ilyas. Apa gue harus bawa Ilyas terus biar wanita ini selalu tertawa? Cantik banget soalnya!

Setelah selesai makan siang yang sudah sangat terlambat ini akhirnya kita berpisah, Ralin pulang ke rumahnya dan gue serta Ilyas pulang ke rumah Ralin-maunya- tapi apadaya harus pulang ke rumah sendiri dulu.

Sesampainya di rumah, gue langsung menidurkan Ilyas yang sepertinya sangat kelelahan. Gue juga harus mendengar omelan panjang dari umi karena membawa pulang Ilyas sesore ini.

Maafin papa ya Ilyas! Jadiin kamu pancingan agar calon mama kamu mau pergi bareng.

Ini pasti umi juga sudah dapat laporan dari Abang Iky kalau tadi gue ngajak Ralin ke restorannya. Karena sejak tadi juga berlangsung pembulyan di grup sepupu bani ahmad gara-gara Mbak Cut kirim gambar Ralin yang lagi makan.

Mbak Cut

*sending picture*

Calon anggota baru lurr!!Penilaiannya dong!

Bang Iky

Skor 9,7, skor 10 tetap Cut Syifaku!

Mbak Nay

Wihhhh,, cantik banget itu. Mana mau sama Nazril??

Astaga Mbak Naya jempolnya!!

Mas Abimana

Skor 9,71.. skor 10 tetap Renaku!

Bang Arkan

Skor 9,72.. skor 10 tetap Salmaku!

Mas Zakky

Skor 9,73.. skor 10 tetap Arumiku!

Me
Dasar kumpulan bucin!!

Mbak Nay

Ih Mas Zakky curang!!

Mas Zakky

Kamu 10,1 Istriku!!

Mas Uzi

Skor 9,74.. skor 10 tetap Sadaku!

*ikutandisuruhistri

Mbak Sada

Eh, kapan aku nyuruh??

Mas Uzi

Ampuuun!

 

Ck! Suami-suami takut istri

Mas Syauqi

Suruh bayar Ky! Jangan kasih gratis!

Bang Iky

Nggak tega Bang! Kasian jomblo!

"Kalian kenapa sih? Kok kaya orang gendeng! Lihat hp sambil ketawa sendiri!" Tegur abi karena gue dan Salma yang terkikik membaca chat grup.

"Abi, coba lihat deh calon mantunya!" Kata Salma menunjukkan foto Ralin di hpnya. Lalu abi dan umi mendekat ke Salma.

"Bawa ke abi sama Umi deh Ril!" Kata Umi setelah melihat foto Ralin.

Maunya begitu umi, bawa ketemu panjenengan dan abi lalu bawa ke penghulu lalu bawa honeymoon lalu gue gila sendiri karena kebanyakan angan-angan!

"Nanti pasti Nazril kenalin ke Umi dan abi."

Umi mengangguk sambil menyisir rambutku dengan jarinya. Gue menceritakan kembali semua hal yang Tante Rani ceritakan tentang masa lalu beliau dan Ralin, kebetulan ada abi dan Salma juga bergabung. Mereka cukup prihatin dengan kejadian yang menimpa Ralin juga mamanya.

"Sabar banget itu Si Ralin, berarti ngadepin kamu yang bebal ini bukan masalah ya?" Kata abi.

"Aku ini masih anak Abi lho!"

"Oh kirain anaknya tetangga!" Sahut abi dan mendapat usapan sayang dari umi, ck tukang pamer kemesraan!

"Mas, kayaknya perkara jodohmu kok urusannya sama papanya si wanita terus sih?" Tanya Salma dan aku jadi tersadar, benar juga ya! Kalau Ralin akhirnya nerima lamaran gue, berarti gue harus menghadap papanya.

Seperti mengulang masa lalu nggak sih? Nggak lah!! Kalau dulu gue nyerah saat papanya Lya menolak, kalau sekarang gue akan tetap memperjuangkan Ralin. Sampai dapat! Asal Allah mengijinkan.

Ting!

Gue kembali melihat ponsel yang berdenting.

Ralintang
*sending picture*

Ada buah yang tadi buat PMT anak-anak PAUD, mau di buatin salad?

Me
Nggak nolak!

Ralintang
Oke, nanti di gosend ke rumah sakit ya!

Me
Makasih Lin

Buaya masih nggak makan naga lho!

Ralintang
Kirain! 

Gue nggak bisa menyembunyikan senyum saat membaca pesan Ralin. Pengen gue kasih emoticon peluk jauh nggak jadi, nanti kesan buaya makin lengket ke gue.

Gue sangat menghargai usaha dia buat bantu gue lupain masa lalu gue yang mana itu hanya anggapannya saja. Tanpa dia harus repot-repot, gue sudah lupa sejak lama bahkan sebelum gue bertemu dengan Ralin.

 

 

BAB 17

KUNCI MOBIL

Ralin Point Of View.

"Ma Ralin jadi pergi ya?"

"Sama Gisel kan?" 

"Iya Ma, Ralin jemput ke rumahnya."

"Pulangnya jangan kesorean Lin! Nanti kamu jaga malam kan?"

"Inggih Mama sayang!!"

Aku segera mencium tangan dan pipi mama lalu bergegas ke rumah Gisel. Seneng banget sekarang Gisel sudah selesai segala urusannya di Australia dan sudah dapat kerjaan di sini, makanya aku todong dia nih buat traktir. Hari ini aku janjian ke Mall Paragon dengannya, aku minta ditemani beli kado untuk anak Mas Edo yang baru lahir. 

"Si Agus belum pulang Lin?" Tanya Gisel begitu kita sampai di parkiran Mall dia memang suka sekali memanggil Mas Nazril dengan nama Agus setelah aku ceritain kejadian waktu pertama kali ketemu di rumah sakit.

"Katanya sudah tadi malam!" 

Mas Nazril baru saja pulang dari Jepang, suka ngeri sendiri kalau lihat jadwalnya terkadang bisa santai hanya sebatas jaga di rumah sakit tapi saat-saat tertentu jadwalnya bisa padat banget sampai ke luar negeri, aku jadi iri ngelihat dia bisa keliling negara dengan ilmu yang dia miliki. Profesor Danu memang beneran jadiin Mas Nazril asisten kesayangannya, hampir seluruh kerjaanya selalu melibatkan Mas Nazril.

"Sudah 2 minggu berlalu loh ini Lin, nggak ada niatan buat langsung di terima saja lamaran Agus?"

"Masih ada 2 minggu lagi!"

"Kelamaan kali Lin!"

"Berisik deh kamu Gis! Sudah yuk ke sana!"

Aku menarik tangan Gisel untuk masuk ke salah satu toko perlengkapan bayi. Aku memang sudah menceritakan semua yang terjadi denganku dan Mas Nazril pada Gisel termasuk soal rencana 30 hari kita untuk saling percaya. Ralat! untuk gue yang percaya maksudnya.

"Beliin apa ya Gis? Bingung nih!"

"Cowok atau cewek anaknya Edo?"

"Cewek."

"Mending kamu chat saja deh, tanyain apa yang belum ada. Malah kepakai kan?"

Usul Gisel ada benarnya, aku langsung menghubungi Mas Edo menanyakan barang bayi apa yang belum sempat dia beli. 

"Stroller katanya Gis!"

"Jangkrik! Pinter banget milihnya!" Jawab Gisel sambil tertawa dan mengumpat, berasal dari kota yang sama  yaitu Malang membuat Gisel dan Mas Edo langsung akrab walaupun baru dua kali ketemu.

Akhirnya aku putuskan membeli stroller daripada mubadzir kan lebih baik berguna.

"Idih kesenengan pasti tuh orang dibeliin harga segini!" Teriak Gisel saat melihat stroller pilihanku.

"Sudah deh jangan kebanyakan protes, katanya biar bermanfaat!"

"Iya juga sih!" 

Gisel akhirnya diam, walaupun sejak tadi terus protes dia juga tetap membelikan kado untuk anaknya Mas Edo. Dia membelikan beberapa stel pakaian dan sepatu.

Setelah selesai urusan kado yang memakan waktu lebih dari satu jam, aku dan Gisel memutuskan untuk cari makan dulu baru lanjut belanja. Nona manis yang baru keterima kerja ini pengen beli baju buat kerja katanya.

Gisel sibuk memesan menu untuk kita dan aku sibuk membalas chat Mas Nazril. Mungkin dia baru bangun karena sejak tadi malam chatku belum di balas.

"Kok pesan lagi? Tadi kan sudah, memang kuat makan sebegitu banyaknya?" Tanya Gisel yang heran karena aku memesan makanan lagi.

"Si Agus lagi di sini ternyata, katanya bentar lagi nyusul minta di pesankan makan sekalian sama temannya!"

"Sumpah deh Lin, kamu tuh tunggu apa lagi sih? Sudah macam ada cinta begitu masih saja nggak dijawab."

Aku membiarkan Gisel terus berbicara, dia kalau sudah dikasih waktu buat ngomong nggak bakal berhenti untung saja makanannya sudah datang.

Tiba-tiba dia heboh sendiri sambil menyikutku. Aku mengikuti arah pandangnya, ternyata ada Mas Nazri dan temannya yang berjalan ke arah restoran ini. Jarang-jarang melihat Mas Nazril dengan pakaian semi formal seperti itu dan sudah pasti membuat nilai penampilannya naik beberapa poin. Bisa dibilang ganteng banget sih kalau ini.

"Sorry, gabung ya!" Katanya sambil meletakkan hp dan kunci mobilnya di meja.

"Habis ngapain Gus? Kayaknya rapi banget?" Tanya Gisel.

"Tadi ikut Prof Danu sebentar ketemu sama tim penelitiannya. Oh ya kenalin nih teman gue Mahesa."

Kami berkenalan dengan Mahesa, dia juga seorang dokter yang terlibat kerjaan dengan Mas Nazril dan Prof Danu.

"Baik, karena cuma gue yang bukan dokter. Gue nggak kasih izin kalian ngomong bahasa planet kalian!" Ancam Gisel karena sejak tadi kita bertiga membicarakan penelitian yang akan dikerjakan tentunya ada bahasa-bahasa kedokteran yang Gisel nggak paham.

"Ya sorry Gis! Bulan depan jadi nikah Gis?" Ujar Mahesa yang tentu saja mendapat tatapan penasaran dari kita.

"Siapa yang mau nikah sih Hes? Orang pacar saja belum ada." Jawab Gisel, orang ini memang nggak suka basa-basi.

"Sip, masih jomblo berarti ya?" Jawab Mahesa lalu melanjutkan makannya.

Aku dan Mas Nazril kompak tertawa setelah tahu maksud pertanyaan Mahesa, satu pertemanan sih ya sama Mas Nazril jadi ya sama tipenya.

"Lin! Kamu pesenin aku apa sih ini? Tadi kan aku minta sama kaya Mahesa itu!" Tanya Mas Nazril dengan ekspresi keberatannya karena aku memesankan makanan yang nggak sesuai permintaannya tadi.

"Sudahlah, dimakan saja Mas! Menu yang lain mengandung lemak tinggi. Inget Cholesterol!"

"Haha, sudah makan saja Ril! Nasib baik ada yang perhatian!" Sahut Mahesa dan disetujui Gisel.

"Ya masa makan daun-daunan kaya gini? Dikira ulat apa ya!" Jawabnya masih nggak terima dan cuma kita tertawakan. Pada akhirnya dia tetap memakannya.

"Kambing juga makan daun sih!" Ujar Gisel dan disambut tawa, kecuali Mas Nazril tentunya.

Mas Nazril kembali memesan makan porsi keduanya. Yang aku heran walaupun makannya sambil ngomel tetap saja dia pesan menu yang sama dengan yang aku pesankan tadi. Perbuatan kecil tapi manis menurutku.

Sampai akhirnya Mas Nazril dan Mahesa pamit pulang duluan karena ada urusan, wajah Mas Nazril terlihat lelah sekali. Minggu ini aktivitasnya lumayan banyak, baru juga tadi malam pulang. Pagi ini sudah kembali kerja. Suka kasihan saja ngelihatnya, istirahatnya pasti kurang banget.

Tiba-tiba hpku bergetar tanda panggilan masuk.

"Kenapa Mas?"

"Aku salah bawa kunci mobil Lin!"

"Hah?" Aku mengecek kunci mobil dan ternyata benar, dia membawa kunciku.

"Boleh tukeran nggak? Nanti malam aku ambil di rumah sakit. Capek mau balik ke sana! Mahesa sudah jalan."

Kasihan juga sih! Bagaimana ya?

"Apa aku saja yang turun?"

"Jangan! Kamu masih mau belanja kan?"

"Iya sih, ya sudah bawa saja mobilku. Nanti tukeran di rumah sakit."

"Siap! Maaf ya, nggak ngeh tadi pas bawa!"

Aku menutup teleponnya dan Gisel yang sejak tadi sudah penasaran langsung menyuarakannya.

"Kenapa sih?" Aku hanya mengangkat kunci mobil Mas Nazril

"Asli modus tuh Si Agus!"

Aku dan Gisel melanjutkan belanja, tumben banget ini anak belanjanya adem ayem cuma butuh dua toko. Biasanya butuh sampai belasan toko baru selesai, tapi jangan tanya tagihannya sudah pasti sama saja mau di dua toko atau 10 toko. Setelah selesai aku dan Gisel keluar dan masih harus celingukan mencari mobil Mas Nazril.

"Kebanyakan belanja jadi bego! Kamu pencet saja deh ya kuncinya nona manis, pasti bunyi!"

Iya ya, kenapa jadi ikutan bingung seperti Gisel! Aku langsung memncet alarm mobilnya dan ketika bunyi kita mendekat. Aku menghentikan langkahku saat sudah menemukan mobilnya.

"Gis kenapa aku tiba-tiba gugup sih lihat mobilnya?"

"Haha iya, ngeri aku bayangin nyetir mobil ini! Meleng dikit harus jual ginjal buat gantinya!"

"Jangan lebay deh Gis!"

Aku dan Gisel masuk mobil dan kita berdua masih tertegun didalam, bingung harus ngapain.

"Lin! Ini kenapa berasa mau bawa pesawat sih, tombol semua!"

"Gis! ngidupinnya bagaimana ini?"

"Ya ampun Lin, jangan bikin aku jantungan deh! Memang kamu belum pernah naik mobil ini?"

"Baru sekali, lagian aku cuma jadi penumpang Gis!"

Kami berdua hanya bisa tertawa miris memikirkan bagaimana caranya pulang kalau nggak bisa bawa ini mobil. Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon Mas Nazril. Dengan sabar dia kasih tutorial singkat walaupun awalnya nggak berhenti menertawakanku.

"Mas, aku tinggal di sini saja ya! Nanti kalau lecet-lecet bagaimana mobilnya?"

"Nggak apa-apa Lin! Bawa saja! Yang penting kamu dan Gisel aman. Lecet nggak masalah, nanti malah bisa kasih rejeki buat bengkelnya." Jawabnya.

Ya Allah, enteng banget ngomongnya!

"Hati-hati, aku tutup ya!"

"Kamu yakin kan Lin? Kita belum ada yang nikah loh ini!" Ucap Gisel saat aku berhasil menghidupkan mobil dan bersiap jalan.

"Aku minta maaf ya Gis kalau banyak salah sama kamu!" Kataku pura-pura sedih tapi gugupnya beneran.

"Ralin!! Serius ih!" Teriak Gisel.

"Haha, iya. Kamu tenang jangan ganggu konsentrasi!"

Dengan terus membaca bismillah, perlahan aku menjalankan Range Rover hitam ini. Aku baru bisa bernafas lega dan terbiasa saat sudah lebih dari 1 km perjalanan. Gisel sudah jauh lebih tenang, tadi asli pucat banget dia takut aku sajak nyungsep.

"Gila tuh Si Agus, nyuruh bawa mobil kaya bawa apa saja. Kurang apa lagi sih Lin Si Agus? Mobil mahal saja dia nggak khawatir  buat kamu bawa malah lebih khawatir ke kamu! Bentar lagi dia serahin hidupnya buat kamu kali! Kalau aku sudah aku iket kenceng deh!"

"Gis lampu seinnya yang mana ini??"

"RALINTANG!!"

"Makanya kamu diem jangan bikin aku nggak konsen!"

Gisel memilih menutup mulutnya, kalau saja aku berani lepas tangan satu sudah pasti aku rekam ketakutan Gisel saat ini. Haha lucu banget!

Kamu bener Gis! Aku yang terlalu banyak mikir, Allah sudah kirim seorang laki-laki sebaik Mas Nazril tapi aku masih saja susah untuk percaya. Aku hanya terlalu takut kecewa dan kehilangan dia jika semua tak sesuai yang aku inginkan.

 

BAB 18

PENCURI HATI

Nazril Point Of View.

Gue masih dapat dispensasi libur sampai besok karena baru saja pulang dinas luar. Kemarin gue baru saja ikut Prof Danu ke Jepang dan setelahnya pun belum bisa istirahat karena harus lanjut ikut pertemuan dengan kolega Prof Danu yang terlibat dalam kerjaan beliau.

Kalau bisa berteriak mungkin tulang-tulang di tubuh gue ini sudah pada histeris karena kecapekan tapi otak gue selalu memberi komando agar selalu bersyukur atas semua pemberian Allah termasuk kesibukan gue yang kadang-kadang nggak ada ampunnya ini.

Malam ini di rumah abang sedang diadakan acara 7bulanan kehamilan Mbak Cut, semua keluarga berkumpul dan sudah pasti selalu gue yang jadi artisnya. Adakan artis yang hidupnya hanya penuh hujatan? Nah, itu ibaratnya gue.

Apalagi Mbak Naya yang nggak berhenti bully gue waktu tahu gue bawa mobil Ralin. Gara-gara insiden salah bawa kunci jadinya gue masih bawa BMW putih milik Ralin ini, nggak apalah mobilnya dulu yang gue bawa pulang baru nanti yang punya.

Setelah selesai gue langsung ke rumah sakit buat tuker mobil, maunya sih ya gue pakai ini terus nggak apa-apa. Mobilnya wangi banget, secara mobil cewek. Di dalamnya juga banyak barang-barang Ralin, dia tipe orang yang suka mempersiapkan segala sesuatu kaya gue banget. Mungkin kalau saja tiba-tiba ada acara dadakan, dia selalu membawa baju ganti, perlengkapan pribadi lain dan setidaknya ada 2 pasang sepatu di belakang, ada juga foto dia dan mamanya waktu wisuda yang dia jadikan gantungan depan. Jadi inget hari wisudanya, pasti dia sedih banget nungguin papanya nggak datang di hari penting dia.

Gue sampai di rumah sakit sudah jam 11an, sepertinya UGD sedang sepi karena Teguh tidur dan Putri sibuk main ke unit lain. Kemana Ralin ya?

Gue tadi sempet bawa makanan dari rumah abang, sebagian gue tinggal di UGD dan sebagian gue bawa ke pos satpam.

"Alhamdulillah rejeki tengah malam!" Ucap Pak Aris salah satu satpam yang tugas malam.

"Sepi ini pak?"

"Iya Mas dokter, alhamdulillah sehat-sehat biar nggak pada kesini. Habis ada acara Mas?"

"Iya Pak, 7bulanan kakak ipar. Pak boleh minta tolong nggak?"

"Apa mas?"

Gue hanya nyengir lalu memijit bahu pria yang berumur setengah abad ini. Gue lalu menyebutkan permintaan gue, awalnya dia penasaran tapi tetap dijalankan.

"Memang ada yang mencurigakan Mas?" Tanya Pak Aris sambil berkonsentrasi melihat layar komputer.

"Ada pencuri Pak!"

"Hah? Kenapa nggak bilang Mas!" Pak Aris berdiri dan bersiap pergi.

'"Eh, tunggu dong Pak!" Gue menariknya lagi untuk duduk.

"Nih pencurinya Pak!" Kata gue lagi sambil menunjuk monitor. Pak Aris menajamkan penglihatannya.

"Lah itu dr. Ralin bukan sih? Dia mencuri apa Mas? Masa iya orang baik begitu mencuri?"

"Mencuri hati saya Pak!"

Gue tertawa keras melihat wajah bingung Pak Aris, terlebih lagi menertawakan gue yang bener-bener jadi gila. Gue minta tolong Pak Aris untuk menunjukkan CCTV yang ada di masjid, gue yakin disaat sepi pasien Ralin ada di sana dan ternyata benar.

Gue harus berterimakasih pada tukang CCTV nya karena telah memasang kameranya dengan sangat strategis.

"Astaga Mas Dokter!! Bikin saya jantungan saja."

"Haha, maaf Pak!"

"Waduh, jadi Mas Dokter lagi ngejar dr. Ralin ini?"

"Doain saja Pak, Ralinnya mau sama saya!"

"Amiiin, setuju banget kalau saya Mas. Sama-sama baik, cantik dan ganteng lagi. Dr. Ralin itu baik banget loh mas, setiap lebaran kita para satpam di kasih parcel sama THR. Para OB juga dikasih sama dia. Tahu nggak Mas, berdasarkan info, dia itu juga penyumbang tetap di yayasan anak cacat yang dimiliki rumah sakit ini!"

"Masa sih Pak? Kata siapa?"

"Wah itu sudah lama beritanya, saya dengar dari adik ipar saya, dia kan staff HRD, seluruh rumah sakit juga tahu bagaimana sifatnya dr. Ralin. Banyak yang naksir lho dia! Tuh dr. Reza juga, tapi kayaknya sudah nyerah!"

Ahayyy!! Dapat teman gosip oke nih!

"Masa sudah nyerah dia Pak?"

"Ya kalau sekiranya nggak ada peluang ya mundur alon-alon to Mas! Kalau Mas dokter kira-kira ada peluang nggak? Wah saya beneran cocok lho ini!"

"Doain saja deh pak!"

"Tahu Bu Maryati nggak Mas?"

"Yang petugas masak itu Pak?"

"Iya, kata adik saya pernah juga gajinya dr. Ralin nggak diambil suruh buat bayar operasinya Bu Maryati, waktu itu sakit usus buntu, kasihan dia kan sudah janda Mas."

Ya Allah, ini kenapa infonya membuat gue semakin gila saja ya?? Astaghfirullah.

"Pokoknya Mas dokter, saya doakan jadi. Mas dokter orangnya juga baik banget sama seperti dr. Ralin yang suka bantu orang-orang kecil seperti kami ini. Kemarin saya juga kebagian rejeki yang Mas dokter bagikan lewat komandan saya. Semoga Allah memudahkan ya Mas!"

"Amiin-amiin, terimakasih Pak! Jangan merendah begitu Pak, kita sama saja kok!"

Sudah jam setengah 1 dan gue malas pulang, akhirnya gue pilih melihat suasana UGD. Sepertinya Ralin sudah ke sana, di CCTV nggak kelihatan lagi soalnya.

"Baru sampai Mas?" Tanya Ralin saat gue masuk ke ruang jaga UGD.

Di sana ada beberapa orang, Teguh yang sedang makan bersama Putri. Ada juga Mas Budi dan Bang Roma-perawat cuci darah- yang ikut makan. Dan Ralin yang hanya melihat.

"Dari tadi sih, habis ngopi sama Pak Aris."

"Memang jadwal jaga ini Dok?" Tanya Bang Roma.

"Nggak Bang ini mau--" Gue melirik Ralin, dia memberikan kode agar gue nggak bilang tujuan gue kesini mau tukar mobil.

"Tadi ada acara 7bulanan ipar gue Bang, nah itu ada makanan gue antar saja kesini!" Lanjut gue dan Ralin terlihat menahan senyumnya.

Duh manis banget! Inget dosa Ril!!

"Oh ini dari dokter ya?" Tanya Putri sambil menunjuk makanannya.

"Eh Siput! Lo dari tadi makan kagak tau ini dari siapa? Kebangetan lo Puuut! Siput!" Sahut Teguh.

"Memang lo tau??"

"Ya kagak! Kan sudah peraturannya, makanan yang ada di meja sini boleh dimakan siapa saja!"

Jawab Teguh dan langsung mendapat pukulan dari Putri. Gue beneran dukung mereka ini, cocok!

Kami lanjut ngobrol sampai hampir jam 2 sampai akhirnya sudah pada ngantuk. Gue putuskan ikut Mas Budi dan Bang Roma tidur di ruang jaga unit cuci darah lebih aman kayaknya. Kalau di sini takut nggak bisa tidur karena sibuk lihatin Ralin.

Besok pagi kita semua janjian mau ke rumah Si Kunyuk Edo untuk jengukin istri dan yang baru lahir. Sebenarnya kemarin gue sudah jenguk, dua kali malah. Waktu lahiran di rumah sakit sama di rumahnya bareng umi dan abi juga keluarga Salma tapi karena besok Ralin juga ada gue pengen ikut lagi jadinya. Biarlah Si Kunyuk sampai bosan lihat gue.

 

 

 

 

 

BAB 19

KODE KERAS

 

Ralin Point Of View

Hari ini aku dan teman-teman mengunjungi kediaman Mas Edo untuk melihat bayi lucu nan menggemaskan. Sesuai kesepakatan kita langsung berangkat setelah turun jaga malam, aku, Putri dan petugas Laboratorium pergi dengan mobilku. Sedangkan Teguh, Mas Budi dan Bang Roma dengan mobil Mas Nazril.

"Ini jam tangan siapa Dok? Kok kaya jam cowok?" Tanya Putri. 

Ya Tuhan, itu jam nya Mas Nazril ketinggal di mobilku. 

"Kaya pernah lihat nggak sih?" Sahut Diah, petugas laboratorium.

"Iya kaya nggak asing!!' Ujar Putri sambil terus mengamati jam itu.

Aku memilih diam, biarlah mereka berspekulasi sendiri saat ditanya kembali aku hanya tersenyum. Aku tidak mau bohong juga tak mau memancing kehebohan.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Mas Edo karena tempat tinggalnya masih satu kecamatan dengan rumah sakit. Mas Edo asli Malang tapi sekarang menetap di sini bersama anak dan istrinya.

"Masuk-masuk! Sudah pada mandi kan? Gue nggak mau ya kalian kesini masih infeksius!" Ujar mas Edo saat kami tiba di rumahnya.

"Sudah dok! Kita sudah mandi alkohol tadi!!" Sahut Mas Budi.

"Bagus!"

Kami semua duduk di karpet bawah, sepertinya habis ada acara aqiqah karena ruang tamunya masih belum dikembalikan seperti semula. Masing-masing dari kami memberikan kado yang telah disiapkan kecuali Mas Nazril katanya kemarin sudah kesini, tanpa disuruh dia membawakan kadoku dan kado Gisel yang masih ada di mobilnya. Gisel tidak bisa ikut karena masih kerja.

Tak lama kemudian pembantu Mas Edo keluar membawakan makanan dan minuman untuk kami semua dan ya sudah pasti disambut gembira oleh kami yang tentu saja belum sempat sarapan.

"Ini buat ganjal perut dulu, sarapannya masih jalan di bawa ojol!" Kata Mas Edo.

"Asyiiikkk!! Dedeknya mana sih Dok?" Sahut Putri.

"Sebentar ya! Lagi dimandiin, kalian kesininya kurang pagi soalnya!" Kata Mas Edo mengandung sarkas.

Beberapa saat kemudian Mbak Ervina keluar dengan menggendong bayi yang sudah cantik dan wangi itu, gembul banget pipinya rambutnya juga hitam dan banyak, lucu banget!

"Terimakasih ya Om dan Tante semua sudah jengukin Embun!" Kata Mbak Ervina. 

"Namanya Embun ya Mbak? Cantik!" Kataku.

"Iya Tante dokter biar cantik dan pinter kaya  Tante dokter!" Sahutnya.

"Jangan cantik kaya Ralin dong Vin! Nanti Si Agus jadi ngincer anak kita!" Sahut Mas Edo dan disambut tawa.

"Jangan dengerin ayah kamu ya Nak!" Kata Mas Nazril, dia berdiri mendekati bayi itu lalu menggendongnya tanpa canggung malah terlihat luwes sekali, beneran suka banget dia sama anak-anak. Embun juga terlihat nyaman dan anteng di gendongan Mas Nazril. Jangan lupakan reaksi Putri dan Diah yang sejak tadi bisik-bisik heboh mengabadikan momen langka menurut mereka.

Kalau boleh jujur setiap hal kecil yang Mas Nazril lakukan selalu saja membuat aku terkagum. Ya Allah apakah memang dia orangnya?

"Mau gendong nggak Lin?" 

"Mau dong Mas, sudah gemes dari tadi!"

"Pengen punya sendiri nggak sih?" Bisik Mas Nazril waktu menyerahkan Embun padaku. 

"Mungkin!” Jawabku asal. 

Asal cepet selesai serah terima bayinya agar aku nggak gugup.

"Ya sudah, tunggu apalagi!" Bisiknya lagi dan aku hanya memutar bola mataku, dia tertawa melihat aku yang jengkel karena terus dia kerjai.

"Kalian lagi pada bahas apa sih? Bisik-bisik!" Tanya Mas Edo.

"Urusan rumah tangga!" Jawab Mas Nazril dengan entengnya dan tentu saja memancing kehebohan sampai-sampai Embun menggeliat karena kaget dan menangis.

"Kalian sih ya, berisik jadi bangun kan! Gue belum jadi gendong juga!" Protesku. 

"Widih, orang cantik kalau marah kenapa tetep cantik saja sih?" Kata Mas Budi.

Tiba-tiba disaat heboh, Putri mengucapkan sesuatu yang benar-benar bikin aku greget.

"Dok, jamnya ketinggalan di mobil dr.  Ralin nggak sih? Saya dari tadi mikir baru ketemu kalau itu jam dr. Nazril!"

Ingatkan aku kalau putri orangnya kelewat polos dan nggak punya rem.

Terang saja ucapan putri langsung mendapat respon heboh dari yang lain terutama Mas Edo.

"Kok bisa jamnya Agus di mobil Ralin?" Tanya Mas Edo.

"Buat tanda saja!" Jawab Mas Nazril.

"Tanda apa Dok?" Tanya Putri lagi.

"Tanda kalau  seluruh waktuku buat dia!"

Allahu akbar!!

"Kode keras!!!" Pekik Mas Edo dan tentu saja langsung di sambut meriah dari yang lain.

"Tukang gombal saja kalian percaya!" Jawabku setenang mungkin lalu ikut masuk Mbak Ervina ke kamar, melihat Embun. Padahal aslinya gugup banget dengar gombalan recehnya.

Setelah makanan yang dipesan Mas Edo datang akhirnya kami sarapan walaupun sudah hampir jam makan siang dan setelahnya pulang. Aku dan Mas Nazril mengantarkan penumpang-penumpang ke rumah sakit dulu karena kendaraan mereka ada di rumah sakit.

"Mau pakai mobilku lagi nggak?" Tanya Mas Nazril, dia turun dari mobilnya dan menghampiriku.

"Nggak ah berat, serem juga. Berasa bawa rumah!"

"Siput kali bawa rumah kemana-mana! Mau langsung pulang?"

"Paling mampir sebentar ke kantor mama."

"Mau ikut aku nggak?"

"Kemana Mas?"

"Ikuti mobilku saja ya!"

Aku hanya mengangguk lalu mengikuti mobilnya, penasaran saja soalnya dia selalu penuh kejutan.  Dia memberhentikan mobilnya di gang yang nggak jauh dari rumah sakit.

"Kesini!" Dia mengajakku mengunjungi sebuah perkampungan belakang rumah sakit. Dia mengetuk rumah dan keluarlah sepasang suami istri manula.

"Cucuku! Sini masuk!" Ucap sang istri dan menarik Mas Nazril.

Kami duduk bersama mereka, aku malah selalu fokus melihat interaksi keduanya. Mereka sudah tua tapi sangat romantis dan terlihat saling menyayangi.

"Kenalin Nek, ini Ralin teman Nazril di rumah sakit!"

Keduanya tersenyum kepadaku.

"Terimakasih ya Nak, sudah mau main ke sini!" Aku mengangguk dan tersenyum.

Cukup lama kami di sana, kedua manula itu sangat senang atas kunjungan kami. Mereka bercerita kalau Mas Edo dan Mas Nazril sering main kesini. Mas Edo yang pertama kali kenal dengan mereka waktu berobat ke rumah sakit dan sejak Mas Nazril pindah ke sini jadilah dia juga akrab dengan mereka.

"Mereka pengantin baru loh Lin!" Kata Mas Nazril saat kami berjalan menuju mobil.

"Hah? Beneran?"

"Iya, baru beberapa bulan. Waktu aku kesini sudah nikah sih mereka."

"Apa yang membuat mereka memutuskan untuk menikah diusia tua?"

"Mereka janda dan duda. Kakek punya anak satu tapi sudah pergi ikut suaminya dan nenek tidak punya anak. Keduanya kesepian dan akhirnya memutuskan menikah, menghabiskan hari tua mereka bersama."

"Manis ceritanya!"

"Aku juga kagum dengan keputusan mereka Lin.  Mereka tulus saling menyayangi, saling menjaga dan saling melindungi saat mereka sadar tidak lagi bisa memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Dari situ aku sadar, bahwa menikah itu bukan hanya sebatas memuaskan keinginan, tapi jauh dari itu ada hal yang lebih bermakna yaitu ketulusan."

Entah kenapa tiba-tiba aku ingat mama, sudah 15 tahunan mama hidup sendiri tanpa suami hanya ada aku di hidupnya. Apa mama pernah merasa kesepian? Apa mama pernah merasa hidupnya kurang karena tidak ada sosok suami?

"Aku tanya sesuatu ya Lin? Tapi beneran cuma sekedar tanya."

"Apa mas?"

"Kalau papa kamu langsung bisa nikah lagi, mama kamu nggak pernah punya pikiran untuk nikah lagi Lin?"

Aku tersenyum, bagaimana bisa di saat aku memikirkan mama dan dia juga bertanya tentang mama.

"Dulu pernah ada yang dekat dengan mama dan aku menentang keras karena aku nggak ingin mama menikah lagi. Aku nggak bisa melihat mama sakit hati lagi Mas!"

"Itu ya yang kamu pikirkan dulu? Kalau sekarang?"

"Nggak tau Mas! Mama nggak pernah bahas itu lagi."

"Seandainya mama kamu mau nikah lagi?"

Aku nggak punya jawaban untuk pertanyaannya. Aku sendiri juga nggak tau, aku dulu pernah bertekad untuk tidak akan membiarkan laki-laki masuk ke kehidupan kami tapi nyatanya sejak hadir sosok Mas Nazril, pikiranku sedikit berubah.  Apa mungkin ada laki-laki seperti Mas Nazril yang bisa menjaga dan membahagiakan mama?

"Ya sudah lupain saja Lin, cuma pertanyaan iseng!" Katanya sambil tersenyum. Aku hanya ikut tersenyum.

"Mau langsung pulang?" Tanya mas nazril.

"Iya Mas."

"Ya sudah, jalan! Aku ikuti sampai rumah ya!"

"Eh nggak usah mas! Aku nggak ngantuk loh ini!"

"Tahu kok kalau nggak ngantuk, tapi banyak melamun dari tadi. Sudah sana masuk!"

Aku hanya mengangguk pilih ngalah saja daripada panjang perdebatannya, aku menjalankan mobilku dan benar Mas Nazril mengikutiku. Aku menyetir dengan pikiran yang terus berkecamuk. Semua hal yang Mas Nazril lakukan untukku selalu membuatku terkesan. Dia tidak pernah menuntut jawabanku, dia tidak pernah terlihat seperti sedang mengejarku. Semua yang dia lakukan pasti selalu memikirkan kenyamananku. Semuanya mengalir berserta ketulusannya.

Kapan lagi sih Lin kamu menemukan sosok seperti Mas Nazril? Apa yang masih kamu ragukan?

 

 

BAB 20

ASSALAMUALIKUM BULAN

 

Aku mengambil cuti karena hari ini adalah hari spesial untukku. Tidak ada yang berubah setiap tahunnya, aku hanya selalu mendapat pelukan cinta dari mama sekaligus doa tulus darinya.

"Selamat ulang tahun bintangnya Mama, sehat dan bahagia selalu ya Sayang!"

"Amiin, terimakasih Ma!"

"Ralintangku, happy birthday bebebku Sayang!" Kali ini sedikit berbeda karena kehadiran Gisel, aku membalas pelukannya dan mengucapkan terimakasih.

Aku hanya bertiga dengan mama dan Gisel, aku memang nggak pernah merayakan ulangtahun dengan keramaian. Aku hanya ingat dulu selalu menunggu papa di setiap ulangtahunku tapi tak pernah hadir sejak kematian Rembulan.

"Ini hadiah dariku, gaji pertama loh ini!" Ujar Gisel sambil menyerahkan kotak bermotif bunga. Aku langsung membukanya dan langsung tersenyum bahagia melihat sebuah stetoskop  cantik perpaduan warna putih dan emas.

"Cantik Gis! Terimakasih ya!"

"Sama-sama!"

"Mama kasih apa ya? Bingung ini Mama, kamu sudah bisa beli apa-apa sendiri! Mama kasih pelukan lagi saja ah!"

Aku memeluk mama lagi, nggak ada barang yang kuinginkan dari mama. Aku hanya ingin selalu bahagia bersama mama.

"Ralin memang hanya butuh ini dari Mama!"

"Aaaaaah ikut peluk!" Ujar Gisel lalu ikut memelukku dan mama.

"Sini-sini anaknya Mama juga!" Ucap mama lalu memeluk kami berdua.

Ada yang kurang? Mungkin. Karena sejak tadi hatiku gelisah, entah apa yang aku tunggu tapi rasanya ada yang kurang untuk hari ini. Dia sedang ada di Jakarta dan mungkin saja tidak tahu kalau hari ini aku ulang tahun.

"Ma, aku pergi sekarang ya!"

"Di temani Gisel ya?"

"Gisel di sini saja sama Mama."

Mama menarik nafasnya lalu mengiyakan permintaanku. Aku ada satu kebiasaan khusus di hari ulang tahunku. Kalau biasanya aku berziarah ke makam Rembulan dengan mama tapi khusu di hari ulangtahun kami, aku hanya ingin berdua dengan Rembulan. Nggak ada alasan khusus kok, cuma pengen quality time saja meskipun nggak bisa lagi berebut kue dengannya.

Aku membawa pelan mobilku sambil memutar kembali kenangan masa kecil kami. Aku dulu yang selalu marah jika Rembulan suka mengangguku saat masak tapi dia yang selalu memuji masakanku walaupun gagal. Rembulan yang pinter main gitar dan selalu bernyanyi untukku dan aku yang selalu bertepuk tangan untuk suaranya yang pas-pasan. Sudah lama banget tapi rasanya tetap sedih.

"Assalamualaikum Rembulan!" Aku bermonolog ketika sampai di pemakaman. Aku bawakan banyak bunga untuknya, aku kirimkan doa dan bacaan yasin untuknya.

"Bulan, selamat ulang tahun Sayang!!"

"Bulan, aku kangen kamu!" Akhirnya aku nggak kuasa menahan air mataku, betapa aku sangat merindukannya.

"Aku dan mama baik-baik saja, papa juga sepertinya baik dan bahagia. Bulan aku mau cerita tapi ini rahasia kita ya, aku bahkan malu mau cerita sama mama. Ini satu-satunya hal yang nggak aku ceritakan pada mama."

"Aku sedang dekat dengan seseorang, dia baik banget Lan! Dia melamar aku dan sabar banget menunggu jawabanku. Dia selalu membuatku nyaman, dia selalu mengerti setiap keadaanku. Dia hampir sempurna Lan untuk ukuran laki-laki, aku merasa sangat beruntung bisa dekat denganya tapi kamu tau kan aku seperti apa? Aku merasa nggak pantas buat dia Lan!"

Aku menyeka air mata, menunggu bulan menjawab curhatanku. Efek merindukan Bulan aku jadi kurang waras, mana ada orang yang sudah meninggal bisa jawab?

"Bulan tolong bilang sama kembaran kamu, aku juga bukan orang yang sempurna!"

Aku terkejut ada suara dan lebih terkejut lagi ketika melihat orang yang berdiri di belakangku.

"Mas Nazril!"

Dia tersenyum lalu ikut duduk di sampingku.

"Assalamualaikum Rembulan, kenalin aku Nazril orang yang insyaallah akan selalu menjaga Ralintang. Katakan padanya, aku juga jauh dari sempurna dan aku butuh dia untuk bisa menyempurnakan hidupku." Katanya sambil meletakkan bunga di atas pusara Bulan.

Bagaimana lagi sih rasanya, aku sudah kehabisan kata-kata untuk menggambarkan perasaanku hari ini. Yang intinya aku sangat bersyukur untuk kebahagiaan hari ini.

"Rembulan yang tenang di sana ya, aku pamit dulu ajak Ralin pulang! Insyaallah aku akan sering kesini!"

"Yuk!" Dia berdiri dan mengajakku. Kami naik mobil masing-masing dan berhenti di sebuah taman.

Mas Nazril pamit sebentar lalu kembali dengan membawa minuman untukku dan dia.

"Selamat ulang tahun!" Tambahnya lalu memberikan satu buket bunga untukku, bunga yang sama yang dia berikan untuk Bulan tadi.

"Terimakasih. Cukup kaget sih kamu tahu ulang tahunku!"

"Password macbook kamu kan?"

"Haha iya, mudah ditebak ya? Cuma nggak nyangka aja kamu ngeh kalau itu tanggal ulang tahunku, padahal kan susunannya acak!”

"Gampang itu mah tapi mending ganti deh, jangan yang mudah ditebak begitu. Bahaya juga sih kalau macbook kamu dipegang orang lain!"

"Iya nanti aku ganti. Mas Nazril bukannya lagi di Jakarta ya?"

"Barusan sampai langsung ke sini."

"Belum pulang ke rumah?"

"Nanti saja, sekalian membawa berita bahagia untuk abi dan umi." Katanya dengan senyum khas miliknya.

"Berita apa yang membuat orangtua kamu bahagia?"

"Anak bujang lapuk mereka akan segera mengakhiri masa lajang!"

"lapuk banget ya!"

"Iya, makanya jangan biarin tambah lapuk dong Lin!"

Aku hanya tertawa, sejak mengenalnya selera humorku benar-benar berubah drastis.

"Jadi apa jawaban kamu?"

Aku tahu ini waktunya aku memberikan jawaban untuknya. Waktu itu aku nggak ingat kalau sebulan itu pas hari ulang tahunku.

"Kenapa kamu yakin padaku Mas?"

"Lin, malam ini aku berangkat ke Bandung. Kamu nggak apa-apa?"

"Hah? Ya nggak apa-apa Mas, itukan kerjaan kamu, sebelum kita kenal kamu juga sudah sesibuk itu." Jawabku apa adanya meski masih heran dengan pertanyaannya yang nggak nyambung dengan obrolan kami sebelumnya.

"Ini juga aku harus jemput sepupuku dulu, nggak apa-apa kan?"

"Kenapa sih nanyain itu? Ya nggak apa-apa, masa jemput sepupu sendiri pakai minta izin sama aku Mas! Ya sudah sana kalau mau jemput!"

Dia malah tersenyum dan berubah menjadi serius membuat aku harus sedikir ekstra mengendalikan rasa gugup.

"Itu alasannya aku memilihmu Lin! Aku selalu berdoa sama Allah agar dijodohkan dengan wanita yang pengertian karena aku nggak bisa 24 jam selalu bersamanya, aku juga punya tanggung jawab lain, aku butuh wanita tegar karena aku nggak bisa selalu menuruti semua kemauannya tapi akan selalu aku usahakan. Aku butuh wanita sabar karena mungkin aku akan sering meninggalkan dia, kerjaanku yang menuntut harus berpindah-pindah tempat, aku butuh wanita mandiri karena mungkin saja aku nggak akan selalu di samping dia di saat dia kerepotan. Dan hampir semua itu aku menemukannya di kamu Lin!"

Kenapa tukang gombal ini pintar berkata-kata sih? Aku sangat terharu sekaligus bahagia mendengar alasammya, dengannya aku merasa diriku benar-benar dihargai dan dicintai.

"Dulu aku pernah ditinggalkan wanita karena aku tidak ada disampingnya saat dia sakit padahal aku terpaksa ada kerjaan yang mengharuskan aku pergi. Dia pernah protes karena aku lebih mementingkan sepupuku, padahal bagiku hidup itu tidak hanya dengan pasangan. Memang bagiku pasangan adalah jiwaku, tapi keluargaku juga menempati tempat penting di hidupku. Dan akhirnya aku menyadari bahwa aku dulu telah salah memilih."

Aku nggak tahu harus berkomentar apa, laki-laki ini sudah sangat sempurna untuk hidupku.

"Jadi apakah kamu bersedia menjadi pendampingku yang penuh dengan kekurangan ini Lin?"

 

 

BAB 21

SHE SAID YES

 

Nazril Point of view.

Malam ini gue harus segera bertolak ke Bandung, rekor baru hidup gue dalam sehari menempuh perjalanan Jakarta-Semarang-Bandung. Tadi pagi gue ngerayu Prof. Danu untuk mengijinkan gue pulang ke Semarang sebentar. Entah kenapa rasanya pengen banget pulang di hari ulang tahun Ralin.

Workshop di Jakarta sudah selesai kemarin tapi masih ada pertemuan kedua di ITB besok pagi jadi sebenarnya jadwal gue pulang masih dua hari lagi. Ada waktu luang satu hari sebelum lanjut Bandung dan gue manfaatin hari itu untuk pulang bertemu dengan Ralin. Dari bandara gue langsung menemui Ralin lalu setelah maghrib gue langsung berangkat lagi.

Badan gue yang remuk redam seakan nggak ada rasanya dibandingkan dengan apa yang gue dapat hari ini. Alhamdulillah nggak sia-sia harus pulang pergi Semarang-Jakarta. Tadi waktu dirumah gue sekilas sudah bilang sama abi dan umi, beliau berdua menyuruh gue segera menemui orangtua Ralin sepulang dari Bandung.

Dan saat ini diperjalanan menuju hotel Bandung, gue nggak bisa nahan jempol gue untuk nggak upload berita bahagia hidup gue. Gue pasang foto Ralin di story, nggak tahu sih ya kenapa tapi pengen saja dan baru beberapa menit notif gue sudah jebol karena banyak chat yang masuk.

Ada yang ngasih doa dan selamat, ada yang penasaran banget siapa wanitanya, ada yang maki-maki gue karena dia merasa tertinggal proses gue sama Ralin, siapa lagi kalau bukan Si Kunyuk. Dan tentunya ada chat abi gue yang nasehatin jangan berlebihan, banyakin bersyukur saja. Maaf abi, suka lupa diri kalau lagi bahagia. Astaghfirullah.

Setelah sampai hotel Bandung akhirnya gue putuskan buat mandi dan sholat. Setelah sholat gue bermunajat pada Allah, mengucap banyak syukur pada Nya atas semua pencapaian gue sampai detik ini. Atas semua nikmat dan berkah yang Allah kasih buat gue.

Hp gue masih ramai saja notifnya dari tadi nggak berhenti, sudahlah ya gue hapus saja storynya. Bener juga kata Ralin tadi waktu telepon, kalau ada yang iri kan kasihan. Apalagi yang masih jomblo. Haha 

Masih ada banyak chat yang belum gue buka termasuk punya Ralin yang kasih kabar kalau dia sudah di rumah, tadi dia bilang mau pergi dengan mamanya. Bukannya nggak mau bales, mau banget malah. Cuma kalau gue bales takutnya gue nggak mau berhenti malah ganggu istirahat dia lagi.

Perhatian gue teralihkan karena getaran dari ponsel menandakan ada panggilan masuk. Gue langsung mengerutkan kening saat tahu siapa yang telepon.

Ada apa Lya malam-malam telepon?

Gue beneran sudah ngantuk dan pengen tidur capek juga. Masa iya chat calon istri saja nggak gue bales malah telepon dari istri orang mau gue terima. Biarin saja lah, kalau penting besok biar telepon lagi.

******

Keesokan harinya gue sudah siap ikut technical meeting pelaksanaan penelitian yang kali ini bekerjasama dengan kementrian kesehatan, kali ini gue sebagai tim pengumpulan data awal. Tema yang kali ini di angkat adalah mengenai status stunting anak di Indonesia yang semakin kesini semakin naik angkanya.

Ada senang dan susahnya jadi pengumpul data awal, senangnya karena tim gue hanya bertugas mengumpulkan data dan mengkaji data yang didapat setelah itu diserahkan ke tim inti penelitian. Susahnya adalah minggu-minggu ini gue bakalan super sibuk untuk pengumpulan data ini, apesnya bisa bolak-balik dari satu daerah ke daerah lain kalau diperlukan.

"Jadi bela-belain pulang ke Semarang buat ngelamar gadis?"

Duh gue lupa kalau Prof Danu juga nyimpen nomor gue, sudah pasti lihat story gue.

"Mohon doanya Prof." Jawab gue sambil tersenyum malu.

"Pinter kamu milihnya!" Kata Prof. Danu sambil menepuk pundakku.

Memang Prof. Danu tau itu foto Ralin? Kan mukanya gue tutupin bunga?

"Memang Profesor tau siapa gadis itu?"

"Tanpa kamu pasang foto itu juga saya tau dari gerak-gerik kamu Ril!"

Aku hanya bisa nyengir, malu banget pasti tingkah gue selama ini kelihatan banget ya?

Gue baru bisa istirahat pada jam 4 sore, gue kembali ke hotel dan merebahkan diri. Seharian belum kabar-kabaran dengan Ralin terakhir habis shubuh tadi pagi.

Terpujilah wanita-wanita yang tipenya kaya Ralin, mereka tidak akan mempermasalahkan hal-hal kecil. Mereka nggak akan ribet karena seharian nggak chat dari pasangannya.

Eh gue pasangannya Ralin bukan sih?

Iya saja ya! Sebentar lagi kok!

Gue chat dia tapi belum ada balasan, gue tinggal mandi dulu. Setelahnya gue cari makan karena Ralin belum juga balas chat gue, mungkin lagi banyak kerjaan di rumah sakit.

Tadi di acara pertemuan makannya cuma dikit nggak puas gue, menunya steak dan gue anak Indonesia asli. Belum disebut makan kalau belum makan pakai nasi.

Saat asyik makan, tiba-tiba ada panggilan masuk lagi dari Lya-mantan gebetan gue dulu. Lya kenapa sih ini? Dari semalam nggak berhenti hubungi gue.

"Ada apa Ly?"

"Kamu sekarang di mana Rin?"

"Gue di Bandung!"

"Kapan pulang? Aku pengen ketemu!"

"Ada apa? Ngomong sekarang saja! Aku nggak mau suami kamu salah paham lagi."

Dan dia malah menangis.

"Aku mau cerai Rin!"

Duh Gusti! Kok jadi begini?

"Itu masalah kamu Ly, selesaikan urusan kamu dengan Angga nggak usah kamu ceritakan padaku. Aku hanya orang luar di kehidupan kamu! Nggak sepantasnya kamu ngomong ini ke orang lain!"

"Tapi Rin, aku nggak tau lagi mesti cerita ke siapa!"

"Ada mama kamu, ada papa kamu. Ada sahabat kamu yang lain, bukan aku yang malah memicu pertengkaran kamu dengan Angga padahal aku nggak pernah berbuat apapun."

"Tapi Rin, memang karena kamu!"

Aku berhenti mengunyah, nasi padang yang tadinya begitu enak mendadak terasa hambar.

"Kenapa aku Ly? Kita nggak pernah ada apa-apa!"

"Aku tahu, makanya aku pengen ketemu kamu. Dan aku pengen cerita sama kamu tentang Ralin!"

"Ralin?" Aku jadi sangat tertarik darimana Lya tahu tentang Ralin/

"Iya! Ralin adikku Rin!"

Masyaallah! Apa ini??

"Maksud kamu apa Ly?"

"Aku yakin kamu sudah denger cerita keluargaku dan aku adalah kakak tirinya Ralin!"

"Kamu nggak bohong Ly?"

"Buat apa bohong? Dan Aku sudah ngobrol banyak sama Ralin tadi pagi!"

Reflek aku berdiri. Apa ini Ya Allah? Jangan sampai Lya mengacaukan semuanya!

"Kamu ngomong apa sama dia?"

"Banyak, selama ini aku jarang ngobrol sama dia. Aku lihat story kamu, dan tas yang di pakai Ralin di foto itu sama dengan tasku, hadiah dari papa waktu kita masih sekolah! Awalnya aku ragu itu Ralin apa bukan, tadi pagi dia ke rumahku jadi ada kesempatan aku tanya langsung ke dia."

"Kamu ngomong apa sama dia?" Gue bertanya lagi, entah kenapa perasaan gue nggak enak banget.

"Ya ngobrol biasa antara kakak-adik, lalu aku kasih selamat atas pernikahan Mama Rani dan aku tanya kapan kamu akan menikah dengannya. Dia malah bilang bukan calon istrimu!"

JANCOK!!!

Astaghfirullah.. astaghfirullah..astaghfirullah!

Dengan cepat aku kembali ke hotel, saat ini hanya Ralin yang ada dipikiranku. Semoga Ralin tidak sakit hati mendengar berita pernikahan mamanya dari orang lain.

Ya, mamanya memang telah menikah lagi. Bukan maksud menghianati Ralin tapi mamanya khawatir kalau Ralin tidak bisa menerima pernikahan itu mengingat Ralin pernah sakit hati dengan orangtuanya. 

Tante Rani memintaku untuk sedikit demi sedikit bicara pada Ralin agar Ralin bisa menerima pernikahan mamanya tanpa sakit hati tapi hari ini Lya mengacaukan semuanya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Gus Nazril
Selanjutnya (A) Gus Nazril 22-26
6
0
Happy Reading….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan