
Part 11 sampai 15
Happy Reading…
BAB 11
MENANTU IDAMAN
Nazril point of view
Gue tertawa sendiri melihat layar panggilan tiba-tiba terputus. Ini pasti Helga yang ngerebut hp dari Edo. Tapi alhamdulillah lumayanlah sempat lihat wajah Ralin. Edo walaupun kampret begitu bisa juga diandalkan.
"Ril, jadi ya kamu yang ngisi!"
Ucapan Prof. Danu mengalihkan perhatian gue dari Ralin.
"Hah? Jangan Prof! Saya mah apa atuh! Profesor saja deh ya!" tolak gue.
"Saya sudah sering, sekarang kamu! Saya tunggu 10 menit lagi!"
"Tapi Prof?"
Aku masih menego permintaan Prof. Danu, kali ini benar-benar di luar konteks. Kalau biasanya beliau minta gue cari sample atau mengekstraksi kandungan kulit buah atau misahin DNA gue mah ayo saja. Tapi ini, coba bayangkan! Gue disuruh ngisi ngaji komunitas pedagang syariah Indonesia yang ada di Bangkok ini. Bingung ya? Ha ha ha
Tenang gue jelasin!
Jadi gue sekarang ada di Bangkok sudah satu mingguan. Tujuan utamanya adalah seminar dengan tema Basic Surgical Skills for General Physicia dan Prof. Danu kebetulan salah satu pembicaranya dan alhamdulillahnya beliau ngajakin gue. Tapi ada innalillahnya, beliau ke sini membawa serta istrinya, jadilah jiwa jomblo gue kembali meronta-ronta. Mana romantis banget mereka berdua walaupun sudah tua, nasib gue Ya Allah!
Seminarnya sudah selesai dari tadi siang dan sore ini sebelum kita flight, Prof. Danu ngajakin gue ketemu komunitas pedagang yang diketuai langsung oleh istri beliau. Bu Lukita adalah seorang pengusaha tekstil yang ranahnya sudah mencapai mancanegara. Komunitasnya ada di beberapa negara Asia Tenggara, jadi ketika beliau berkunjung ke salah satu negara tersebut pasti diadakan acara kumpul seperti sore ini.
"Ayo Nak Nazril, Ibu minta tolong loh ini!" Ujar Bu Lukita.
"Aduh Bu, saya beneran belum mampu!"
"Ya sudah sekarang permulaanya, biar jadi mampu untuk berikutnya!" Jawab Bu Lukita tanpa bisa gue nego. Lembut-lembut ngeri nada bicaranya.
Buru-buru gue telepon abi minta tolong difotoin kitab yang berisi fikih perniagaan. Gue bingung mau ngisi ngaji apa, tanpa persiapan apapun untung dulu gue nggak sering-sering banget tidur waktu ikut simbah atau abi ngaji. Orang kesini juga niatnya seminar, tapi alhamdulillah juga bisa berbagi ilmu gue yang masih dikit banget ini. Malu gue sebenarnya.
Gue coba berbagi sedikit tentang ilmu perdagangan, gue mengajak semua yang hadir untuk banyak bersyukur karena Allah kasih rejeki lewat dagang. Seperti yang kita tahu riwayat Nabi Muhammad juga seorang pedagang, sudah seharusnya senang karena bisa mengikuti jejak nabi dalam hal mencari rejeki. Gue hanya menjelaskan secara singkat tapi yang membuat tambah lama adalah pertanyaan antik-antik dari anggota komunitas ini yang mayoritasnya adalah ibu-ibu.
"Mas Nazril, boleh nggak sih kalau kita nawar harga barang jualan ke supliernya sampai harga yang paling rendah, kita kan juga pengen dapat untung yang banyak!" Tanya seorang ibu yang memperkenalkan diri sebagai pengusaha karpet.
"Boleh Ibu Meta, tapi harus diingat seperti yang saya jelaskan tadi rukun jual beli itu ada tiga. Yang pertama al-aqidan yaitu ada penjual dan pembeli, yang kedua al ma'qud yaitu ada uang dan barangnya dan yang ketika nah ini yang ketiga harus diperhatikan yaitu shighot akad. Shighot akad adalah bentuk isyarat dari penjual dan pembeli yang melakukan transaksi tanpa ada paksaan."
"Jadi, boleh saja kita menawar tapi ya sewajarnya jangan sampai ada pihak yang tidak ikhlas. Nanti ketika suplier atau penjual tidak ikhlas melepas dagangannya karena kita yang nawar terlalu rendah, bisa jadi barang dagangan yang nggak diridhoi Allah. Barangnya tetap halal tapi tetap tidak barokah karena kita dapatnya dengan cara bathil. Jual beli itu harus ada unsur ikhlas dari kedua belah pihak. Bisa dimengerti Ibu?"
"Alhamdulillah bisa, satu pertanyaan lagi boleh Mas?"
"Silahkan Bu!"
"Mas Nazril sudah ada jodohnya belum?" Tanya Bu Meta yang reflek membuat gaduh private room sebuah restoran itu.
"Alhamduillah kalau jodoh sudah ada Bu, tapi belum ketemu."
Keadaan bertambah gaduh lagi karena ada beberapa ibu-ibu yang menawarkan anaknya untuk dijodohkan dengan gue, ternyata gue masih jadi calon mantu idaman untuk ibu-ibu.
Bu Lukita segera menutup acara yang sudah berubah fungsi jadi biro jodoh itu, sebelum pamitan semua yang ada di sini berfoto untuk kenang-kenangan dan tentu saja gue yang jadi rebutan ibu-ibu buat foto. Hahaha nggak boleh sombong ya, tapi kenyataannya begitu bagaimana dong?
*****
Menjelang tengah malam gue baru saja sampai rumah sakit diantar oleh sopir Prof. Gue kesini karena mobil gue tinggal, semoga nggak ngambek gue tinggal seminggu di sini tanpa sentuhan.
Gue masuk ke kamar jaga UGD dulu untuk ngasih oleh-oleh. Ya meskipun yang beliin semuanya Bu Lukita, alhamdulillah rejeki jomblo agak sholeh.
Gue keasyikan ngobrol dengan teman-teman yang jaga malam sampai malas rasanya mau pulang dan gue putuskan menginap di sini saja, capek juga sih.
"Yang ini kok martabaknya anget sih Dok? Memang Bangkok ke Semarang dekat ya?" tanya Putri kelewat polos, beneran hiburan tengah malam ini anak.
"Itu tadi gue taruh ke mesin pesawat biar anget terus!"
"Memang boleh Dok?" tanyanya lagi.
"Gusti Put! Lo kemana sih pas pembagian otak? Coba lo baca, itu martabak depan Put! Masa lupa sama Pak Kardi? Sering ngutang juga!" ujar Teguh yang mulai nggak sabar dengan kepolosan Putri. Gue terlalu capek buat ikut bully dia.
Akhirnya Putri meringis menyadari kepolosannya. "Kan tadi dr. Nazril bilang oleh-oleh dari Bangkok! Eh tapi gue nggak pernah ngutang ya!!"
"Ini loh Put, yang ini!" ucap Teguh sambil melempar coklat ke arah Putri.
Putri dengan segala kepolosannya dan Teguh dengan segala kegemasannya, cocok sih menurut gue.
Meninggalkan mereka berdua yang masih terus saja berdebat, gue pergi ke masjid rumah sakit, gue inget tadi belum sholat isya.
Di masjid ada beberapa orang yang terlihat sedang khusyuk beribadah malam, gue wudhu dan masuk perlahan agar tidak mengganggu mereka. Sebelum mulai sholat gue sempat melirik hp karena sejak tadi Ralin belum balas pesan gue. Katanya dia lagi jaga tapi gue nggak lihat dia tadi di UGD.
Selesai sholat gue beneran sudah nggak ada tenaga, gue pilih langsung rebahan di situ juga. Gue hanya butuh tidur sebentar saja, satu jam cukup.
Ya Allah numpang tidur sebentar ya, maafin jomblo yang sangat lelah ini demi mencari sesuap nasi untuk istri hamba kelak.
Sayup-sayup gue dengar suara merdu orang yang sedang mengaji di balik sekat pemisah antara tempat sholat pria dan wanita. Gue menggeser tubuh agar lebih mepet dengan sekat, entah kenapa gue pengen tidur sambil mendengar lebih jelas suara merdu orang yang lagi ngaji itu. Bacaanya bagus dan fasih, berasa tambah nyaman saja gue tidurnya. Berasa adem banget mau tidur dibacain ayat-ayat quran, ya meskipun bukan buat gue.
Gue mulai nyaman dan memejamkan mata tapi kembali membukanya saat orang itu berhenti mengaji.
"Ada apa Put?"
Put? Putri UGD kah?
Gue menajamkan telinga.
"Ada pasien KLL? Siap, aku segera ke sana!"
Orang itu terdengar sedikit tergesa, gue pilih melanjutkan tidur dan gue rasa tidur gue akan semakin nyenyak setelah tahu siapa yang ngaji tadi. Ini syaraf bibir gue kenapa juga berkedut terus, jadi senyum-senyum sendiri kan!
BAB 12
PERHATIANNYA
Ralin point of view
Semalam aku tidak tidur karena harus nerus jaga malam menggantikan salah satu dokter yang berhalangan hadir. Sepulang kerja aku menepikan mobil di depan warung bubur yang nggak jauh dari rumah sakit. Aku masih mencari-cari kursi kosong, pagi-pagi begini sudah pasti penuh sesak. Alhamdulillah rejekinya Pak Raden.
"Pagi Mbak dokter cantik!" sapa pria tua yang sudah akrab denganku.
"Pagi Pak! Alhamdulillah penuh sampai saya nggak dapat tempat duduk!"
"Wah Iya, maaf ya Mbak. Bungkus saja apa mbak? Bapak kasih gratis deh!"
"Eh, jangan dong pak!" Aku menolak karena tidak enak. Masa aku dikasih gratis.
"Ralin!!"
Aku dan Pak Raden menoleh ke orang di ujung sana yang sedang memanggilku. Dia memberi isyarat agar aku duduk di depannya, masih ada yang kosong. Karena memang sudah lapar dengan senang hati aku terima tawarannya.
"Mas Nazril kapan pulangnya?"
"Semalem, saya tidur di rumah sakit kok! Sudah chat juga tapi nggak kamu bales!"
Aku terkejut dan langsung memeriksa ponsel. "Masa iya? Sorry Mas, belum ngecek hp dari tadi malam!"
Obrolan kami terputus karena pesanan bubur ayamku datang. Pria di depanku ini sudah habis melahap dua mangkok bubur, memang ya pria itu makannya kuat banget.
Mas Nazril kelihatanya belum mandi, terlihat dari kemejanya yang lusuh dan rambutnya yang setengah basah tidak di sisir, tapi sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya, aroma parfum maskulin darinya juga masih tercium dengan jelas.
Di tengah acara ngobrol kami ada seorang driver online yang berdiri di samping Mas Nazril. Driver itu sedang menunggu pesanan pelanggan, 7 porsi bubur ayam. Setelah kita selesai Mas Nazril membayar semua pesanan bubur, punya dia, punyaku dan punya driver tadi.
Aku memperhatikan setiap hal kecil yang dia lakukan, sederhana tapi sangat berkesan untuk orang lain. Driver online itu sangat berterimakasih pada kebaikan Mas Nazril.
Mas Nazril ini benar-benar paket komplit ya? Ketika aku menyuarakan rasa penasaranku, jawabannya justru semakin membuat aku kagum pada setiap ketulusannya.
"Dulu saya pernah kerja sambilan jadi ojek online Lin, saya tau banget rasanya dapat setiap rupiah keuntungan."
Kami berpisah karena parkir mobilnya cukup berjauhan, setelah mengucapakan terimakasih aku segera bergegas ke mobilku. Aku mengemudikan mobilku melewati jalan biasanya namun terasa tidak biasa karena mobil Mas Nazril sepertinya mengikutiku. Setauku rumahnya berbeda arah dengan rumahku.
Aku putuskan untuk menelpon nomornya."Mau kemana Mas?"
"Nganterin kamu sampai depan jalan masuk komplek!" jawabnya di seberang.
"Eh ngapain Mas? Nggak usah, nanti repot putar balik!"
"Nggak apa, masih pagi juga. Kamu tadi kelihatan ngantuk banget Lin! Sudah matiin telponnya lagi nyetir!"
Kenapa bisa dia seperhatian itu? Padahal kayaknya tadi cuek saja, malah lebih banyak mainan hp. Aku memang nahan ngantuk banget, berhubung perut lapar ya dipaksa makan dulu. Ya sudahlah, rejeki punya teman sebaik Mas Nazril.
Dan benar saja, dia mengikuti mobilku sampai jalan yang nggak jauh dari rumah. Aku berhenti sebentar untuk mengetik pesan terimakasih setelah melihat mobilnya putar balik. Sebenarnya ada rasa tidak enak, dia semalam baru saja sampai dari Bangkok dan harus capek-capek ngikutin mobilku.
Jadi penasaran sama wanita yang dulu meninggalkannya, apa alasannya sampai menyia-nyiakan pria sebaik Mas Nazril.
Sesaat sampai rumah tiba-tiba mood ku yang sedang baik bisa terjun bebas. Sebuah mobil hitam terpakir di depan rumah dengan begitu angkuhnya.
Aku menyeret langkahku masuk, menyiapkan diri untuk bertatap muka dengan papa. Aku sudah siap menerima kemarahannya, karena sejak waktu papa telepon minta aku ke rumahnya, aku selalu menghindarinya.
"Mbak Ralin, saya diperintahkan menjemput Anda!" ujar orang suruhan papa yang duduk di depan rumah.
Yang tadinya ada sedikit rasa senang karena bisa bertemu papa di rumah ini, nggak aku pungkiri ada juga rasa rindu untuk papa, tapi aku lupa bahwa papa tetaplah papa. Seseorang yang tidak mau repot menginjakkan kaki di rumah ini, apalagi hanya untuk bertemu denganku.
"Bilang ke papa, saya kesana kalau libur!"
"Perintah bapak harus menunggu sampai Mbak Ralin bersedia kesana!
Kalau sudah begini, aku memilih nurut. Tidak ada gunanya melawan papa. "Baiklah tunggu sebentar, saya ganti baju dulu!" Kalau aku debat, kasihan juga bapak ini pasti kena marah.
Dengan cepat aku bersiap untuk pergi kerumah papa melupakan rencanaku untuk tidur. Aku sempatkan menelpon mama untuk pamit dan memilih membawa mobil sendiri. Jarak rumah dengan rumah papa sekitar satu jam perjalanan, kenapa rasanya begitu cepat sampai ya?
Aku turun dan disambut oleh istri papa. Beliau menyalamiku dan berbasa-basi sebentar. Lalu biasanya masuk dan baru akan keluar saat aku mau pulang. Selalu seperti itu, aku mencoba maklum meskipun ada rasa tersisih. Mungkin perasaan beliau tidak nyaman bertemu dengan anak dari orang yang pernah menjadi madunya.
Pandangan kedua adalah hal yang paling menyakitkan untukku ketika di sini. Papa selalu bisa tertawa bahagia dengan kakak tiriku, sesuatu yang tidak akan pernah bisa aku lakukan. Mereka bisa sangat akrab dan hangat, saling bercanda, jauh berbeda ketika papa bersamaku. Seketika rasa sesak memenuhi dadaku mendapati kenyataan bahwa kebahagiaan papa bukan berasal dariku, aku bukan anak papa yang bisa membuatnya bangga.
"Oh, hai Ralin!"
Aku tersenyum lalu mendekati kakak tiriku. Tak jauh beda dengan istri papa, kakak tiriku ini juga hanya berbasa-basi sebentar lalu setelahnya akan pergi. Seperti saat ini, dia segera pamit untuk pergi setelah kedatanganku. Setelah kepergiannya, aku mencium tangan papa. Tak mengucapkan kata apapun sampai papa yang mulai. Papa menyodorkan satu map kepadaku.
"Kamu bisa mulai memilih dari sekarang!" ucap Papa dengan ekspresi yang bertolak belakang dengan tadi.
Aku hanya melirik map yang berisi brosur pendataran dokter spesialis lengkap dengan formulirnya dari beberapa universitas.
"Maaf Pa! Ralin nggak bisa."
"Maksud kamu apa Lin?" tanya Papa dengan nada yang mulai tidak senang dan aku hanya terdiam sambil terus menatapnya.
"Kamu itu bisa tidak melegakan hati papa sedikit saja? Papa itu mau yang terbaik buat kamu. Contoh kakak kamu itu, lulus dengan predikat cumlaude dan mau meneruskan spesialis urologi. Papa ingin kamu seperti kakak kamu, membuat papa bangga!"
"Tapi Ralin nggak bisa Pa! Ralin nggak seperti kakak, Tolong sekali ini ngertiin Ralin Pa!"
"RALIN!!"
Aku berpura-pura tuli agar tidak mendengar bentakan papa. Mataku sudah memanas dan papa semakin tidak suka dengan aku yang diam.
"Papa kenapa sih menyiksa Ralin seperti ini?" tanyaku lirih, sekuat tenaga aku menahan air mata. Aku lihat tatapan papa berubah.
"Papa kalau mau pergi dari hidup Ralin, pergi saja Pa! Pergi yang jauh jangan setengah-setengah seperti ini. Ralin tersiksa Pa!"
"Siapa yang menyiksa kamu? Kamu sendiri yang pengen jadi dokter!"
"Karena Ralin hanya ingin Papa bangga sama Ralin. Karena Ralin hanya ingin papa peluk saat Ralin juga memakai selempang cumlaude. seharian Ralin menunggu kedatangan Papa tapi Papa mungkin saja tidak tahu hari itu Ralin wisuda, papa tidak tahu Ralin kemana setelah sumpah dokter, papa nggak tau bagaimana Ralin jatuh bangun mendapat gelar dokter ini. Asal papa tahu semua itu Ralin lakukan hanya untuk mendapat sedikit saja perhatian papa!"
Aku menjeda sebentar karena menahan isak tangis.
"Ralin!" Panggil papa dengan nada yang tetap sama tapi tatapannya melembut.
"Ralin bukan kakak yang bisa menuruti semua kemauan Papa, pikiran Ralin tak sehebat kakak yang selalu bisa menjadi apa yang papa mau. Ralin nggak butuh nama Ralin papa tulis di daftar ahli waris perusahaan Papa seperti nama kakak, Ralin hanya mau Papa ada di saat Ralin butuh sosok ayah yang membimbing dan melindungi Ralin!”
Terjadi keheningan di ruangan ini. Yang ada hanya aku yang menangis dan papa yang masih bertahan dengan tatapan tajamnya.
“Boleh Ralin minta sesuatu Pa?"
Papa tetap menatapku tajm. "Katakan saja! Apa selama ini kurang yang Papa berikan?"
Ku tarik napas sebentar untuk menguatkan hati. "Biarkan Ralin hilang dari hidup papa. Tidak usah lagi Papa menyiksa Ralin dengan terus menganggap Ralin anak Papa. Biarkan Ralin hidup tenang dengan mama. Hentikan semua yang Papa berikan selama ini, Ralin nggak bisa menerima semua itu."
"RALIN!! CUKUP!! JANGAN KERAS KEPALA KAMU!"
Meskipun hatiku hancur mendengar benatakkan papa yang entah ke berapa ratus kali, aku tetap menjawabnya, "Ralin pergi Pa!"
Aku segera pergi meninggalkan papa yang terlihat kaget dengan ucapanku. Aku tidak peduli dengan papa yang terus berteriak memanggilku. Setelah sekian lama aku akhirnya bisa mengeluarkan semua hal yang membuat sesak dadaku.
BAB 13
TAKDIR ATAU KEBETULAN
Nazril Point Of View
Pasti pada sering dengar kan kalimat 'tidak ada yang kebetulan di dunia ini, bahkan daun jatuh pun sudah ditakdirkan oleh Allah'?
Gue yakin memang semua terjadi bukan karena kebetulan, melainkan sudah Allah takdirkan. Seperti saat ini entah kebetulan atau takdir tapi gue pilih sebagai takdir. Siang ini saat gue mau ke rumah saudara, nggak sengaja melihat mobil Ralin berhenti di tepi jalan agak sepi. Tanpa pikir panjang gue turun dan mengetuk kacanya.
Dari kaca mobilnya gue lihat Ralin sedang menempelkan dahinya pada setir. Gue ketuk lagi karena belum ada respon darinya.
"Mobilnya kenapa kok berhenti di sini?" tanya gue di ujung telepon.
Gue memutuskan menelponnya karena sepertinya dia sedang tidak baik dan tidak peduli dengan ketukan kaca. Ralin menoleh dan baru sadar dari tadi gue yang mengetuk pintunya.
"Lagi nunggu teman Mas! Maaf saya nggak bisa buka pintu!"
"Buka Lin! Saya tahu kamu sedang nggak baik-baik saja!"
Hening sejenak sebelum Ralin bicara lagi. "Saya boleh ngobrol Mas?"
"Boleh, ikuti mobil saya!"
Gue membawa Ralin ke sebuah taman yang cukup nyaman untuk ngobrol. Di siang hari begini biasanya tempat itu ramai digunakan mahasiswa belajar kelompok atau sekedar nongkrong karena di dekatnya ada sebuah kampus.
Gue mengajak Ralin duduk di sebuah kursi panjang, letaknya di tengah keramaian tapi cukup nyaman. Gue belikan dia minum dan tidak menanyakan apapun sampai dia akhirnya mau berbicara.
"Saya malu Mas, dua kali Mas Nazril lihat saya yang sedang nangis kacau gini."
"Apa dengan alasan yang sama?"
Dia tersenyum datar dan mengangguk. Sepertinya sesuatu telah terjadi dengan dia dan papanya. Penampilannya sedikit kacau, sepertinya lama banget nangis.
Setelah tenang, dia mulai cerita tentang papanya yang tidak tinggal dengannya dan selalu memaksakan kehendak padanya. Sampai tadi dia bertengkar dengan papanya. Gue seperti de javu dengan keadaan ini. Dulu gue juga pernah menenangkan wanita yang gue sayang karena bertengkar dengan papanya, saat ini pun juga.
Sebentar!
Apa gue terdengar seperti mengakui sebuah perasaan untuk wanita ini?
Jawabannya, mungkin iya. Gue akui berminggu-minggu gue dibuat galau oleh seorang Ralin. Gue selalu berusaha melawan gejolak hati gue untuk Ralin, tapi semakin gue lawan rasanya semakin kuat.
Puncaknya gue minta petunjuk ke Allah agar memberikan petunjuk apakah wanita ini yang gue cari selama ini. Dan tadi malam seakan gue dapat pencerahan dari Allah saat pertama kalinya mendengar dia ngaji dan membuat gue nyaman. Akhirnya setelah lebih dari 4 tahun, hati gue luluh oleh seorang Ralin.
Gue nggak hanya diam di tempat, gue sering diam-diam cari tahu tentang wanita ini. And thanks to Gisel yang mau kasih banyak info ke gue tapi nggak untuk kehidupan keluarganya, dia mau Ralin saja yang cerita sendiri ke gue. Dia saat ini masih di Australia dan tiap hari rajin banget tanya kabar Ralin.
Perlahan Ralin tenang dan mulai menceritakan pertengkarannya tadi. Dia menceritakan papanya yang memaksanya untuk mengambil pendidikan spesialis, papanya yang selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya sampai akhirnya dia memutuskan hubungan dengan papanya.
"Saya nggak tau apa yang kamu alami selama ini Lin! Tapi memutuskan hubungan apalagi dengan papa sendiri itu juga bukan pilihan tepat!"
Ralin tersenyum masam mendengar nasehat gue. "Saya sudah pikirin ini bertahun-tahun Mas dan saya yakin bisa hidup tanpa kasih sayang papa, selama ini pun saya nggak pernah dapat itu."
"Kamu tenangin diri dulu Lin, minta ketenangan sama Allah. Kamu lagi emosi banget!"
"Iya Mas, tapi yang saya pengen kalau papa mau pergi ninggalin saya dan mama ya pergi saja jangan ngikat kaya gini tapi kalau papa memang masih anggap saya anaknya ya saya mau papa bersikap seperti seorang papa pada umumnya, bukan cuma materi yang saya butuh Mas! Saya baru berani mengatakan semua ini setelah sekian tahun dan Saya rasa ini bukan hanya sebatas emosi Mas."
Ralin terlihat yakin sekali dengan keputusannya, gue bisa bayangin betapa sakit hati dan kecewanya dia selama ini.
"Suatu saat kalau nikah pasti butuh papamu Lin, terus apa rencananya?"
Tau peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui? Nah itu maksud dari pertanyaan gue untuk Ralin.
"Saya nggak pernah berani berpikiran tentang nikah Mas. Nggak ada gambaran sama sekali buat saya nikah."
Ya Allah, gue pernah dosa apa ya di masa lalu sampai jalan gue dapat jodoh susah banget seperti ini. Astaghfirullah!! Sepertinya jalan gue nggak akan mudah buat deketin Ralin.
Saat ini juga gue pengen ngatain diri sendiri, bisa-bisanya mikirin nikah di saat Ralin sedang susah seperti ini.
"Kenapa?"
Dia hanya tersenyum manis, dan sebenarnya tanpa tersenyum pun juga sudah manis bahkan dengan mata sembap pun nggak mempengaruhi wajah ayunya.
"Saya takut Mas, saya nggak akan sekuat mama kalau suatu saat saya nikah dan ngalami hal yang mama alami selama ini."
Gue hanya bisa tersenyum getir, antara prihatin dengan nasib wanita yang gue inginkan ini sekaligus prihatin dengan nasib gue sendiri. Sepertinya status kejombloan gue masih harus diperpanjang lagi.
Poor you Nazril!!
"Sekarang lakukan apa yang buat kamu nyaman Lin! Ketika kamu nyaman pikiran akan kembali tenang, saya cuma mau kasih tau mungkin sudah terlalu banyak yang membuat hati kamu sakit dan kecewa tapi nggak semua yang tante alami pasti akan kamu alami juga. Saya harap suatu saat kamu menemukan seseorang yang tepat di waktu yang tepat, syukur-syukur di waktu yang cepat!" ucap gue.
Gue contohnya!! Ha ha ketawa miris.
Dia tertawa mendengar kata-kata gue, syukurlah melihatnya tertawa membuat gue bisa sedikit lega. gue nggak boleh terlalu memaksakan perasaan ini padanya, gue harus pelan-pelan mengembalikan rasa percaya dirinya dan akhirnya bisa percaya sama gue.
"Makasih ya Mas, sudah mau jadi teman ngobrol saya yang nggak jelas ini."
Teman ngobrol, saudara! Okelah, soon to be teman hidup. Lihat saja!
"Saya sudah bilang Lin, di sekitar kamu banyak yang masih peduli. Jangan rendah diri lagi!"
Dia mengangguk lalu menghabiskan sisa minumnya.
"Kamu bisa hubungi saya kapanpun saat butuh teman ngobrol."
"Insyaallah." jawabnya sambil tersenyum, lama-lama bisa diabet gue ini. Kalau diabetnya bisa gue cegah, sedangkan dosanya? Numpuk terus dong!!
"Kamu sendiri bagaimana Mas? Belum ada rencana nikah?"
"Masih nunggu!" jawabku. Nunggu kamu mau, Lin!
"Masih belum move on ya dari sahabatnya dulu?" tanyanya dengan tertawa sedikit meledek.
Kenapa dia tahu? Oh gue paham, pasti ini kerjaannya si kunyuk!
"Edo ya yang cerita? Jangan percaya deh sama omongannya! Suka ngibul dia!"
Ralin terbahak lagi. "Saya sih lebih percaya Mas Edo."
Gue terhipnotis ikut tertawa ketika dia bisa tertawa lepas. Gue harap mulai saat ini gue bisa jadi alasan dibalik kebahagiaannya.
"Ralin?"
"Ya?"
"Bisa kasih saya kesempatan?"
BAB 14
RAHASIA
"Bang, biar aku saja yang jemput Ilyas!"
Gue meminta izin pada abinya Ilyas yang bernama Arkan.
"Memang kamu nggak kerja, Ril?" tanyanya.
"Jaga malam!"
Bukannya percaya, iparku ini malah mencibir. "Kok Arkan mencium bau bunga kantil ya Bi?" ujarnya pada abi tapi senyum jahilnya ke arah gue.
Gue dan kedua pria ini sedang bersantai di serambi masjid karena baru saja selesai ngaji pagi dengan santri putra.
"Memang ada kuntilanak Ar?" tanya abi gue tercinta.
"Ya bukan Bi! Kalau kuntilanak kan serem, kalau ini bunga wangi yang biasa dirangkai terus dipakai pengantin itu lho Bi!"
Gue memilih tetap memijit bahu abi, membiarkan Bang Arkan terus meledek. Gue sudah hafal banget dengan ekspresi-ekspresi penindas ala keluarga gue ini.
"Abi nggak akan nikah lagi lho!" jawab abi dengan nada yang nggak jauh beda dari Bang Arkan, nada perledekan.
Semua ini gara-gara beberapa hari yang lalu waktu gue lagi ngobrol dengan Ralin di taman, Bude Nilna-kakaknya abi ngelihat gue dan sekedar informasi saja, jiwa-jiwa pembully itu sudah mendarah daging di keluarga gue, hampir semua anggota paling suka dengan hal ledek meledek.
Bude Nilna diam-diam mengambil gambar gue dan Ralin lalu di kirim ke whatsapp grup keluarga besar, nah ini benar-benar grup yang paling besar. Semua anak-cucu-menantu simbah ada di dalamnya. Gue mah santai saja, sudah kebal sama yang begituan. Gue anggap sebagai tahap awal mengenalkan Ralin di keluarga gue.
Tapi yang bikin gue menciut nyalinya adalah setelah itu gue langsung di sidang sama abi dan umi. Mereka menanyakan perihal Ralin dan menasehati gue jangan main-main, inget dosa katanya. Sekalian saja gue ceritain tentang Ralin dan keadaanya.
Awalnya umi agak sangsi begitu, umi nggak mau gue salah langkah lagi kayak dulu. Tapi setelah gue jelasin, umi gue yang paling cantik tersenyum dengan sangat menawan lalu mendukung gue tapi tentunya dengan banyak sekali wejangan agar gue nggak dekat-dekat dulu dengan Ralin.
Gue bilang pada mereka, kasih gue waktu satu bulan untuk mengenalkan Ralin sebagai calon istri sesuai waktu yang Ralin kasih ke gue saat itu. Gue agak ragu juga, waktu satu bulan itu singkat banget, bismillah saja jodoh nggak kemana. Serahkan pada Sang Pemilik kehidupan dan yang terpenting agar Ralin ngerasa nyaman nggak terbebani. Kasihan hidupnya selama ini sudah cukup berat.
*********
"Nazril!!"
Gue menoleh lalu mengangguk sopan waktu melihat Tante Rani alias mamanya Ralin mendekat.
"Jemput Ilyas?"
"Iya Tante, tapi kok belum keluar ya?"
"Seminggu sekali ada kegiatan tambahan Ril dan hari ini sepertinya belajar alat musik tradisional. Masih satu jam lagi selesainya!" terangnya.
Nggak mungkin Salma atau Bang Arkan nggak tau jadwal sekolah anak mereka sendiri. Wah ternyata gue dikerjain! Salma adik gue yang polos sudah benar-benar terkontaminasi sejak menikah dengan Bang Arkan.
"Ke rumah Tante dulu yuk! Tante lagi santai sendiri ini, Ralin praktek di apotek."
Pucuk dicinta ulam pun tiba, nggak apalah gue dikerjain pasangan itu, ada untungnya juga gue jadi bisa modus ke calon mertua. Ha ha ha
Ternyata jalan gue nggak susah-susah amat. Alhamdulillah ya Allah!
Tante Rani mengajak gue ngobrol di ruang makan sekalian makan siang dan semua ini Ralin yang masak. Duh Gusti, sudah cantiknya berlebihan, pinter masak, sayang anak lagi. Wife material banget!
Gue dan Tante Rani awalnya ngobrol ringan sampai akhirnya gue mantapkan hati untuk meminta izin pada beliau untuk mendekati Ralin. Gue yakin Ralin sedikit banyak sudah cerita sama mamanya. Dan Tante Ralin menyambut hangat niat baik gue. Alhamdulillah
"Kamu tau nggak kalau sebenarnya Ralin nggak ingin jadi dokter?"
Gue hanya mengangguk, bukan nggak mau jawab soalnya mulut gue lagi ngunyah nasi kebuli masakan Ralin, enak banget.
"Tau apa yang Ralin inginkan?" tanya tante Rani lagi.
"Ralin suka masak!" jawab gue mantap.
Tante Maharani tersenyum, teduh sekali. Gue merasa ada aroma bunga pengantin seperti kata Bang Arkan.
"Bukan Ril!"
Wah aromanya hilang!
"Memasak itu hanya hobinya Ril, di saat dia bahagia atau sedih pasti mengekspresikannya dengan memasak karena dia nggak ada teman untuk berbagi. Bukan nggak ada yang mau mendekat, tapi Ralin terlalu tinggi membentengi dirinya." jawab Tante Rani.
"Selama ini dia sering banget masak buat di bawa ke rumah sakit. Itu ekspresi sedihnya Tante?" tanya gue.
"Lebih banyak sedihnya mungkin Ril, tapi ada kok saat dia bahagia salah satunya saat pertama kali ada yang minta dibawain salad.” ujarnya dengan senyum penuh arti. Gue jadi sedikit melayang, semoga cuma gue yang pernah pesan salad ke Ralin.
"Den ayu kelihatan seneng Mas waktu itu sampai Bibik godain buat pacarnya ya? Tapi den ayu cuma jawab senang karena katanya ada yang mau jadi temannya." sahut Bik Lasmi yang mengantar minum.
Ralin dan mamanya sudah biasa banget dengan kehadiran Bik Lasmi, beliau yang mengasuh Ralin sejak masih bayi. Tante Rani juga memperlakukan Bik Lasmi layaknya ibunya sendiri.
"Nggak dikasih pelet kan Bik waktu itu? Soalnya kok saya jadi ketagihan!" canda gue.
Wanita paruh baya itu tertawa."Bibik yang kasih Mas!"
Kami tertawa bersama mendengar candaan Bik Lasmi. Lalu setelah beliau pergi, Tante Rani melanjutkan ceritanya.
"Jujur Tante punya feeling bagus untuk kamu Ril, Tante percaya sama kamu, tapi pesan Tante jangan mendesak Ralin ya! Biarkan dia membuka hati secara perlahan."
Hati gue menghangat, tentu dengan yakin gue mengangguk. "Insyaallah Tante, yang penting bagi saya adalah agar Ralin merasa nyaman dan aman dengan saya."
"Terimakasih Nak! Tante sangat bersyukur karena Ralin bertemu kamu. Tante bisa lihat kalau mata Ralin berbeda saat memandang kamu mungkin dia nyaman ngobrol sama kamu, setidaknya dia seperti mau membuka diri tidak seperti beberapa lelaki yang pernah Tante coba jodohkan sama dia, termasuk Reza."
"Reza? Dokter yang kerja di rumah sakit?"
Tante Rani mengangguk. "Iya, tapi ya Ralin nggak pernah menganggap lebih!"
Gue hanya mengangguk sambil mengingat bagaimana tingkah Reza selama ini. Ternyata pernah dijodohkan.
"Dulu Tante menikah dengan duda anak satu Ril, ya papanya Ralin itu. Tante dijodohkan oleh ayah Tante. Kehidupan keluarga kami normal-normal saja walaupun hasil perjodohan sampai akhirnya kami punya anak kembar."
"Kembar?" tanya gue tambah tertarik dengan cerita ini.
"Iya, Rembulan dan Ralintang. Tapi Allah menakdirkan hal lain, waktu umur 10 tahun Rembulan meninggal karena sakit, papanya Ralin terus menyalahkan Tante yang sibuk bekerja sampai lalai menjaga anak. Pertengkaran selalu terjadi sampai akhirnya 1 tahun kemudian kami memutuskan bercerai. Ralin sangat terpukul dengan kepergian kakak kembarnya dan tambah terpuruk lagi karena papanya meninggalkan kami dan lebih memilih tinggal bersama anak pertamanya. Dan dua bulan setelah resmi bercerai, papanya Ralin rujuk kembali dengan istri pertamanya dulu."
Tante Rani menyeka air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya lalu kembali bercerita.
"Bulan dan Ralin dulu anak yang sangat aktif, alhamdulillah prestasi mereka selalu membanggakan orangtua. Rembulan suka bermain musik kalau Ralin kelihatan hobinya memasak sejak kecil. Mereka berdua punya cita-cita keliling dunia karena papa mereka selalu menjanjikan mengajak mereka keliling dunia sambil kerja. Entah apa yang papanya katakan sampai mereka berdua sangat terobses,"
"Ralin mengalami kejadian demi kejadian yang buruk sejak itu Ril. Pulang sekolah dia selalu nangis dan cerita kalau diejek dan diajuhi teman-temannya karena berita perceraian Tante cukup heboh waktu itu dan ternyata berefek besar untuk mental Ralin,"
"Tante dan Ralin sama-sama jatuh waktu itu Ril, beruntung ada orang tua dan saudara-saudara yang selalu menguatkan termasuk Gisel dan keluarganya. Dulu kelurga Gisel yang selalu menjaga dan menghibur Ralin ketika Tante harus berjuang mendapat hak asuh Ralin karena keluarga Tante semuanya di Jogja."
"Papanya bersikeras mengasuh Ralin tapi Tante nggak mau. Akhirnya dengan segala upaya Tante yang memenangkan hak asuhnya. Demi Ralin akhirnya papanya setuju asalkan masih boleh bertemu dan ikut membesarkan Ralin. Papanya memang selalu mencukupi semua kebutuhan Ralin soal materi dan kalau Tante tolak dia mengancam akan merebut hak asuh Ralin. Tapi yang sangat menyiksa adalah papa Ralin tidak pernah hadir ketika Ralin butuh sosok ayah. Papanya Ralin tipe orang yang keras, dia menunjukkan rasa sayang dengan sedikit kaku. Tante juga marah karena papanya selalu membandingkan dia dengan kakak tirinya sebagai motivasi agar Ralin jadi orang berhasil. Tapi yang ada Ralin malah semakin terpuruk karena papanya yang tak adil memperlakukan antara dirinya dan kakak tirinya."
"Akhirnya tante harus berusaha kuat, Tante melupakan sakit hati Tante sendiri. Ralin depresi berat dan harus terapi ke psikiater, dia selalu menutup diri dan menolak orang-orang baru untuk mendekat. Tante dan keluarga juga keluarga Gisel berusaha kuat mengembalikan Ralin. Sampai akhirnya, kakak Tante yang ada di Jogja menyuruh Tante pindah kesana dan memasukan Ralin ke pesantren, mencoba mengembalikan kenyamanan batin Ralin."
"Alhamdulillah, jalan Allah memang tak selamanya mulus bagi kita. Tapi Tante yakin Allah selalu menyiapkan yang terbaik untuk kita. Tante nggak pernah mengharap prestasi tinggi dari Ralin, dia kembali semangat dan ceria lagi itu sudah membuat Tante bahagia. Perlahan Ralin mulai bangkit, sampai akhirnya dia semangat lagi dan dia memberikan sesuatu yang tidak pernah Tante bayangkan."
"Apa Tante?"
"Dia berhasil menghafalkan alquran."
Masyaallah!
Gue benar-benar surprise dengan kenyataan ini. Jiwa gosip gue ternyata belum begitu baik. Gue beneran nggak tau kalau Ralin adalah seorang hafidzah, penghafal quran.
"Anak pak kyai tempat Ralin ngaji yang bernama Zahwa adalah seorang hafidzah dan dia cukup dekat dengan Ralin. Dia kuliah di Mekkah dan bisa pergi ke beberapa negara di dunia karena berkah alquran sebagai pengajar. Itulah yang menjadi motivasi Ralin. Sejak kecil Ralin selalu ingin keliling dunia karena janji papanya yang terpatri di otakknya. Akhirnya dia menemukan cara itu. Ralin berhasil menghatamkan hafalannya waktu dia lulus SMA dan dia memutuskan masuk kuliah yang sama dengan Zahwa dan sudah bersiap karantina tapi mimpinya kandas karena papanya tidak setuju."
"Mungkin Ralin sangat ingin diperlakukan sama seperti papanya memperlakukan kakak tirinya. Hari itu dia bertemu dengan papanya, entah apa yang dijanjikan papanya sampai akhirnya Ralin memutuskan untuk masuk kuliah dokter seperti kakaknya. Tante sudah meyakinkan Ralin untuk tidak terpengaruh dengan papanya dan mengejar apa yang menjadi cita-citanya, tapi sepertinya dia sudah yakin. Akhirnya Tante dan Ralin pindah ke sini lagi sampai sekarang."
"Papanya Ralin tidak pernah absen kirim uang bulanan pada Ralin meskipun Ralin tidak pernah mau memakainya, alhamdulillah Ralin dan Tante diberi kecukupan rejeki untuk hidup kami. Ralin selalu menyumbangkan jatah bulanan dari papanya ke panti asuhan dan selalu atas nama papanya. Tante sampai nangis mikirin perasaan Ralin, sebenarnya bagaimana hati Ralin itu. Tante khawatir kalau batinnya terus terluka. Papanya banyak membuat dia sakit hati dan kecewa tapi Ralin tetap mencintai dan mengharapkan papanya bisa kembali padanya."
Gue dan Tante Rani sama-sama menarik nafas mencoba mengganti rongga dada yang sudah penuh sesak dengan kenangan pahit menjadi terisi udara segar. Gue nggak tau seberat itu masa lalu yang Ralin dan mamanya alami. Gue semakin yakin untuk membahagiakan Ralin. Gue harap dia bisa sedikit membuka hati dan pikirannya untuk dunia luar.
"Tante punya satu hal lagi Ril!
“Apa itu Tante?”
“Tante butuh bantuan kamu Ril!"
BAB 15
BERJUANG BERSAMA
Ralin Point Of View
"Lin satu pasien lagi ya!"
Aku mengangguk lemas, ini hari apa ya? Perasaan pagi sampai siang ini kok pasien banyak banget. Apotek ini berada di pinggiran kota jadi cocok banget buat alternative periksa daripada ke rumah sakit.
"Keluhannya?" tanyaku pada Mbak Menik perawat yang membantu di apotek ini. Mbak Menik masih keluargaku. Simbah kami bersaudara.
"Katanya meriang! Suruh masuk ya?"
"Okay!"
Mbak Menik memanggil pasiennya sementara aku melirik hp sebentar, tadi sepertinya Mas Nazril telepon tapi nggak sempat aku angkat.
"Tanteeeeee!!!"
Aku menoleh dan cukup surprise dengan kedatangan dua pria yang cukup menawan ini.
"Loh ini pasiennya Mbak?" tanyaku pada Mbak Menik sambil mendekati Ilyas lalu aku gendong.
"Iya Lin, kenal?"
"Kenal Mbak. Sudah tinggal saja kalau Mbak Menik mau pulang!"
"Baiklah, pulang dulu ya!"
"Hati-hati Mbak!"
Ilyas yang ada di gendonganku sibuk dengan es krimnya, sedangkan papa mudanya sibuk membuat aku salah tingkah, karena sejak tadi tidak berhenti menatapku.
"Jadi siapa ini yang meriang?" tanyaku mengalihkan perhatian si papa muda agar berhenti senyum-senyum.
"Saya Bu dokter!" jawab Mas Nazril lalu duduk di kursi pasien. Aku menurunkan Ilyas dan duduk di kursiku. Sebelumnya aku memakai sarung tangan dan aku ambil seperangkat alat cek darah.
"Siniin jarinya Pak!"
Aku menarik tangan Mas Nazril lalu aku usapkan kapas alkohol pada jari tengahnya.
"Eh mau ngapain Lin?"
"Cek gula darah Bapak!"
"Nggak--"
Dia Belum selesai bicara tapi aku sudah terlanjur memencet tombol lancet ke jarinya. Dia berteriak kaget, lumayan lebay menurutku.
"Gusti, Lin! Tega amat, sakit ini!"
Aku hanya tertawa, salah sendiri ngerjain orang!
"Eh coba lihat, gula darah 88 agak kurang ya, terus tadi asam urat 5,7 aman. Kita tunggu, cholesterol? Innalillahi cholesterolnya 268!" Aku memekik kaget. Ini orang makannya pasti nggak di kontrol.
"Itu sudah turun. Bulan lalu 290!" jawabnya sambil meringis tanpa beban.
"Ya Allah Mas, itu cholesterol apa cita-cita sih? Tinggi amat! Kontrol deh pola makannya!”
Dia menggeleng sambil mengiba. "Belum ada yang nyiapin makan sehat jadi ya asal kenyang saja! Kamu sih!!"
"Kok aku? Situ sekolah dokter bertahun-tahun buat apa?" protesku.
"Buat nyari dokter cantik lah!" jawabnya asal sambil mencuci tangannya di wastafel.
Pasti dokter cantik yang buat dia susah move on!
"Tante, Ilyas mau juga!" ucap Ilyas sambil menyodorkan tangannya.
Aku tertawa gemas lalu mencubit pipinya pelan. "Jangan sayang, Ilyas masih kecil masih normal semua nggak kayak yang sudah tua!"
Orang tua di depanku ini nggak terima langsung mengibaskan tangannya yang masih basah ke arahku.
"Ck! Jorok Mas!!"
"Kamu belum makan siang kan Lin?" tanyanya.
"Belum, tadi pasiennya banyak banget!"
"Makan yuk!"
Aku menggelenng ketika ingat jadwal jaganya hari ini. "Sudah jam 2 ini Mas, kamu jaga malam kan? Mending buat istirahat saja!"
"Nggak apa, ayo lah!"
Akhirnya aku mengiyakan ajakannya, karena kalau tidak dia akan terus mengoceh. Semakin kenal dengannya, semakin banyak sifat-sifat konyol yang aku tahu. Aku dan Ilyas mengikuti mobilnya, tadi anak ini memilih ikut denganku.
Beberapa saat kemudian kami sampai di restoran, dia mengajakku ke restoran yang waktu itu kita bicarakan. Dengan sikap tengilnya, Mas Nazril menyapa pegawai di sini. Kok sepertinya sudah akrab banget.
"Ilyas sering kesini?" tanyaku pada Ilyas.
Aku dan Ilyas menunggu Mas Nazril yang hilang entah kemana, sambil duduk di taman kecil yang ada di tengah restoran ini. Aku suka sekali konsep di sini, terasa asri dan sejuk. Berasa di daerah pegunungan walaupun letaknya di tengah kota.
"Iya Tante, ini punyanya Abi Iky!"
"Siapa itu?"
"Abinya Mas Alfa!" jawab Ilyas dengan polosnya. Ya nggak salah juga sih.
Alfa? Sepertinya Mas Nazril pernah cerita kalau tidak salah keponakannya juga. Berarti restoran ini punya kakaknya Mas Nazril? Pantes bilang kenal.
Tidak lama kemudian Mas Nazril muncul dan mengajakku serta menggendong Ilyas naik ke lantai dua. Sepertinya ini ruang khusus untuk keluarga karena tidak ada pengunjung, di sini suasananya tak kalah nyaman.
Aku dan Mas Nazril duduk sedangkan Ilyas sudah berlari-larian. Tak lama kemudian datang sepasang suami istri yang terlihat serasi sekali. Sang istri sedang hamil dan sang suami dengan setia menggandengnya.
Kalau biasa melihat Mas Nazril yang ganteng, yang ini juga nggak kalah ganteng, sang wanita pun cantik, adem banget ngelihat wajahnya. Mas Nazril langsung memperkenalkan kami sehingga aku tau nama mereka Mbak Cut Syifa dan Bang Iky yang ternyata juga seorang dokter.
"Ralin Sudah pesen makan?" tanya Mbak Syifa.
"Belum Mbak!"
"Kamu ini bagaimana sih Ril!" protesnya pada Mas Nazril.
"Maaf Mbak Cut! Suka lupa kalau lagi bahagia!" jawab mas Nazril dan segera mendapat lemparan bantal sofa dari Bang Iky.
"Jadi kamu juga dokter ya Lin?" Tanya Bang Iky.
"Iya Bang, masih baru kok!" jawabku agak canggung, Bang Iky kelihatannya sangat berwibawa tapi sekali-kali juga bisa konyol mengimbangi Mas Nazril.
Pria itu mengangguk dan menyadari bahwa aku canggung. Akhirnya dia beralih ke mas Nazril. "Eh Ril, jadi kan ngambil rumah yang deket Abang?"
"Nggak tau Bang, nggak kayaknya."
"Kenapa? Lumayan miring harganya."
"Aku cari istri dulu deh ya, baru tanya istriku mau rumah di mana. Mubadzir nanti!" Mas Nazril menjawab Bang Iky sambil melirikku. Ini orang selalu punya pikiran yang sedikit nyleneh.
Bang Iky memukul lengan mas Nazril. "Kok kamu nggak pinter-pinter sih! Ya buat investasi dong, nggak harus ditempati!"
"Invest hal lain saja Bang! Tapi kalau rumah nggak ah, sesuai prinsip awalku saja!"
"Terserah kamu Mblo!" Sahut Bang Iky sambil geregetan.
Kami melanjutkan obrolan sambil makan, Mas Nazril hanya pesan minum katanya sudah makan nasi kebuli dan ternyata di rumahku! Curi start sih dia!
Aku merasa sangat nyaman ngobrol dengan mereka, Mbak Syifa orangnya ramah banget, Bang Iku juga ternyata semakin lama ngobrol orangnya nggak kaku malah kocak kalau lagi berdebat dengan Mas Nazril. Terkadang juga sangat manja dengan Mbak Syifa. Aku kira tadi Mbak Syifa hamil anak kedua, tapi ternyata anak ketiga.
Aku bisa melihat sosok Mas Nazril yang begitu berbeda dengan yang di rumah sakit. Kalau di rumah sakit dia seringnya terlihat serius dan berwibawa, saat bersama orang-orang terdekat dia bisa berubah banget. Dan aku merasa sedikit tersanjung karena dia selalu bertingkah layaknya dengan keluarganya saat bersamaku.
Aku jadi teringat kejadian beberapa waktu yang lalu di taman.
"Ralin?"
"Ya?"
"Bisa kasih saya kesempatan?"
"Untuk?"
"Masuk dalam hidup kamu!"
Aku lumayan tercengang, masih ambigu dengan ucapannya terlebih lagi dengan sapaanya yang tiba-tiba berubah. Dan seperti terbawa suasana aku pun mengikuti sapaannya.
"Hidupku nggak enak Mas!" Jawabku sambil tertawa meskipun terdengar hambar.
"Justru itu, aku mau kamu juga bahagia untuk hidup kamu tapi dengan adanya aku di sampingmu!"
Aku mencari-cari sikap bercandanya tapi tidak ada. Dia terlalu serius.
"Kamu jangan merasa terbebani Lin! Aku meminta kesempatan untuk kamu mau membuka hati. Aku akan berusaha semampuku untuk menembus sekat yang selama ini kamu bangun dan mengubah mindset kamu tentang pernikahan."
"Tapi Mas-"
"Target utamaku memang ingin kamu jadi istriku Lin! Tapi kembali ke awal kenyamanan dan kebahagiaan kamu yang paling utama. Berumah tangga bukan hanya tentang keinginanku saja, aku harus juga mengerti keinginan pasanganku. Aku akan ikhlas menerima semua keputusan kamu pada akhirnya."
Waktu itu aku melihat pancaran ketulusan dari matanya. Pernah sedikit terlintas di pikiranku bahwa hal ini akan terjadi mengingat akhir-akhir ini Mas Nazril seperti gencar menghubungiku, tapi aku selalu menampik semuanya, aku terlalu takut untuk kecewa suatu saat nanti yang mungkin saja itu hanya ketakutanku saja.
Ada semacam kebimbangan di hatiku, satu sisi aku sangat-sangat takut untuk membuka hati dan sulit percaya dengan yang namanya laki-laki tapi satu sisi sosok Mas Nazril bisa membuatku berpikir ulang tentang ketakutanku itu. Mas Nazril menawarkan sebuah kebahagiaan dan kenyamanan yang selama ini nggak aku dapat dari papa atau siapapun, tapi aku masih sangat ragu untuk melangkah.
"Kasih aku waktu Mas!"
Dan nggak tau kenapa dengan Mas Nazril aku masih harus butuh waktu untuk memikirkan semuanya padahal dengan laki-laki yang mama kenalkan sebelumnya aku nggak butuh waktu sampai 1 jam untuk menolaknya secara sopan.
"Bukan kamu yang butuh waktu Lin! Tapi aku yang minta waktu kamu, kasih aku waktu untuk membuat kamu percaya sama aku. Kasih aku waktu untuk membuat kamu berani melangkah dan meruntuhkan tembok ketakutan yang kamu bangun sendiri. Bantu aku bagaimana caranya bisa meluluhkan hati kamu, aku butuh bantuan kamu untuk bisa mencapai tujuan ini."
Mendengar penuturannya waktu itu tanpa sadar membuatku menangis lagi di hadapannya, selama ini aku nggak pernah berani memikirkan tentang pernikahan. Bayangan tentang rumah tangga orangtuaku membuatku sama sekali tidak mau berhubungan dengan yang namanya laki-laki terlebih untuk menikah. Tapi aku bisa apa saat ada seseorang yang datang dan dari awal aku sudah tertarik dengan kebaikan dan ketulusannya.
"Apa kamu yakin Mas? Kamu tahu kan jawaban terburukku?"
"Setidaknya kalau aku tidak bisa memperistri kamu, aku bisa membuat kamu lebih terbuka dan tidak lagi menutup diri untuk orang lain."
"Kamu sudah beneran melupakan cinta pertamamu itu?"
Dia terlihat kaget dengan pertanyaanku, aku juga heran kenapa pertanyaan itu keluar dari mulutku. Jujur, hal itu selalu membuatku penasaran. Dia terdiam cukup lama dan membuatku yakin kalau dia belum benar-benar melupakan wanita itu.
"Satu bulan Mas! Kita sama-sama berjuang untuk tujuan ini, kamu bantu aku biar bisa membuka hati dan aku bantu kamu untuk melupakan sepenuhnya masa lalu kamu. Pada akhirnya jika kita berhasil kita akan saling percaya untuk melangkah bersama. Kita serahkan sama Allah Mas, ikut kemana Allah akan menakdirkan kita!"
Aku memang terdengar egois, mama pernah menikah dengan papa disaat papa belum bisa lupa dengan istri pertamanya dan pada akhirnya pernikahan mama dan papa berakhir kan? Aku nggak mau seperti itu.
"Insya Allah Lin! Yang terpenting kamu tidak terbebani dengan hal ini."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
