
Cerita ini terinspirasi dari sebuah puisi milik penyair legendaris, Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Gadis Kecil” dan Mi kebanggaan Masyarakat Indonesia Indomie.
Jika bukan karena sekardus indomie yang ada di tanganku ini dan telepon yang mengabarkan kalau Ibuku sakit, aku tidak akan pulang. Sudah hampir lima tahun aku tidak menginjakkan kakiku di kampung halaman. Alasannya klise, aku belum berhasil jadi 'orang' di Jakarta. Bahkan bisa dibilang aku gagal menghidupi diriku sendiri. Aku pasti digilas kelaparan jika tidak ada Indomie sebagai penyelamat hari-hariku. Indomie yang sama akan aku hadiahkan untuk keluargaku di kampung. Aku berharap dengan oleh-oleh sekardus Indomie ini bisa meningkatkan nilaiku sebagai perantau di Ibukota. Paling tidak ada buah tangan yang aku bawa, tanda aku cukup berhasil mengadu nasib. Meskipun kenyataannya tidak begitu.
Adikku, Suram sangat menyukai Indomie goreng. Jangan tanya kepadaku kenapa namanya Suram. Ayah dan Ibuku hanya buruh tani yang tidak lulus SD. Mereka menamai anaknya sebagai pengingat keadaan ketika dia lahir. Saat Suram lahir keadaan ekonomi keluarga kami sedang suram-suramnya. Ayah dan Ibu tak mampu pergi ke Dokter dan Suram lahir ditolong dukun beranak. Nama menjadi semacam kutukan untuk Suram. Adik perempuanku itu jarang tersenyum dan selalu tampak bersedih. Aku ingat, salah satu momen yang bisa membuatnya sumringah adalah ketika kutawarkan sepiring indomie goreng dengan telur ceplok padanya. Senyumnya begitu cantik, secantik bunga mawar yang merekah.
Aku sengaja datang di terminal ini lebih awal dari jadwal keberangkatan Bus. Karena jarang pulang, aku merasa tidak familiar dengan kondisi terminal. Aku takut ada perubahan sistem keberangkatan, perubahan rute, atau perubahan yang lainnya yang bisa membuatku gagal naik bus hari ini.
Aku mengambil duduk di dekat loket setelah memastikan mendapat tiket yang sesuai. Di dompetku hanya tersisa selembar uang lima puluh ribuan dan selembar lima ribuan. Hanya itu yang tersisa setelah aku gunakan untuk membayar tiket bus. Kupandang sekardus Indomie yang kuletakkan di dekat kakiku. Barang itu satu-satunya yang bisa sedikit membuatku bersemangat. Kualihkan pandangan mataku jauh ke tempat bus-bus berjejer. Langit tampak gelap, padahal masih jam tiga sore. Meskipun begitu suasana terminal tetap ramai. Aku tidak tahu hendak kemana semua orang-orang ini? Apa hendak bertemu keluarganya seperti aku? Atau pekerjaan menuntut mereka pulang pergi naik bus dari terminal ini?
Sebuah pesan di ponsel ku membuatku teralihkan dari pemandangan di terminal. Pesan dari Adikku, Suram.
“ Sampai mana Mas Mendung?”
Ya! Namaku Mendung. Mendung, seperti langit saat ini. Lebih tepatnya namaku Awan Mendung. Jika sedang kesal atau ketika merasa diperlakukan tidak adil oleh semesta, aku akan menyalahkan orang tuaku karena menyematkan nama ini padaku. Mendung, tidak tahukah ayah dan ibu? Bagi para pujangga mendung berarti kesedihan. Apakah karena itu hidupku selalu dinaungi kesedihan?
“Masih di terminal, menunggu bus jam lima. ” jawabku singkat.
Kualihkan kembali mataku ke arah bus-bus. Hujan sudah turun. Lumayan deras. Mataku tidak sengaja tertuju pada seorang gadis kecil berkaos putih usang. Gadis kecil itu mungkin berusia sepuluh atau sebelas tahun. Rambutnya dikuncir kuda. Wajahnya begitu ceria, berbanding terbalik dengan pakaiannya yang kusam. Tangan kanannya menggenggam payung besar berwarna merah. Payung inilah yang pertama menarik perhatianku. Warnanya sangat mencolok mata, warna merah sempurna seperti warna darah segar.
Ukuran payung itu tampaknya terlalu besar dibandingkan tubuh si Gadis kecil. Beberapa kali gadis kecil itu tampak terhuyung ketika payung besar itu ditiup angin. Gadis kecil itu mondar-mandir menawari orang-orang yang lewat memakai payungnya. Seorang Ibu gemuk berbaju kuning menyala yang baru turun dari Bus terlihat memanggil gadis itu. Si gadis kecil itu segera menghampiri si Ibu dan menyerahkan payung pada Si Ibu, membiarkan tubuh cekingnya dilibas air hujan. Beberapa saat kemudian Gadis kecil dan Ibu berbaju kuning itu sudah berada kira-kira lima meter dari tempatku duduk. Setelah mendapatkan jasa ojek payung, Ibu itu segera memberikan sejumlah uang ke genggaman si gadis kecil. Dari tempatku duduk aku bisa melihat gadis itu tersenyum secerah matahari saat terik. Dimasukkannya uang itu ke dalam tas kecil yang dia selempangkan di dadanya.
Senyum di wajahnya tidak bertahan lama. Segerombolan pemuda berwajah sangar kemudian mengeroyok gadis itu di pojok terminal yang sepi. Gadis itu tampak ketakutan dan memegang erat-erat tas kecilnya yang berwarna biru muda. Seorang pemuda menarik paksa tas itu dari tangan si gadis kecil. Pemuda-pemuda jahat itu meninggalkan si gadis kecil sendirian begitu mendapatkan tasnya. Gadis itu menangis sesegukan. Air mata turun berderai-derai seolah ingin menyaingi tangisan langit.
Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
Di tangan kanannya bergoyang payung
Tangan kirinya mengibaskan tangis.
Tiba-tiba kau teringat satu puisi dari penyair favoritku, Sapardi Djoko Damono. Kenapa situsinya begitu mirip dengan gambaran puisi penyair legendaris itu? Aku terdiam mematung. Dari tempatku berdiri, bisa saja aku berlari lalu menjadi pahlawan bagi gadis itu. mengusir pemuda-pemuda lusuh itu dengan tiga atau empat pukulan. Tapi aku sedang tidak ingin mencari masalah. Pemuda – pemuda itu bisa saja punya komplotan yang lebih besar. Sudah cukup penderitaanku yang tidak punya uang. Aku tidak ingin menambah penderitaan lain misalnya muka yang babak belur. Tapi sikap pengecutku menjadi bumerang bagi hatiku yang lemah ini. Dari tempatku duduk, aku masih membayangkan wajah sedih gadis kecil itu. Hatiku yang rentan ini juga mulai bertanya-tanya. Apakah gadis itu punya orang tua? Apakah yang akan dimakan gadis itu sore ini kalau seluruh uangnya habis? Aku mulai gelisah. Mataku mencari-cari lagi gadis kecil itu. Tidak kusadari kaki ini sudah berputar-putar di sekeliling bangunan terminal mencarinya.
Gadis kecil itu kutemukan sedang berdiri terpaku di depan sebuah warung di sebelah timur terminal. Matanya memandang sendu ke dalam. Beberapa kali kulihat dia menelan ludahnya.
“Kamu lapar ya Adek?” tanyaku padanya. Gadis kecil itu diam saja, menggigit bibir. Matanya memancarkan ragu.
“Ayo masuk. Kamu mau makan apa? Saya yang bayar.” Aku pasti sudah gila. Rasa kemanusiaanku ini menutupi mata logika yang aku punyai. Aku tentu masih ingat di dompetku kini hanya tersisa uang lima puluh lima ribu. Masih ragu, gadis kecil itu mengikuti masuk ke dalam warung. Kami duduk di sebuah bangku panjang yang kosong.
“Mau makan apa?” tanyaku sekali lagi.
“Indomie goreng.” Ucapnya lirih. Nyaris seperti bergumam.
“Indomie goreng? “ tanyaku memastikan. Gadis kecil itu mengangguk. Diam-diam aku bernapas lega. Indomie selamanya bersahabat dengan dompetku yang tipis ini.
Dua piring indomie goreng dengan telur ceplok mengepul di meja. Dengan cepat gadis kecil itu menyuapkan sendok demi sendok indomie goreng ke mulut kecilnya.
“Terima kasih Mas. Indomienya enak sekali. Seperti buatan ibuku dulu.” Katanya sambil tersenyum seterang matahari. Bagaimana dia bisa kembali tersenyum secerah itu? Sudah lupakah dia dengan uangnya yang direnggut pemuda-pemuda tidak bertanggung jawab tadi.
“Kenapa dulu? Memangnya sekarang ibu kamu tidak pernah membuatkan indomie lagi?” tanyaku sambil menumpuk piring kosong menjadi satu.
“Tidak bisa. Ibuku tidak bisa membuat Indomie lagi. Dia sudah di surga.” Ada kesedihan di suara gadis itu. aku mengamati lagi wajahnya. Matahari itu kembali meredup. Aku ikut merasakan mendungnya
Cepat-cepat kubuka kardus indomie di sampingku. Kuambil beberapa biji dan kujejalkan di tangan mungil gadis kecil itu sebanyak yang bisa dia dekap.
“Bawalah pulang. Untuk makan.” Bergegas aku pergi meninggalkan gadis kecil yang masih dilanda kebingungan itu. Cepat-cepat aku meninggalkannya sebelum hatiku yang lemah ini melakukan sesuatu di luar logikaku lagi.
Kupandangi kardus indomie di tanganku itu. Kardus indomie itu akan sampai di kampungku dengan jumlah yang tidak utuh lagi. Entah apa yang akan dikatakan keluarga dan orang-orang di kampungku. Aku tidak lagi peduli. Satu yang aku pedulikan hanya perasan hatiku yang menjadi berbeda. Aku merasa awan mendung telah bersih tersapu dan aku menyadari hatiku tidak pernah seutuh ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
