PPKM. [Bab 11 - 16]

1
0
Deskripsi

Ini Bab terakhir yang bisa dibaca Free, ya. Lanjutannya bisa didukung tiap babnya. Terima kasih.

*** Spoiler

“Bisa enggak lo diam aja, Ar?”

Arslan yang tengah membersihkan meja makan, melongo. “Kenapa? Saya salah?”

“Kotor! Astaga! Lo bikin kerjaan gue nambah!”

Tak terima dikatakan seperti itu, Arslan sedikit membanting lap yang tadi Jess beri. “Kotor gimana? Ini lap dari kamu, lho! Mana saya tau kalau lapnya kotor atau apa. Kenapa malah marah-marah?!”

“Udah lah! Duduk aja sana!”

“Saya mau bantu, Lyn. Kamu...

[11] GO HOME

Sepanjang hari di apartement Jess, cukup membuat Arslan bosan. Selama dirinya mengambil cuti, memang tak ada email pekerjaan masuk yang mana malah membuatnya bosan. Mungkin karena ia benar-benar ditinggalkan sendiri di sini. Ingin merapikan apartement ini? Debu bahkan tak ada di sudut meja. Jess piawai sekali perkara kebersihan.

Sontak saja, Arslan terkekeh kalau mengingat Jess dan bersih-bersih. Ingatannya ditarik pada satu waktu, di mana ia bersama Jess yang tengah membersihkan apartement.

“Bisa enggak lo diam aja, Ar?”

Arslan yang tengah membersihkan meja makan, melongo. “Kenapa? Saya salah?”

“Kotor! Astaga! Lo bikin kerjaan gue nambah!”

Tak terima dikatakan seperti itu, Arslan sedikit membanting lap yang tadi Jess beri. “Kotor gimana? Ini lap dari kamu, lho! Mana saya tau kalau lapnya kotor atau apa. Kenapa malah marah-marah?!”

“Udah lah! Duduk aja sana!”

“Saya mau bantu, Lyn. Kamu jangan terlalu capek.”

“Alah! Duduk sana!” Jess menghampiri Arslan, mengambil lap yang ada di meja. “Gue enggak butuh bantuan. Lo nyebelin soalnya.”

“Hubungannya apa? Kamu juga nyebelin jadi orang. Itu di kamar kamu ada cermin besar, atau kurang besar? Biar saya belikan untuk kamu ngaca.”

“Eh! Lo nyuruh gue ngaca sebody-body gue?”

Tanpa ragu Arslan mengangguk. 

“Oh, gue tau maksud lo! Lo mau ngejek gue karena nantinya body gue jelek, kan? Perut gue lama-lama buncit, kan? Iya, kan?”

Arslan meraup wajahnya penuh frustrasi. Bicara dengan Jesslyn tidak dalam keadaan hamil saja sudah membuat urat sabarnya putus di tengah percakapan mereka. Apalagi sekarang? Arslan harus segera ke toko yang menjual stok sabar. Harus.

“Mendingan lo duduk! Jangan ganggu gue! Sebal gue ada lo di sini. Balik sana ke Jakarta. Ngeribetin!”

Pria itu memilih menyingkir. Duduk dengan kaki bersila di sofa. Menatap Jess dengan pandangan tak suka sementara gadis itu kembali melanjutkan aktifitasnya; menggerakkan vakum ke setiap sudut ruangan. Juga sesekali mengelap meja dengan kain lembab.

Jangan lupakan senandung kecil yang Jess suarakan sebagai peneman geraknya. Membiarkan Arslan yang menatapnya tanpa putus walau tatapannya tak bersahabat. 

“Selain masak, bersihkan apartement, kamu bisa apa lagi, Lyn?” tanya Arslan setelah ia berhasil meredakan emosinya. Sungguh, berhubungan dengan Jess hampir satu setengah tahun ini membuat emosinya selalu tersulut. Sabarnya hilang, belum lagi makin lama bicaranya serampangan mengikutiarah Jess bicara.

Gerak Jess terhenti, ia menoleh dan menatap Arslan kebingungan. “Apa lagi, ya?”

“Memang banyak hal yang bisa kamu lakukan?”

Jess berdecak. Dimatikan terlebih dahulu mesin vakumnya. “Lo meragukan banget gue, ya? Selain yang lo sebutkan tadi, gue itu memang enggak suka berantakan. Gue paling enggak bisa tidur kalau ada piring kotor di wastafel, makanan masih berserak di meja makan, atau pakaian gue untuk besok belum rapi disetrika. “

“Kamu lakukan sendiri?” Arslan menegakkan punggung. Mengerjap takjub pada gadis yang kini merotasi matanya. Kebiasaan yang tak pernah hilang dari gadis berambut pink itu.

“Iya lah. Lo lihat gue ada yang datang membantu? Sekalinya ada yang datang malah merusuhi hidup gue.”

“Saya maksud kamu?”

“Siapa lagi?” Jess kembali menyalakan mesin vakum, meneruskan aktifitas yang tadi sempat tertunda. Tinggal ruang ini saja yang belum terkena benda bersuara halus ini untuk menyedot aneka debu juga kotoran. Lalu ia pel sebentar dan … voila! Apartementnya kembali bersih. 

“Jangan salahkan saya dong. Yang datang ke rumah Xena saat itu, kan, kamu. Makanya kita bertemu. Kalau kamu enggak ke sana, saya yakin kita enggak akan bertemu dan berakhir di sini.”

Tanpa basa basi satu lap lembab kotor melayang tepat mengenai wajah Arslan.

“JESSLYN!!!”

Kenangan itu sungguh menyebalkan untuk diingat tapi ketahui lah, Arslan tersenyum geli setelahnya. Itu belum seberapa dibanding saat awal mereka bertemu. Kedekatan mereka tak pernah ada kata damai di dalamnya. Bicara sebentar, sudah menyulut emosi. Bertindak sedikit, sudah membuat salah satu di antara mereka berteriak. Belum lagi, jika masing-masing mereka tak ada yang mau mengalah.

Kalau saja bukan nasihat ibunya yang terus saja berbisik di telinganya, mungkin Arslan benar-benar akan melakban bibir gadis itu dengan lem super kuat. Atau matanya ia tutup dengan sapu tangan dan terikat kencang. 

“Jangan terlalu keras sama Jess, nanti kamu kewalahan sendiri, Nak,” kata Laras suatu kali. Di saat Arslan menemani ibunya duduk santai di taman belakang sembari menikmati teh buatan sang ibu. 

“Mami apaan, sih? Arslan ini macam dibuat anak kecil sama dia. Kesal lah. Segala dia atur ini dan itu tapi marah-marah. Ar sudah mengalah tapi masih saja disinisin. Lama-lama mana tahan enggak marahin anak Norak itu.”

Laras terkekeh. Mengusap lembut kepala anaknya. Wajahnya selalu mengingatkannya pada sosok Alif. Tinggi, tegap, selalu necis berpakaian, jarang bicara kecuali dengan orang-orang tertentu … termasuk … Jesslyn.

“Kalau jatuh sayang nanti kamu repot, Ar.”

Arslan berdecak keras. “Mana ada?”

Laras mengulum senyum. “Mami tunggu jatuhnya kata, lamarkan Jess untuk Ar, Mi.”

Respon yang Arslan beri saat itu, adalah mendengkus tak suka dan pergi meninggalkan ibunya yang justeru berderai tawanya. Namun, kata-kata itu masuk dan menyelimuti sanubarinya perlahan. Sepanjang hidup Arslan belum pernah berhubungan terlalu dekat dengan perempuan. Biasa saja. Hanya sebatas bicara di kafe, jalan di mall sebagai pelepas penat, makan malam singkat, tapi tak pernah ia merambah dalam hal yang terlalu pribadi.

Kecuali … Jesslyn.

Walau seringnya ia kesal dan jengkel, Arslan selalu menyeret Jess naik ke mobilnya. Mengantarnya pulang ke Bandung dan sesekali ia habiskan waktunya untuk duduk di kafe milik Jess. Tak melakukan apa-apa selain memperhatikan bagaimana gadis itu bekerja. Yang sepertinya, pekerjaan Jess ini begitu dicintainya. Arslan bisa melihat itu dengan jelas.

Senyumnya tak mau luntur hanya mengingat kisah lalu di antara mereka. Kedekatan yang sangat aneh namun sungguh membuat Arslan tak bisa berkutik sama sekali apalagi bergerak menjauh. Ia menjauh karena suatu hal, yang mana ternyata … ia sendiri terluka. Merindukan gadis ini dengan amat tapi sayangnya, yang dirindukan terlihat biasa saja.

Kecuali siang ini.

Di tempat ia temukan sang gadis tengah memaki entah siapa. Saat ia bertanya, hanya bungkam yang Jess beri padanya. Pun sepanjang pulang tadi. Tak ada yang bersuara sama sekali. Menimbulkan banyak tanya yang mendera Arslan tapi ia tak mau ambil risiko. Wajah Jesslyn menunjukkan keengganan yang tinggi. Jikalau ia ganggu dengan banyak pertanyaan, begitu tiba di apartement, Jess justeru memilih masuk kamar dan ternyata … tertidur.

Ada peringatan yang timbul di perut Arslan kini. Ah … ia belum makan siang ternyata. Niatnya tadi, ia mampir ke kafe Jess, makan siang di sana sembari mengulang aktifitas menyenangkannya dulu, lalu pulang bersama sang gadis. Ternyata ia salah.

Asya, karyawan yang Jess punya bilang, sejak pagi Jess tidak ada di sini. Otaknya berpikir cepat pada tempat yang biasa Jess kunjungi selain kafe; toko bunga milik Xena. Dan ke sana lah langkahnya tertuju. Benar saja, gadis itu ada di sana. 

“Aku pesan makan, ya, Lyn. Semoga kamu suka nanti pas bangun.” Arslan mendekat dengan teramat pelan. melabuhkan satu kecup di kening sang gadis. “Jangan buat aku khawatir terus, ya.” Diangkatnya pelan wajah Arslan dari jarak yang hanya tersisa sedikit sekali ini. Matanya benar-benar terpuaskan menatap wajah Jess.

Cantik. Pujinya dalam hati. Selalu cantik. Katanya membenarkan.

Lalu matanya turun dan terhenti pada belah bibir berpemulas pink pudar itu. Bibir yang selalu berucap kata-kata yang membuat darahnya mendidih. Juga … bibir yang sama yang pernah ia rasakan manisnya hingga serupa candu. Yang setelah ia cicipi, pastilah gadis itu meradang. Tak mau bicara beberapa jam lamanya. Membuatnya berjanji di atas paksaan, jangan pernah mencium gadis itu tanpa persetujuan.

Arslan sendiri merasa lucu dengan janji itu. Memangnya kalau ingin mencium Jess, ia harus izin? Tapi ia pernah melakukannya. Meminta izin untuk mengecup sebentar bibir tipis itu. Dan … Jess memberi izin! Tanpa ada paksaan, tanpa sorot sinis setelah cium itu terlepas, juga … gadis itu malah masuk dalam dekap yang Arslan miliki.

Rasanya … meminta cium dengan izin itu lebih seru. Arslan menelan ludah gugup lantaran bibir itu justeru merekah pelan. 

“Maaf untuk kali ini … aku khilaf.”

Yang tak pernah Arslan sangka, cium itu terbalas dengan lumatan kecil. Lembut. Pelan. dan mendebarkan. Hingga membuatnya sadar kalau gadis itu sudah terjaga tapi … sejak kapan?

“Khilaf, ya?” cibir Jess ketika Arslan menjauh. Matanya menatap horor Jess yang kini beradu pandang dengannya. “Khilaf kok bibirnya dilumat, dijilat-jilat juga.” Dan yang lebih mengejutkan lagi, tangan Jess terkalung sempurna pada leher Arslan. Menahan pria itu agar tak menjauh.

“Khilafnya yang benar. Enggak mau kalau diciumnya seperti itu, Ar.”

 


 

[12] VACATION. 1

 

Tiga hari berlalu dengan Arslan yang ngotot tak mau kembali ke Jakarta. Membuat Jess meradang sebenarnya karena adanya Arslan, Jess tak bisa banyak bergerak bebas. Ada saja yang harus ia kerjakan bersama dengan sang pria. Termasuk … ya Tuhan! Rasanya Jess ingin memukul kepala pria itu menggunakan heels koleksinya.

Jalan-jalan ke sekitar Bandung di mana agenda itu memang pernah mencuat. Dulu. Dan kini direaliasasikan Arslan tanpa ragu. Katanya, “Waktu itu enggak tepat untuk ngajak kamu, Lyn. Sekarang enggak pakai nolak. Harus mau.”

“Tuan Bar-bar pemaksa, ya, sekarang?”

Arslan hanya terkekeh. 

“Perlu bawa baju enggak?”

Pria itu termangu. Saat Jess yang berjalan menunduk sembari mengecek isi tasnya. Bukan karena baju yang dikenakan sang gadis, tapi lebih pada pertanyaan yang mengesankan … mereka ini tengah berkencan. Menghabiskan banyak waktu di luaran dengan banyak obrolan yang Arslan persiapkan, lebih banyak menarik urat ketimbang bermesraan. 

“Ar?” Jess menatap Arslan dengan heran. Pasalnya pria itu malah bengong menatap Jess kali ini. “Mata lo yang benar aja dong kalau ngelihat gue. Copot baru tau rasa.” Ia mengangkat tinggi-tinggi rambutnya. Memilin segera dengan kuncir rambut warna senada dengan sweater longgar miliknya. “Lagian pakaian gue itu sopan, ya. Enggak terbuka. Gue masih ingat lo marah-marah perkara baju yang bikin gue malu.”

Arslan mengerjap pelan. Kepalanya kebingungan mengingat bagian mana ia memarahi Jess perkara baju? Saking seringnya Arslan mengoceh gadis itu hingga ia seperti mengalami over buffering karena memorinya terlalu banyak. “Kapan?”

“Kapan lo tanya? Ya Tuhan! Dasar Pikun. Oh, gue maklum sih. Lo sudah tua. Beda sama gue yang masih muda.”

“Saya memang sudah tua, tapi bersama kamu kenapa rasanya dikembalikan pada usia lepas kuliah, ya?”

Atas apa yang baru saja didengar, Jess tergelak. Sampai rasanya perut digelitiki demikian kuat. “Pede mampus lo, ya?” katanya di sela tawa yang keluar. Sudut matanya basah karena puas menertawakan Arslan yang mana segera saja tawa itu perlahan lenyap. Karena pria yang ada di depannya ini, sama sekali tak bergeming. Menatapnya lurus-lurus. 

Sontak membuat Jess sedikit ngeri dibuatnya. “Udah ayo jalan. Keburu siang gue malas. Bandung itu sama kayak Jakarta.”

“Kamu benar, Jess. Lebih baik bawa baju. Siapa tau kita menginap di sana.”

Jess berdecak. “Pulang malam aja. Gue malas kalau harus nginap juga.”

“Tadi nawarin bawa baju atau enggak.”

Cengiran lebar muncul di bibir Jess. “Kan, cuma nawarin belum tentu mau. Apalagi nginapnya sama lo. Bikin kepala gue pening. Sumpah.” Tanpa merasa bersalah, Jess berjalan melewati Arslan. Mengambil botol minum yang telah ia persiapkan sebelumnya karena hari ini, Jess bersama seorang unta. Minumnya banyak. Dan bisa sangat menyebalkan kalau tidak ada cadangan botol minum di mobil.

Arslan kemudian memilih mengekori saja walau tanya itu masih ada. Hingga dirinya yang bertugas mengunci pintu apartement dan memastikan tidak ada yang ketinggalan terutama kompor yang masih menyala. “Lyn, saya serius. Kapan saya marahin kamu perkara baju?”

Jess menoleh pada pria yang kini berjalan di sampingnya. “Lain kali lo beli memori yang gede, deh. Biar ingat.” Wajah pria itu datar saja menatap lurus ke depan. Kesan menyebalkan memang sudah ada di sana, walau Jess akui setelah sekian lama, kalau pemilik nama lengkap Arslan Mahardhika Putra ini memang masuk dalam golongan pria menarik.

Jikalau seorang Riga Angkasa seolah tangan Tuhan menciptakan dengan kata nyaris sempurna, maka hal itu pun berlaku untuk Arslan. Hanya saja, taburan menyebalkan serta penyulut emosi yang Tuhan beri saat pembentukan Arslan ini diperbanyak. Sementara untuk Riga, mungkin Tuhan beri kadar over posesif dan dinginnya berlebihan. 

“Pas kita hadiri acara ulang tahun Djena. Lo marah karena gue pakai gaun hitam yang lo bilang kampungan. Padahal gue beli bareng Xena. Di butik ternama pula.” Jess masuk ke dalam kotak besi yang sudah terbuka. Di mana Arslan sigap menekan tombol pada panel agar segera tertutup dan membawa mereka ke basement.

Pria itu masih setia mendengarkan walau dalam kepalanya, sudah terputar kala ia memang benar, memarahi gadis itu tanpa jeda. 

Bagaimana tidak?

Gaun itu memang mewah dan sangat memanjakan setiap mata yang memandang namun, potongan dadanya begitu rendah. Belum lagi tali pada bahunya demikian kecil dan membalut tubuh Jess sedemikian rupa yang malah membuatnya tampil seksi malam itu. 

Rambut pinknya menyala seperti ditambah kadar cat di dalamnya. Riasan wajahnya tak terlalu banyak hanya saja pemilihan warna merah pada lipstiknya sudah membuat Arslan kegerahan sendiri.

“Ganti baju,” katanya dingin. Matanya tak bersahabat menatap Jess yang kebingungan. Dihempaskan tangan Arslan saat itu juga.

“Udah deh. Kita hampir telat. Lagian gue bisa jalan sendiri, mobil gue di parkir di depan. Lo aja ribet banget hidupnya.”

“Ganti, Jess.”

Tak peduli larangan itu demikian Arslan gaung, ia memilih menepis tangan si pria yang menghalangi jalannya. Yang mana segera saja membuat pria itu berang. Ditariknya tangan Jess cukup kasar. Masuk kembali ke kamar tempat Jess biasa inapi tiap kali kunjungannya ke rumah Xena. 

“Lo gila?!”

Arslan menulikan telinga.

“Tuan Bar-bar! Lo minta gue hajar, ya?!”

Narti sampai keluar dan melongo memperhatikan dua insan yang sering sekali beradu mulut itu. “Non? Tuan?”

Tapi tak ada tanggapan dari mereka berdua di mana Narti memperhatikan mereka dengan pandangan bingung. Ingin melerai karena Narti merasa Arslan menarik tangan sahabat nona mudanya cukup kasar tapi ia tak berani. Wajah Arslan keruh sekali, tak ingin diganggu sama sekali.

“Kamu ganti baju kamu, baru kita jalan. Kalau enggak, kita enggak jalan.”

“Lo gila?!” Jess kembali memaki dengan suaranya yang lantang. Bahkan tak segan telunjuknya hadir tepat di depan hidung Arslan. Pria itu sama sekali tak bergerak dari posisinya. 

“Cepat, Jess.”

“Gue enggak punya dress lain yang lain! Adanya biasa aja! Lo mau mempermalukan gue di muka umum, hah?!”

Arslan memaksa masuk ke dalam kamar Jess, masih dalam keadaan menarik gadis yang kini memberontak. Hingga ia lepaskan dan sedikit mendorongnya di ranjang. Gegas, ia membuka lemari besar yang tersedia di sana. Arslan yakin, pakaian yang ada di dalamnya banyak dan layak dikenakan untuk menghadiri pesta.

Dan benar. Jejeran baju dengan warna-warna soft hingga mencolok ada di sana. Arslan segera mencari yang sesuai dengan pandangan matanya. Membiarkan gadis itu lancar sekali memaki dan mengocehinya bermacam-macam julukan. Arslan tak peduli. Ia memilih menyabarkan hatinya ketimbang nanti di pesta yang bisa digolongkan cukup mewah itu, Jess mendapat banyak perhatian dari banyak orang.

“Ganti dengan ini.” Satu gaun berlengan sesiku, dengan bahan dasar brookat dan penuh dengan hiasan payet di sekitar dada hingga pinggang, juga berbentuk ekor pinguin dengan ekor sebatas mata kaki. Sementara bagian depannya hanya sebatas lutut. Potongan dadanya biasa saja. Hanya berhiaskan kristal melingkar di sana. 

“Kalau gue enggak mau, lo mau apa? Ini seleranya Xena! Bukan gue!”

Arslan tak peduli. Jess kini ada di depannya. Matanya menantang sekali dengan kobar marah di dalamnya. 

“Simple berurusan dengan saya, Jess,” kata Arslan tenang. Tenang sekali tapi sungguh, hal itu sontak disadari Jess kalau pria di depannya ini tak dalam perkara ain-main memberi peringatan. “Kamu ganti baju sialan itu dengan yang saya pilihkan, atau kamu berakhir di sini. Di ranjang ini.” Arslan makin menekan Jess hingga kaki gadis itu menyentuh tepian ranjang. “Enggak ada orang di rumah ini, kan? Mungkin tiga sampai empat jam ke depan. Hanya ada Narti yang saya yakin dia mengerti. Kita lagi bersenang-senang.”

“LO GILA!!!”

Dengan jarak demikian tipis, di mana Jess sudah bisa merasakan embus napas dari pria yang terlalu berlebihan ini, juga seringai tipis nan mengerikan yang ternyata Arslan milik, membuat nyali Jess ciut juga.

FINE! FINE!!!” Jess mendorong dada Arslan segera tapi sia-sia. Pria itu kian mendekatkan diri padanya. “Gue ganti sekarang! Puas lo?!”

Mendapati keinginannya dituruti, Arslan segera menjauh. “Jadi gadis turut sesekali itu perlu Jess.” Arslan melirik Fossil di lengan kirinya. “Sepuluh menit saya tunggu.”

“Lo bengong, Ar?”

Jelas saja Arslan mengedip berulang kali, menoleh dengan segera dan mulai menguasai keadaaan. Ternyata mereka sudah ada di basement. Mengetahui hal ini, ia terkekeh pelan.

“Pasti lo sudah ingat, kan?” terka Jess saat ia memperhatikan bagaimana raut wajah pria itu.

“Kamu benar, saya sudah ingat.”

Jess mencibir. “Padahal gaun itu bagus, lho.”

“Kamu tau,” Arslan mendorong pelan pintu kaca agar Jess bisa melangkah terlebih dahulu. Dan tepat ketika Jess berada di jarak paling dengan dengan jangkauannya, Arslan berkata demikian lirih, “Saya cemburu kalau nanti banyak mata memandang kamu di sana, Lyn.”

 

 


 

[13] VACATION. 2

 

“Kok, lo tau tempat ini?” Jess memang penasaran akan hal ini. Saat mereka membelah jalan Bandung dan mulai naik ke arah Lembang, Jess mulai bertanya-tanya. Namun tak pernah ada jawaban dari Arslan kecuali cengiran. 

Hingga mereka tiba di area parkiran, Arslan masih belum mau bersuara.

“Ar?”

“Tau, lah. Kemarin saya cari-cari info tempat untuk merefreshkan hati dan pikiran.”

Jess tergelak. “Gila. Kesambet jurig apaan lo? Sok puitis.” Jess mengibaskan tangan. Bersiap masuk ke dalam karena memang, pilihan Arslan ke Maribaya adalah pilihan yang tepat guna. Ia memang butuh udara segar dan cukup terkejut karena tingkah Arslan hari ini.

Sementara di belakang Jess, Arslan mengulum senyum. Mengikuti langkah Jess memasuki area yang memang memanjakan mata. Setidaknya sebelum ia kembali ke Jakarta dan terbang lagi ke Malaysia, ada satu hal yang bisa Arslan perbaiki; komunikasi.

Selama mengenal Jess, lalu pernah sangat dekat, dan kini berjarak seperti dikembalikan pada titik pertemuan pertama mereka, membuat Arslan berkali-kali berpikir, bagaimana caranya untuk menarik gadis itu kembali. Ia tak mungkin melakukan apa yang menjadi pemicu utama kedekatan mereka.

Kedekatan yang aneh, yang selalu dibumbui pertengkaran tapi Arslan merasa ia selalu bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan Jess. Keinginan untuk terus tampil sempurna, perlahan sirna. Berganti dengan apa yang sebenarnya selalu ia tutupi. 

Bukan kah dalam suatu hubungan, rasa nyaman itu menyimpan kesan terdalam? Baginya, benar seperti itu. Bagi Jess? Arslan tau, menarik Jess kembali dekat padanya itu bukan hal yang mudah. Ia butuh berjuang lebih. Benar. Berjuang lebih. Dan itu yang akan ia lakukan. Setahun belakangan ini, ia banyak berpikir juga meraba sisi hatinya yang lain. Yang mana memang sudah tak bisa lagi berpaling. Yang ia inginkan hanya seorang Jesslyn Rasopati. 

Mengambil salah satu spot yang agak jauh dari area yang umum, mereka kini duduk berselonjoran. Beberapa penganan yang Jess pesan sudah tersaji. Ini bukan weekend, yang artinya tak terlalu banyak pengunjung. Membuat suasana tidak terlalu riuh seperti biasanya.

Jess memilih memejam, merasakan embus angin segar di sekitarnya. Hal-hal yang sejak semalam minta untuk diurai, ia singkirkan sejenak. Terutama permasalahan penggusuran makam juga rumah masa kecilnya. Juga …

Djena dan CV Mandiri.

“Ar?” Jess membuka matanya setelah beberapa lama terpejam. Yang ia tak sadari kalau Arslan entah sejak kapan memperhatikannya. Membuat kening Jess berkerut dalam. Atau pemikiran buruknya tadi saat memasuki area ini benar adanya?

“Ya, Lyn?” Arslan tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Kenapa?”

“Djena ada hubungan dengan CV Mandiri?”

Untuk pertanyaan yang baru saja menyapa telinga Arslan, ia sungguh terkejut. Kenapa mendadak nama Djena mencuat juga dengan nama yang asing ia dengar? “Ada apa memangnya?”

“Lo tinggal jawab aja susah banget.”

Jess dan sifatnya yang tak sabaran.

“Saya di Malaysia setahun belakangan ini, Lyn. Saya kurang paham untuk pergerakan mereka yang sekarang.”

Gadis itu refleks tepuk jidat. “Gue lupa kalau lo di Malaysia dengan perusahaan lain.”

Senyum Arslan tercipta tipis sekali. Jenis senyum yang membuat Jess sedikit terperangah lantaran jarang sekali wajah menyebalkan pria ini menampilkan senyuman. 

“Saya lebih suka mandiri, Lyn. Kamu sudah tau alasannya, kan?”

“Iya-iya,” Jess mengambil cangkir teh melatinya. Menyesapnya pelan sembari memejam.“Eh, ini enak lho. Pas manisnya.” Jess merasakan sisa cairan manis itu di permukaan bibirnya seolah tengah menggoda padahal tidak. Itu yang memang Jess rasakan. “Lo pesan kopi terus, Ar. Enggak bosan? Sesekali susu atau teh.”

“Memang boleh saya cicipi tehnya?”

Gadis itu mengibas tangannya dengan tatapan jengah. “Biasanya juga gelas gue lo ikutan minum.”

Arslan sukses tergelak. Hingga rasanya ia ingin terjungkal saking gelinya tertawa. Sementara Jess mengulum senyum, kembali menikmati tehnya. 

“Kalau ketawa terus nanti tehnya gue habiskan, lho.”

“Kamu lucu banget, Lyn.” Arslan menerima cangkir teh yang tadi Jess cecap. Matanya sibuk bolak balik memperhatikan gadis yang santai sekali berpenampilan. Pria itu pikir, tawaran Jess hanya sebatas bualan tapi ternyata tidak.

Jess justeru menunggu Arslan untuk mencicipi teh yang memang rasanya enak ini. Apa mungkin akrena suasananya?

“Kamu benar, Lyn,” Cangkir itu kembali diletakaan di meja kecil. “Ini enak.”

“Pulangnya kita beli teh yang sama, ya. Biar lo cicipi yang gue buat di apartement nanti.”

Perkataan itu demikian spontan meluncur dari bibir Jess yang segera saja, begitu ia menyadari adanya kesalahan fatal atas ucapannya barusan, Jess salah tingkah. 

“Maksud gue, lo … lo bisa bawa ke Malaysia. Buat gantian sama kopi.” Jess segera mengangguk membenarkan kata-katanya barusan. Walau ragu juga merasa janggal karena sungguh, betapa bodoh dirinya mengucapkan hal tadi. Dan teh yang dibawa ke Malaysia? Alasan apa itu, Jess!

Di sisi lain, Arslan tersenyum dan kian lebar. “Saya mau, kok, dibuatkan teh sama kamu. Gantiin kopi.” Tanpa ragu, ia geser duduknya hingga persis di depan gadis itu. Duduk sama-sama bersilakan kaki. Tangan gadis itu saling meremas yang Arslan rasa, tengah menutupi gugup. Yang segera saja, Arslan tarik. Lalu dilingkupi erat oleh tangannya dengan gerak sedikit menggosok. Ujung jemari Jess memang dingin. Mungkin udara di sekitarnya lah yang menyebabkan hal itu. Atau hal lain?

Makin tunduk lah Jess dibuatnya.

“Makasih karena masih mau perhatian sama saya.” Dibawanya tangan itu mendekat, hingga membuat Jess memekik kaget karena tangan itu persis dikalungkan dengan sengaja pada pinggang Arslan. Dan pria itu memeluknya tanpa ragu. 

****

“Ly, kamu sudah tidur?”

Hal tergila yang pernah Jess lakukan adalah menuruti apa yang Arslan mau. Padahal ia tak bawa baju ganti, pun pria itu. Betapa sebenarnya ia kesal namun, ketika Arslan kembali entah dari mana dengan beberapa kantung berisi baju, Jess mengalah.

Menyewa satu cottage di mana begitu membuka pintu serta jendela, alam bebas menyapa penglihatan mereka. Sejak sore tadi, Jess memang sudah jatuh cinta dan tak ingin beranjak segera dari sana. Hanya saja, ia tak mungkin mengatakan hal itu secara gamblang. Dan marah karena Arslan mengajaknya menginap tanpa mengatakan terlebih dahulu padanya, adalah satu dari banyak kamuflase yang ia lakukan.

Arslan baru keluar dari toilet, mengenakan kaus serta celana training panjang juga disambarnya jaket yang tergantung di dekat pintu. Udara malam ini kian dingin tapi sungguh Arslan merasa nyaman. Nyanyian malam syahdu sekali ia dengar.

“Lo lihatnya gue sudah tidur apa belum?”

Arslan terkekeh karena gadis itu tampak bersungut-sungut. Berulang kali ia menggulung sweater yang tampak longgar dan kebesaran itu. Tubuhnya yang mungil, makin mungil di mata Arslan tapi … menawan sekali. Ia tak butuh Jess mengenakan pakaian anggun dan bertabur banyak perhiasan mengkilat. Disuguhi Jess seperti ini saja, sudah membuat Arslan tak berkutik.

“Biar saja.” Arslan menarik pelan lengan swewater abu-abu yang Jess kenakan. “Nanti kamu kedinginan.”

Jess berdecak. “Besar banget lagian.”

“Ini sweater saya, Lyn. Jelas kebesaran di kamu.”

“Lo mau bilang gue pendek? Iya? Kayak dulu lo ngatain gue?”

Arslan menggeleng saja. Memilih menyusupkan tangannya pada sela jemari Jess dan menggenggamnya erat. “Tapi itu kebenaran, Lyn. Kamu lebih pendek ketimbang saya.” Membawa Jess mendekat kali ini cukup sulit tapi saat gadis itu tepat di depannya, dagu Arslan sengaja diletakkan di puncak kepala Jess. Membuat gadis itu meronta juga menggeram kesal.

“Kenapa, sih? Saya bilang saya kangen, Jess.”

“Itu, kan, lo! Bukan gue.”

Ada rasa yang menggelitik hati Arslan kini tapi ia coba abaikan. Sedikit ia beri jarak pada kedekatan mereka. Menunduk serta mengangkat dagu Jess agar terus bersitatap. Menatap mata Jess yang bersinar serupa bintang di malam ini. “Yakin enggak kangen? Kok … saya ragu, ya?”

Jess berdecih. Ditepisnya tangan Arslan tapi ternyata pria itu menahannya untuk tidak mengalihkan matanya ke mana-mana.

“Gimana kalau kita buktikan dengan ini?”

Apa yang Arslan lakukan jelas membuat mata Jess terbeliak kaget. Bibirnya kembali dipertemukan oleh bibir milik pria yang kini memejam. Menekan cukup kuat serta menahan seluruh gerak tubuhnya hanya agar sang pria bebas menjelajah. Yang mana … membuat pijakan Jess makin lunglai. Hingga tanpa ia sadari, tangannya terkalung sempurna di leher Arslan. Sedikit memiringkan wajah agar pria itu makin berkuasa atasnya.

Saling melumat dengan gerak amat pelan. Tak ingin buru-buru menyudahi satu sama lain. Di mana yang tadinya Jess menikmati bagaimana pejam pria di depannya ini cukup mampu menggetarkan hatinya, juga bagaimana ia diperlakukan hingga detik ini. Alhasil, segala akulumasi yang lama ia tumpuk, membludak tanpa ampun di hati Jess. Meneriakkan dengan suara lantang dalam benaknya, “Pejamkan mata kamu dan rasakan semua limpahan perasaan Arslan.”

Dan yang ia lakukan … mengikuti kata hatinya. Sedikit melekatkan diri pada sang pria yang segera saja makin merengkuhnya erat.

“Ah, jadi benar, kan? Kamu itu enggak mau bilang kangen tapi saya bisa rasakan.” Arslan melepas cepat cium mereka. Menimbulkan satu kekosongan yang langsung disadari Jess.

“NYEBELIN LO!”

Arslan merasa lucu dengan pekikan Jess barusan. Menggunakan ujung jemari jempolnya, ia usap jejak basah yang mereka ciptakan. Lembut sekali.

“Ketimbang marah, tadi kamu bilang mau cari wedang jahe? Ayo ... kita cari.”

 


 

[14] ON VACATION. 3

Jess memijat pelipisnya dengan satu henyak cukup keras di sofa. Beruntung, sofa di villa yang mereka sewa untuk dua hari ke depan cukup empuk. Punggungnya tak terlalu sakit menyapa sandaran sofa. Baru saja Asya telepon, memberi satu kabar yang cukup membuatnya kelimpungan.

Entah ini marketing mulut ke mulut yang Loissa lakukan hingga untuk seminggu ke depan, Asya sudah kalkulasi, ada beberapa pesanan kue termasuk … ya Tuhan, Jess sama sekali tak menyangka kalau wanita paruh baya itu mempromosikan kue berantakan milik Jess pada teman-teman sosialitanya.

Jadilah Asya kebingungan ketika diberi empat pesanan kue terutama kue pengantin untuk acara sebulan lagi. Dan tiga lainnya, untuk beberapa acara penting lainnya. Asya tak berani untuk segera mengiyakan pesanan tersebut. Untuk itulah pagi ini, kabar itu datang pada Jess.

“Kamu kenapa?” tanya Arslan bingung. Ia memilih mengambil duduk di depannya. Menatap Jess penuh heran. Sarapan yang tersaji, belum ada yang Jess sentuh.

“Kak Asya bilang, ada pesanan kue.” Jess menegakkan punggung. Mengawasi ekspresi wajah Arslan yang masih menatapnya dengan cara yang sama; bingung.

“Memang kamu bisa bikin kue?”

Jess mengangguk.

“Cake? Yang pakai hiasan-hiasan itu?” Arslan perlu menanyakan hal ini juga penegasan. Ia baru tau kalau Jess pintar membuat kue. Memang, penganan yang gadis itu buat selalu enak dan rasanya pas di lidah Arslan. Tapi cake?

“Iya,” decak Jess tak sabar. “Lo enggak percaya, kan?”

Gegas Arslan menggeleng.

“Apalagi gue.”

Pria itu melongo. “Terus kenapa kamu dapat pesanan kue? Enggak mungkin kalau kamu awalnya enggak buat terlebih dahulu.”

Bahu Jess terkulai lemah, kembali ia menyandarkan punggungnya di sofa. Mengambil salah satu bantal kecil yang ada di tepiannya. Lalu menutup wajahnya. “Ini semua salah Xena.”

“Xena?”

“Iya.” Jess dengan segera kembali membenah posisi duduknya. Sedikit melempar bantal tadi. “Kalau bukan karena bibirnya yang bicara kue buatan gue enak, gue yakin banget, Bu Loissa enggak akan pesan pesan cake di gue,” keluh Jess.

“Bu Loissa?”

Jess mengangguk. “Bu Loissa ini teman Mami. Eh … apa lo kenal juga sama Bu Loissa?”

Gantian Arslan yang mengangguk. “Kenal. Teman Mami itu terbatas, kok, Jess.”

“Termasuk Rubah?” sela Jess tanpa ampun. Yang mana segera mendapat respon tawa dari Arslan. 

“Termasuk Rubah.”

Sudah sewajarnya kalau Jess masih menyimpan benci pada wanita cantik itu. Terutama setelah ia tau, segala cerita lengkap dan utuh mengena keterlibatan seorang Kaliandra Sofyan untuk hidup sepupunya.

“Seharusnya kamu bersyukur kalau ada yang repeat order, Jess. Artinya kamu mampu buat dan enak.”

Jess mencibir. “Lo enggak tau betapa kacaunya gue buat hiasan.” Lalu ia menyodorkan ponsel di mana ia abadikan karya yang menurutnya gagal tapi malah mendapat pujian itu. “See? Ini enggak bagus, Ar.”

Arslan memperhatikan dengan amat kumpulan foto hiasan cake dengan nuansa biru yang cantik. Walau terlihat agak berantakan di sisi kanannya, tapi sungguh, bagi Arslan sudah terbayang betapa lezat tiap potongan kue buatan Jess. Apalagi gadis itu sering kali membuat camilan yang kadar manisnya tidak berlebihan tapi enak menyapa indera perasa para pelanggannya. Termasuk Arslan.

Pria itu ingat, betapa ia terkejut mendapati seorang Jess yang ternyata memiliki satu kafe di Bandung yang cukup terkenal. Bukan sembarang pemilik, tapi juga sentral di kafe tersebut. Menjalani roda kedai kopi serta aneka penganan yang cukup digandrungi di mana cookies keju masih sebagai favorit nomor satu di sana. Walau dari jarak jauh, tapi semuanya aman terkendali. Belum lagi, decision maker yang cukup mumpuni di mata Arslan.

“Memangnya lo benar-benar percaya kalau gue ini dari kampung banget? Yah … memang asal gue dari Sukabumi tapi bukan berarti lo bisa sembarangan menilai,” katanya. Di mana saat itu, Arslan duduk di salah satu sudut yang menjadi favoritnya hingga kini. Dijamu dengan beberapa menu andalan yang mana Jess sendiri yang turun tangan membuatkannya.

“Ini gue buat sendiri. Mungkin masih jauh dari Mbak Narti buat. Tapi kalau lo ketagihan sama masakan perempuan norak ini,” Jess menekan sekali sebutan ‘norak’ karena Arslan sering kali menyebutnya seperti itu. “Harga per porsinya mahal.”

Arslan tak tanggapi ucapan bernada penuh sindir itu. Ia memilih menggeser piring sajiannya, menikmati makanan yang ada. Yang lantas ditinggalkan karena suasana kafe saat itu cukup ramai. Ekor matanya berkhianat terus. Mulutnya mengunyah tapi matanya terus saja memperhatikan gerak Jess yang lincah. Walau sering kali ia kerepotan membawa nampan pesanan. Tapi Arslan yakin seribu persen, kalau dirinya mendekat, Jess pasti marah-marah.

Kesan norak yang selalu Arslan lekatkan pada Jess, karena di matanya saat pertama kali bertemu, gadis itu benar-benar dari kampung. Yang mana, bergaya sekali dengan rambutnya yang hijau. Belum lagi matanya yang tak kenal rasa takut. Juga nada bicaranya yang selalu mencetuskan emosi dalam diri Arslan. Biasanya ia tak gampang tersulut tapi jika berada di dekat Jess, selalu saja kesalnya, amarahnya, jengkelnya, naik ke permukaan.

Membuatnya ingin terus menerus melihatnya kesusahan. Menikmati wajahnya yang bersungut dan menampilkan raut kesal yang amat. Juga … Arslan makin banyak bicara dengan nadanya yang pedas. Mengingat akan hal itu jelas membuat Arslan terkekeh. Matanya tetap berada di ponsel Jess namun, hatinya ada di ingatan beberapa tahun lalu. 

“Kok lo bengong? Benar, kan, lo pasti bakalan bilang jelek, kan? Ngaku, lah.”

Arslan pernah mengatakan secara gamblang kalau Jess ini terkadang suka berpikiran negatif. Dan terbukti, Jess terdengar kurang percaya diri padahal potensi dalam dirinya di mata Arslan itu besar.

“Dari pada kamu berpikiran aneh, kamu duduk di pojok sana. Gambar design hiasan cake. Banyak referensi di internet, kan? Saya temani.”

Jess berdecak. “Mau lo!” Lalu meminta ponselnya kembali. Di mana saat itu lah, gulir tangan Arslan tepat pada satu gambar yang mana ia ketahui sekali, di mana foto itu diambil. 

Malaysia. Tepatnya sehari sebelum dirinya pulang ke Jakarta. Ia jadikan status pada akun chat-nya.

Senyum Arslan tercipta lebar. “Ini yang kamu bilang enggak kangen sama saya, Lyn?”

Jess mengerjap heboh. Di mana saat matanya bersirobok pada gambar yang membuat wajahnya mendadak panas disergap malu hingga ke ujung ubun-ubunnya. Foto Arslan membelakangi kamera, tengah menikmati senja berlatar taman yang cukup rindang. Dengan satu caption yang cukup membuat Jess merasa itu untuk dirinya.

Miss you, J.

“Balikin hape gue!”

Arslan refleks menjauhkan tangannya lebih tinggi di mana Jess makin mendesaknya. 

“Jawab dulu. Kamu kangen saya, kan?”

Tak peduli kalau nantinya mereka berdua bisa jatuh, Jess makin jadi mendesak Arslan. Jess terus saja berusaha mengambil ponsel tersebut. Bersumpah dalam hatinya dengan amat, untuk segera menghapus hasil tangkapan kamera tersebut.

Ya Tuhan! Malunya besar sekali!

“Ar!” pekiknya setengah frustrasi. Sulit sekali mengambil ponselnya yang ada di ujung tangan pria yang kini ia duduki.

“Lyn,” kata Arslan penuh nada peringatan. Sebelah tangannya ia gunakan untuk memegangi pinggang Jess agar gadis itu tak limbung. “Kamu sadar posisi kita gimana?”

Ucapan itu sukses membuat gerak Jess berhenti. Darahnya rasa berhenti mengaliri tubuh. Belum lagi degup jantung yang ribut sekali di dalam. Susah payah Jess menelan ludah. Tangan yang sejak tadi berusaha menggapai ponsel, membeku di udara. Yang perlahan ia turunkan pun matanya. Lalu beradu pandang dengan Arslan dalam jarak sedemikian intim ini.

“Jawab, Lyn.”

Embus napas Arslan kembali menyapa wajah Jess yang sudah semerah tomat. Belum lagi matanya tak berani menatap mata Arslan karena Jess tau, mata tak pernah bohong dalam berkata. Walau ribuan kali ia tepis, perasaan rindu pada sosok pria yang ada di depannya ini tak pernah habis. Selalu timbul dan makin membukit.

“Lo tau jawaban gue, Ar,” lirihnya pelan. Matanya sengaja ia alihkan ke tepian sofa. Saat ingin bergerak turun, Arslan menahannya.

“Kita perbaiki, ya, Lyn? Aku tersiksa seperti ini terus.”

Jess termangu.

“Kalau kamu butuh ucapan cinta yang banyak dari aku, aku beri.” Arslan sedikit menarik dagu Jess agar kembali mereka saling bersitatap. “Tapi jangan bergerak menjauh.”

“Ta-tapi, Ar, lo tau keadaan gue.”

“Dan keadaan kamu, yang patut dipersalahkan itu aku, Lyn. Aku.” Kali ini, Arslan berkata penuh penekanan. Juga membenahi posisi duduk Jess karena sungguh, sudah membuatnya tak nyaman. “Kita mulai dari awal lagi.”

Jess memilih menunduk.

“Aku tau, susah banget nantinya untuk kita melupakan masa lalu karena itu dekat banget sama kita.” Dirapikan helai rambut Jess dengan gerak pelan. “Tapi bukan berarti kita saling menyakiti, kan?”

Ada jeda sejenak yang Arslan beri sebelum ia melanjutkan bicara.

“Kita perbaiki, ya, Lyn?” ulang Arslan.

“Memang … bisa?” Ini bukan sebatas tanya bagi Jess. Ini bentuk asa yang semu setelah apa yang ia lewati. Yang sering kali datang berkunjung dan mendera hatinya dengan perasaan sedih tak bertepi. Lalu vonis itu serupa kidung kematian untuk hidup Jess yang terus ia nyalakan semangatnya. Meleburkan Jess dalam nertapa.

“Bisa.” Arslan mantap memberi jawaban. 

“Dengan gue yang begini?”

Satu sorak riuh sekali dalam benak Arslan. Apalagi mendengar nada bicara Jess yang berubah total. Suaranya banyak kesan tegas dan tak ingin terbantahkan tapi kali ini, terdengar lebih manis dan … manja. Walau panggilannya masih berlabel ‘lo-gue’.

“Kamu sempurna di mata aku. Aku enggak butuh orang lain ikut menilai kesempurnaan kamu, Lyn.”

Seulas senyum malu terbit dan menghias wajah Jess yang makin bersemu. “Pelan-pelan diperbaiki? Kayaknya setahun lo enggak ada, cukup bikin jarak di antara kita.”

“Aku sering menghubungi kamu, lho, Lyn. Kamu yang menjauh dari aku.”

“Kan, gue sibuk. Lo tau, kan, kesibukan gue apa?” Jess berkilah. Tidak akan mau ia turunkan egonya barang seujung kuku namun, Arslan malah tertawa.

“Oke. Aku maafin.”

Jess mencibir.

“Eh, ponselnya getar.” Arslan segera melihat layar ponsel Jess yang segera saja ia baca, satu nama yang ia tak kenali; Roy. “Dari Roy, Lyn.”

Senyum yang sejak tadi ada di bibir Jess, hilang.

 


 

[15] PILLOW TALK WITH YOU

Ini sudah jelang tengah malam tapi Jess sama sekali tak bisa memejam. Arslan benar-benar hebat menjebak Jess untuk kembali menyetujui kalau mereka memang harus kembali menginap di sini. Padahal sebelum benar-benar Jess menyetujui ide Arslan yang kelewat batas ini, Jess sudah meradang. Marah betulan. Tapi Arslan selalu bisa membuatnya duduk dan berpikir, “Manfaatkan waktu untuk rehat sejenak Lyn. Kamu capek, aku juga capek. Begitu kita kembali beraktifitas, kita sudah lebih baik.”

Jess mencibir. “Itu, sih, alasan lo doang pengin gue terus-terusan sama lo.”

“Lusa aku kembali ke Malaysia, Lyn. Wajar kalau aku pengin berduaan sama kamu terus.”

“Berduaan tapi ribut mulu. Capek gue, ah!”

“Coba ngalah sedikit sama aku. Aku juga sudah sering ngalah sama kamu.”

“Ih! Ogah!” Jess bersidekap. “Lagian sejak kapan lo ngalah, Ar? Lo butuh gue bawain kaca, ya?”

“Ya sudah kalau gitu, semalam lagi, ya? Kamu aman, kan, bersama aku? Enggak aku apa-apain juga.”

Satu pukulan dari Jess tepat mendarat pada bahu Arslan yang membuatnya memekik sakit. “Gue ngomong apa lo nyimpulin apa, Ar? Kesal, deh!”

Arslan tergelak. “Sehari lagi, ya, Lyn.” 

Jess paling tak bisa jika Arslan sudah mengeluarkan jurus mautnya. Tidak. Wajahnya tak menampilkan senyum sama sekali. Sorot matanya juga tak ada permohonan. Hanya menatapnya lurus dan tak teralih. Tapi sudah membuat Jess tak berkutik.

Dan di sini lah ia berakhir. Masih menempati kamar yang sama. Tidur berbagi selimut yang sama. Tak ada sentuh fisik lainnya kecuali malam di mana Jess meminta wedang jahe. Selebihnya? Tidak ada sama sekali.

Dingin yang menusuk kulitnya sungguh sangat mengganggu. Ia sudah mengenakan sweater juga selimut tapi tetap saja, dinginnya menembus kulit. Ia cukup heran dengan pria yang tidur di sampingnya. Sama sekali tak terganggu.

Tidurnya pulas sekali. Membuat Jess sejak tadi menjadikan sang pria sebagai objek penelitiannya. Hampir seminggu, pria itu mengekorinya dengan lekat. Mirip lintah tapi kali ini Jess tak berniat mengusirnya. Walau ada marah dan kesal tiap kali Arslan berulah, lagi-lagi Jess menerimanya. Membiarkan eksistensi Arslan di sekitarnya.

Dulu, Jess jengah sekali. Sampai rasanya ada keinginan terkecil di hatinya untuk meminjam tongkat Lord Vordemort. Mengucapkan mantera dengan lantang; Avada Kedavra. Lalu … blam! Arslan hilang dari hidup Jess. Dan ia yakini dengan amat, setelahnya itu hidup damai, tenteram, tak melulu marah, akan hadir di hidupnya.

Akan tetapi, itu hanya sebatas wacana. Jess mulai terbiasa ada Arslan di sekitarnya. Terbiasa juga marah-marah dan seperti ada yang hilang jika lebih dari seminggu pria itu ta mengunjunginya. Biasanya, saat Arslan sangat sibuk terutama jelang pernikahan Riga dan Xena.

Hingga … kabar itu datang. Jess hamil karena hal di luar dugaannya. Yang tak pernah ia sesali sama sekali. Dianggapnya ia tengah beruntung. Walau sering kali ia desak Arslan untuk menjauh namun, pria itu sama sekali tak mau beranjak. Malah semakin intens pria itu berkunjung terutama jelang weekend.

Menemani Jess, memintanya memasak sesuatu, menghabiskan banyak waktu di apartement, juga … beradu pendapat mengenai apa saja yang muncul saat obrolan random mereka terjadi.

Jess pernah berhubungan dengan pria. Yang Jess cintai segenap hati tapi malah memberi luka yang sungguh membuatnya tak habis pikir, apa salahnya. Ia tak mau berlama-lama tenggelam dalam sedih. Untuk apa? Semuanya ia alihkan pada segenap pemikiran membantu sang sahabat menguak apa yang sebenarnya terjadi. Juga … bayang Putri yang sangat mengganggu.

Ketika semuanya selesai, bayang itu tak pernah muncul kembali. Pikir Jess, Putri sudah tenang di sana. Kunjungan Jess dan Xena kala itu pun, sebagai salam perpisahan. Dan di masa itu, Arslan ada. Yang mana bagi Jess adalah sebuah gangguan juga pelipur laranya tanpa disadari.

Tak pernah ia ingat Roy selama beberapa tahun ini. Semuanya. Bahkan mengenai indahnya hubungan mereka saat saling berbagi kasih. Jess bisa lupa dengan mudahnya kecuali … pengkhianatan yang Roy beri. Meninggalkan bekas sekali di hatinya.

Hanya itu. 

Juga ada satu hal yang sangat membedakan Arslan juga Roy. Bersama Arslan, membuat Jess sungguh menjadi dirinya sendiri. Walau ia tak menutupi kalau sebagai perempuan, bibirnya bertutur manis itu ada di skala minus lima. Tapi … berbeda jika ia menghadapi Arslan. 

Benar. Jess membenarkan pemikiran itu.

Semuanya bergulir cepat dalam ingatan Jess. Membuat gadis itu menarik sudut bibirnya perlahan. Pun ujung jemarinya untuk menyusuri wajah Arslan. Mulai dari dahinya, lalu turun pada deretan alisnya yang tebal. Jess berhenti kala kening sang pria berkerut. Mungkin ia merasa geli? Entah lah. Saat sudah kembali normal, ia kembali melanjutkan kegiatannya. 

Hingga tepat jemarinya di ujung hidung mancung sang pria, ia berhenti. Penelitiannya terhadap wajah sang pria pun tertitik di sana.

“Gue pernah berharap, Po nantinya mancung kayak ayahnya. Kalau dia perempuan, pasti cantik kayak gue. Kalau dia laki-laki, gue rasa gen tampan langsung turun dari lo, Ar.”

Mendadak hatinya sesak. Matanya berkaca-kaca. “Sayangnya,” Jess memejam. Napasnya makin tersengal. “Gue enggak bisa jagain Po, Ar. Gue … gue …”

“Nangis aja.” Arslan walau masih terpejam, yang mana sengaja ia lakukan, menarik Jess dalam peluknya. Jess memang terkejut tapi saat peluk itu ia terima, maka semua hal yang selama ini bercokol dalam dadanya, tumpah. 

Tangisnya memilukan. Membuat Arslan makin mengeratkan pelukannya. Memberi banyak usapan lembut serta banyak bisikan penenang untuk Jess. Dadanya sudah basah lantaran air mata dari sang gadis. Dalam peluk yang Arslan beri, ia merasa bahu Jess bergetar makin hebat. Pria itu tau, sudah seharusnya Jess melepas apa yang selama ini membebaninya.

Setiap kali ia bertanya, gadis itu berkelit dengan sangat lihai. Pun ketika ia bertanya mengenai perasaannya, Jess selalu berhasil mendorongnya dengan kuat. Tidak. Arslan tak menjauh tapi memberi waktu untuk Jess berpikir, bukan hanya dirinya yang tenggelam dalam pedih.

Ia juga. Sama besar rsa pedihnya. Sama terlukanya. Tapi Arslan tau dan coba untuk mengerti, Tuhan memberi garis yang berbeda untuknya karena suatu hal. Bukan tanpa sebab mereka berdua ditimpa kemalangan seperti ini, kan? Walau sungguh, Arslan tak menyangka kalau … ada efeknya pada diri Jess.

Cukup lama Jess tenggelam dalam tangisnya. Setelah berhasil sedikit menenangkan dirinya, Jess bergeliat pelan agar Arslan melepaskannya. Tapi pria itu tak mau memberi jeda. Malah peluknya makin dipererat. “Ar,” keluh Jess dengan suara serak. “Sesak.”

“Masih mau nangis?” tanya sang pria dengan sedikit menunduk yang mana mereka akhirnya bersemuka. Wajah Jess kacau. Matanya memerah karena tangisnya. Belum lagi ujung hidungnya yang basah. Dan tanpa permisi, kaus Arslan ditarik untuk mengusap bagian hidungnya itu. Membuat Arslan bukannya jijik tapi justeru terkekeh. “Kalau belum puas, nangis aja enggak apa-apa.”

Bibir Jess mengerucut. “Itu lah yang bikin gue sebal kalau ingat masa lalu. Gue jadi cengeng. Lemah.”

“Perempuan itu memang lemah, kok.”

“Tapi gue eng—“

Satu kecup Arslan layangkan untuk membungkam ucapan Jess. Mata yang merah itu melotot tak terima. 

“Jangan dulu ucapan aku ini disela kalau masih mau bernapas panjang.”

“Lo mau bikin gue mati?”

Arslan tergelak. “Mana mungkin aku sejahat itu? Kalau kamu mati, aku gimana?”

“Jijik, Ar!!!”

Pria itu menggeleng saja, melanjutkan ucapan yang tadi sempat terjeda. “Tapi lemahnya perempuan adalah sumber kekuatan kita, Lyn. Kamu nangis bikin aku sakit banget tapi di saat bersamaan, aku enggak mau kamu berlarut dalam sedih.”

“Tapi lo enggak tau rasanya jadi gue,” keluh Jess yang segera saja matanya menunduk. Kembali basah dan mungkin jika ia berkedip, air matanya lagi-lagi turun. “Po enggak ada dalam diri lo. Sementara gue? Dia berbagi napas dan denyut nadinya sama gue.”

Dan benar saja, Jess kembali menangis.

“Walau perut aku enggak ada Po, buatku, dia berharga banget. Dan kehilangan itu bukan cuma milik kamu, Lyn. Milik kita.”

“Dari mana milik kita? Kalau gue yang dipersalahkan? Gue yang ditanya, kok bisa? Memangnya kamu ngapain?” Jess terngiang kembali kata-kata itu.

“Enggak ada yang bilang seperti itu, Lyn. Itu pemikiran buruk kamu. Sudah sering aku katakan, kan?”

Jess melengos saat Arslan ingin mengusap pipinya yang basah.

“Jangan memendam sendiri, Lyn. Bagi sama aku. Ayo, sama-sama kita tanggung.” Tak kurang akal, dagu Jess ditariknya sedikit paksa. Membuat gadis itu makin merengut.

“Jujur, aku kehilangan kamu yang kuat. Sosok kamu ada di dekat aku sebelum aku benar-benar memutuskan pergi tapi bukan kamu yang biasanya.”

Jess terdiam. 

“Kamu tetap marah, kesal, bete, maki-maki aku, tapi …,” Arslan sengaja menjeda ucapannya. Karena kali ini Jess tak menepis jempol yang ada di dagunya, ia gunakan moment ini untuk mengusap pipi Jess yang lembab. “Tapi kamu kehilangan bara hidup, Lyn. Dan aku enggak suka bara itu padam.”

“Sudah tau kayak gitu, lo ninggalin gue!” sungut Jess sembari mencibir tak suka. “Setahun lho, Ar, setahun. Bukan sebulan dua bulan.”

“Tapi aku, kan, pamit.”

“Nyebelin!”

Arslan hanya terkekeh dan menarik Jess kembali mendekat. “Kita sama-sama perbaiki, ya, Lyn?”

“Tanyanya itu terus! Bosan gue dengarnya, tauk!”

Pria itu mengabaikan keluhan Jess. “Sebelum aku benar kembali ke Malaysia, kita berkunjung ke tempat Asmara, ya?”

Keningnya berkerut. “Asmara?”

“Namanya Asmarandhana Rinjani, Lyn. Bagus, kan?”

Tak ada yang menahan Jess untuk kembali menangis. Lagi. Dan kali ini, isaknya demikian hebat hingga Arslan yang tadinya berusaha sekuat tenaga untuk tak menangis, pertahanannya jebol juga. Malam ini, Arslan tengah bersyukur dalam seguknya. Karena Tuhan-nya tengah berbaik hati. Melembutkan hati Jess yang keras dan terjebak dengan sedihnya terus menerus. Tak ada yang bisa menerobos benteng yang Jess bangun. Berbagai upaya Arslan kerahkan sebelum ia memutuskan cara paling ekstrim; memberi jarak pada mereka berdua walau ada tujuan lain kenapa dirinya ke Malaysia.

Dan ternyata … berhasil.

Jess menyerah. 

“Besok, Ar … besok kita ke sana, ya?” Jess bicara dengan sekuat tenaga dalam sesak yang melandanya juga isak yang masih setia. Setelah sebelumnya, perang itu terjadi lagi. Di mana sebagian ingin sekali menjenguknya setelah sekian lama. Sebagian lainnya, terus saja menyalahkan dirinya karena kecerobohannya lah semuanya bermula.

Tapi kali ini, entah kenapa, dekap yang Arslan beri, diartikan berbeda oleh Jess. Lebih dari sekadar intim dan penuh kasih sayang. Membuatnya mengambil satu putusan penting. Menjenguk anaknya. Yang keguguran saat Jess jatuh di kamar mandi. Dua tahun yang lalu.

“Iya, Lyn. Besok kita ke sana.”

 

 


 

[16] ASMARANDHANA. 1

 

Jarak antara pemakaman dengan lingkungan tempat Jess beraktifitas sebenarnya tidak terlalu jauh. Bisa ia tempuh dengan motor matic-nya yang sekarang lebih banyak menghuni parkiran kafe. Bukan Jess tak tau lokasinya, ia bisa juga bertanya di mana posisi tepatnya. Hanya saja … ia belum siap.

Ingatan mengerikan itu berputar terus menerus hingga membuatnya mual. Ditepisnya sekuat tenaga, agar ia tetap bisa melangkah dan menegakkan tubuh. Walau di dalam kamarnya, saat lagi-lagi ia teringat perutnya yang kembali mengempis tanpa ada seorang anak yang menemaninya, ia tenggelam dalam tangis panjang.

Dalam perjalanan pulang kali ini, Jess memilih diam. Arslan seolah memahami keterdiaman Jess karena hari ini, untuk pertama kalinya, seorang Jesslyn Rasopati menjenguk sang anak. Anak yang selalu menjadi buah ceritanya di rumah. Bersama ibunya juga Xena, ia bagikan kisah serunya dengan Jess selama di Bandung.

Apa pun itu, sekecil kerikil pun Arslan bagikan karena menurutnya, menjalani hari di mana ada titik yang menjadi kedekatan mereka, adalah anugerah tersendiri. Padahal Laras juga Xena sudah meminta hampir setiap hari, agar Jess tinggal di Jakarta saja. Sekaligus mempersiapkan pernikahan mereka tapi Jess tetap lah Jess.

“Bedanya apa, sih? Gue senang di Bandung. Lagian, gue sudah sepakat sama Arslan, kok. Biar enggak ganggu waktu kita kerja. Dia ke Bandung, Jumat sore dan balik ke Jakarta lagi di Minggu sore. Beres, kan?”

Keinginan Jess sama sekali tak bisa diganggu gugat tapi Arslan tetap saja menuruti. Pria itu bukan tengah mengalah tapi menunggu saat terlemah dari Jess dan segera bisa ia tarik mendekat padanya. Mengenal gadis keras kepala di antara sekian banyak makian serta cemooh dan ajakan adu mulutnya, satu hal yang selalu dijadikan pedoman untuk Arslan; mengalah untuk menang.

Pun sama halnya saat ajakan menikah Arslan gaung, Jess terus saja menolak. Katanya, “Lo sama gue enggak saling cinta. Sudah lah. Kita begini saja. Gue santai, kok. Enggak terpengaruh sama omongan orang lain juga. Gue sayang sama Po, Ar. Sayang banget. Jiwa dan hati gue di sini. Pun lo, kan?”

Jika Jess sudah mengatakan hal itu, Arslan memilih bungkam. 

“Kalau sebatas tanggung jawab, gue yakin lo pria gentle, Ar. Tapi kalau untuk hidup bersama gue, menua bersama, berbagi segala macam sama gue, lo tanya hati lo dulu. Lo kuat? Lo sanggup? Kalau belum sanggup dan belum temukan jawabannya, jangan ajak gue nikah.”

Yang Jess katakan adalah kebenaran. Setiap kali Arslan pulang dari kunjungannya ke Bandung, ia selalu meraba hatinya. Menggulir semua hal dalam hidupnya di mana kehadiran Jess menjadi awal mula. Perkara menikah memang bukan hal yang ringan baginya. Besar dalam keluarga patah, yang pada akhirnya hancur karena ulah sang ayah, membuat Arslan meyakini satu hal; menikah itu keinginan yang paling kecil jumlan prosentasenya.

Namun … di depan Jess, segalanya meningkat tajam. Di mana bulan ke bulan kehamilan itu makin besar yang juga, rasa yang menjalari Arslan kian membukit. Rasa yang mana akhirnya Arslan yakini, ini bukan sekadar cinta biasa. Bukan hanya sebatas tanggung jawab. Tapi keinginan menghabiskan banyak waktu bersama Jess. Hanya berdua, ah … bertiga dengan Po. Calon anak mereka. Hingga tepat di usia kehamilan Jess yang ke tujuh, Arslan membulatkan tekad.

Melamar Jess dengan cara yang benar, bukan sekadar ajakan atas nama tanggung jawab. Sebuah cincin sederhana yang ia beli dari hasil murni ia bekerja, ada di sakunya. Bersiap pulang Jumat sore ini. Sengaja ia meminta Didi mengantarnya. Semingguan belakangan, pekerjaannya menumpuk sekali. Riga benar-benar ekspansi besar-besaran terhadap beberapa lini.

Yang mana makin membuat Djena berkibar persis seperti yang seharusnya.

Akan tetapi, rencana tinggallah rencana. Di mana kala itu, suara Berta—orang yang ditugasi Arslan menjaga Jess selama tak ada di apartement—terdengar mengerikan saat memberi kabar. Jess jatuh di kamar mandi. Dengan darah yang tiba-tiba turun dari belah pahanya. Ingin rasanya Arslan memaki tapi info Berta, ia tengah memasak. Mendengar suara pekik kesakitan yang membuatnya segera melongok ke kamar mandi majikannya.

“Tuan segera ke sini, ya. Non jatuh. Banyak darah. Bibi takut,” katanya dengan suara gemetaran.

“Panggil petugas keamananan gedung. Asya atau Meli juga untuk dampingi. Saya segera pulang,” tegas Arslan ketika mendapati kesadarannya kembali. Ia hanya berharap, Tuhan-nya terus melindungi Jess juga calon anaknya. Juga … keadaan yang berpihak padanya. Namun harapan itu pun hanya tinggal harapan. Sepanjang jalan ia tak pernah lepas memantau bagaimana Jess sampai …,

“Pak, maaf, saya butuh persetujuan khusus terkait Ibu Jess.”

“Saya dalam perjalanan, Dok. Bisa tunggu saya?”

“Justeru karena enggak bisa tunggu, saya bicara urgent dengan Bapak selaku suaminya. Saya harus lakukan tindakan operasi segera. Kondisi Ibu Jess mengkhawatirkan sekali. Tekanan darahnya mendadak tinggi.”

Arslan memejam sejenak. Sekebelatan bayang Jess yang tengah tersenyum muncul di pelupuk matanya. Ia tak boleh kehilangan senyum Jess. “Oke. Lakukan yang terbaik, Dok.” Jangan tanya bagaimana getar suara Arslan memberi keputusan. Karena sungguh ini sangat mengerikan baginya.

Ia takut, sungguh sangat takut dengan kabar ini. Padahal seminggu kemarin, mereka masih bercengkerama kian akrab. Di mana Jess tak pernah segan menunjukkan sifat manjanya pada Arslan. Membuat pria itu merasa sangat dibutuhkan oleh Jess.

Dan kini .. ya Tuhan! Tak ada yang bisa Arslan lakukan kecuali terus berdoa dan memantau mereka lewat sambungan video pada ponsel Berta. Wanita itu terisak dengan wajah khawatir sekali. Sesekali melirihkan nama Jess dan berkali-kali berdoa. Arslan tak mau sampai ketinggalan informasi sekecil apa pun dari Berta mengenai Jess.

“Pak Didi, kita bisa lebih cepat lagi? Jess kondisinya mengkhawatirkan.”

Didi menoleh sekilas, mengangguk pelan walau rasanya tak mungkin meluluskan permintaan Arslan. Di depannya tol arah ke luar kota padat merayap. 

“Semoga Tuhan selalu lindungi Non Jess, Tuan. Non orang baik. Tuhan pasti dengar doa-doa kita,” kata Didi mencoba menenangkan pria yang sudah kacau raut wajahnya.

Penuh perjuangan akhirnya mereka tiba di rumah sakit yang mana segera saja Arslan temui Jess namun, kedatangannya sudah dihadang dokter yang menangani Jess juga bayinya. Membuatnya mengerutkan kening terutama saat ia dibawa ke ruang khusus di mana untuk pertama kalinya … ia merasa bahagia. Di satu kotak khusus di mana bayi yang mungil sekali dibalut kain pink, terpejam. Air matanya mendadak merebak memenuhi netranya. Lelahnya terbayar tanpa butuh nominal.

“Kondisi kehamilan Ibu mengalami pre-eklamansia, Pak. Info dari Bu Berta tadi, Ibu Jess tiba-tiba jatuh tergelincir. Mungkin tekanan darahnya mendadak tinggi di saat itu, membuatnya pusing dan pingsan. Dan itu sangat berbahaya bagi kandungannya.”

Arslan menyimak baik-baik penjelasan dokter yang mana matanya pun tak teralih dari ruang di mana bayinya dirawat di sana. Bayi berjenis kelamin perempuan dengan berat 1,5 kg.

“Kami berusaha yang terbaik untuk ibu dan bayi Bapak.”

“Istri saya bagaimana kondisinya, Dok.”

Dokter Hendrawan, dokter yang sejak awal menangani kehamilan Jess, hanya tersenyum kecil. “Kita harus banyak berdoa, Pak. Ibu masih di ICU. Selama operasi, pendarahannya makin mengkhawatirkan.”

Tangan Arslan terkepal. Matanya makin berkaca-kaca. “Tolong … usahakan yang terbaik untuk Jess, Dok.”

Satu tepuk berisi semangat, Hendrawan beri pada pria di depannya ini. “Pasti, Pak.”

****

“Panas, Lyn.” Arslan berusaha memayungi Jess yang seolah tak peduli terik yang menyapa mereka kini. Area pemakaman yang cukup luas juga terawat menyapa mereka sejak satu jam lalu. Arslan tau, Jess tengah memupuk keberanian untuk turun dari mobilnya. Ia tak memaksa untuk segera turun dan berkunjung ke sana.

Tapi uluran payung hitam besar itu ditepis pelan oleh Jess. Ia memilih berjalan pelan, menikmati langkah demi langkahnya mendekat pada pusara yang Arslan tunjuk beberapa waktu lalu. Pusara kecil yang terawat

Ke makam putri mereka, yang Arslan beri nama Asmarandhana Rinjani Dinandirdja. 

“Panggilannya apa, Ar?”

Arslan tersenyum kecil. “Asmara.”

Jess lama menatap pusara itu. Ingatannya diseret kala pertama kali ia terbangun di rumah sakit. Hal yang paling pertama ia ingat adalah Po. Diraba perutnya yang kini sudah sedikit kempis. Juga … nyeri yang mendadak menyerang bagian perutnya.

“Ouch,” ringisnya pelan. Segera saja mendapat perhatian dari Arslan yang tengah bekerja. 

“Jess?”

“Ar? Gue di mana?”

Arslan tersenyum kecil. Mengusap pelipisnya penuh sayang juga banyak mengucapkan kata terima kasih karena ia telah kembali. Membuat Jess bertanya-tanya, apa yang sedang ia alami. Lalu … stok handuk bersih, kursi kecil, wastafel, juga hantaman pusing yang luar biasa menyakitkan, membuatnya teringat. Kapan terakhir kali dirinya berada. 

Kamar mandi apartementnya.

“Po? Po di mana?” Jess mencoba bangkt dengan gerak teramat mendadak namun lagi-lagi ia meringis.

“Sabar, Lyn. Perut kamu masih menyesuaikan.” Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Arslan selain Jess yang membuka matanya. Seminggu sudah ia dirawat di ruang ICU dan baru semalam dipindahkan ke ruang rawat. Masa kritisnya sudah lewat dan sungguh Arslan bersyukur atasnya. Hanya tinggal menunggu Jess bangun dan menyapanya.

Kening Jess berkerut dalam mendengar ucapan Arslan. “Maksudnya?”

Arslan menjelaskan dengan singkat kondisi yang Jess alami juga keadaan anak mereka. Jess terperangah dan tak menyangka kalau hal itu datang padanya. Padahal selama ini untuk gizi dan asupan makanan, selalu Jess jaga. Ia harus berkonsultasi nantinya. 

“Gue mau ketemu Po.”

Arslan menahan geraknya. “Kita pelan-pelan bergeraknya, ya. Dokter bilang, bekas operasinya masih belum pulih. Harus dilatih bergeraknya tapi pelan-pelan.”

Jess menghela pelan. “Lupa kalau lo bilang gue habis operasi.” Ia terkekeh kemudian. “Bantu gue segera bangun dari tempat tidur ini, ya. Mau ketemu Po.”

Senyum Arslan terkembang lebar. Mengangguk yakin dengan satu kecup cukup lama di kening Jess yang segera mendapat cibiran. “Selama gue tidur, berapa kalo lo curi cium gue?”

Untuk pertanyaan ini, Arslan tergelak. 

“Ck! Lo memanfaatkan banget keadaan lemah gue, ya?”

“Bukan gitu, Lyn.”

Jess mengibas. “Ayo, bantu gue.”

Hampir dua hari Jess berusaha sekali untuk menyesuaikan diri. Semangatnya tinggi. Ia tak peduli betapa nyeri itu nyata ada di perutnya. Semua saran dokter ia turuti. Juga menjaga makan di mana Laras yang mengurusnya. 

Dan kesempatan itu datang, di mana Jess bisa melihat dari kejauhan. Po. Bayinya. Bayi yang ia jaga segenap hati dan iayangi sepenuh jiwa. Tanpa sadar, air matanya menetes deras. Tangan yang sejak tadi digenggam Arslan, ia perketat genggamannya.

“Po di sana, Ar. Ya Tuhan!”

Arslan melepas genggamannya, meraih bahu Jess, merangkulnya erat. “Iya. Po di sana.”

“Gue enggak sabar pengin peluk, Ar. Enggak boleh, ya?”

Gelengan pelan Arslan beri. “Dia butuh ruang yang mirip dengan rahim kamu dulu, Lyn. Kalau melihat lebih dekat diperbolehkan. Makanya kamu yang semangat receovery-nya. Kalau kangen boleh masuk ke dalam walau enggak lama.”

Jess mengangguk senang. Hatinya buncah sekali akan perasaan bahagia. Ia biarkan air matanya terus menetes. Ini bukan dirinya dalam keadaan sedih dan terpuruk tapi mengisyaratkan harapan baru. 

Hari pun bergulir di mana Jess terus menerus bicara mengenai Po. Yang mana menulari pada sekitarnya; Xena, Riga, juga Laras. Terutama Arslan. Tak ada sehari pun bibir Jess tak bicara mengenai Po. Walau ia hanya bisa menatapnya dengan batas, tapi kebahagiaannya tak pernah ia tutupi. 

Akan tetapi, bahagia itu hanya bertahan seminggu. Karena tepat di kunjungan paginya ke ruang Po, Jess yang masih mengukir senyum itu, dibuat setengah gila akan kabar yang datang dari perawat serta dokter yang mengawasi perkembangan bayinya.

“Enggak. Dokter itu pembohong, ya? Jangan main-main sama saya,” katanya sembari mencengkeram tepian ranjang. Baru saja ia selesai mandi dan bersiap untuk makan. Jadwalnya hari ini, konsultasi pada bagian laktasi agar asi-nya bisa keluar. Dokter bilang, asi adalah yang terbaik untuk bayi. 

Dokter Hendrawan tersenyum kecil, memaklumi reaksi kaget di raut wajah Jess. Ia tak sampai hati mengabarkan sejak awal bayi dari perempuan berambut pink ini, memang dalam kondisi mengkhawatirkan. Organ vitalnya belum sempurna dan tadi pagi, bayinya gagal napas. Berlangsung cepat sekali.

“Saya mohon maaf atas kabar ini, Bu. Saya harap, Ibu tabah menghadapi.”

“Enggak, Dok. Bayi saya sehat. Tadi pagi saya berkunjung, lho. Masih senyum sama saya. Saya semangati biar cepat nenen ke saya.” Jess mendorong pelan bahu Hendrawan. Matanya perlahan sinis menatap pria berjas putih itu. “Jangan macam-macam, Dok, kalau memberi kabar.”

“Jess,” panggil Arslan menengahi. Segera saja ia merangkul Jess dan mendudukkannya di tepi ranjang.

“Lo dengar, kan, dokter bilang apa? Dia mau bohongi gue, Ar. Bohong ke gue! Gila enggak lho?!” tuding Jess tanpa ampun. “Po masih tidur di sana, kan?”

Arslan tak tau harus menjawab apa. Ia memilih merengkuh Jess dalam peluknya.

“Iya, kan?!”

Pria itu terus mendekap Jess.

“ARSLAN!”

“Yang dokter bilang itu benar, Jess.” Sakit sekali bagi Arslan mengatakan hal itu pada Jess. Di mana ia sendiri tengah berperang dengan rasa sedih yang teramat menderanya ini. Ia bahkan tak menyangka kalau bayinya … ya Tuhan. Ia harus kehilangan bayinya? Di saat kebahagiaannya mendekati sempurna? Segala yang ia susun memang berubah rencana tapi tak menyurutkan niatnya untuk menjadikan Jess istri.

Bersama Jess juga Po mengarungi kapal yang sama. Pasti seru sekali. Bayang menyenangkan itu terus saja terputar dalam benak Arslan. Apalagi semingguan terakhir ini, Jess terlihat lebih cantik dengan banyak senyum serta tawa bahagianya.

Dan kini … Tuhan cabut sumber bahagia mereka berdua. Po. Merubuhkan semua pertahanan Arslan sebagai pria. Menangis sembari saling memberi peluk adalah hal yang paling bisa ia lakukan di depan Jess kala itu. Di mana satu demi satu pukulan dari Jess diterima.

Juga raung Jess yang menyakitkan, menyayat pelan dan menoleh luka sedalam-dalamnya di tiap keping hati yang Arslan miliki.

****

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ppkm
Selanjutnya BROKEN UP. [29]
14
2
*** Spoiler“Aku butuh bertemu kamu.”Sara menyesap iced bagiannya dengan perlahan. “Soal?”“Irawan.” Amber menyeringai setipis mungkin. “Siapa lagi?” Bertepatan dengan ucapannya barusan, kopi pesanannya datang. Menjeda sejenak demi menikmati wajah Sara yang sudah lama tak ia temui, pun menilai seperti apa ekspresi gadis itu jika ia angkat ke permukaan mengenai sosok yang menjadi topik pembicaraannya kali ini. Amber pikir, ada sesuatu yang membuatnya merasa puas. Entah apa pun itu yang ditunjukkan wajah Sara padanya. Sayang, tak ia temui kali ini. Sara masih sama. Seperti Sara yang pernah ia kenal dulu. Sebagai seorang asisten kepercayaan Irawan, yang mana namanya terlampau sering disebut sang pria. Seolah ... Sara benar-benar istimewa. Mengalahkan ia, sosok yang seharusnya dipuja.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan