NONA BOSS. [Part 11 - 15]

0
0
Deskripsi

***Spoiler :

Rasanya aku jadi anak paling egois sedunia.

“Inggrid, selamat, ya, Nak. Sudah jadi istri orang sekarang.” Aku merasa usapan pelan kuterima di bahu. Nada suara Ibu gemetar dan saat aku menoleh, air matanya sudah membasahi pipi.

“Kok Ibu yang nangis?” Aku menyeka pipi Ibu dengan ibu jari. Lamat kuperhatikan tatapan wanita yang kuagungkan ini, binar bahagianya membuncah nyata. Aku makin kelu dibuatnya.

Apa ... pernikahanku memang membuat mereka bahagia?

“Ayo ... Ibu antar ke Andrew.” Ibu menuntunku...

[SERPIH. 11]

Aku pernah dilamar. Acaranya besar dan megah. Pria itu sungguh menjadikan aku gadis paling bersinar. Selain aku yakin seratus persen cintanya hanya tertuju padaku, aku bahagia dengan semua kejutan yang ia beri.

Ballroom hotel bintang lima disulap layaknya pelataran istana dalam dongeng. Kanan kirinya terdapat es angsa yang disorot lampu warna warni. Juga tersebar banyak meja bulat dengan aneka lilin serta hidangan yang aku yakin, rasanya luar biasa enak. Saat aku memasuki area, jantung serta mataku rasanya menyapa lantai. Jatuh tanpa aba-aba.

Pun ketika kulihat, pria yang segenap hati ini mencintanya, ada di ujung pelataran. Berdiri dengan menggenggam sebuket bunga. Musik romantis mengiring diriku yang berjalan ke arahnya. Tak ada kata penolakan karena memang ... kami saling mencintai.

Dia bilang, aku boleh merangkai pesta pernikahan yang akan diselenggarakan enam bulan lagi, semauku. Aku bahagia saat itu. Sangat. Gaun mewah, dekorasi indah, undangan yang unik, souvenir yang bisa dimanfaatkan, belum lagi bulan madu yang kurasa pasti menyenangkan. Membicarakan pesta yang menurutku tak habis-habisnya kubahas dengan pria yang hingga detik ini, raja di hatiku.

Kenangan manis itu terputar nyata hingga tanpa sadar ... aku menitikkan air mata. Kusapu dengan segera karena ini jelas bukan air mata haru diperistri seorang Andrew Baharu Mahreem.

Terutama saat telingaku dengan jelas disapa kata ‘sah’ yang menggema sempurna di ruang rawat Kakek. Aku memejamkan mata sejenak. Dalam kurun waktu 2x24 jam, statusku terganti. Kenangan manis yang kugenggam belasan tahun ini, aku gadai dengan senyum Kakek yang terkembang bahagia.

Ya Allah.

Persiapan pernikahan yang begitu sederhana. Diadakan di ruangan yang disulap sedemikian rupa tanpa ada dekorasi atau hal-hal yang pernah singgah di benakku untuk dirancang. Air mata yang turun tak lantas membuat bahuku bergetar. Aku hanya merasa ... akan jadi apa hidupku setelah ini?

Akan tetapi, mungkin ... mungkin seimbang dengan senyum yang tak pernah mau surut dari wajah Kakek. Oh ... jangan lupa, wajah Papa yang terlihat lebih cerah dari biasanya. Dugaanku kuat, kalau Papa sebenarnya sudah sejak lama menginginkan hal ini terjadi pada hidupku hanya saja ... aku selalu menolak.

Rasanya aku jadi anak paling egois sedunia.

“Inggrid, selamat, ya, Nak. Sudah jadi istri orang sekarang.” Aku merasa usapan pelan kuterima di bahu. Nada suara Ibu gemetar dan saat aku menoleh, air matanya sudah membasahi pipi.

“Kok Ibu yang nangis?” Aku menyeka pipi Ibu dengan ibu jari. Lamat kuperhatikan tatapan wanita yang kuagungkan ini, binar bahagianya membuncah nyata. Aku makin kelu dibuatnya.

Apa ... pernikahanku memang membuat mereka bahagia?

“Ayo ... Ibu antar ke Andrew.” Ibu menuntunku agar bangkit. Di dalam ruang rawat Kakek, Papa, Andrew, Kakek, Rendra, serta penghulu dan beberapa saksi—bahkan dokter yang merawat Kakek dengan senang hati menjadi saksi nikah kami—melangsungkan akad nikah. Sementara aku, Ibu, Yaya, dan juga Bu Puri ada di ruang sebelah. Dari semua yang ada, hanya wanita paruh baya yang dibalut batik lengan panjang anggun, yang tatapannya mengganjal berat.

Memang hanya dirinya saja? 

Ini semua inginnya Kakek. Begitu mendapat persetujuan dariku, Kakek tak mau lagi menunda hingga pulih. Katanya niat baik harus segera dilaksanakan. Papa dan Rendra langsung sibuk. Pun Andrew yang bergegas menyiapkan ini dan itu, aku tak tahu. Komunikasi kami hanya sebatas di kafe. Tak ada kelanjutannya lagi.

Dress broken white dengan aksen brookat di bagian dada dan ujung lengan menjadi pilihanku. Tatanan rambut sederhana dengan make up yang biasa kukenakan saat bekerja. Tak ada yang mewah di sini. Lewat sambungan video call padahal hanya antar ruang, ketahui lah, yang paling mewah yang ada dalam kondisi saat itu adalah senyum bahagia orang-orang di sekitarku. 

Darahku berdesir hebat saat Andrew demikian lancar mengucap ijab kabul. Mantap dan penuh yakin. Pun ketika bibirnya yang agak pucat itu melafalkan namaku, entah kenapa, itu ... terdengar mengusik relungku.

Saat aku dan Ibu masuk, mata kami saling bertemu membuat waktu terhenti sejenak. Banyak yang mengakui Andrew itu tampan. Bahkan Anna namun minus Yaya. Bagi Yaya, Rendra paling tampan sedunia. Menurutku Andrew ini biasa saja. Hanya karena Andrew punya keturunan bule entah dari mana, tapi bagiku Andrew hanya good looking.

Akan tetapi kali ini, pendapatku patah begitu saja. Dibalut kemeja putih dengan jas yang sengaja tak dikancing, pun mengenakan peci, aku akhirnya mengakui Andrew kali ini ... tampan. Cita rasa good looking yang ada dalam dirinya, berkali-kali lipat hingga ada di puncak tertinggi pujianku kalau, ya ... Andrew memang tampan. Aku sampai lupa berkedip—bersyukur pada Ibu karena tarikan pelannya, aku memijak bumi lagi.

Penuh ragu Andrew ulurkan tangan membantuku agar mendekat ke arahnya. Aku memejam sejenak lalu menerima tanganku ini akhirnya saling bersentuhan. Telapak tangannya dingin. Kurasa ia pun merasakan dinginnya telapak tanganku juga.

Saat ia semat cincin yang dikelilingi permata indah, tangannya juga gemetar. Tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arahku. Sebenarnya aku pribadi tegang luar biasa. Gugup yang melanda lebih dari sekadar memenangkan tender puluhan milyar. Atau bernegosiasi dengan investor asing yang terlalu mendetail hingga company profile harus dipelajari lebih dulu ketimbang presentasiku.

“Assalamu’alaikum.” Setelah memastikan cincin terpasang sempurna baik untukku atau dirinya, matanya tak dialihkan ke mana-mana selain padaku. Bibirnya seperti ingin bicara tapi kembali dikatupkan. Ada apa? Ada yang salah kah? Atau penampilanku hari ini buruk di matanya? 

“Istriku yang cantik.”

Aku mengerjap pelan. Memroses kata-kata yang meluncus barusan. Yang menggelitik telingaku hingga membuat aku agak susah bernapas. Sejenak ... aku lupa gambaran indah pernikahan yang pernah kurancang bersama pria lain yang tadi menyelubungi diriku.

Sudut mataku berlarian mengelilingi sekitar. Entah kenapa aku merasa mereka menungguku untuk ada dalam satu moment, yang sungguh aku sama sekali tak pernah menyangka akan mengalami ini. Aku tahu, tak ada yang bisa mencegah gemetar pada tanganku yang terjulur ke arahnya. Andrew menatapku ragu tapi urung untuk menolak. 

Sekarang... 

Aku mencium punggung tangannya penuh takzim. Selayaknya seorang istri menaruh hormat pada sang suami. Seperti cara Ibu setiap hari melakukan pada Papa. Aku melakukannya. Sesaat aku merasa, Andrew tegang karena tindakanku ini. Jangan tanya kabar jantungku yang sudah tak keruan lagi berdegup.

Saat aku mendongak dan pandangan kami kembali bertemu, seulas senyum canggung tercetak di bibirku. “Wa’alaikum salam.” Lalu kembali aku tundukkan kepala. Terlebih tanpa izin—walau sebenarnya itu masuk dalam hal yang pantas—ia mengecup keningku sekilas.

Belum habis rasa terkejutku, telapak tangannya ia letakkan tepat di atas kepalaku. Sudut netra ini melirik pria yang kini memejam seolah ... ada lantun doa yang ia ucap tanpa kata. Aku merasa tubuhku aliran darahnya habis terkikis. Sungguh, ini bagian menegangkan yang harus aku hadapi.

Segera aku susul doa yang kuhatur pada Tuhan-ku. 

Entah doa kami ini sama atau tidak, yang paling utama bagiku, aku hanya ingin pilihanku tak salah. Semoga pernikahan kami ini ... baik-baik saja.

Abang, hari ini Neng menikah. Neng cinta Abang. Selalu. Maafkan, Neng. Maafkan. 

 


 

 

[SERPIH. 12]

 

Genap seminggu aku menjadi istri Andrew. Tak ada yang berubah karena aku pun masih fokus pada pemulihan Kakek. Aku bahkan belum ada keinginan untuk pulang ke rumah Andrew—dia bilang, sudah memiliki rumah sendiri. Kukatakan alasanku kenapa, ia mengerti dan memaklumi. Tak ada acara bulan madu. Tak ada acara tidur di kamar pengantin lengkap dengan kelopak bunga. Pun tak ada acara membuka banyak bingkisan kado dari tamu undangan.

Setiap wanita kurasa menginginkan itu di hari bahagia mereka. Pun aku. Dulu.

Sekarang? Keinginan itu sama sekali tak ada. Cukup lah untukku sekarang, bicara banyak hal dengan Kakek dan Papa yang seakan menemukan energi baru. Dan rasanya akan kurang ajar kalau senyumku tak tampak di depan mereka. Akibat yang kuterima, katanya pengantin baru aura bahagianya kentara sekali. Indikator bahagia yang mereka maksud ini skalanya apa? Bertemu Andrew saja paling lama hanya satu jam, itu pun setelah dirinya pulang kerja.

Mau mendengkus tak suka, aku masih menghormati mereka. 

Cengkerama akrab kami terinterupsi oleh hadirnya Om Gu dan Andrew. Keduanya masih rapi mengenakan setelan kantor. Kurasa memang mereka menyempatkan diri ke mari tapi ... ada apa?

“Gimana kabarnya, Pak?” tanya Om Gu dengan raut wajah yang cukup santai kali ini. Saat menjenguk Kakek pertama kali, aku bisa melihat kekhawatiran melandanya. Aku bersyukur banyak yang menyayangi Kakek.

“Sudah lebih baik, Gu. Menantumu merawat aku enggak tanggung-tanggung.”

Aku mencebik sementara mereka tertawa.

“Tujuan saya ke sini, mau bicarakan masalah resepsi.”

Tunggu ... kenapa hanya aku yang mengerutkan kening sementara yang lain terlihat santai?

“Enggak etis rasanya kalau menikahi putri Wijaya tanpa ada resepsi. Sebulan lagi menurut Pak Willy gimana?”

Kakek malah tertawa. “Silakan-silakan. Saya setuju saja. Kurang apa, kalian bilang. Pasti Harris siap bantu. Ya, kan, Ris?”

Papa terkekeh menanggapi dengan anggukan semangat. 

“Nah, Andrew bisa bicara dengan Inggrid masalah resepsi kalian. Terserah kalian mau konsep seperti apa. Dibicarakan berdua lebih enak, kan?” Papa menepuk bahuku pelan. Seolah mempersilakan aku dan Andrew untuk menyingkir atau sepertinya kami sedang ingin disingkirkan?

Mataku mengerjap pelan. Jadi di sini ... hanya aku yang belum tau mau diadakan resepsi?

“Ayo,” ajak Andrew sembari mengulurkan tangan. Rasanya kalau aku tolak, pasti membuat mereka punya pikiran aneh.

“Ndrew, kalau ngajak istri tuh yang romantis jangan kayak orang ngajak teman main.”

Kata-kata Om Gu disambut tawa oleh semuanya. Membuat Andrew tersenyum canggung tapi masih setia menunggu aku menyambutnya. Ketimbang kami menjadi bahan ledekan kembali, segera kuberi tangan ini agar ia genggam. Gegas melangkah keluar ruang rawat Kakek.

“Sudah makan?” Hal pertama yang Andrew tanyakan padaku adalah perkara makan. Selalu. Setiap kali kunjungan setelah kerjanya ke rumah sakit pun sama. 

“Belum. Kamu?”

Dia terkekeh. “Sama. Mau makan apa? Steak? Sop? Sate?”

“Enggak nawarin saya nasi padang?”

Tawanya berderai. “Serius?”

Aku hanya mengangguk.

“Saya pikir, seorang Inggrid ini sukanya makan di resto yang high class.”

Aku mengulum senyum kecil. “Anda salah menilai berarti.”

“Oke. Saya catat dalam memori, istri saya ini suka makan nasi padang.”

Tadinya ingin kulayangkan protes tapi mana sanggup. Yang ia katakan sebuah kenyataan. Mau dipungkiri sejauh apa, tak mungkin bisa aku sangkal. Kurasa dayaku untuk berperang dengannya, terkikis karena Kakek. Aku butuh istirahat lebih.

“Minggu ini ada acara? Semoga, sih, enggak. Saya mau ajak kamu melihat rumah yang mau kita ditempati, ya. Masih kosong, sih, belum diisi apa-apa. Niat saya memang beli furniture-nya bareng sama istri. Saya jemput jam sembilan pagi, bisa?”

Selain menyebalkan, Andrew ini kalau bicara tak dikaji ulang, ya?

“Saya cek jadwal dulu. Enggak bisa langsung memutuskan,” tukasku.

Masih kudengar sisa tawanya setelah mengatakan, “Saya lupa dengan siapa saya berhubungan.”

***

“Kamu mau resepsi seperti apa?”

Kilas memoriku justeru membawa pada kejadian saat pertanyaan yang sama dihadapkan padaku. Binar wajahnya cerah sekali sementara aku menikmatinya dengan bertopang dagu. Semangat sekali kala itu bertanya ini dan itu mengenai persiapan pernikahan kami. Hal yang berseberangan dengannya masalah tema.

Aku ingin red gold yang mentereng sementara seorang Nelson Abra menyukai putih. Katanya suci dan menyiratkan sakral yang nyata. Aku cemberut saat mengetahui konsep itu disetujui keluarga besar kami.

“Ya sudah, kalau Inggrid maunya red gold. Abang ngalah.”

Senyumku terkembang lebar. Priaku paling gampang luluh dengan wajahku yang pura-pura merana. 

Dan obrolan kami saat itu, benar-benar aku yang menguasai. Neil hanya sesekali memberi masukan atas apa yang kupilih. Sungguh ... itu sangat menyenangkan dan rasanya ingin segera terwujud. Di mana aku dengan dress cantik berwarna merah dengan gelung rambut tiara gold. Entah kenapa, setiap kali warna merah disanding dengan kulitku, kepercayaan diri ini naik ribuan persen.

Neil bilang, merah dan aku adalah seksi yang nyata. Kalau sudah membahas masalah seksi, mukaku merah padam. Bisa-bisanya pria itu menggodaku.

“Inggrid?”

Aku ditarik paksa kembali berada di mana sekarang di hadapanku Andrew duduk menatapku bingung. Aku mengerjap pelan. Mengusir bayang masa lalu yang ternyata masih nyata sering terproyeksi. 

Sejak hari di mana statusku berubah, panggilan ‘Ibu’ dan ‘Bapak’ tanggal begitu saja. Biarpun canggung selalu menyapa bibir serta telingaku, aku mencoba membiasakan diri. Namun tak lebih dari itu. Kami masih setia menggunakan bahasa formal. 

“Kamu pasti capek banget, ya, jagain Kakek Willy.” Nada bicara Andrew berubah sendu. 

Bibirku mengatup erat. Jelas bukan karena itu aku melamun.

“Kalau saya minta sesuatu boleh?”

“Apa?” tanyaku pelan sembari menormalkan diri dari bayang kenangan manis masa lalu.

“Saya mau kamu istirahat malam ini. Mau buka room di hotel dekat sini atau kembali ke apartement, terserah. Yang penting hari ini kamu full istirahat.”

Aku mengerjap pelan.

“Saya enggak mau kamu sakit. Biar bagaimanapun, kamu istri saya. Ada khawatir yang saya punya untuk kamu.”

 


 

[SERPIH. 13]

 

“Kek ...” Aku hampir putus asa karena Kakek sama sekali tak mau kuselimuti. Kami berjalan dan menikmati senja di sekitar taman rumah sakit. Aku sendiri baru mengetahui saat Kakek bilang, di sini ada taman. Entah dirinya tau dari mana ada area menyejukkan mata di dalam sini.

“Kakek enggak kedinginan, Inggrid.”

Aku mencebik. Padahal udara sore ini cukup mengganggu buat Kakek. Semilir angin sore tak main-main menggoyangkan ranting pohon yang ada di sekitar taman. Dibantu menggunakan kursi roda, aku membawanya menghirup udara luar ruang rawat. Dokter mengizinkan dengan senyum maklum.            

Dadaku berdesir hebat saat dokter, malam tadi mengatakan dengan jelas kondisi terakhir Kakek. Kami mau mengusahakan yang terbaik tapi kalau semangat itu nyalanya mulai redup. Dokter sendiri hanya bisa melakukan yang bisa ia lakukan. Tak bisa banyak berharap. Getar tubuhku makin jadi saat aku menatap wajah Kakek yang terpejam damai. Tanpa beban. Senyum tuanya terlihat indah dan ... Ya Allah ... akan kah sudah tiba waktunya?

Aku menolak Andrew yang berencana mem-booking satu kamar hotel agar aku full beristirahat. Dia sendiri pun turut hadir mendengar penjelasan dokter dan mengangguk tanpa bantahan saat aku memutuskan tinggal lagi di kamar Kakek.

Pesannya, “Jangan lupa makan. Tadi saya titip vitamin ke Ibu untuk kamu. Jaga kesehatan, ya, Inggrid.”

Sebagai balas atas pengertian dan perhatiannya, aku mengangguk.

Lamunku menguap saat tangan keriput Kakek menyentuhku. Membuat laju dorong kursi rodanya aku hentikan perlahan. “Ada apa, Kek?”

“Kamu yang ada apa? Bengong?”

Aku tersenyum dan sedikit berjongkok di dekatnya. “Enggak. Kenapa harus bengong.”

“Gimana pembicaraan sama Andrew tentang resepsi?”

Lidahku kaku mendadak. Kami belum ada bicara banyak selain dirinya yang bertanya acara ini mau diadakan di mana. Aku belum bisa konsentrasi saat ini. Banyak sekali yang menekanku terutama kesehatan Kakek. Kalau kantor, Rendra selalu memberi laporan yang membuatku lega. Semua aman terkendali. Memang Rendra ini piawai tapi tak mau terjun kalau bukan karena terpaksa.

“Sejauh ini oke,” kilahku ditutup senyum. Agar Kakek tidak terlalu mencurigaiku.

“Andrew mau ke sini?”

Aku mengangguk. “Sebentar lagi sampai katanya.” Ini bukan perkataan bohong. Andrew memang sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Menunda satu rapat dengan jajaran managernya karena telepon mendadakku dua jam lalu. Katanya Kakek ingin bicara padanya.

Kupikir, dia akan menolak karena sebelumnya Andrew bilang ini meeting penting. Ternyata tidak. Dirinya langsung menyanggupi dan membuatku merasa sedikit tenang.

“Sabar, ya. Saya selesaikan satu laporan lagi. Setelah itu langsung ke sana. Kamu temani Kakek dulu,” ucap Andrew di akhir teleponnya.

“Kakek bahagia bisa lihat kamu menikah akhirnya.” Kakek berkata sembari memejam. Kurasa ia menikmati embus yang tercipta di antara kami. Kuusap lembut punggung tangannya dan mengecup sayang. Kakekku, orang yang kusayangi dan dekat dengan hati.

Teringat betapa dirinya selalu menopangku saat sedih melanda. Papa juga. Peran mereka berdua tak pernah setengah-setengah hanya agar aku kuat menghadapi dunia. Kakek terus menjejal dengan banyak kesibukan sementara Papa, memberi aku mandat besar agar aku mulai lupa, kalau tak seharusnya sering menangisi kepergian Neil.

Bagiku, Neil demikian berharga untuk sekadar dilupakan.

Suara ketuk langkah mendekat dan saat aku mendongak, Andrew ada di sana. Berjalan mantap ke arah kami. Jangan lupa seringai menyebalkannya masih setia ia cetak. 

“Assalamu’alaikum, Kek,” sapanya sembari meraih pelan tangan Kakek dan mengecupnya. Aku sudah berdiri dan memberi jarak pada Andrew. Saat mata kami bersitatap, sebenarnya canggung juga karena untuk kali kedua dirinya mengulurkan tangan padaku.

Kurasa ini ia lakukan untuk menyelamatkanku dari ucapan Kakek. “Salim, Nak. Suami datang, kok, enggak disambut?”

Aku memejam sejenak, menarik napas banyak. Penuh takzim aku lakukan lagi hal yang asing bagiku. Sudut mataku melihat senyum Kakek yang terlihat puas. Tak apa. Asal senyum itu selalu bisa kunikmati, aku tak masalah. 

“Gimana kantor, Ndrew?”

Tugasku mendorong Kakek, tergantikan oleh sosok pria yang masih mengenakan setelan rapi. “Baik aja, Kek. Enggak ada yang spesial.”

Kakek tertawa kecil. “Kakek mau di sana aja, Ndew. Menikmati bunga.” Ia menunjuk satu sudut di mana banyak jajaran rapi bunga anggrek. Pun bangku dari besi berukir sebagai pemanis. Setidaknya, kami bisa duduk di dekat sana sembari menemani Kakek.

Kembali aku selimuti bagian depan tubuh Kakek. Aku takut, beliau kedinginan dan beruntung Kakek enggak lagi menolak. Tepat setelah aku menyelimuti, Kakek menahanku agar tetap ada di dekatnya.

“Andrew,” panggilnya yang membuat pria bule itu pun turut mendekat.

Kami saling bersitatap sekilas sebelum akhirnya, berjongkok tepat di depan Kakek.

“Kalian cucu kesayangan Kakek.” Tangan tua itu memberi satu usapan sayang baik di puncak kepalaku, pun Andrew. Entah kenapa, aku merasa ... ini kali terakhir aku bisa merasakan sentuh sayangnya.

“Saling menjaga satu sama lain, ya.”

“Iya, Kek. Andrew akan jaga Inggrid sepenuh hati,” katanya mantap.

“Saling mengasihi. Beri banyak cinta untuk warna hidup kalian nanti.”

Jantungku mencelos tanpa aba-aba.

“Iya, Kek.” Lagi-lagi Andrew yang bicara.

“Jangan buat Inggrid sedih dan menangis, ya, Andrew? Bisa?”

Kami kembali saling menatap. Sejurus kemudian pria itu mengangguk tanpa ragu.

“Kakek tenang saja. Andrew enggak akan bikin Inggrid menangis sedih. Tapi kalau menangis bahagia, Andrew selalu usahakan.”

“Bisa aja kamu,” kata Kakek tertawa kecil.

“Andrew serius, kok, Kek. Laki-laki itu yang dipegang adalah ucapan dan buktinya. Akan Andrew buktikan.”

Kakek menggusak kepala Andrew sembari terkekeh. “Harus kamu lakukan itu untuk Inggrid. Tak mungkin Kakek sembarangan menyerahkan cucu kesayangan Kakek ini pada orang yang tak tepat.” Lalu tatapan Kakek beralih padaku. Wajah tuanya terasa begitu berbeda. Senyum pucatnya walau ada ringis sakit kurasa, begitu damai dan bahagia.

“Kakek senang akhirnya kamu turuti mau Kakek.”

Aku menelan ludah perlahan. Cengkeraman tanganku pada kursi roda semakin mengetat.

“Kakek bisa pergi menemui Nenek dengan tenang, Inggrid.”

“Kakek enggak mau melihat aku di pelaminan?” tanyaku tanpa aba-aba. Netraku sudah berkaca-kaca, mungkin dalam satu kali kedip, luruh sudah air mata yang sejak tadi aku tahan.

“Melihat kamu dan Andrew menikah saja, Kakek sudah sangat bahagia. Resepsi itu hanya penghias.”

Matanya memejam dengan senyum. Aku menggenggam tangan keriputnya demikian erat. Kakek membalasnya sama kuat. Aku takut sekali. Karena buatku, kehilangan Kakek menambah daftar kesedihan tanpa tepi di hati rapuhku ini.

Meski aku tahu, kurasa ... Kakek memang sudah merindukan perjumpaannya dengan Nenek.

                


 

[SERPIH. 14]

 

Sudah berlalu tiga hari Kakek dimakamkan. Rasa kehilangan yang menderaku masih ada. Walau aku sering sibuk dengan pekerjaan kantor, sesekali aku sering menghubunginya lewat sambungan video call. Sekarang? Rasanya pasti agak aneh nantinya.

Aku berjanji tak menangis selama pemakamana dan yah ... aku berhasil. Mungkin karena aku menyadari, Kakek memang sudah menuntaskan—dan sungguh aku bersyukur masih diberi satu kesempatan walau ada yang mesti kupertaruhkan untuk Kakek. Aku tak menyesalinya. Semoga—apa inginnya.

Melihatku menikah.

Begitu tenang dan damai saat Kakek mengembuskan napas terakhirnya. Kami sekeluarga ada di sana, mengiringnya menuju keabadian. Menyusul Nenek yang pasti tersenyum bahagia menyambutnya. Aku yakin itu.

“Capek?”

Aku terkesiap mendapati Andrew memberiku botol minum. Suasana rumah masih ramai dengan pengajian yang diselenggarakan untuk Kakek. Walau sudah selesai, tamu masih banyak yang datang. Kebanyakan kolega serta rekan bisnis keluarga kami yang berada di luar kota.

“Lumayan.” Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Bahkan tutup kemasannya saja sudah ia bukakan agar aku tak perlu repot memutarkan. “Makasih,” imbuhku.

Andrew duduk tepat di depanku tampak gelisah. Padahal saat tadi menyerahkan botol minum, ia terlihat santai. Ada apa? Ke mana kepercayaan diri nan tengil miliknya pergi?

“Ehm ... hari ini ... kita harus tidur di sini lagi atau pulang?”

Mendadak aku teringat, jemariku yang sudah tak lagi kosong. Ada cincin yang mengisyaratkan kalau aku sudah berubah status. Pertanyaan Andrew ini mengandung banyak makna. Rasanya akan aneh kalau kami terlalu lama—walau aku yakin seratus persen Ibu dan Papa tak pernah keberatan ada tambahan keluarga—menginap di sini.

Kami tidak satu kamar, ngomong-ngomong. Aku masih belum mau mengizinkan dan entah kapan izin itu akan kuberikan untuk Andrew. Ada satu waktu di mana dalam kamarku lah, sumber kekuatanku ada. Kenanganku bersama seorang Nelson Abra Nugraha. Andrew kuminta untuk tidur di salah satu kamar tamu yang ada. 

“Kita pulang,” putusku.

“Oke.”

Aku tak tahu apa jawabanku sudah tepat atau belum. Sejak menjadi istri Andrew, aku memang belum pernah dalam satu frame yang sama. Bahkan aku masih merasa ini hanya mimpi. Nanti saat bangun di pagi hari, aku kembali menjalani aktifitas menjadi Inggrid yang bebas. 

Suara rengek bayi menginterupsi kami. Aku sontak berdiri dan menyongsong Rendra yang menggendong Zain. Bocah itu menangis hingga matanya memerah. 

“Dari tadi enggak mau diam. Pegel banget ngegendong Zain,” keluh Rendra yang segera aku layangkan jewer kecil di telinganya.

“Risiko punya anak,” kataku tanpa ampun.

Rendra meringis. “Iya, tau. Tapi ini bener, deh. Zain rewel banget. Enggak berhenti nangis dari tadi.”

Saat Zain berpindah ke dekapku, tangisnya mulai mereda. Mata bening dengan bulu mata lentik itu menatapku. Kuusap pipi gembilnya yang basah air mata. Mengecupnya gemas. “Sama Bubu, ya. Zain rewel karena banyak orang, Ayah.” Rendra memilih dipanggil Ayah ketimbang Papa bagi Zain, jadi aku mengikutinya. Agar Zain terbiasa dengan panggilannya itu.

“Di sini sama Bubu tenang, ya,” kataku sambil mencium kepalanya yang ditumbuhi rambut ikal tebal. 

Ajaib. Tangisnya benar-benar berhenti. Malah memelukku dengan erat mencari kenyamanan. Melihat hal itu, Rendra menghela napas lega. “Tau gitu aku kasih Kak Inggrid aja dari tadi.”

Aku tertawa. “Pulang sama Bubu, yuk. Ayah enggak mau gendong Zain lagi. Kalau Bubu mau-mau aja.”

Rendra mencebik. “Kakak mau pulang?”

Aku mengangguk tanpa menoleh pada Rendra. Asyik memainkan tangan gemuk milik Zain yang membuat senyumnya mulai hadir. “Aku bawa, ya, Ndra.”

“Jangan! Wah ... bisa habis aku sama Nana.”

“Segitunya,” cibirku. “Lagian dia anteng sama aku, Ndra. Biar aku punya teman.”

“Lupa sama Mas Andrew?”

Otomatis aku mendongak dan menatap mata pria yang terkekeh di depanku. Aku memang lupa kalau sudah bersama Zain. Papa dan Ibu saja suka aku abaikan apalagi ini.

“Biar aja, Ndra. Lagi asyik gitu sama Zain,” katanya tanpa menghilangkan kekeh di bibir.

“Bikin sendiri sana.”

Kalau saja aku bisa menimpuk Rendra dengan sandal yang kukenakan, sudah pasti akan kulakukan. Bisa-bisanya Rendra meledekku seperti itu! Tapi karena Zain kembali menyurukkan diri padaku, aku mencibir saja pada Rendra.

“Zain sekutu Bubu, kan, ya? Bikin ayah kamu tidur di sofa, Nak. Mama kamu monopoli. Atau kalau perlu, bikin Ayah tidur di luar kamar. Gimana?”

“Eh ... jangan racuni Zain macam-macam, Bubu!”

Kami tertawa. Kulihat Andrew hanya tersenyum sembari menggeleng. 

****

Perjalanan pulang kali ini canggung yang mendera tak pernah main-main.

Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana dan apa. Sepertinya Andrew juga begitu. Buktinya, sejak masuk ke dalam sedan mewahnya ia memilih fokus pada setir. Jadi aku pun memilih menikmati jalan Jakarta yang sudah lenggang sembari ditemani musik yang Andrew putar.

“Sementara ini saya bawa kamu pulang ke rumah orang tua saya dulu, ya.”

Aku refleks menoleh dan memberi tatapan sangsi. “Saya pikir ke apartement.”

Dia tertawa. “Saya masih tinggal bersama Papa dan Mami.”

Aku mengedikkan bahu samar. Tapi cukup tergelitik juga diri ini. Kupikir seorang Andrew lebih memilih tinggal di apartement karena biasanya pria lajang dengan segudang aktifitas, lebih menyukai kehidupan simple. Mungkin saja pengecualian buat Andrew.

Mau bagaimana lagi. Katanya langkah suami itu adalah jalan ridho untuk istri. Kalau aku diajak pulangnya ke rumah orang tuanya, aku bisa membantah apa.

“Seminggu aja, kok. Inggrid bawa baju cukup?”

“Enggak kayaknya. Nanti gampang lah saya ambil di apartement.”

“Seharusnya saya bawa Inggrid ke rumah pribadi saya tapi di sana belum layak huni. Masih kosong.”

“Iya, saya paham,” tukasku cepat.

“Mungkin bagi Inggrid ini terkesan lucu, ya?”

Keningku berkerut. 

“Yah ... enggak sangka kalau saya masih tinggal di rumah orang tua.”

“Oh, itu.” Aku menyelipkan helai rambut yang menyentuh pipi. “Yah ... begitu lah.”

“Papa selalu sibuk. Dan ... yah, saya enggak bisa meninggalkan begitu saja rumah utama.”

Apa ini berkaitan dengan ibunya? Saat akan mendaratkan tanya, suara klakson Andrew mengurungkan niatku pun ucapannya yang membuat aku berpikir sejenak.

“Saya harap, Inggrid bisa kerasan.”

Arah pandangku saat ini diisi dengan pagar tinggi berwarna hitam yang kokoh. Kuyakin di baliknya berdiri rumah yang Andrew tak kalah megah. Tak berbeda jauh dari rumah Papa yang besar juga cukup mentereng tapi aku selalu bisa menyebut rumah mereka sebagai tempat pulang. 

Hangat dan sarat keakraban satu sama lain. Aku berharap, hal yang sama kurasa di sini walau hanya seminggu. Seperti kata-kata Andrew barusan.

“Ayo.” Kini pria itu sudah berdiri di dekatku. Membukakan pintu mobil dan tangan yang terulur padaku. Bolak balik aku menatapnya, menimbang senejak sebelum akhirnya menyerahkan tanganku agar ia genggam.

Saat kami bersentuhan, aku merasa genggaman tangannya diperketat. Seolah memberitahu kalau aku akan baik-baik saja. Iring langkahku tak di sampingnya. Terjeda satu atau dua langkah di belakangnya. Menikmati satu pemandangan dengan hati penuh ragu pada punggungnya yang tegap, apa pilihanku tepat?

                

 


              

                

[SERPIH. 15]

 

Kami disambut hangat Om Gu, tapi aku tak melihat Bu Puri. Aku pun enggan bertanya bukan karena tak mau. Hanya saja, kata-katanya melekat sempurna belum ingin kulupakan. Saat kami menikah pun sorot matanya keberatan. Kalau saja bisa kumuntahkan semua keberatan yang kupunya, sudah pasti milikku paling banyak ketimbang dirinya.

Akan tetapi, kukuatkan hati setebal baja demi senyum Kakek yang masih mengiringku hingga kini. 

“Ibu ada urusan sama temannya,” kata Om Gu memberitahu. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi. Sejak aku resmi menyandang gelar istri Andrew, panggilan untuk orang tua Andrew terganti. Aku mengikuti saja kebiasaan Andrew memanggil orang tuanya, Papa dan Mami.

“Papa senang banget dapat kabar tadi dari Andrew. Kalau bisa, sih, Inggrid tinggal di sini aja.”

Aku tak tau harus menjawab apa.

“Pa, Inggrid pasti capek banget. Biarin dia istirahat dulu.”

Suara Andrew menginterupsi, membuat aku sontak menoleh ke arahnya. Kata-kata itu justeru membuat Om Gu terbahak. “Oke-oke. Tadi kamar kalian sudah disiapkan Bi Sum.”

Saat Kakek disemayamkan, Om Gu dan Bu Puri hadir di sana. Mengantar hingga ke tempat peristirahatan terakhir sebagai bagian dari keluarga inti Wijaya. Belum banyak yang tahu memang, mungkin karena itu pula, resepsi pernikahan kami harus diadakan tanpa perlu penundaan. Toh, Kakek berpesan jangan pernah menunda sesuatu yang memang bertujuan baik.

Langkahku masih tetap berjarak di belakang Andrew. Ia mempersilakan aku masuk dalam kamar yang kurasa ini kamarnya. Jangan tanya bagaimana semua tubuhku bergerak demikian kaku karena sungguh, sepanjang tiga puluh sembilan tahun hidupku, belum pernah aku menginjakkan kaki di kamar lelaki. Kecuali kamar Rendra.

“Maaf kalau kurang berkenan,” kata Andrew salah tingkah. Aku bisa melihat dan membaca gestur tak nyaman yang sejak tadi diperlihatkan ketika kami benar-benar berada di dalam kamarnya.

Kalau aku bandingkan, kamar ini luas. Mungkin hampir sama seperti kamarku di rumah. Bedanya nuansa di dalamnya kaku sekali. Khas lelaki kurasa. Dominasi putih abu-abu kental di mana-mana. Bahkan pemilihan sprei yang terlalu monoton menyambutku.

“Enggak apa.”

“Pokoknya besok pulang kerja, kita mulai pilih-pilih barang yang dibutuhkan. Besok kalau Inggrid enggak terlalu lelah, kita mampir ke sana sebentar biar kamu tau apa yang mau dibeli.” Andrew bergerak ke arahku yang membuat tubuhku refleks mundur. “Saya cuma mau ambil koper ini. Saya taruh di dekat lemari besar di sana, ya. Kamu kalau mau ke kamar mandi dulu, silakan.”

Aku mengangguk kaku. “Ehm ... tapi, Ndrew. Baju tidur saya ada di koper.”

Geraknya mendorong koper dari genggamanku tadi, berhenti. “Oh ... sorry.”

Ya Allah, kenapa juga harus canggung begini, sih?

Semua gerak aku lakukan dengan cepat. Perasaan tak nyaman jelas menguasaiku sejak awal aku masuk dalam toilet pribadi seorang Andrew. Aku hanya mengambil tas make up kecilku saja. Menaruhnya di dekat wastafel tanpa berniat menggeser barang-barang Andrew. Setelah dirasa cukup untukku menormalkan laju jantung, aku keluar.

“Ehm, tadi Inggrid sudah shalat isya?”

Aku terpana pada apa yang kini memenuhi netra.

“Ah, belum. Kebetulan baru mau.” Mataku sama sekali tak mau diajak kerja sama saat melihat Andrew sudah siap dengan sarung dan pecinya. Duduk di dekat dua sajadah yang ia gelar di samping ranjang besarnya. Entah kapan pria itu ke kamar mandi sekadar ganti baju. 

“Jamaah?”

Aku tak kuasa menolak. Langkahku kaku bergerak mendekat pun mengambil mukena yang sudah ia siapkan. Mengenakannya dengan gerak cepat dan segera bersiap shalat bersama Andrew. Tak pernah aku sangka, kalau dirinya memiliki satu kepribadian yang sama seperti Neil. Neil selalu menjagaku. Memberi jarak aman agar kami tidak menyalahi batas.

“Sebentar lagi, Abang bisa jadi imam Inggrid. Gantiin Papa.”

Aku tersenyum malu saat itu. Lekat sekali wajahnya dalam ingatan saat mengatakan hal itu. Pertemuan terakhir sebelum aku dihantam satu kenyataan pahit, aku tak lagi bisa menatap senyumnya secara nyata.

“Inggrid senang?”

“Banget!” kataku semringah.

“Jangan pernah lupa shalat, ya, Inggrid. Doakan Abang proyek ini goal. Lepas itu, kita fokus menyiapkan acara. Dua bulan itu waktu yang singkat.”

“Iya, Abang.”

Dua bulan...

Waktu yang singkat...

Sungguh ... andai aku tau, itu pertemuan terakhirku, aku mau menyeberangi batas yang selalu dibentang Neil hanya untuk menahannya agar tidak pergi. Atau ... rengekanku seharusnya lebih keras lagi agar aku bisa mengikutinya.

Shalatku khusu’. Hingga Andrew selesai mengucap salam dan bermunajat dalam serangkaian doa setelah shalat, aku masih setia di belakangnya. Dan ketika pria yang tampak santai dengan kaus hitam polosnya itu berbalik menghadapku, aku kembali kaku.

Aku sering sekali memperhatikan Ibu yang mengulurkan tangan pada Papa selepas shalat. Lalu aku baru kemudia Rendra. Kini? Apa aku harus juga melakukan itu, ya? Tapi Andrew diam saja. Ya ampun, Inggrid!!!

Penuh ragu aku mengulurkan tangan. Saat tanganku disambut, kubawa agar bisa kukecup penuh takzim. Yang tak pernah aku sangka, ia mendekatkan diri yang benar-benar dekat. Aku sampai menahan napas saking bisanya aku hidu aroma parfum Andrew.

Dia mengecup keningku. Lama.

Breathe, Inggrid. Jangan lupa.”

Sialan!!!

Satu cubitan kecil aku layangkan pada tangannya yang masih memegang sisi kepalaku. Membuatnya menjerit juga terbahak. “Jahatnya.”

Aku memilih bangkit ketimbang meladeni dirinya yang ternyata tak berkurang sama sekali menyebalkan. Tapi belum juga niat itu terjadi, tanganku sudah ditariknya lagi.

“Duduk dulu. Saya masih mau bicara.”

Mataku mendelik tajam ke arahnya.

“Saya serius. Duduk dulu. Sebentar saja.”

Kuhela napas pelan dan menuruti. “Apa?”

Senyumnya terkulum menggelikan. “Saya tau, situasi apa yang terjadi di antara kita. Anggap aja kita berpacaran dulu sebelum benar-benar memulai sesuatu yang lebih jauh? Inggrid keberatan?”

Aku mengerjap pelan. Ini? Andrew tak salah bicara? Pacaran katanya? Ya Allah, dia ini makhluk dari Mars, ya?

“Saya paham, Inggrid di sini yang terlihat keberatan banget. Makanya hanya itu opsi yang bisa saya tawarkan.”

Andrew menggaruk tengkuknya yang kurasa sebatas ingin agar gugupnya berkurang.

“Yah ... biarpun saya penginnya kita benar-benar selayaknya suami istri, sih.”

“Saya belum paham arah bicara kamu, Andrew.”

Ia menghela napas panjang. “Masa enggak ngerti? Inggrid ngertinya hanya proposal bisnis saja, ya?”

Berhubung lagi-lagi aku seperti diejek, aku memilih bangkit. Melipat mukena dengan asal dan bergerak menjauh. Tidur lebih baik. Terserah dia mau seperti apa, toh, aku lelah. Yang tak pernah kuperhitungkan, Andrew ada di belakangku dan dalam sekali sentak aku sudah ada di pelukannya.

Gerak mendadak seperti itu membuat pijakanku tak tentu arah. Satu-satunya pegangan yang bisa kuandalkan hanya bahu Andrew yang kini sukses kutahan erat agar tubuh ini tak jatuh terduduk di lantai. Mataku terbelalak kaget luar biasa akan tindakannya. Sikapku langsung waspada seribu persen!

“Mau apa kamu?”

“Kalau saya minta hak saya sekarang, kamu pasti benci saya seumur hidup.”

Jantungku kebat kebit memikirkan hal yang di luar kendali ini.

“Makanya saya tawarkan opsi kedua. Kita pacaran dulu. Kan, sudah halal ini.”

Aku menelan ludah gugup. Wajah Andrew menunduk dengan mata cokelat yang sama sekali tak beranjak ke mana-mana selain menatapku.

“Gimana?” tanyanya sekali lagi. Embus napasnya mulai mengusik penciumanku.

Aku menggeram kesal. “Lepas, Andrew.” Kudorong pelan tubuhnya tapi malah tanganku ia ambil! Dibawanya telapak tanganku mendekat padanya. Dikecup pelan tapi aku tahu, tatapan Andrew mulai berubah. Seiring dengan seringai kecil yang terbit di sudut bibirnya itu.

“Saya ... boleh cium Inggrid?”

                

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Nona Boss
Selanjutnya NONA BOSS. [Part 16 - 20]
1
0
*** Spoiler :“Drew,” panggilku pelan. Ada ragu yang menyergap ketika tanganku ingin menyentuh bahunya. “Drew, bangun.” Mau bagaimana lagi. Kuguncang pelan sisi tubuhnya agar ia membuka mata. Entah sudah berapa kali aku membangunkannya, ia masih bergeming. Menyebalkan!Saat mata cokelat itu perlahan terbuka, aku agak terkejut dan memberi jarak. “Bangunin saya pakai cium, kek. Jangan cuma diteriaki aja.”Aku turun dari ranjang membiarkan Andrew yang tertawa dengan suara parau. Tak butuh waktu lama untukku menggunakan kamar mandi. Membiarkan Andrew bergantian denganku sementara kali ini, aku yang menyiapkan keperluan shalat.“Makasih, Istri,” katanya menyambut uluran peci untuknya. Aku merotasi bola mata jengah tapi menahan senyum saat dirinya bersiap di depanku. Tubuh tegapnya kunikmati sesaat sebelum tenggelam dalam ritual kami yang sepertinya akan terus berjalan menjadi aktifitas baru.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan