BROKEN UP. [10]

38
12
Deskripsi

Spoiler :

Sungguh, ia rindu. 

Suasana kamarnya yang hangat serta penuh memori. Tawa, banyak obrolan dengan Kira juga orang tuanya, ada malam di mana Kira menyelinap dan tidur bersamanya. Berbagi kisah seputar dunianya yang menurut Sara seru. Belum lagi kegigihannya menggapai prestasi di sekolah, jam di mana ia kurang tidur hanya demi nilai yang bisa dihadirkan di depan orang tuanya dalam keadaan sempurna. Pun tangis yang mewarnai perjalanan hidupnya. Semua tercetak di sini. Saksi bisu betapa Sara...

 

[Keping 10]

 

Kailash.M :

Bosque ... Kapan gajian?

Sara tertawa melihat pesan yang masuk barusan. Segera jemarinya mengetikkan pesan balasan

Me :

Nanti, lah. Tgl 1. Kenapa?

Sepertinya Kailash tak punya pekerjaan yang membuatnya repot. Terbukti pesan itu dibalas dengan cepatnya. 

Kailash.M :

Mau kencan enggak punya piti, Bosque.

Sontak Sara bangun dari rebahnya. Matanya menatap deret kata yang sahabatnya ketik di sana. ini … serius? Kapan Kailash punya kekasih? Apa dirinya tak tahu?

Me : 

Sma siapa lo kencan?

Terserah kalau Sara terdengar ingin sekali tahu. Tapi ini perkara Kailash. Tak bisa ia anggap remeh karena cerita mengenai asmara pria itu, jarang sekali Sara dengar. 

Kailash.M : 

Kucing betina tetangga, Bosque

Sara menggeram kesal jadinya. Kailash sialan! Jemarinya cepat sekali mengetikkan satu pesan.

Me :

What the fuck!

Ponsel Sara bergetar. Nama Kailah muncul di layar beserta satu panggilan video di sana. "Apa?" kata Sara sedikit keras setelah icon hijau ia geser. 

Rupa sang pria pun muncul di kotak canggih milik Sara. Di sana bisa terlihat Kailash menahan tawa.

"Bu bos, jangan marah." Suara Kailash terdengar bahagia. Menertawakan Sara yang cemberut karena tingkahnya barusan. Benar-benar sahabat yang menyebalkan! Sepihak, Sara mematikan sambungan teleponnya.

Tak sampai dua detik, ponsel Sara kembali bergetar. Panggilan video call kembali meminta atensi Sara. Tak ingin digubris, Kailash tak mudah menyerah. Kalau ia tanggapi, Kailash pasti menertawakannya. Kenapa juga Sara meladeni Kai perkara kencan? Harusnya ia senang, kan?

Memang, sih … Sara senang kalau Kailash punya waktu untuk kencan. Bukan sekadar mengutak atik motor di bengkel. Atau menemani Sara belanja bunga dan membantunya di toko. Tapi paling tidak, Kailash berbaik hati mengenalkan kekasihnya itu, kan?

Akan tetapi Sara tak bisa mengabaikan Kai begitu saja. Kembali mereka tersambung via udara yang sekarang jauh lebih dekat sekadar suara. Sekali lagi wajah mereka bertemu meski jarak dibentang dan hanya sebatas kotak persegi panjang. 

"Lo di mana, Ra?" Kailash tampak bingung melihat sekitar tempat Sara duduk. Terlihat dari keningnya yang berkerut dan matanya yang lebih memperhatikan sekitar Sara.

"Kamar gue."

"Apartemen?"

"Kamar gue, Kai." Sara menarik sudut bibirnya sekilas.

"Iya maksud gue, di kamar apartemen? Tapi kok be—"

"Kamar rumah gue, Kai,” kata Sara jauh lebih tegas dari sebelumnya.

Bibir Kailash langsung membentuk 'O' tanda mengerti.

"Gue diminta untuk menginap di sini. Kira enggak mau ditinggal.” Sara tertawa masam. “Padahal ada suaminya. Enggak guna banget suaminya, ya, Kai?” Diambilnya salah satu koleksi boneka kegemarannya sejak dulu; Minnie Mouse. Dipeluknya sekadar untuk menyangga bobotnya di tengah ranjang.

Saat pertama kali memasuki kamar yang ia tinggal empat tahun lalu, tak ada yang berubah dari segi penataannya. Debu yang ia kira menempel di meja, tak ada sama sekali. Artinya sang ibu merawat kamar ini dengan baik. Pengharum ruangan yang menyapa begitu langkahnya memasuki kamar, terhidu lembut. 

Sungguh, ia rindu. 

Suasana kamarnya yang hangat serta penuh memori. Tawa, banyak obrolan dengan Kira juga orang tuanya, ada malam di mana Kira menyelinap dan tidur bersamanya. Berbagi kisah seputar dunianya yang menurut Sara seru. Belum lagi kegigihannya menggapai prestasi di sekolah, jam di mana ia kurang tidur hanya demi nilai yang bisa dihadirkan di depan orang tuanya dalam keadaan sempurna. Pun tangis yang mewarnai perjalanan hidupnya. Semua tercetak di sini. Saksi bisu betapa Sara harus menatapi bagian hidup yang sulit dan penuh air mata. 

Akan tetapi, hatinya terus menggumamkan satu kata; Hanya malam ini, Ra. Besok enggak perlu di sini lagi. Malam ini saja.

"Dia sudah boleh pulang?"

Pertanyaan Kailash membuat Sara teralih. Segera anggukan gadis itu beri sebagai jawaban. 

"Syukurlah. Semoga cepat sehat kembaran lo itu. Biar lo cepat balik ke sini."

Sara tertawa jadinya. "Iya, Kai."

"Lo enggak kangen gue?"

Sara semakin larut dalam gelak yang ia ciptakan. Sampai ia merasa matanya menyipit lantaran pertanyaan Kailash yang konyol ini. Mengibas pelan, ia pun berkata, "Kebalik kali. Lo yang kangen gue. Ngaku."

"Memang. Makanya video call." Kailash menjawab dengan lugasnya. 

Enteng sekali Kailash katakan kangen. Seolah kata itu hanya sebatas ucapan biasa. Baik di chat atau telepon. Berhubung Sara mengenalnya lebih dari tiga tahun belakangan, ia menyadari seperti itu cara Kai memperhatikan sahabatnya. Tak pernah lebih intim ketimbang perkataan. 

Sara bisa sadari mana yang benar-benar mencari perhatian antar lawan jenis atau sekadar kepedulian terhadap seorang sahabat. Dan yang ia temukan pada sosok Kailash adalah seorang sahabat sejati. Bagaimana Kai menemaninya melewati hari yang tak sanggup Sara ceritakan lebih jauh selama di Bali. Serta cara Kailash mengalihkan semua pemikiran buruk mengenai dirinya sendiri. 

"By the way, Ra, gue mau ke Jakarta."

Sara langsung menghentikan tawanya. Menegakkan punggung bahkan sampai ia singkirkan boneka Minnie Mouse-nya. "Kenapa? Segitu kangennya sama gue sampai nyusul ke Jakarta?"

Giliran Kailash yang tertawa. "Yah, alasan utama sih jelas kangen sama lo."

Sara mencibir sinis. “Enggak usah ngarang. Ada alasan lainnya?"

Di sana Kai tertawa lepas. “Gue diminta gantikan Papa bertemu sama klien di Jakarta."

Gantian bibir Sara yang membulat tanda paham maksud Kai. Pria itu lahir di Jakarta, besar juga di Jakarta, tapi karena ada urusan yang harus ditangani di Bali, ia tinggal di sana sementara. Tapi mendadak tak ingin kembali. Katanya, ada Sara di Bali. Padahal perkenalan mereka pertama kali benar-benar tarjadi di Bali.

"Jemput, ya,"  kata Kailash sembari mengerjap jenaka.

"Beres."

"Seriusan?"

Sara mengangguk. Sebelum terlambat, Sara segera menggeser tanda merah untuk mematikan telepon. Seolah-olah tahu apa yang akan terjadi.

"Wah, Bu Bos baik banget. Anak buah dijemput di bandara. Love you, Bu Bos!!!"

Tapi terlambat. Suara Kailash sudah memenuhi ruang telinganya. Andai ia terlalu sering mendengar Kailash berteriak, bisa rusak gendang telinga Sara. Segera Sara putus sambungan video call dan memilih mengabaikan beberapa kali panggilan dari Kai. 

Kecuali satu pesan yang membuatnya menarik garis tawa dengan lebarnya.

Kailash.M :

Enggak sabar nunggu dua minggu lagi.

Sunyi kembali merajai dirinya. Hanya ada suara pendingin ruangan yang membuat kamarnya sejuk sebagai peneman. Diletakkan kembali ponsel pada nakas. Menarik napasnya panjang sembari kembali merebahkan diri. Berbantalkan lengan, Sara menatap langit kamarnya. Hari ini ia benar-benar terpaksa menginap. Ayahnya yang paling keras melarangnya pulang. Sudah terlalu larut katanya. Padahal jam di dinding baru menunjuk di angka sembilan.

Agak berlebihan memang.

Di Bali, jam Sembilan malam masih ramai orang hilir mudik. Seolah-olah tidak ada redupnya kehidupan di sana. Lampu jalanan menyala terang apalagi di sekitar tokonya. Ramai berjejer kafe dan juga restoran yang tak pernah sepi dikunjungi. Florist milik Sara terletak tepat di pinggir jalan, dan kebetulan, di lantai dua toko bisa untuk ditinggali. Jadi Sara tak perlu repot mondar mandir dari toko ke tempat indekos.

Itu di Bali, bagaimana dengan Jakarta? Kota yang tak pernah tidur? Sudah, lah. Toh Sara tidak bisa membantah.

Lebih baik sekarang ia tidur, esok akan menjadi hari yang Panjang dan melelahkan.

****

Sara diam tanpa ekspresi di kursi penumpang. Suara radio yang terputar sebagai peneman hening di antara keduanya. Sara enggan berbicara. Tak ada gunanya. Cukup pagi ini suasana hatinya rusak serusak-rusaknya karena orang yang duduk di balik setir, ikut campur dalam urusannya. 

Sudah ia layangkan protes dengan keras pun, tak ada yang mendukungnya. Justru semakin mendorongnya untuk menyetujui usulan saudarinya selepas sarapan tadi. Suaminya mengantar Sara ke kantor.

Sara sampai harus mendebat ibunya ketika semua yang ada di meja makan setuju; Sara berangkat bersama sang Kakak Ipar. Entah mereka berkoalisi atau memang semesta tengah kurang ajar menghadirkan satu waktu di mana Sara dan El akhirnya berdua.

"Kamu enggak lagi sakit gigi, kan?"

Sara masih terdiam.

"Kantor kamu di mana?" Elpida meliriknya sekilas. Gadis di sampingnya masih lurus menatap ke depan. Tak ada keinginan sedikit untuk sekadar menoleh. Seolah ada tembok yang luar biasa tinggi dibangun Sara untuk membuat jarak antara mereka.

El mendesah pelan. Ia maklumi semua respon Sara padanya. Termasuk masih belum ada sahutan dari sang gadis.

"Leksa?" panggil El sekali lagi. “Saya enggak tahu kantor kamu sekarang.

"Menara AXSA," sahut Sara singkat.

El lagi-lagi mendesah frustrasi dengan sikap gadis ini. "Leksa, kita butuh bicara. Saya enggak bisa kalau kita seper—"

"Seperti apa? Seperti ini? Wajar, kan?"

Kaki El spontan menginjak rem. Kening Sara hampir saja mencium dashboard. Bagusnya dia selalu safety riding; mengenakan seatbelt. Sontak matanya melotot garang pada pria yang kini menatapnya/

"Saya enggak bisa. Kamu ... Ya, Tuhan." Tangan El meraup kasar wajahnya sendiri. Sejak pertama kali melihat Sara akhirnya kembali, El ingin sekali merengkuhnya mendekat. Sekadar bertanya kabar atau memerangkapnya dalam pelukan panjang.

Akan tapi El sadar, pemikiran itu tidak mungkin. Sara langsung membuat barikade seolah El adalah virus mematikan yang harus dijauhi.

Lupakah kamu, El, Ini semua salah kamu! Leksa tidak ada pernah menjauh jika bukan karena dirimu.

"Enggak bisa apa?” salak Sara dengan ketusnya. “Gue lagi enggak pengin basa basi, El."

El mengerang panjang. Menyalakan kembali mesin mobil dan membelah jalan di depannya. Mungkin hari ini belum tepat ia mengajak Leksa bicara. Akan ada banyak kesempatan, El. Banyak. Ia hanya butuh waktu lebih lama. 

Apa yang akan ia bicarakan menyangkut banyak hal. Tak mungkin dirinya bicara dalam keadaan seperti ini.

Lama mereka terdiam. Walau Sara tahu, sesekali El meliriknya sekilas. Apa pedulinya? Tak ada. Bagi Sara, sosok di sampingnya bukan siapa-siapa. Hampir satu jam perjalanan mereka ke kantor Sara terlewati dengan saling membisu. 

"Saya hanya ingin tanya kabar kamu, Leksa, secara benar." Hanya itu yang bisa Elpida tanyakan. Sebelum Sara turun dari mobilnya. Ia bertaruh dengan waktu yang ada. Tak masalah, setidaknya, ucapan pembuka ini ia utarakan.

Sara melirik pria di sampingnya. Mata mereka bersirobok pada akhirnya namun, Sara segera mengguntingnya. Ia pun berkata penuh sinis. "Kabar? Kabar gue baik."

"Banyak hal yang mau saya bicarakan sebenarnya." El menghela lega. Paling tidak, Sara merespon perkataannya.

"Bicara aja. Gue dengar." Bukan hanya El sebenarnya yang punya banyak pertanyaan. semua ganjalan di hatinya; kenapa, apa, bagaimana bisa, semua berpusing di kepalanya.

"Jadi kamu mau bicara dengan saya?"

Sara tidak merespon dengan kata namun, diamnya sang gadis membuat El tersenyum kecil. Setidaknya Sara beri sedikit akses untuk mereka bicara.

“Kapan kamu ada waktu?” tanyanya segera sebelum mobil benar-benar berhenti di pelataran lobby utama. 

Gerak Sara melepas seat belt terhenti. Menimbang sejenak apa yang harus ia katakan. “Seharusnya enggak perlu ada yang dibicarakan, Kakak Ipar. Lo yang paling tahu harus berbuat apa. Enggak cukupkah dengan mundurnya gue dari hidup kalian? Itu kesempatan besar, kan? Kenapa sekarang gue kembali direcoki?”

Sedikit kasar, Sara membanting pintu mobil Elpida. Tak peduli kalau nantinya ada engsel yang rusak. Atau sekalian, kaca mobil itu mendadak pecah berhamburan. Tanpa ada basa basi sedikit pun juga ucapan terima kasih. Untuk apa?

Elpida sedikit terkejut karena ulah Sara barusan namun yang bisa ia lakukan hanya menghela panjang. Ucapan Sara kembali terngiang dan itu benar adanya. Harusnya ia memiliki sikap atas apa yang terjadi. Dipijatnya pelipis sebagai rasa frustrasinya. 

“Kenapa Kira seperti ini, sih?” desahnya sembari memutar setir kemudi. Jujur saja, ia tak menyangka Kira meminta hal yang membuat dirinya kelimpungan. Bersama Kira, Elpida tak bisa banyak berkutik. selain sikapnya yang manja, sang istri selalu bisa membuat bibirnya mengabulkan apa pun permintaannya.

Apa pun.

“Aku enggak mungkin setuju akan hal ini, Ra,” katanya seraya mencengkeram setirnya agak kuat. “Konyol sekali.” Tak ingin membuang waktu, ia pun bergerak meninggalkan lobby kantor Sara yang ... astaga, ternyata gadis itu bekerja di sini? Apa di kantor lamanya? Kenapa Elpida tak menyadarinya?

Sekelebatan ingatan manisnya bersama Sara melintas. Terutama pada bangunan di mana untuk pertama kalinya mereka bertemu. Sayangnya ... ia diburu waktu. Tak mungkin ia biarkan dirinya tenggelam dalam kenangan lama meski terkadang, kenangan itu serupa kidung yang menyayat hati. Memberikan rasa yang demikian manis, juga meninggalkan penyesalan yang tak mudah mendapat pengampunan.

Entah dorongan dari mana, matanya mendadak tertuju pada satu titik. Mungkin karena warna yang kontras sekali dengan karpet mobilnya. Makanya mencuri perhatiannya yang tengah berjibaku dengan masa lalu. Saat ia ambil benda yang mengalihkan dirinya, mau tidak mau dia tersenyum girang.

"Tuhan tengah baik hati sama saya, Leksa.”



 

***

Jangan lupa follow akun media sosial aku, ya. biar enggak ketinggalan update.

IG : Cha.riyadi8888

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Broken Up
Selanjutnya BROKEN UP. [11]
34
25
Spoiler :Nanti saya minta Vica buatkan untuk kamu. Request urgent.Sara menatap wajah Irawan dengan sorot tak percaya. Serius, Pak?Buat kamu, apa sih yang enggak.Sara seketika tertawa lumayan keras. Geli mendengar Irawan berkata seperti itu. Sepanjang ia mengenai Irawan Tedja, belum pernah mendengar mulut sang bos sedikit berkata menjurus flirting. Irawan biarkan tawa itu ada karena dirinya memilih menatap Sara lekat-lekat. Yang mana tatapan itu membuat tawa Sara makin lama makin hilang. Berganti senyum canggung karena diperhatikan Irawan seperti ini.“Ada … yang aneh?” tanya Sara pelan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan