Jalan Pulang (Part 18)

2
0
Deskripsi

Setelah Anya berusaha menyakinkanku tentang keberadaan Mantan dari laki laki yang sedang tak berdaya diranjang rumah sakit ini. Aku menghampiri Ega dengan perasaan deg degan luar biasa.

Rasanya melihat Ega tak berdaya seperti ini sangat menyakitkan. Jujur aku merasa bersalah dengan apa yang sudah aku lakukan. Maka hal pertama yang aku lakukan saat tepat berada didepannya adalah tersenyum hangat.

"Hai, Mas." Sapaku pelan, diantara banyak suara orang orang dalam ruangan ini yang kudengar adalah suaraku sendiri yang bergetar menahan tangis.

Ega melihatku sebentar sambil mengetatkan rahangnya. Dia lagi lagi membuang muka. Aku lagi lagi menghembuskan nafas dengan pelan. Kemudian aku duduk disebelah ranjangnya yang telah disediakan satu kursi kosong.

"Sakit ya Mas?" Aku tahu Ega akan kembali mendiamkanku lagi makanya aku langsung mengambil sebelah tangannya untuk aku genggam. Aku mengecup tangannya dan semua ini tak luput dari tatapan Ega.

"Kata Anya kamu pingsan tiga jam ya? Kamu begini gara gara aku, Mas?"

Ega menarik tangannya dari genggamanku. "Jangan terus terusan nangis. Orang orang akan paham kita lagi gak baik baik aja kalau kamu terus terusan nangis." Ega mengucapkan dengan suara pelan tapi cukup menamparku dengan keras.

Aku mengangguk singkat kemudian berdiri dari dudukku. "Okee, maaf ya?" Aku merapihkan bajuku sambil menatap kekanan dan ke kiri. Memang benar sebagian dari orang orang dari ruangan ini sedang menatap kearah kami. Aku mendekati Ega dan mengecup pipinya sekilas sambil berkata dengan pelan. "Aku keluar dulu, kalau kamu butuh aku tolong panggil aku atau chat aku atau apapun itu. Dan itupun kalau kamu butuh." Ucapku sambil merapihkan kerah baju Ega.

Kemudian aku melirik kearah Anya untuk mengikuti keluar. Dan saat ini aku dan Anya sedang duduk dikantin rumah sakit. Aku dan Anya sama sama tediam dalam waktu yang cukup lama. Masing masing dari kami saling mengerti dan memahami. Aku bersyukur banget punya Anya dihidupku. Anya itu teman yang sangat baik dan selalu ada. Dia pengertian dan perduli denganku.

Pernah sewaktu kuliah kami bertengkar dan cukup lama. Tapi setelah pertengkaran itu kami saling memaafkan. Pertengkaran kecil menjadi hal biasa dan itu tidak menyinggung perasaan kami satu sama lain.

"So, tell me ada masalah apa kalian berdua? Tadi gue kaya flashback liat drakor crush landing on you tahu?" Anya menyindirku, aku tersenyum kecil.

"Banyak. Nya." Aku membalas ucapan Anya dengan berat. "Kakak lo marah banget sama gue kayanya." Lanjutku lagi. Kali ini kayanya Ega bener bener marah, dia bahkan enggan menatapku lama.

"Dia emang rese kalau lagi marah. Ntar juga bakal ilang. Lo tau sendiri gimana Ega."

Aku menggeleng tak menyetujui ucapan Anya, "Enggak Nya. Kali ini beda, dia beneran marah sampai gak mau natap muka gue." Aku kembali menangis. Kayanya sudah tak terhitung berapa banyak aku menangis. Aku juga bingung kenapa aku cengeng banget.

"Lo cuma lagi kalut makanya mikir gitu. Trust me, Marahnya Ega gak pernah lama." Anye menggenggam tanganku untuk menyalurkan semangat.

Aku mendesah resah, "Kita habis bertengkar Nya. Kali ini bertengkar hebat. Ega bahkan sampai keluar dari rumah malam malam dan harus mengalami kecelakaan. Salahnya gue ngebiarin dia keluar disaat lagi marah."

Anya mengambil tanganku kemudian dia menggenggamnya sambil menyalurkan kehangatan lewat tatapan matanya. "Hei, jangan salahin diri lo oke? Kalau memang kalian lagi bertengkar itu berarti kedua belah pihak yang salah. Bukan lo sendiri atau Ega sendiri. Jadi jangan salahin diri lo atas apa yang terjadi sama Ega. Ini memang udah jalannya."

Aku menggeleng. "Kalau gue sama Ege beneran berakhir gimana ya, Nya?"

"Pikiran lo kejauhan Na. Ega gak mungkin bakal lepasin lo gitu aja setelah apa yang udah dia perjuangin buat dapetin lo. Gue tau gimana sukanya Ega sama lo Na. Gue juga tahu Ega tuh udah cinta mati sama lo. Gue yakin dia gak akan pernah bisa lepasin lo. " Anya tuh kalau dipikir pikir memang saksi dari hubungan kami. Anya sebagai sahabatku juga adik dari suamiku. Anya gak pernah sekalipun menjelekkanku atau tidak membelaku selama ini. Biarpun Anya adalah adik dari Ega tapi soal persahabatan Anya nomor satu. Kata Anya dia akan selalu menjadi orang yang berada dipihakku.

"Tapi benang yang udah lama kusut, sekalipun bisa diurai akan lama kan Nya?"

Anya mengangguk dan tersenyum hangat. Sambil mencondongkan badannya untuk mendekatiku. "Rayana sayang, sekalipun lama diurai bukan berarti gabisa kan? Lo sama Ega emang harus belajar menguraikannya secara pelan pelan agar benang kalian bisa kembali utuh. Trus me, Na." Dan lagi lagi aku hanya terdiam.

Kembali keruangan tempat Ega dirawat aku melihat beberapa tante dan juga pakde dan bude sudah pulang. Ayah dan Ibunya Ega juga sudah tidak ada. Hanya menyisakan Bunda, Eyang, Shaina dan Ega didalam ruangan. Aku masuk dan duduk disamping Bunda sambil mengambil alih kegiatan Bunda yang sedang mengupas kulit buah Pir untuk dimakan.

"Padahal tuh bun kulitnya juga baik buat kesehatan. Harusnya makan sama kulitnya karna emang kulitnya mengandung setengah dari total serat pada buah pir. Kulitnya tuh mengandung fitonutrisi termasuk antioksidan yang manfaatnya banyak banget, termasuk mencegah kanker dan mencegah penuaan." Kataku seraya mengangsurkan buah pir yang selesei aku kupas.

Bunda tertawa kemudian mengambil buah pir yang sudah aku kupas, "Pinter kamu. Besok lagi gak Bunda kupas deh." Lanjut bunda lagi.

"Eyang mau pirnya?" Aku menawari Eyang pir karna sejak tadi Eyang sibuk mengobrol dengan Shaina dan Ega.

"Eyang gak suka pir. Kamu gak tahu?" Eyang bertanya sambil menggelengkan kepalanya. "Kirain selama ini peka sama hal hal yang Eyang sukain dan gak sukain. Taunya gak sama sekali."

Aku tersenyum kecut kemudian menunduk. "Maaf ya Eyang, aku lupa kalau Eyang gak suka buah pir." Jelasku berusaha tenang dan percaya diri. Karna saat dimana berhadapan dengan Eyang kita benar benar harus membawa harga diri. "Eyang mau aku kupasin apel mungkin?" Tawarku lagi.

Eyang menggeleng cepat. "Gak usah. Dari pada kamu sibuk nawarin buah buahan mending kamu khawatirin kondisi suami kamu. Bisa ya kamu ngebiarin suami kamu malem malem keluar dan hujan hujan begitu? Kamu sama sekali gak khawatir sama apa yang bakal terjadi sama suami kamu?"

"Eyang." Ega menyahut dan menegur Eyang. "Tolong jangan dibahas lagi." Lanjut Ega seraya menatapku.

"Kamu ini Le kaya gini karna gak tegas sama istri kamu. Lihat lah gimana sikap dia ke kamu? Dia bahkan semalem gak bisa dihubungin padahal harusnya dia yang tahu kabar kamu lebih dulu. Tapi dia malah baru dateng pagi tadi dengan perasaan gak bersalah."

Eyang marah dan aku tahu itu. Rasanya aku juga gamau membela diriku sendiri. Aku secara sadar mengakui kesalahanku. Memang aku turut andil dalam kecelakaan yang menimpa Ega. Padahal aku bisa cegah Ega untuk gak pergi tapi aku ternyata memilih tidak melakukan apa apa.

"Ma, udah." Bunda menegur Eyang saat melihatku duduk terdiam. "Jangan terlalu mencampuri urusan pernikahan Mas Ega, Ma. Dia udah dewasa, tahu mana yang benar dan salah. Tugas kita sebagai orang tua hanya bisa memberi arahan Ma. Itupun kalau mereka minta. Karna memang kita udah gak punya hak untuk mencampuri kehidupan pernikahan mereka." Bunda berbicara tegas kemudian mengusap tanganku beberapa kali.

"Bukan salah kamu Mba. Memang sudah jalannya begini." Bunda kemudian meyakinkanku. Sayup sayup aku mendengar dengusan dari Eyang.

"Bela aja terus mantu kesayangan kamu."

Mendengar ucapan Eyang reflek aku berdiri dengan cepat dan langsung menghadap kearah Eyang. "Aku minta maaf eyang atas apa yang udah menimpa Ega. Aku mengaku salah. Memang aku ga sempurna menjadi seorang istri. Aku gak becus mengurus cucu eyang. Maafin aku. "Aku mengatakannya dengan gamblang kepada Eyang. Aku rasa Eyang gak akan pernah puas dan cukup kalau aku belum mengaku salah dan meminta maaf.

"Bunda maafin aku yang gak bisa jadi menantu yang membanggakan."

Aku melihat bunda menggeleng dengan tatapan bersalahnya. Namun aku balik menatapnya dengan mantap dan tersenyum tulus. Bunda itu adalah mertua yang paling baik. Bunda gak pernah sekalipun menghakimiku. Bunda gak pernah memarahiku. Dan Bunda gak pernah menyalahkanku. Itulah yang paling aku syukuri dari keberadaannya.

Aku mendekat keranjang Ega berbaring. Aku menatapnya dengan sayang. Ega menatapku dengan rasa bersalah. "Na.." Ega memanggilku. Aku menggeleng. "Aku pamit ya, Ga? Nanti aku kesini lagi. Ada beberapa urusan yang harus aku seleseikan. Maaf aku gak bisa temenin kamu."

Ega balas mengangguk dan tersenyum. "Hati hati." Ucapnya pelan.

Sesekali aku menengok kearah Bunda dan Anya untuk berpamitan. Setelahnya aku beranjak pergi tanpa menoleh lagi.

Hidup memang berat.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Jalan Pulang (PART 19)
2
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan