
Kami sarapan bersama. Bunda dengan keceriannya dan Ega dengan muka masamnya. Aku dan Divanya kayanya yang normal normal aja. Sebenernya aku sedikit merasa bersalah ke Ega, bukan maksud aku begitu. Tapi tuh paham gak sih dia tuh kalau aku juga mau ikut dilibatkan dalam setiap hal yang ia ambil dan putuskan.
Gak melulu jadi istri yang pasif pasif aja. Aku tuh bakal suportif kok kalau diajak diskusi. Dasarnya Ega aja ngeselin.
"Masak rendang kayanya enak, Mba. Apa mau bunda masakin buat dibawa pulang?"
Suara bunda menginterupsi keheningan kami. Aku cukup tercengang dengan keantusiasan bunda.
"Gak usah bun. Repot repot banget, Bunda tuh harusnya banyak istirahat. Harusnya aku yang bawain makanan buat bunda dan masakin bunda."
Sebagai menantu aku cukup merasa bersalah. Aku paham gimana rasanya jadi Bunda, punya anak yang selalu sibuk dengan urusannya masing masing. Ega sibuk di kepolisian sedangkan Divanya sibuk jadi influencer yang juga cukup menyita waktunya. Ditambah lagi punya menantu yang gaada waktu buat mertuanya. Jujur aku jarang banget nengokin Bunda padahal rumah kami masih satu Provinsi. Jangankan Bunda, ke Mama yang cuma beda kecamatan aja aku juga jarang banget meluangkan waktuku. Bukannya apa, cuma memang pekerjaan aku lagi banyak banyaknya. Tapi kalau terus terusan nurutin sibuk gak bakal juga sih ada senggangnya. Makanya aku lagi memantapkan diri untuk konsisten meluangkan waktu untuk kedua orang tua kami. Khususnya buat laki laki kesayanganku yang paling menyebalkan, aku bakal buat dia juga meluangkan waktunya untukku.
"Mba kan jarang kesini, jarang makan masakan bunda." Bunda membalas lembut sambil menatapku sayang, "Bulan depan ada trip keluarga ke Bali, bisa ikut kan Mba?" Bunda kembali bertanya, "Mas tolong ya jangan kasi alasan Bunda untuk gak hadir. Bunda ga terima penolakan, ini liburan keluarga yang kapan lagi biasa ada."
"Kalau aku ga sibuk ya bun, aku juga banyak kerjaan." Ega membalas tanpa rasa bersalah, emang dasarnya ya Ega tuh.
Bunda kelihatan cemberut, "Semoga nanti kalau bunda dimakamin kamu ga sibuk ya, Mas." Tambahnya sedikit menyindir Ega.
"Bunda kok ngomong gitu?"
Bunda hanya menatap Ega sekilas kemudian kembali menyuapkan nasi. "Harapan Mas"
"Bunda gaboleh ngomong aneh aneh, iyaa aku bakal dateng ke bali. " Putusnya, "Aku gak suka ya bunda ngomong- ngomong gitu."
"Dengerin ya Mba. Kalau melanggar coret aja Mba dari KK."
Aku tertawa, sampai harus mengambil air putih untuk ku minum. "Beres itu mah, Bun. Lagian buat apa sih ya bun punya suami yang gaada waktu buat kita. Ega tuh ya bun, sibuknya minta ampun. Tidur dirumah aja jarang banget, udah gitu berangkat pagi pagi. Kaya hidupnya sangat didedikasikan buat pekerjaan."
"Kan, Bunda tuh provokator tau bun." Ega menyahut, menatapku sekilas, aku masi bisa melihat sisa sisa kemarahan pada wajahnya.
"Kenyataan ya Mas," Bunda membela diri, "Bunda tuh pengen kalian akur akur, sering meluangkan waktu bersama. Pergi berdua, liburan bareng dan selalu ada sama sama. Jangan sampai Mas Ega mengulangi kesalahan yang sama kaya Ayah dan Bunda ya Mas. Ayah sama Bunda memang gagal jadi pasangan suami isteri tapi kami mengusahakan yang terbaik buat Mas Ega dan Anya."
Bunda dan Ayah mertuaku memang sudah bercerai sejak lama. Kata Ega masa terberat dalam hidupnya adalah saat Ega menempuh pendidikan polisi dimana dia harus menghadapkan perpisahan kedua orang tuanya. Kata Bunda pernikahan itu hubungan yang sangat lama. Bisa seumur hidup atau sampai mati. Hanya saja kata Bunda, seumur hidup itu terlalu lama. Kita gak bisa memaksakan semua hal akan sama seperti sebelumnya. Perasaan dan kenyamanan yang kian memudar membuat Ayah dan Bunda memutuskan hubungan dengan baik baik. Bunda memilih untuk tetap hidup sendiri sedangkan Ayah sudah menikah lagi.
"Bunda gapernah gagal jadi orangtua Bun. Anya gapernah sekalipun ngerasa marah sama pilihan yang udah Ayah dan Bunda ambil, hanya saja terkadang ada momen dimana Anya merindukan keluarga yang utuh, Bun. Tapi mau sampai kapan sih bun kita berangan angan, kenapa ga bangkit dan ciptain kebahagiaan yang kita inginkan?" Divanya menimpali perkataan Bunda kemudian beranjak dan menghampiri Bunda, "Anya tuh selalu bersyukur punya Bunda sehebat Bunda. Anya gak tahu lagi gimana hidup Anya kalau gaada Bunda."
***
Lumayan lama kami berdiam-maksudku Aku dan Ega. Kami memutuskan untuk pulang bersama. Ega meninggalkan motornya dan memilih pulang bersama menggunakan mobil mini cooper kesayanganku.
"Ga, aku mau ganti mobil deh."
Ega menatapku sesaat, "Ganti aja kalau mau ganti" Tuhkan! Ega masih marah. Ega tuh emang gitu, marahnya Ega tuh silent treatment. Gimana aku gak ketar ketir coba!
"Beliin mercy dong, Ga."
Wow!
Cari mati sih ini namanya.
Ega kembali menatapku, "Kamu kan yang lebih kaya dari aku, Na." Jawabnya singkat, dibilang ketus juga enggak tapi jutek banget nih cowo!
"Gausah bawa bawa kaya, kalau gamau beliin yaudah tinggal bilang aja!"
Selain cari mati, rupanya aku juga hobi cari perkara.
Okey, noted.
"..."
Ega diam. Aku juga kembali diam.
Dia tuh gapeka apa ya kalau aku lagi cari cari topiknya biar bisa ngobrol sama dia, biar kecanggungan tolol ini segera menghilang.
"Moge kamu yang digarasi baru kan?"
Kemarin malam saat aku tiba dari rumah sepulang kerja, aku melihat ada Moge baru yang terparkir rapi garasi rumah. Niatku mau mengomeli pemiliknya tapi ternyata pemiliknya tidak kunjung menunjukan batang hidupnya.
"Hadiah"
Wow?
Hadiahnya aja sekelas Moge, siapa sih yang kasi?
"Dari siapa?"
"Temen"
"Temen kamu di club?"
Ega menggeleng.
"Polisi?"
Ega kembali menggeleng. Tinggal bilang siapa aja susah bener sih?
"Terus siapa?"
"Temen"
Oh, pengen kujambak abis kepalanya deh!
"Yang jelas kalau ngomong!" Pancingku mulai emosi, "Gausa ngarang cerita kalau memang kamu yang beli."
Ega menatapku cepat, "Memang hadiah, Na." Bantahnya lagi.
"Ya dari siapa? Temen kamu baik banget."
"Temen SMA."
Kok, mulai gak enak ya perasaanku.
"Who?"
"Arthur"
Hmm, Aku baru denger namanya sumpah.
"Kamu ulang tahun dikasi hadiah?" Sindirku lagi. Jelas Ega ulang tahun masih lama.
"Menang balapan dari dia."
Hah? Balapan?
Balapan motor? Ega masih suka balapan motor?
"Kamu masih suka balapan, Ga?"
"Ya, kalau lagi suntuk"
"Wah. Gila. Kamu lebih milih balapan dari pada cerita ke aku."
"Gausah memperpanjang masalah."
"Gak diperpanjang gimana sih, Ga! Jelas jelas kamu punya isteri buat tempat cerita. Kamu punya aku Ga, kamu bisa cerita apapun itu ke aku. Tapi kamu lebih milih mendem semuanya sendiri. Dari awal kamu gapernah mau cerita ke aku."
Ega menghentikan laju mobil saat kami tiba di perkarangan rumah. Melepas seatbelt nya dengan kasar. "Rayana." Ega memanggilku pelan.
"Laki laki gak semuanya suka membagi isi kepalanya. Termasuk aku. Aku gak cerita bukan karena gak mau. Kamu juga lagi banyak kerjaan, kamu lagi banyak pikiran. Masalah kamu dan Eyang aja cukup membuatku ngerasa bersalah ke kamu. Gimana aku tega membagi bebanku lagi ke kamu. Ada disaat aku ngerasa pengen sendiri, Na. "
Aku tertegun cukup lama. Hal yang selama ini kutakuti benar benar terjadi. Kami tidak lagi berbagi cerita. Masalah kami hadapi masing masing. Hubungan kami semakin jauh. Dan kami ngerasa untuk bercerita kepasangan aja sulit. Lantas, ini disebut pernikahan?
"Kamu langsung aja ke kantor. Aku mau istirahat dulu." Setelah mengatakan itu dengan perasaan tak karuan. Aku melangkah perlahan lahan meninggalkan Ega. Bagiku semua ini terlalu rumit.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
