
Selamat siang, Lovelies. Wenda dan Saga kembali hadir menemani siang hari teman-teman. Selamat membaca ^^
SPOILER :
“Mau main sini, sama kucing,” cicit Kimmy menolak.
“Nanti dimarahin sama kakak kamu. Kak Saga nyeremin kayak tukang pukul,” sahut Wenda yang kemudian terkekeh. Wajah Saga yang sebagian tertutup rambut berantakan tadi memang sekilas seperti preman terminal dari sinetron yang suka ditonton ibu Wenda di televisi.
“Pukul? Saga nggak pukul.” Kimmy kembali merespon. “Saga baik kok.”
Wenda mengulas...

Suara panci yang beradu dengan kompor, serta ketukan pisau pada talenan memenuhi ruangan apartemen yang ditinggali Wenda sore itu. Sepulang bekerja ia sudah berkutat di dalam sana untuk menyiapkan bubur dengan kemampuan alakadarnya. Well, masakan Wenda bisa dibilang sangat lezat. Tetapi ia selalu merasa tidak seenak buatan ibu di rumah.
Dengan telaten, Wenda menaburkan suwiran ayam ke atas mangkuk. Tidak lupa irisan daun bawang yang menambah aroma sedap dan semakin menggelitik lambung. Asap tipis yang menguar dari mangkuk tersebut membuat Wenda menghidunya. Gurih yang tercipta dari campuran santan semakin meyakinkan Wenda jika hidangan kali ini memuaskan.
“Okay, Pak Saga udah balik belum ya?” Manik mata Wenda melirik pada jam yang tergantung di dinding. Ia lantas meraih sarung tangan dapur untuk menghindari panas yang ditransfer dari mangkuk bubur tersebut.
Wenda melangkah keluar dari apartemen lalu berjalan menuju ke apartemen Saga. Cukup berulang kali Wenda memencet bel untuk mendapatkan sahutan dari tuan rumah. Hingga beberapa menit kemudian, pribadi Saga muncul dari balik pintu dengan rambut gondrong yang acak-acakan. Matanya membentuk garis lurus, mungkin masih menahan rasa tidak nyaman di tubuh.
“Permisi, Pak. Gimana keadaan Pak Saga? Apa udah mendingan setelah minum obat?” tanya Wenda sembari memindai raut wajah Saga yang tidak terlalu pucat. Warna kemerahan sudah sedikit tampak.
“Ehm.” Saga mengangguk. “Lumayan.”
“Oh syukurlah,” ucap Wenda ikut mengangguk. Lalu ia mengulurkan bubur ayam panas tersebut pada Saga. “Ini saya buat bubur ayam buat Pak Saga.”
Saga tidak langsung menerima bubur yang masih menguarkan asap tipis itu. Iris gelapnya justru memandangi Wenda lurus-lurus. “Saya nggak minta bubur sama kamu.”
Wenda seperti ditolak mentah-mentah dengan jawaban yang terlontar dari bibir Saga. Sepertinya pria itu memang belum memahami konsep empati dari seseorang. Lantas Wenda sedikit mendengus sambil memutar otak mencari jawaban.
“Enggak sih, saya cuma mau ngasih aja. Karena biasanya orang sakit itu malas ngunyah, Pak. Jadi bubur bisa jadi solusi supaya perut tetap terisi,” jawab Wenda kemudian.
“Saga siapa itu? Itu siapa?” Suara anak kecil terdengar semakin mendekat. Lalu bocah gemuk dengan rambut yang dikuncir dua itu mengintip dari belakang tubuh Saga.
Wenda menundukkan kepala pada Kimmy yang sedang menatap ke arahnya penuh tanya. Mata bulat bocah itu tampak menebak sosok Wenda yang tidak asing. Well, mereka pernah berjumpa sekali.
“Halo, Kimmy,” sapa Wenda dengan senyuman merekah. “Ini bubur, Kimmy mau?”
“Bubur? Saga punya bubur, ada di dalam bubur. Di sana,” celoteh Kimmy sambil menunjuk ke arah dalam apartemen.
Meskipun sulit mengerti bahasa bayi, tetapi Wenda sedikit paham. Mungkin maksud Kimmy, Saga sudah mempunyai bubur juga di dalam. Ah, pantas Saga tadi menanggapi pemberian Wenda dengan kecut. Rupanya pria itu mau memberikan penolakan.
“Makasih.” Tiba-tiba saja Saga menerima mangkuk bubur yang terulur untuknya. “Aku ganti mangkoknya dulu.”
“Pak Saga bisa ngembaliin nanti setelah makan. Sekalian cuciin mangkoknya, Pak,” ujar Wenda sambil terkekeh.
“Saga bubur Saga?” Kimmy kembali berceloteh seraya menggerakkan irisnya yang membola mengikuti gerakan Saga yang akan masuk ke dalam apartemen.
“Kimmy emang mau?” tanya Saga menghentikan langkah. Ia menundukkan kepala ke arah bocah gembul yang masih senantiasa memegangi celana panjangnya.
Kepala Kimmy menggeleng kuat hingga rambutnya bergoyang. “Nggak mau bubur, cokelat mau.” Lalu bocah itu kembali menganggukkan kepala.
“Nggak ada, cokelat. Belum beli.”
“Cokelat Kimmy mau cokelat, Saga,” pinta Kimmy mulai merengek.
Melihat bibir bawah Kimmy yang mulai maju diikuti kedua mata sendu, Wenda merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tinggi balita itu. “Kimmy mau cokelat?”
“Mau cokelat,” jawab Kimmy mengangguk antusias.
“Yuk, kakak kasih.” Wenda mengulurkan kedua tangan yang dengan mudah disambut oleh Kimmy. Balita itu terlihat sangat tergoda dengan kudapan manis yang ditawarkan oleh Wenda.
Jemari gemuk Kimmy memegang jari telunjuk Wenda dengan erat. Senyuman Wenda tercetak tegas, lalu kembali ke posisi berdiri. Tanpa menunggu lama, Kimmy mengayunkan langkah menarik tangan Wenda. Ia tampak tidak sabar untuk menikmati kudapan manis tersebut.
“Nanti saya antar pulang, Pak. Nggak lama kok,” ujar Wenda sambil sesekali menoleh pada Saga yang hanya bisa berdiam diri di tempat.
Ia tidak memberikan reaksi selain memandang lurus hingga pribadi Wenda dan Kimmy menghilang di balik pintu apartemen. Kedua iris gelap Saga kembali menoleh pada bubur hangat dengan topping yang melimpah. Lengkungan tipis di bibir tercipta setelahnya. Meskipun sering mendapatkan ucapan kasar dari Saga, tetapi Wenda masih saja perhatian. Well, mungkin ini hanya bentuk rasa iba dari sekretaris ke atasan. Yah, hanya sebatas itu saja.
Sementara itu Kimmy berlari kecil masuk ke dalam apartemen Wenda. Kedua pipi Kimmy yang bulat ikut bergetar sebab entakan kaki kecilnya. Lalu beberapa saat kemudian mata Kimmy tertarik pada kucing berbulu oranye yang sedang menjilati jemari sambil menggosok-gosokkan badan di atas sofa.
Melepaskan pegangan tangan dari telunjuk Wenda, Kimmy berlari menghampiri kucing dengan bulu lebat tersebut. Kimmy tersenyum ketika kucing gemuk itu melihatnya sambil memiringkan kepala.
“Meow meow,” panggil Kimmy sambil mengelus punggung kucing tersebut. “Kucing laper ya?” Lalu ia menoleh dan mencari keberadaan Wenda. “Kakak, kucing laper!”
Wenda yang mendengar pekikan Kimmy memanjangkan leher dan memastikan jika Kimmy baik-baik saja berada di sebelah Bontot. Well, kucing Wenda terkadang suka agresif kalau bertemu dengan orang baru.
Membuka laci dapur lalu mengambil satu cokelat untuk Kimmy. Setelah itu Wenda melenggang untuk menghampiri Kimmy yang masih asyik bersama Bontot. Seolah ia mampu mengerti bahasa kucing yang hanya bisa mengeong itu.
“Cokelat! Hore!” Kimmy melompat kegirangan saat mendapatkan satu cokelat dari Wenda. “Mamacih.”
“Pinter banget sih, Kimmy,” ujar Wenda gemas. Ia tidak bisa menahan diri untuk mencubit lembut pipi Kimmy yang bulat. “Yaudah yuk, Kak Wenda antar pulang.”
“Mau main sini, sama kucing,” cicit Kimmy menolak.
“Nanti dimarahin sama kakak kamu. Kak Saga nyeremin kayak tukang pukul,” sahut Wenda yang kemudian terkekeh. Wajah Saga yang sebagian tertutup rambut berantakan tadi memang sekilas seperti preman terminal dari sinetron yang suka ditonton ibu Wenda di televisi.
“Pukul? Saga nggak pukul.” Kimmy kembali merespon. “Saga baik kok.”
Wenda mengulas senyum tipis di bibir lalu mengusap puncak kepala Kimmy. “Iya, Kak Saga baik tapi kalau rambutnya gondrong gitu kayak tukang pukul, serem. Hiiii.”
“Hiiii!” Kimmy menirukan gaya Wenda yang menjengit ngeri.
Terkekeh melihat tingkah lucu Kimmy, Wenda segera menggandeng tangannya dan berjalan keluar apartemen. Kali ini Wenda tidak perlu menunggu lama untuk dibukakan pintu oleh Saga. Pria itu keluar dengan mangkuk yang sudah bersih lalu mengulurkannya kepada Wenda.
“Eh dicuciin sekalian, padahal tadi saya bercanda loh, Pak.” Wenda menerima mangkuk tersebut sambil terkekeh.
Sebelum Saga menjawab, pandangannya teralihkan pada pribadi yang keluar dari pintu lift. Rizwan berjalan menghampiri sambil mengulas senyuman kepada Saga.
“Saya mau jemput Kimmy, Mas,” ucap Rizwan yang sesekali mencuri lihat pada Wenda.
“Oh ya, Mbak Narti lagi beresin barang-barang Kimmy,” jawab Saga yang kemudian merendahkan tubuh untuk mengelus kepala Kimmy. “Kimmy pulang dulu ya.”
“Saga cepet sembuh ya,” celoteh Kimmy sambil memegang rambut panjang Saga yang menyentuh pada kerah kaus. “Panjang kayak tukang pukul.”
Salah satu alis Saga terangkat ke atas. Dibarengi kedua mata Wenda yang melotot. Ia ingin memberikan peringatan kepada balita itu, tetapi justru mendapatkan tatapan menyelidik dari Saga.
“Tukang pukul?” tanya Saga kembali memastikan.
Kimmy menoleh dan menunjuk ke arah Wenda. Kontan Wenda menutupi wajahnya dengan mangkuk meskipun sia-sia. “Kata Kakak itu Saga kayak tukang pukul. Rambutnya panjang.”
Raut wajah Saga langsung berubah mengerut. Anak kecil tidak mungkin bohong bukan? Kemudian Rizwan yang mendengar celotehan Kimmy ikut menahan tawa. Seolah membenarkan pendapat dari Wenda.
Tidak berani melihat ke arah Saga, Wenda langsung berlari tunggang langgang dan menutup pintu apartemen dengan segera. Baru saja ia menawarkan perdamaian kepada Saga. Sekarang gara-gara mulutnya yang tidak bisa dikontrol, kembali mengacaukan semua.
***
Manik mata Wenda mengedar mengamati setiap sudut lobi Lovey Inn yang terletak di tengah kota Yogyakarta. Ukuran lobi yang cukup lega dengan beberapa lukisan yang tergantung di dinding menambahkan kesan mewah. Beberapa daun maple yang tergantung, seolah akan jatuh di sepanjang jalan menuju ke meja resepsionis tidak berhenti membuat Wenda terkagum. Ada nama Gunawan grup yang tercetak kecil di dinding belakang meja resepsionis.
Pandangan Wenda yang menyapu setiap sudut bertemu dengan Saga. Lalu Wenda membuang muka dengan cepat. Semenjak pagi tadi Wenda seakan menjaga jarak dan pandangan dari Saga. Meskipun itu sangat sulit. Saga terlihat sangat berbeda dengan potongan rambut pendek yang tersisir rapi. Mulut Wenda sempat menganga melihat penampilan baru sang atasan. Bahkan tidak sedikit para staf hotel yang semakin memuja rupa tampan Saga. Well, harus diakui oleh Wenda, Saga terlihat lebih tampan dengan potongan tersebut.
“Pak Saga beneran nggak mau menginap di sini saja?” tanya Jaka selaku General manajer di Lovey Inn.
“Makasih, Pak Jaka. Tapi saya mau ke Klaten, ada sedikit urusan,” jawab Saga sembari melirik ke arah Wenda.
Mendengar ucapan Saga, Wenda buru-buru membuka buku catatan mengenai jadwal Saga. Ia menelusuri setiap goresan yang tercetak di sana. Tidak ada tujuan ke Klaten hari ini.
“Baiklah kalau begitu saya permisi, Pak Jaka,” ucap Saga.
“Terima kasih untuk kunjungannya Pak Saga.”
“Saya titip Lovey Inn sama Pak Jaka,” tambah Saga sambil tersenyum tipis.
“Akan saya jaga amanah Pak Saga dan Pak Gunawan,” jawab Jaka dengan senyuman yang merekah. “Hati-hati di jalan, Pak Saga.”
Saga membalikkan tubuh lalu melenggang untuk keluar dari lobi hotel. Setelah ikut berpamitan dengan Jaka, Wenda berjalan membuntuti Saga hingga menyamai langkahnya.
“Pak Saga ke Klaten mau kemana?” tanya Wenda sedikit ragu. Ia takut keteledorannya datang tidak diundang.
“Carikan saya hotel di Klaten. Sementara kamu bisa pulang jenguk orang tuamu,” terang Saga terus berjalan.
Otot Wenda seketika membeku setelah mendengar penuturan dari Saga. Ia memastikan jika rungunya masih berfungsi dengan baik dan tidak salah dengar. Lalu ia setengah berlari mengejar Saga untuk meminta kepastian.
“Pak Saga serius?” tanya Wenda memastikan.
Langkah Saga terhenti lalu melempar tatapan pada Wenda. “Memang sejak kapan saya suka bercanda sama kamu?”
TO BE CONTINUED….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
