The Billionaire's Sexy Admirer (Chapter 1)

7
0
Deskripsi

Selamat malam, Lovelies. Cerita baru project dari jurusan romance The WWG. Cerita ini sedikit angst yak, semoga tetap bisa kalian nikmati ^^ 

BLURB : 

Kamaniya Maheswari, jatuh hati kepada Narendra Aditama sejak berusia 14 tahun. Hanya berani mengagumi dalam diam karena luka di wajahnya, Kamaniya selalu mengikuti kabar mengenai Narendra. Hingga saat dewasa, ia dipertemukan lagi dengan pria itu sebagai PSK dan pemesan. Namun, malam itu ternyata Kamaniya salah kamar. Bukan Narendra klien yang...

"Bibi!”

Teriakan Kamaniya menyeruak ketika seorang pria botak dengan badan kekar dipenuhi tato mendorong Bibi Freya hingga terbentur lemari kayu. Suara gemuruh menguasai ruangan sempit yang tidak ada perkakas berarti. Hanya ada sepasang kursi kayu lusuh yang bagian kakinya hampir habis dimakan rayap dan lemari tua di sudut ruangan.

"Bibi! Apa ada yang terluka?” Kamaniya berlari menghampiri sang Bibi yang merintih kesakitan. Plastik bening berisi dua bungkus sate lilit dijatuhkan Kamaniya begitu saja.

Sebelum pulang kerja, Kamaniya sudah membayangkan akan menikmati sale lilit bersama Bibi Freya dengan hasil komisi penjualan amenities bulan ini. Namun, keinginan sederhana itu buyar setelah Kamaniya mendapati segerombolan pria berbadan kekar memenuhi rumah kontrakannya. Suara gaduh yang mereka ciptakan tidak membuat penghuni kontrakan lain muncul. Sebab, sebagian besar penghuni kontrakan adalah pekerja klub yang akan menghabiskan malam untuk bekerja.

"Bi-bibi, nggak apa-apa, Kamaniya.” Suara lemah Bibi Freya semakin membuat Kamaniya bingung. Apalagi saat wanita paruh baya itu memegang kepalanya kuat-kuat.

"Ayo kita ke dokter sekarang! Bibi harus segera diperiksa!” seru Kamaniya seraya mengangkat tubuh renta wanita itu.

"Eits! Mau kemana kamu wanita cantik?” Seorang wanita berambut hijau neon, senada dengan busananya menghampiri Kamaniya. la sedikit membungkuk untuk menahan tubuh Kamaniya dengan cengkraman kuat di bahu. Bibir berpulaskan lipstik merah itu tersenyum lebar, menampilkan gigi hasil veneer yang menyilaukan mata. "Jadi… si itik buruk rupa sudah berubah menjadi angsa yang cantik ya? Sangat menarik,” tambahnya seraya mengelus wajah Kamaniya.

"Aku mohon, Madam Lola. Jangan lakukan itu kepada Kamaniya. Aku mohon.” Suara Bibi Freya bergetar diikuti air mata yang menyelimuti sklera. Pun kedua tangannya menangkup di depan dada seraya terus memohon penuh iba. "Hukum saja aku. Aku yang salah.”

Diam-diam Kamaniya mengamati wajah Madam Lola, yang kemudian membawanya pada kenangan masa kecil di tempat terkutuk itu. Ia terhenyak saat kepingan memori mulai menyatu dan mengingat sosok Madam Lola, mucikari The Paradise.

Tatapan mata Madam Lola melesat ke arah Bibi Freya yang tampak menyedihkan. Meskipun masih terlihat cantik, tetapi penampilan Freya sangat lusuh dengan daster rumahan seadanya. Sangat berbanding terbalik dengan penampilan Freya 14 tahun lalu. Dulu tubuh wanita itu selalu berbalut kain sutera dilengkapi berlian melingkar di leher.

"Kenapa?” Mata Madam Lola kembali menoleh pada Kamaniya setelah mencibir kehidupan memilukan Freya dalam hati. Kuku tajam dengan pulasan kuteks hijau neon itu kembali mengusap wajah Kamaniya. "Bukankah ibu anak ini juga seorang pelacur. Tidak masalah ‘kan kalau dia mengikuti jejak ibunya? Bukan begitu Kamaniya?” Senyum lebar Madam Lola tampak mengerikan, persis predator yang mendapatkan sasaran empuk.

Napas Kamaniya seolah tertahan setiap mendengar julukan yang disematkan untuk sang ibu. Telinganya panas setiap mendengarnya. Bahkan setelah 14 tahun keluar dari tempat terkutuk itu, ia masih menerima perlakuan yang buruk.

“Bagaimana Kamaniya?” Madam Lola mengamati setiap inci wajah Kamaniya yang tanpa cela.

Kamaniya tidak menjawab. Ia mengeratkan kedua bagian giginya. Menggeram diikuti tangan yang mengepal kuat. Bersusah payah untuk menahan emosi agar tidak meledak.

“Sepertinya ibumu akan menangis karena usahanya sia-sia.” Madam Lola mendesah. “Lagipula untuk apa merusak wajah putrinya sendiri? Bukankah bagus jika putrinya hidup bergelimang harta menjadi sugar baby?”

“Madam, aku mohon jangan Kamaniya,” rintih Bibi Freya yang diabaikan oleh wanita berambut hijau neon itu.

Senyuman Madam Lola yang tampak seperti mendapatkan jackpot kembali menghias wajahnya. Ia sama sekali tidak memperdulikan Freya. Minatnya sudah tertuju penuh pada Kamaniya yang bisa menghasilkan pundi-pundi kekayaan untuk kejayaan The Paradise.

Lantas ia mengamati keadaan rumah kontrakan yang sangat sederhana itu.

“Kamaniya, mari kembali ke tempat asalmu. Istana yang bisa mengubahmu menjadi seorang putri raja,” ajaknya.

Kamaniya hanya diam, tidak berniat untuk menjawab.

“Kamu terlalu cantik untuk tinggal di kandang kambing ini.” Matanya melirik jijik ke seluruh ruangan. “Mari … kembali ke The Paradise, rumahmu yang sesungguhnya,” ajak Madam Lola sambil mengulurkan tangan.

"Tidak.” Bibi Freya menggeleng, suaranya terdengar sangat lirih dan lemah.

Dengan sisa tenaga, ia merangkak kemudian menarik tubuh Kamaniya untuk bersembunyi di belakangnya. Ia sudah berjanji kepada Angelina untuk melindungi Kamaniya dari semua iblis di The Paradise. “Madam, a-aku mohon.” Napas Bibi Freya terasa berat ketika kepalanya semakin pusing diikuti pandangan mengabur.

“Kenapa? Aku menjanjikan surga untuk Kamaniya. Bukankah lebih baik daripada tinggal di neraka seperti ini,” cicit Madam Lola.

“Ja-jangan. A-aku Mo….”

"Bibi!” Teriakan Kamaniya semakin menggema ketika tubuh Bibi Freya terjatuh. "Cepat panggil ambulan! Saya Mohon!”

Tidak peduli dengan teriakan Kamaniya, Madam Lola meluruskan punggung sambil membersihkan kotoran di sela-sela kuku.

Segera Kamaniya mengambil ponsel dari dalam tas. Tangannya bergetar saat menuliskan nomor darurat di layar. "Bibi aku mohon bertahanlah,” ucapnya sambil sesekali memeriksa napas Bibi Freya.

Mata basah Kamaniya membola ketika Madam Lola menendang ponselnya. Kontan ia mendongakkan kepala dengan tatapan tidak terima. "Apa yang sudah anda lakukan! Bibi saya butuh pertolongan secepatnya!”

Madam Lola hanya merespon dengan menaikkan kedua bahunya sambil terkikik. Ia sama sekali tidak peduli jika Freya menyusul Angelina. Sebab sekarang, ia sudah menemukan seseorang yang akan memberikannya banyak keuntungan. Well, menjual Kamaniya kepada para saudagar hidung belang tidaklah sulit.

Ia memindai tubuh Kamaniya yang nyaris tanpa cela. Dada dan bokong wanita muda itu cukup berisi, dilengkapi dengan wajah yang sekarang sudah berubah menjadi cantik, seperti seorang dewi. Luka yang dulu sengaja dibuat oleh Angelina, sekarang nyaris tidak berbekas. Sungguh kemampuan dokter di negara ini semakin berkualitas.

Memilih untuk tidak meladeni wanita berambut palsu itu, Kamaniya merangkak sambil memanjangkan tangan untuk meraih ponselnya. Namun, ujung heeIs Madam Lola menginjak tangan Kamaniya kuat -kuat.

"Argh!” Kamaniya meringis saat kaki Madam Lola semakin menggerus tangannya lebih dalam.

"Bukankah kamu harus membayarkan hutang Bibi kesayanganmu itu?” ujar Madam Lola dengan mata melotot ke arah Kamaniya.

"Hu-hutang?” Kening Kamaniya mengerut saat kebingungan dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Ia berusaha untuk menahan linu dari injakan kaki Madam Lola yang nyaris meremukkan tulangnya. "A -apa maksud anda?”

"Oh!” Madam Lola sedikit terkejut diikuti salah satu alis naik ke atas. la melepaskan injakannya lalu jongkok menatap Kamaniya. "Jadi kamu tidak tahu?”

Spontan kepala Kamaniya menggeleng. Ia sama sekali tidak tahu apa yang membuat Madam Lola mengejar mereka dan terlihat begitu marah kepada sang Bibi.

“Bibimu sudah mencuri semua perhiasanku saat kalian kabur dari The Paradise 14 tahun lalu, dan menggunakannya untuk mengoperasi wajahmu?”

"A-apa?” Seketika Kamaniya terhenyak dengan pernyataan Madam Lola.

“Maka dari itu ….” Dengan gerakan cepat, tangan Madam Lola mencengkram rahang Kamaniya, menekan kedua pipinya kuat-kuat. “Kamu harus ikuti semua perkataanku. Atau….” Madam Lola melirik pada Bibi Freya yang terkulai lemas tanpa daya. “Satu-satunya orang terdekatmu akan mati!”

Tawa menggelegar Madam Lola menguasai ruangan. Kamaniya hanya bisa mematung sambil menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata. Tangannya mengepal kuat di atas pangkuan. Tentu saja ia tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Cukup sekali ketika sang ibu meregang nyawa, lalu pergi untuk selamanya di rumah bordil itu.

***

Patung Dewi Aphrodite yang merupakan dewi paling cantik di Olympus, menyambut langkah kaki Kamaniya yang terasa berat. Gemericik air mengalir dari kendi yang dijinjing Aphrodite, seakan memberi ucapan selamat datang kembali kepadanya.

Ternyata tempat itu banyak mengalami perubahan, selain patung Aphrodite yang sekaligus difungsikan sebagai air mancur dalam ruangan. Warna putih dan emas menjadi perpaduan mewah dengan tambahan kawanan ornamen burung putih yang melayang di sisi berbeda.

Beberapa pria dengan penampilan parlente, keluar masuk lift untuk menuju ke lantai 3, istana The Paradise yang sesungguhnya. Bangunan apartemen yang bernama Mount Paradise itu, hanyalah kedok untuk menutupi bisnis penyedia sugar baby atau sekedar wanita ons (one night stand).

Kamaniya masih mengamati tempat tersebut dengan seksama. Tampaknya Madam Lola berhasil mengelola bisnis hingga mampu bertahan sampai detik ini. Lagipula siapa yang tidak menyukai pengalaman seks yang berbeda dan menantang? Para pria yang kelebihan uang itu, siap menggelontorkan jutaan nominal hanya demi kenikmatan sesaat.

Madam Lola berjalan menuju lift diikuti Kamaniya dan dua bodyguard berbadan kekar menghimpit tubuhnya. Sekeras apapun ia berpikir untuk kabur, tampak hanya sia-sia belaka.

Pintu lift tertutup lalu berhenti ketika menunjukkan angka 3 digital, ketinggian maksimum bangunan yang diperbolehkan di Bali.

Madam Lola lantas melangkah keluar lift dan memutar tubuh, menghadap pada Kamaniya sambil merentangkan tangannya.

“Welcome to the … Paradise,” ucapnya diikuti tawa yang menggelegar.

Kamaniya hanya bisa meremas kuat ujung bajunya. Segala kenangan buruk di masa lalu seolah menyerbu benak Kamaniya. Tumbuh di lingkungan prostitusi bukanlah kehidupan yang layak untuk dikenang. Namun, apa yang bisa dilakukan bayi yang sudah terlanjur lahir di lingkungan seperti itu? Bahkan membayangkan siapa ayah biologisnya saja menjadi hal yang paling mengerikan.

“Baron, bawa Kamaniya ke dalam ruangan itu. Satu jam lagi dia akan didandani dan menemui klien utama kita,” titah Madam Lola kepada pria botak dengan tato yang memenuhi sebagian tubuhnya.

Menunduk patuh, Baron menarik paksa tangan Kamaniya untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah dipersiapkan.

“Tunggu Madam!” Kamaniya memberontak. “Biarkan saya membayar semua hutang Bibi Freya. Berapapun akan saya bayar, tapi tolong beri saya waktu.”

“Dengan cara apa kamu mengumpulkan uang sebanyak itu?” cicit Madam Lola meremehkan Kamaniya.

“Saya akan bekerja keras, Madam. Saya akan bekerja sekuat tenaga untuk membayar hutang itu. Saya mohon, jangan jual saya.” Kamaniya lantas bersimpuh di depan Madam Lola sambil menangis pilu. Ia tidak ingin berakhir sebagai wanita tuna susila di tempat itu. “Saya mohon, Madam.”

“Ck, Kamaniya … Kamaniya. Bukankah sudah banyak waktu yang aku kasih ke kalian.” Dengan jari lentiknya, Madam Lola menghitung waktu setelah Freya membawa kabur Kamaniya dari The Paradise. “Empat belas tahun, Kamaniya. Sekarang jangan banyak tingkah atau Freya akan tamat.” Tatapan Madam Lola berpindah ke Baron sambil berseru, “bawa dia!”

“Madam saya mohon!” Kamaniya masih berusaha memohon belas kasihan. Sementara tubuhnya diseret oleh Baron dengan paksa. “Lepaskan aku!”

Sama sekali tidak memperdulikan teriakan Kamaniya, Baron terus menyeret dan bersiap melemparkannya dalam kamar kosong sebelum dijual kepada pengusaha kaya. Belum sempat mencapai ujung pintu, Baron mengernyit ketika Kamaniya menginjak kakinya.

“Aw!” Kontan pegangan Baron terlepas saat Kamaniya menggigit bahu pria itu kuat-kuat. “Sialan!”

Kamaniya berusaha melarikan diri, tetapi sia-sia. Meskipun berbadan besar, Baron cukup gesit untuk memegang leher belakang Kamaniya dan menghentikannya.

Tatapan Kamaniya menjadi sengit ketika Baron mulai mendorong untuk masuk ke dalam kamar tersebut. Tanpa berpikir panjang, Kamaniya mendongak lalu meludah ke wajah Baron sekuat-kuatnya.

“Brengsek!” Mata Baron memicing. Ia terlihat sangat marah ketika ludah Kamaniya berhasil membuat matanya perih. Baron yang murka lantas mengayunkan tangan untuk menampar Kamaniya.

“Baron! Hentikan!” Teriakan Madam Lola yang sejak tadi belum meninggalkan tempat itu menahan ayunan tangan Baron. Dengan langkah panjang, ia menghampiri mereka, “jangan pernah melukai wajahnya! Aku bisa rugi besar tau! Dan kamu!”

Tatapan tajam Madam Lola berpindah ke arah Kamaniya. Ia menjambak rambut wanita itu kuat-kuat. “Sekali lagi kamu bertingkah, maka aku tidak segan membunuh Bibimu yang sekarang terbaring di rumah sakit! Paham!” ancam Madam Lola dengan rahang yang mengetat.

“Aku tidak ingin melayani siapapun. Aku mohon….” Tangis Kamaniya semakin pecah. “Aku rela menjadi pembantumu selamanya, asal jangan minta aku untuk menjadi pe ….” Lidah Kamaniya terasa sangat berat untuk menyebutkan panggilan yang sempat tersemat untuk sang ibu.

“Baiklah kalau begitu. Jika kamu bisa membuat klien ini puas dan menginginkanmu menjadi simpanannya, maka aku akan melepasmu dari sini,” ucap Madam Lola yang terasa seperti angin segar.

“Be-benarkah?” Dengan naif Kamaniya mempercayai ucapan Madam Lola.

“Tentu saja. Maka dari itu, menurutlah dan jadilah anak yang manis. Oke,” tambahnya sambil menepuk pipi Kamaniya.

Embusan napas kasar lolos dari bibir Madam Lola. Segera ia bangkit dari posisi jongkoknya kemudian melenggang pergi.

“Astaga! Sepertinya aku harus suntik kolagen! Dua wanita sialan itu membuat kulitku menjadi stress!” gerutunya.

Waktu berlalu dengan sangat cepat. Bahkan satu jam terasa seperti satu menit bagi Kamaniya. Ia berjalan ragu menyusuri lorong hotel sambil terus mengembuskan napas kasar untuk mengatasi rasa takut yang menguasai diri.

“Hanya sekali,” gumam Kamaniya sambil terus melangkah. “Semoga pria itu bisa diajak bekerjasama dan melepaskanku dari Madam Lola.”

Kaki Kamaniya terus melangkah sambil membaca nomor yang tersemat di depan pintu. Kali ini ia harus menemui klien yang sudah reservasi di salah satu hotel ternama pulau Dewata itu.

Kamaniya menelan saliva kasar saat sampai di kamar tujuan. Tangannya mengepal kuat sebelum meraih gagang pintu yang sudah terbuka sedikit. Ia balik badan, berniat untuk mengurungkan niat dan kabur. Kaki mengayun beberapa langkah, lalu tertahan.

“Nggak.” Kamaniya menggeleng. “Kalau aku kabur, gimana sama pengobatan Bibi?” Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Salah satu kebiasaan Kamaniya yang sulit dihindari. “Aku harus melakukannya,” tutur Kamaniya sambil kembali balik badan menghadap pintu bernomor 69 itu.

Mata Kamaniya terpejam sesaat, kemudian diakhiri helaan napas berat. Ia segera masuk ke kamar tersebut dan seorang pria dengan siluet yang sempurna sedang berdiri menghadap keluar jendela.

“Permisi, Tuan. Saya datang untuk menemani malam anda,” tutur Kamaniya dengan lugas meskipun tangannya sedari tadi masih gemetar.

Pria itu masih diam di tempat. Tampak sedang menunggu ucapan selanjutnya dari Kamaniya.

“Maka dari itu ….” Ucapan Kamaniya tertahan sesaat. Ia menelan saliva kuat-kuat sebelum melanjutkan ucapannya, “cepat selesaikanlah dan bebaskan saya.” Tangan Kamaniya meraih resleting gaun dengan model off shoulder itu.

Dalam sekali gerakan, gaun warna maroon tersebut luruh dari tubuhnya. Sekarang tidak ada sehelai benang pun melindungi tubuh sintal, dengan kulit putih porcelain yang memanjakan mata itu.

Perlahan, pria dengan bahu selebar samudra itu memutar tubuhnya dan mengamati Kamaniya yang sekarang berdiri tanpa busana. Ia sama sekali tidak terkejut dengan tingkah Kamaniya yang tiba-tiba datang lalu melucuti busana tanpa diminta. Namun, justru Kamaniya yang terhenyak saat mendapati paras pria itu.

“Di-dia?” lirih Kamaniya ketika mata mereka beradu pandang. Wajah pria itu semakin terlihat jelas ketika berjalan semakin mendekat. Tidak salah lagi, pria itu adalah pangeran masa kecil Kamaniya. Pria yang wajahnya tidak pernah absen menghiasi sketch book Kamaniya.

TO BE CONTINUED…. 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Touch Me Slowly, Mr. Billionaire (Chapter 40)
2
0
Selamat pagi, Lovelies. Kisah Jiana dan Vian kembali menemani pagi kalian. Selamat membaca ^^SPOILER :Napas Jiana seolah tertahan ketika jemari Vian menelusup masuk ke dalam rok, menggerayangi pangkal paha untuk mencari sisi rahasia sumber kenikmatan itu. Debaran jantung Jiana semakin menggebu. Rasa takut kepergok seakan menambah gairah mereka. Menciptakan tantangan sendiri dengan sensasi yang berbeda. Adrenalin mereka seolah terpacu ketika mencoba hal yang baru. Sesuatu yang sangat digemari oleh Vian. Bercinta di taman hotel? Bukankah akan banyak mata yang memergoki mereka? “Jangan takut, Jiana. Tidak akan ada yang melihat kita.” Suara Vian memprovokasi. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan