
Selamat pagi Lovelies, ikuti kisah Rossie dan Jeffry yuk! Selamat membaca ^^
SPOILER:
"Sampai sekarang aku masih penasaran," ujar Jeffry yang menghentikan ucapannya sesaat. Sementara itu Rossie memerhatikan punggung Jeffry dari jarak 1 meter. "Apa benar dulu kamu cuma permainkan aku."
Rossie tercekat mendengar pertanyaan dari Jeffry. Ia meneguk minumannya dengan cepat lalu meletakkan gelas kosong di wastafel.
"Kamu udah tahu jawabannya." Rossie bergegas pergi meninggalkan Jeffry, tetapi...

BAB 4
["Jadi mantan yang buat lo susah move on itu Jeffry Tanoe Widjaja?"] Mata Amber melotot dari balik layar ponsel Rossie.
["Iya dia cowok yang bikin Ochie hingga detik ini masih jomlo."] Jiana yang sedang memasang masker wajah ikut menimpali.
"Lagian buat apa diceritain, masa lalu." Rossie duduk di sofa samping ranjang setelah menidurkan bayi yang belum memiliki nama itu.
["Jangan bilang Jeffry adalah alasan lo nolak Mahendra Wicaksono? Anggota mama's pride salah satu sahabat Jeffry?"]
"Nggak ada hubungannya sama Jeffry," jawab Rossie sekenanya. Jika membicarakan urusan pria, kepala Rossie bisa pusing seperti dipukul palu.
["Ish. Terus sekarang lo dimana?"] Amber bertanya sambil meneliti latar belakang tempat Rossie melakukan video call.
"Villa Jeffry di Jimbaran." Rossie menerangkan. Ia menyanggupi permintaan Jeffry untuk menjaga bayi tersebut selama ditinggal pergi ke New York.
Tidak ingin menimbulkan banyak pertanyaan dari tetangga sekitar, Jeffry membawa Rossie ke villa di Jimbaran yang lebih sunyi.
Setiap membuka mata, Rossie akan disambut oleh hamparan pantai Jimbaran yang membiru. Saat matahari ingin menyembunyikan sinarnya, ia akan mendapatkan pemandangan senja yang menentramkan jiwa.
["Dia mau nyembunyiin bayi itu? Ish dasar cowok nggak jelas. Nebar benih aja semangat, giliran manen sembunyi-sembunyi."]
"Tapi aneh nggak sih, kalau tiba-tiba ditaruh depan rumah?" Rossie mulai menerka. "I mean, kalau emang bayi ini anak kandung Jeffry kenapa nggak ngomong baik-baik aja?"
["Ya mungkin aja karena Jeffry itu brengsek. Bisa aja ibu bayinya pernah ngajak bicara baik-baik tapi nggak berhasil."] Amber berpendapat dengan lantang.
"Tapi dia dulu nggak kayak gitu," gumam Rossie lirih.
["Come on, Ochie. Manusia itu bisa berubah dengan cepat. Lagipula dulu mungkin lo belum tahu sifat asli dia. Berapa lama sih lo pacaran?"]
["Tujuh bulan kalau nggak salah. Ya 'kan Chie?"] Kali ini Jiana yang bersuara dengan hati-hati agar maskernya tidak retak.
"Iya, tujuh bulan." Rossie mengiyakan.
["Bentar-bentar."] Wajah Amber mendekat hingga sepasang mata sipitnya terlihat dengan jelas. ["Jangan bilang lo masih ada perasaan sama Jeffry dan nggak bisa terima dia udah punya anak sama cewek lain?"]
["Emang Ochie masih suka sama Jeffry kok."]
"Jiana, jangan asal ngomong deh," tukas Rossie memperingatkan.
["Udah deh, Chie. Jangan bohongin diri lo sendiri. Dulu lo mutusin Jeffry juga terpaksa 'kan? Karena disamperin sama kakaknya Jeffry?"] Jiana berucap sampul merapikan maskernya.
["Hah! Lo ditemuin kakaknya Jeffry buat mutusin hubungan kalian? Terus lo dikasih imbalan duit satu gepok gitu?"]
["Nggak gitu juga kalik, Amber! Lo kebanyakan nonton sinetron Ikan terbang ya?"] Jiana menjawab.
["Ye, sinetron ikan terbang mah kayak jasa buat anak keliling."] Amber terkekeh disusul Jiana yang berusaha menahan tawa.
"Udahlah nggak usah dibahas. Masa lalu," tukas Rossie.
["Terus setelah Jeffry balik dari New York rencana selanjutnya apa?"] Jiana mulai penasaran.
"Tinggal nunggu hasil DNA. Kalau bener anaknya ya mau dirawat."
["Kalau nggak? Kata gue mending lo jadi babysitter bayi itu aja deh."] Amber memberikan ide. ["Lo juga lagi butuh pekerjaan setelah dipecat dari Grand Widjaja karena ulah Jeffry."]
["Boleh juga tuh ide Amber. Jadi selain lo mastiin Jeffry bertanggung jawab, lo dapat pekerjaan sekaligus nyelamatin masa depan bayi itu."] Jiana ikut setuju.
"Tapi gue udah nggak mau berurusan sama Jeffry. Gue nggak mau lihat mukanya lagi," ujar Rossie.
["Kenapa? Katanya lo udah nggak ada perasaan sama dia? Profesional aja lah, Chie."]
Perkataan Amber benar juga. Jika sudah tidak ada rasa bekerja satu atap bukanlah jadi masalah. Pun ia tidak ingin ada anak manusia yang memiliki nasib sama seperti dirinya. Terbuang dan tidak masuk dalam pilihan.
***
"Biar aku yang rawat bayinya." Setelah sekian menit terdiam, Noah bersuara.
Jeffry yang sedari tadi membisu sambil menundukkan kepala, lantas mendongak dan melihat ke arah sang kakak. Sejak dulu Noah memang selalu pasang badan untuk melindunginya. Pun ia siap menerima amarah dari ayah mereka, jika Jeffry membuat kesalahan.
"Kamu bisa fokus sama proyek pembangunan hotel dan mall di Jimbaran. Biar aku yang urus semuanya." Suara Noah terdengar menenangkan.
"Bayi itu belum tentu anakku," tukas Jeffry.
"Jef, lagipula orang gila mana yang tiba-tiba menaruh bayi di depan rumah orang lain?"
"Sekarang banyak manusia gila dan jahat. Bahkan sekarang iblis pada insecure kalau lihat tingkah manusia," jawab Jeffry sekenanya.
"Terus rencana kamu apa?" Noah memandang lurus ke arah Jeffry.
"Aku mau tes DNA dulu."
"Setelah itu?"
"Aku nggak mungkin rawat dia." Jeffry mulai frustrasi dengan masalah hidupnya. "Lagian siapa ibu dari bayi itu? Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal dia hamil?"
"Kalau kasih tahu kamu dari awal memangnya mau berharap apa? Kamu belum tentu akan menikahi mereka," tandas Noah yang hafal denagn sikap sang adik. Jeffry memang enggan berkomitmen setelah kepergian sang ibu dan kedatangan anak hasil perselingkuhan Raymond.
Jeffry memilih diam dan meraih gelas kemudian meneguknya perlahan. Lalu tiba-tiba ia terpikir untuk tidak mengambil bayi itu dan meninggalkannya di panti asuhan. Ia akan memberikan uang yang cukup untuk membesarkan bayi itu.
'Kalau kamu berani meninggalkan dia, aku nggak akan tinggal diam!'
Kepala Jeffry lantas menggeleng samar ketika rupa Rossie muncul di benaknnya dengan hidung yang kembang kempis memberikan peringatan.
Melihat layar ponselnya yang menyala, Jeffry lantas meraih dan menggulirkan jemari di sana. Kedua mata Jeffry membola saat menerima surel dari Wicaksono Hospitals grup, salah satu rumah sakit terbaik milik keluarga sahabatnya.
Jeffry menelan saliva berulang diikuti butiran peluh yang mulai membasahi kening. Ia sedikit takut untuk menerima hasil tes DNA yang sempat dilakukan sebelum terbang ke New York.
"Ada apa?" Pertanyaan Noah semakin meningkatkan ketakutan dalam diri Jeffry. Ia belum siap menjadi seorang ayah!
TO BE CONTINUED....
BAB 5
"Oma kok udah bangun?" Rossie mengikat seluruh helai rambutnya setelah mendapati wajah Oma Clara dari layar ponsel.
Jam menunjukkan angka 3 pagi, Tina salah satu anak house of iris menelepon Rossie untuk mengadu. Langit masih gelap gulita dengan bulan sabit yang bersinar terang dan Oma Clara sudah berkutat di dapur.
Wanita baya itu mengukir senyuman tipis lantas kembali mengaduk adonan tepung beras yang dicampur kayu sugih dan campuran kapur sirih. "Oma mau bantuin Tina bikin pesanan."
"Oma." Rossie memasang wajah sedikit berangt. "Ingat kata dokter, Oma harus banyak istirahat biar cepat sembuh." Kedua mata Rossie menelisik ke layar ponsel dan memerhatikan meja yang dipenuhi dengan bahan untuk membuat laklak dan pisang rai. Besok pagi Oma mendapatkan pesanan untuk mengisi snack box para wisatawan yang berlibur ke pantai seminyak.
Pisang tanduk yang cukup tua sudah tersaji di mangkuk dengan irisan tepat, tidak terlalu tebal atau tipis. Setelah itu akan dibalut dengan adonan yang terdiri dari tepung tapioka, tepung beras dan santan. Untuk tahap akhir dibaluri dengan parutan kelapa agar menjadi hidangan pisang rai yang legit. Selain itu, laklak dengan resep spesial ala Rossie juga terkenal lezat. Jajanan pasar yang mirip serabi itu akan disajikan dengan tambahan gula merah, parutan kelapa dan garam ditengahnya. Keuntungan yang didapatkan dari membuat snack itu lumayan untuk mencukupi kebutuhan di panti.
Ia sengaja meminta Tina untuk menyelesaikan pesanan karena harus menjadi babysitter dadakan. Karena kerap membantu Rossie membuat pesanan, Tina juga cukup ahli meramu bahan olahan jajanan tradisonal Bali itu.
"Tapi, Ochie -"
"Udah, kali ini aku mohon banget. Oma nurut ya sama Ochie," ujar Rossie dengan mengiba. Oma Clara menderita diabetes stadium akhir. Setelah melakukan biopsi ginjal, ia harus menjalani beberapa terapi dari dokter, salah satunya terapi insulin.
Penderita diabetes tipe dua memerlukan terapi tersebut sebab pankreas tidak cukup memproduksi insulin atau sel-sel tubuh menjadi kebal terhadap reaksi insulin.
Sebenarnya untuk pengobatan Oma Clara bisa menggunakan BPJS. Namun, Rossie masih membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk kelangsungan 30 anak-anak di House of Iris. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan bantuan dari para donatur saja. Berulang kali datang pasangan yang ingin mengadopsi salah satu anak dari panti asuhan itu, tetapi Oma Clara menolak. Ia terlampau takut jika salah satu dari mereka mendapatkan orang tua yang kurang tepat. Apalagi jika nanti ada yang mendapatkan kekerasan dari orang tua angkat mereka.
Tujuan Oma Clara dan Kakek Wayan membangun house of iris hanya untuk memberikan tempat berlindung dengan penuh curahan kasih sayang kepada anak-anak yang kurang beruntung. Jika orang tua mereka tidak mengharapkan kehadirannya, maka Oma Clara dan Kakek Wayan akan dengan senang hati merentangkan tangan untuk menyambut mereka.
Sekarang sudah genap 6 tahun Kakek Wayan pergi karena sakit. Rossie tidak bisa membiarkan Oma Clara bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan panti. Selama ini Rossie turut menyisihkan sedikit penghasilannya dari pekerjaan sebagai tour guide, menjual kue, serta sesekali menjadi penyanyi di pernikahan gereja terdekat.
["Baiklah."] Oma Clara membuang napas sembari melepaskan celemek yang terikat di pinggang. "Sekarang tenaga Oma sudah tidak ada gunanya lagi."
"Oma, kok ngomong gitu?" Tidak ingin membuat Oma Clara sedih, Rossie membujuk Oma Clara. "Ochie cuma nggak pengen Oma kelelahan. Sekarang, cuma Oma yang Ochie punya."
Mendengar ucapan Rossie, Oma Clara mengusap wajah Rossie dari layar ponsel. ["Maaf ya, kamu harus bekerja keras buat bantuin Oma."]
"Ish, kenapa harus minta maaf sih? Sudah seharusnya aku bantuin Oma." Rossie mengulas senyuman tipis di wajahnya yang ayu. "Udah sekarang Oma istirahat aja, biar Tina yang buat pesanan pagi ini. Nggak banyak kok, cuma 35 dus aja."
["Baiklah, baiklah. Oma menyayangimu, jaga diri di Jimbaran dan hati-hati dalam bekerja."] Oma Clara pasrah dan enggan berdebat dengan anak asuh tertuanya itu. Tangan rentanya lalu memberikan ponsel tersebut kepada Tina diikuti senyuman tipis. Lipatan di sekitar mata Oma Clara semakin bertumpuk karena tarikan dari kedua sudut bibir.
"Aku juga sangat menyayangi Oma," balas Rossie.
Dua puluh tujuh tahun yang lalu, kedatangan Rossie seperti pelita dalam kehidupan Oma Clara dan Kakek Wayan. Setelah keguguran dan rahimnya diangkat, harapan Oma Clara untuk memiliki keturunan sudah pupus. Hingga kemudian ia mendnegar suara tangi bayi ketika melintas di tempat pembuangan sampah. Saat itu ada dua anjing liar yang mengerumuni tubuh Rossie kecil. Tidak menunggu lama, Oma Clara dan Kakek Wayan memutuskan untuk merawat Rossie selayaknya keluarga.
Sejak saat itu, Oma Clara dan Kakek Wayan sering menemukan bayi yang dibuang atau sengaja ditinggal di depan rumah mereka. Dari situlah house of Iris tercipta. Rumah yang diharapkan bisa memberi warna seperti pelangi bagi anak-anak tersebut.
["Aku tutup dulu teleponnya ya, Mbok. Mau nyelesein pesenan snack hari ini,"] ujar Tina yang sekarang duduk di bangku SMA.
Rossie menganggukkan kepala. "Iya, kamu jaga Oma Clara ya."
["Iya, Mbok juga jaga diri. Ngomong-ngomong Mbok kerja di mana?"] Tina mengamati ruangan Rossie.
"Jadi pengasuh bayi. Kalau ada apa-apa, kabari aku ya?"
["Siap, Mbok."] Panggilan terputus, Rossie yang melakukan.
***
Telunjuk Jeffry masih mengetuk kemudi mobil sesampainya di depan house of iris. Rumah dengan cat tembok warna-warni dengan beberapa anak bermain di pelataran menyita atensi Jeffry. Sudah cukup lama ia berdiam diri di sana sembari menimbang keputusan yang akan dipilih. Ia masih terlalu muda dan belum siap menjadi seorang ayah dari bayi yang tidak jelas asal-usulnya. Well, benar itu darah daging Jeffry, tetapi siapa ibu dari bayi itu masih belum jelas.
Jika dilihat dari warna iris hazelnya, kemungkinan ibu bayi itu adalah salah satu teman tidur Jeffry yang berasal dari Amerika Latin. Perlahan ia berusaha mengingat satu per satu nama sambil memejamkan mata.
"Audrey? Cassey? Barbara?" Kening Jeffry mengerut ketika bersusah payah mengingat momen penanaman benih di rahim setiap wanita itu. Beberapa saat kemudian ia menggeleng sambil mendesah samar, "atau mungkin Angelina? Ah, saat itu tidak aku keluarkan di dalam."
Kepalan tangan Jeffry lantas mendarat di kemudinya. "Hash! Sialan! Siapa ibu dari bayi itu?"
Mata Jeffry kembali melirik ke rumah berdinding warna-warni dengan tulisan House of Iris di papan dekat dengan pagar. Jika ia kabur sepertinya tidak masalah. Ah, kata kabur terkesan brengsek untuk putra bungsu dari Richard Widjaja yang selalu mendapatkan pujian di bidang bisnis itu. Jeffry tidak ingin merusak reputasi yang selama ini dibangun untuk menutupi sisi brengsek sebagai Playboy.
"Kalau kabur, Si Blonde pasti akan mempermalukanku?" Jeffry kembali berpikir untuk mencari solusi terbaik. Ia tidak memiliki pengalaman untuk merawat bayi. Pun jika harus menyewa babysitter, ia belum siap mendapatkan sebutan Papa, Papi, atau Daddy. Astaga, kepala Jeffry terasa ingin pecah.
Jeffry menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya. Sembari menyetir, pikiran Jeffry terus berputar mencari solusi terbaik. Tawaran dari Noah terdengar tidak buruk, pria itu sudah menikah dan belum diberi keturunan setelah istrinya keguguran. Namun, pernikahan mereka juga sedang tidak harmonis.
Melihat pernikahan sang kakak diambang kehancuran, pendapat Jeffry mengenai pernikahan semakin jelas. Jika ikatan tersebut hanya akan menambah masalah dalam hidup. Sumpah yang katanya diucapkan di hadapan Tuhan tidak serta merta membuat mereka saling setia hingga maut memisahkan. Seperti Richard yang dulu menjadi idola Jeffry. Setiap ditanya mengenai cita-cita, Jeffry selalu menjawab ingin menjadi seperti sang ayah. Dulu di mata Jeffry, Richard Widjaja tampak sempurna sebagai sosok suami dan ayah. Namun, semua itu pupus ketika seorang anak perempuan seumuran Jeffry berdiri di depan rumah dan mengaku sebagai putri Richard.
"Shit!" Jeffry memukul kemudi dengan keras. "Kenapa nasibku nggak beda sama Papa sih! Sialan!"
Setelah melindas aspal selama 30 menit, Jeffry berhenti di depan rumah bernuansa tropis dengan pagar kayu yang menjulang tinggi. Ia tidak segera turun dari mobil dan masih menimbang keputusan yang akan diambil.
Batin Jeffry seolah berperang dengan logika yang sedari tadi memaparkan kemungkinan buruk di benaknya. Hingga beberapa detik kemudian, seorang wanita berambut blonde mengaggetkan Jeffry di depan mobil sambil berkacak pinggang. Tatapan Rossie seolah memberikan peringatan kepada Jeffry untuk tidak berpikir untuk meninggalkan bayi itu.
"Astaga, wanita itu." Jefrry terbeliak kaget.
"Kenapa nggak turun? Jangan coba-coba kabur kamu ya!" Suara Rossie yang melengking terdengar nyaring diikuti ekspresi mengintimidasi.
Melepaskan seatbelt yang mengait tubuh lalu mengayunkan kaki turun dari mobil. Jeffry berjalan menghampiri Rossie hingga membuat wanita dengan rambut yang dikepang itu memundurkan langkah hingga menyentuh pagar tembok.
"Kamu bisa pelanin suara kamu nggak sih?" peringat Jeffry.
"Nggak!" Suara Rossie semakin melengking keras.
Jeffry menoleh ke kanan dan kiri sambil gregetan dengan sikap Rossie. "Astaga cewek ini."
"Denger ya, Jeffry Tanoe Widjaja. Aku nggak akan biarin kamu kabur dan ninggalin bayi itu," ujar Rossie dengan suara cukup keras.
Jeffry kembali berdecak. "Siapa yang mau ninggalin dia?"
"Kamu dari tadi nggak turun-turun dari mobil. Bisa aja kamu pesan pesawat dan mau kabur ke Amerika," celetuk Rossie panjang lebar.
"Aku nggak seperti kamu yang sukanya kabur, Rossie Olena." Jeffry semakin merapatkan jarak dengan Rossie sambil menopangkan tangan di pagar tembok, mengurung tubuh wanita itu.
"Siapa yang kabur? Hubungan kita berakhir secara baik-baik berdasarkan kesepakatan bersama," tukas Rossie. "Jadi jangan mengalihkan pembicaraan."
"Kamu yang mulai duluan." Jeffry tidak mau kalah.
"Terserah, pokoknya aku nggak akan tinggal diam kalau kamu mau ninggalin -" Ucapan Rossie kontan terhenti ketik Jeffry membungkam mulutnya.
Waktu Rossie seolah berhenti ketika tatapan Jeffry tertuju penuh kepadanya. Tanpa jeda dan lambat laun mengikis jarak antara mereka berdua. Bahkan Rossie bisa merasakan napas hangat Jeffry menerpoa wajahnya.
Iris gelap Jeffry melihat mata dan bibir merah jambu Rossie secara bergantian. Tatapan nakal itu membuat jantung Rossie bertalu tidak karuan. Ia ingin berlari dari posisi ini, tetapi entah mengapa kakinya sulit digerakkan.
TO BE CONTINUED.....
BAB 6
"Aw!" Jeffry sontak menjerit ketika Rossie menggigit jari yang membungkam mulutnya. "Sakit tauk!" tambah Jeffry seraya mengibaskan tangan.
"Rasain!" ucap Rossie seraya menjulurkan lidahnya. Kemudian ia berlari masuk ke dalam rumah untuk menghindari pria tersebut.
"Heh!" Sambil menahan rasa sakit, Jeffry mengejar Rossie. Sejak duduk di bangku sekolah, Jeffry masuk dalam jajaran siswa yang mampu berlari dengan cepat sebab memiliki kaki jenjang.
Langkah kaki Rossie yang sudah cukup cepat mampu dikejar oleh Jeffry. Tanpa ampun, pria berlesung pipi itu menarik pinggang Rossie lalu membopongnya di pundak.
"Jef! Lepasin nggak!" pekik Rossie sambil menggoyangkan kaki dan tubuhnya agar terlepas dari rengkuhan lengan kukuh Jeffry.
Otot bisep pria itu tercetak nyata. Pun pembuluh darah di tangan terlihat jelas, hasil dari olah tubuh yang dilakukan oleh Jeffry selama ini.
"Jef!" Rossie kembali berteriak dengan kepala di bawah seperti jambu mete. Sementara Jeffry hanya mengulum senyum penuh kemenangan.
Jeffry lantas menjatuhkan tubuh Rossie di atas sofa dan mengurungnya. Kedua tangan Rossie dipegang erat hingga tidak berkutik.
"Makanya jangan usil kamu jadi orang." Suara berat Jeffry terdengar memberi peringatan. Ia menatap Rossie intens ke dalam iris cokelat terang itu.
Melihat rupa Jeffry yang selama ini sulit terhapus di benak membuat hati Rossie rasanya tidak karuan. Ada rasa syukur yang muncul ketika melihat Jeffry sekarang berhasil mewarisi perusahaan keluarga. Setidaknya pengorbanan Rossie tidak sia-sia.
"Anak kamu nangis!" ucap Rossie berdusta agar terlepas dari cekalan Jeffry.
Tangan Jeffry berhasil melonggar kemudian dimanfaatkan Rossie untuk bangkit dari duduknya. Ia merapikan celana pendek yang sempat tersingkap.
Merasa dibohongi, Jeffry menghempaskan tubuh di sofa tengah ruangan. Ia kembali menyugar rambut sambil menoleh ke pintu kamar Rossie, tempat sang putri terlelap.
"Apa yang akan terjadi kalau anak itu nggak aku rawat?" ujar Jeffry dengan tatapan kosong.
"Jef!" Rossie menoleh kaget. "Kamu mau ninggalin anak itu?"
Jeffry menelan saliva lalu melemparkan tatapan kepada Rossie yang berdiri di hadapannya dengan berang.
"Gimana kalau aku nggak bisa jadi ayah yang baik buat dia?" tanya Jeffry.
"Terus dengan alasan itu kamu mau melepaskan tanggung jawab darinya?" Rossie memekik. "Jef, jangan buat dia membencimu setelah beranjak dewasa nanti."
Jeffry terdiam sesaat. Ia belum tahu masa lalu Rossie bisa menetap di house of iris. Wanita itu tidak pernah bercerita kepadanya. Pun Jeffry tidak terlalu ingin tahu masa lalu Rossie. Dulu ia tertarik pada Rossie dan ingin menjalin hubungan saja setelah putus cinta dengan sang mantan kekasih.
"Apa kamu juga membenci ayahmu?" tanya Jeffry yang lantas membuat Kedu mata Rossie berkaca-kaca.
Wanita dengan rambut dikepang satu itu menatap Jeffry sambil meremas tangannya di samping. Pita suara Rossie terasa berat mengeluarkan suara.
"Ya, aku sangat membencinya," jawab Rossie tanpa ragu. "Dan tidak akan memaafkannya."
Jeffry masih menatap kedua mata wanita yang penuh lara itu. Ia tahu jika banyak kesedihan yang dipendam oleh Rossie. Namun, Jeffry harus mengakui jika Rossie sangat pandai berakting. Ia selalu tampak baik-baik saja dan ceria meskipun ada banyak luka mengoyak hati.
Membenarkan posisi duduk, Jeffry menunduk sebentar lantas mendongakkan kepala ke arah Rossie.
"Maukah kamu menjadi babysitter anakku?" tanya Jeffry tanpa ragu. "Aku butuh kamu buat menjaganya."
"Why me? Kamu punya banyak uang untuk menyewa babysitter," ujar Rossie.
"Papa koma." Perkataan Jeffry tercekat. "Kami sedang ada proyek besar di sini, salah satu impian Papa. Aku tidak ingin proyek ini gagal karena kesalahanku."
"Kamu ingin menyembunyikannya?" Rossie bertanya sekali lagi.
"Hanya sementara ... sampai proyek di sini selesai," tukas Jeffry.
Mendengar ucapan tersebut, Rossie sudah bisa menarik kesimpulan jika bayi itu adalah anak kandung Jeffry. Entah mengapa sesaat kemudian hati Rossie terasa nyeri. Bagaimana bisa ia merawat putri dari mantan kekasih satu-satunya itu?
"Aku mohon," tutur Jeffry kemudian seraya meraih tangan Rossie dengan lembut. "Anggap ini ganti pekerjaan dari Grand Widjaja Hotel."
Rossie tidak langsung memberikan jawaban atas permintaan Jeffry. Ia terlihat menimbang dengan seksama ajakan tersebut. Di satu sisi Rossie butuh pemasukan untuk house of Iris. Di sisi lain, hidup satu atap dengan Jeffry pasti tidak akan semudah itu.
Melihat wajah Jeffry yang mengiba membuat Rossie semakin tidak tega. Astaga tatapan yang dulu sempat didapatkan setiap pria itu meminta cudling.
Astaga Ochie! Enyahkan masa lalu itu! Fokus! Sekarang yang terpenting hanya kesehatan Oma dan ke langsung house of iris, sebagai pesan terakhir dari Opa Wayan.
"Baiklah," jawab Rossie yang kemudian disambut helaan napas lega dari Jeffry. Dengan cepat Rossie melepaskan pegangan tangan dari Jeffry. "Cuma ngurus bayi kamu aja! Bukan ngurus yang lain!"
"Maksud kamu mau sekalian ngurus aku?" Jeffry kembali asal bicara.
"Nggak!" setu Rossie. Lalu ia melipat tangan di depan dada. Ingin bertanya tetapi ragu. Sialnya, Rossie tidak bisa menahan rasa penasaran. "Siapa ibunya?"
"Nggak tahu." Jawaban Jeffry berhasil membuat dahi Rossie berkerut.
"Nggak tahu? Berapa banyak cewek yang kamu tiduri?"
"Ehm, nggak banyak. Cuma tidak terhitung," jawab Jeffry sekenanya.
Rossie mendengus kesal. Pria tetaplah pria, tidak bisa menahan nafsu ketika bertemu wanita yang menggairahkan jiwa.
"Kenapa, kamu penasaran?" tanya Jeffry dengan nada menggoda.
"Ish! Nggak penting!" Tidak ingin semakin salah tingkah, Rossie lantas berjalan masuk ke dalam kamar.
Sementara itu Jeffry tersenyum kecil lalu kembali menghempaskan punggung di sofa. "Welcome to your new life, Jef."
Sekarang hidup Jeffry tidak hanya tentang dirinya, melainkan juga sang putri. Jeffry menutup kedua mata, diikuti ketakutan meracau benak. Ia takut gagal menjadi seorang ayah seperti ayahnya.
***
Rintik air hujan menemani tengah malam Jeffry. Ia baru saja menuang whisky ke dalam sloki untuk menghangatkan tubuh. Akhir-akhir ini cuaca memang tidak bisa diprediksi. Sejak sore tadi hujan mengguyur Bali diikuti angin cukup besar.
Jeffry masih setia duduk di kursi tanpa sandaran sambil meneguk minuman beralkohol sambil menatap rintik air hujan yang membasahi jendela.
Cahaya remang-remang dari lampu di atas meja pantry menjadi penerangan satu-satunya. Jeffry terus meneguk sambil sesekali mengernyit sebab rasa yang menyengat kerongkongan.
Suara engsel pintu yang terbuka menyita atensi Jeffry. Ia menoleh lalu buliran minuman itu tersangkut di kerongkongan dan membuatnya tersedak.
Pribadi Rossie dengan rambut blonde yang terurai keluar dari kamar. Jeffry bukan terkejut atas kehadiran Rossie, melainkan kemeja putih kedodoran yang membungkus tubuh wanita itu.
Iris gelap Jeffry memeta penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga puncak kepala. Paha putih mulus terekspos dengan celana hitam kelewat pendek yang mengintip dari ujung kemeja.
Rossie menggesekkan kedua kaki sebab canggung ketika mendapatkan tatapan dari Jeffry.
"Bajuku basah, jadi aku pinjam bajumu," jelas Rossie sebelum Jeffry bertanya. Lantas ia berjalan melewati Jeffry untuk menuangkan air minum.
Jeffry ikut menoleh dan masih memerhatikan lekuk tubuh Rossie yang ramping dengan lemak terisi di bagian tepat. Pantatnya tidak terlalu besar tetapi berbentuk bulat. Meliarkan imajinasi Jeffry ketika pantas itu bergetar setelah ditampar dari belakang.
Sial!
Jeffry langsung menggelengkan kepala sebelum hal yang diinginkan terjadi. Kemudian ia mengalihkan perhatian dari Rossie.
"Terus kenapa kamu pakai bajuku?" tanya Jeffry sambil meneguk minumannya hingga tandas.
"Nggak mungkin aku pakai baju Megumi," jawab Rossie.
"Megumi?" Jeffry menoleh tidak paham.
"Anak kamu belum punya nama, jadi aku panggil dia Megumi." Rossie terdiam sejenak seraya meneguk air putihnya. "Megumi artinya berkah, atau cinta dan kasih sayang."
"Oh." Jeffry merespon dengan singkat.
Setelah meneguk minumannya hingga tersisa separuh, Rossie bersandar pada tepi meja kabinet dapur. Siang tadi koper yang dipaketkan oleh Tina sampai. Namun, karena harus berdebat dengan Jeffry, Rossie lupa membawa koper tersebut dan berakhir basah terkena air hujan.
Tidak memiliki pilihan lain, Rossie mengenakan kemeja Jeffry yang masih tergantung di Laundry room, sembari menunggu bajunya kering.
Keheningan menyelimuti mereka. Tidak ada suara selain rintik air hujan dan tegukan minuman yang melewati kerongkongan mereka.
"Sampai sekarang aku masih penasaran," ujar Jeffry yang menghentikan ucapannya sesaat. Sementara itu Rossie memerhatikan punggung Jeffry dari jarak 1 meter. "Apa benar dulu kamu cuma permainkan aku."
Rossie tercekat mendengar pertanyaan dari Jeffry. Ia meneguk minumannya dengan cepat lalu meletakkan gelas kosong di wastafel.
"Kamu udah tahu jawabannya." Rossie bergegas pergi meninggalkan Jeffry, tetapi tangannya langsung ditarik oleh pria itu.
Jeffry lantas mendorong bahu Rossie hingga menghantam dinding dapur. Ia terus mengikis jarak hingga napas mereka saling beradu.
"Jeffry hentikan." Tangan Rossie mendorong tubuh Jeffry tetapi tidak berarti.
Alih-alih bisa terlepas, ruang gerak Rossie justru semakin terbatas. Ia hanya bisa memegang erat tepi kabinet meja dapur.
"Katakan sekali lagi kalau kamu membenciku," pinta Jeffry.
Rossie menelan saliva sebelum menuruti kemauan Jeffry. Ia berpaling sambil berucap, "aku sudah melupakanmu."
Tangan Jeffry dengan cepat mencengkeram rahang Rossie membawa bibir merah jambu itu untuk dilumat. Basah dan hangat lantas mengusai bibir Rossie. Tidak mendapatkan penolakan, Jeffry lantas membelai paha Rossie dan mendudukkannya di meja kabinet dapur.
Bibir mereka saling berkejaran satu sama lain sambil mengais oksigen. Sampai Jeffry melepaskan ciuman tersebut dan membentuk benang saliva antara bibir mereka.
Suara berat Jeffry berbisik lirih di salah satu telinga Rossie dan membuat bulu kuduk meremang seketika. "Aku tidak akan melepaskanmu kali ini, Ros."
Tatapan Jeffry yang semakin menggelap seolah mampu menghipnotis Rossie. Tanpa kata ia lantas meraup wajah Jeffry dan menjatuhkan kecupan yang rakus di bibir pria itu.
TO BE CONTINUED....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
