My Boss' Secret Baby (Bab 1-3)

3
0
Deskripsi

Halo Lovelies, kali ini aku ada cerita baru project dari jurusan romance WWG. Selamat membaca ^^ Semoga suka yak ^^

BLURB :

Bagaimana kalau kamu bertemu lagi dengan mantan pacar dan menjadi babysitter anaknya?

Rossie Olena merasa tidak berkutik karena bertemu kembali dengan Jeffry Tanoe Widjaja, putra konglomerat pemilik Widjaja Tobacco Indonesia sekaligus mantan kekasihnya. Sepuluh tahun yang lalu Rossie terpaksa memutuskan hubungan mereka karena tidak ingin menghambat pendidikan Jeffry. Kemudian...

BAB 1 

"Dasar cowok mesum!" Cairan wine beraroma khas langsung mengguyur wajah Jeffry.

Tentu saja pria dengan rahang tegas itu tersentak sebab tiba-tiba disiram segelas wine oleh seorang wanita yang tidak dikenal. la membuka mata perlahan sambil membersihkan cairan yang menghalangi pandangan. Butiran warna merah terlihat menetes dari ujung rambut Jeffry. Pun noda merah tercetak jelas di kemeja putih loro piana yang dikenakan.

"Are you crazy? Kenapa tiba-tiba menyiram orang begitu saja?" tanya Jeffry tidak terima kepada seorang wanita berambut blonde, dengan gaun hitam bertali spagethi yang membungkus tubuh rampingnya. (Apa kamu sudah gila?)

"Me? Anda yang gila!" Intonasi wanita dengan rupa berdarah campuran itu semakin meninggi setelah tersentak beberapa waktu karena melihat wajah Jeffry yang tidak asing baginya. "Tidak sopan pegang pantat orang lain! Dimana letak sopan santun anda?"

Pandangan yang semula mengabur kini semakin jelas. Jeffry memerhatikan paras Rossie lekat-lekat dan teringat jika wanita itu adalah mantan pacar yang dulu sangat dicintainya. Pun wanita itu yang memutuskan hubungan secara sepihak dengan Jeffry.

"What?" Kedua mata Jeffry membola lantas mengedar ke sekitar dan mendapati semua tamu undangan berbalut dress code cocktail sedang memberikan atensi. Beberapa diantaranya saling berbisik setelah menyadari identitas Jeffry.

Malam ini ia menghadiri undangan wedding party dari sahabatnya di sebuah yacht mewah. Alih - alih bisa menikmati kemewahan yang ditawarkan Waterways Cruises, Jeffry justru bertemu mantan pacar gila yang kini berhasil mempermalukannya.

Melihat wajah Rossie yang kini semakin cantik tidak mengenyahkan rasa sakit hati yang masih membekas. Sebab petpisahan itu yang membuat Jeffry semakin enggan membina hubungan serius dengan wanita. Baginya wanita hanya sebagai penghangat ranjang dan bisa ganti sesuai keinginan.

Eits, tenang. Jeffry selalu menyeleksi wanita yang akan menemani malamnya. Ia cukup paham jika karet pelindung tidak bisa menghambat penularan penyakit menular seksual. Para jalang itu harus mengikuti serangkaian tes sebelum berhasil membuka kedau paha untuk menyambut kejantanan Jeffry.

"Cepat minta maaf!" hardik Rossie seraya berkacak pinggang setelah berulang kali menyelipkan poni ke belakang telinga. Semakin malam, angin di pantai Nusa Lembongan memang bertiup semakin kencang. Apalagi sekarang ia berada di dek kapal dengan atap terbuka.

Rossie tidak peduli dengan status yang sempat terjalin dengan Jeffry. Apalagi dengan beberapa pasang mata dari kalangan jetset yang tengah memperhatikan mereka. Well, segala tindak pelecehan seksual harus diberi peringatan tegas tanpa memandang status sosial.

Merasa tidak melakukan kesalahan, Jeffry mendekat pada Rossie sambil menatapnya lurus-lurus. "Dengar Nona, bukan saya yang menyenggol bokong anda. Tapi clutch wanita yang berbaju silver tadi."

"Jangan beralibi, jelas- jelas anda yang ada di belakang saya. Masih saja mengkambing hitamkan orang lain!" Rossie berdecak kesal. la lalu memindai penampilan Jeffry dalam balutan kemeja putih dan setelan bermerk, terlihat jelas dari struktur kain anyaman ciri khas dari Bottega Veneta. Rolex bertahtakan berlian seolah menunjukkan di mana kelas pria tersebut.

Rossie kembali mencibir di dalam hati sambil bersungut-sungut. Setelah 10 tahun tidak bertemu, Jeffry semakin angkuh dan menyebalkan. Meskipun Rossie mengakui jika pria itu lebih tampan. Parasnya semakin menawan dengan tubuh gagah serta tinggi menjulang. Tidak berjarak cukup jauh dari Rossie yang sudah mengenakan heels setinggi 7 cm.

"I tell you the truth!" jelas Jeffry yang mulai kehabisan kesabaran. la lantas mengembuskan napas kasar untuk mengurai emosi yang bercokol di dalam hati. Tentu saja ia harus tetap menjaga wibawa sebagai putra dari konglomerat paling berpengaruh di Negeri ini.

Jeffry lantas mendekati Rossie dan sedikit menunduk untuk berbisik di salah satu telinganya. Namun, pekikan dari Rossie sukses membuat gendang telinga Jeffry berdenyut nyeri.

"Astaga! Anda ini benar-benar pria mesum!" teriak Rossie seraya menjauh dari Jeffry dan menutupi dadanya dengan kedua tangan. "Belum cukup memegang pantat, sekarang mau mencium? Astaga, saya bisa melaporkan anda atas tuduhan pelecehan seksual!"

"Nona, berapa kali saya bilang bukan saya yang memegang bokong tepos itu!" tandas Jeffry dengan penekanan di setiap kalimatnya. Sesekali Jeffry memanjangkan leher untuk mencari pemilik clutch yang menjadi dalang dari pertikaian ini.

Mulut Rossie menganga diikuti wajah memerah sebab emosi yang semakin merangkak naik ke puncak kepala. Belum juga mengakui kesalahan, Jeffry justru kembali menghina fisiknya. Sungguh demi apapun, Rossie bersumpah akan mengutuk Jeffry. Ia akan mengutuk Jeffry menjadi kodok bangkong yang membuat orang enggan mendekat.

Beberapa orang mulai mendekat dan berusaha melerai pertengkaran tersebut. Tidak terkecuali seorang wanita berambut pendek dengan dress dan clutch silver yang setengah berlari ke arah mereka.

"Ochie ada apa?" tanya wanita itu sambil mengatur napasnya yang terengah.

Rossie lalu menoleh sambil mengadu, "ini ada cowok mesum yang tampar pantat gue, kurang ajar 'kan!"

"Nah! Ini orang yang nyentuh pantat anda tadi," tukas Jeffry setelah memperhatikan paras Amber. "Temen anda asal menuduh dan menyiram saya dengan wine!" Jeffry menunjukkan noda kemerahan yang setengah mengering di bagian dada.

"Aduh, saya mohon maaf," ucap Amber yang merasa tidak enak hati karena tingkah spontannya sebelum berlari ke toilet tadi. Apalagi setelah menyadari wajah Jeffry yang sangat familiar itu.

Seantero Bali bahkan dari Sabang sampai Merauke akan mengenali siapa Jeffry Tanoe Widjaja. Putra dari pemilik perusahaan rokok terbesar nomor empat di dunia yang sekarang didapuk sebagai CEO Widjaja hotel, salah satu anak perusahaan termasyhur se-Indonesia.

"Amber! Kok lo yang minta maaf sih? Jelas-jelas dia yang salah!" Rossie mendengus tidak terima. Kilatan tidak suka masih terpancar dari kedua iris kecokelatan itu.

Sambil meringis, Amber mencubit pinggang Rossie dan berbisik, "sorry, gue yang tabok pantat lo pake clutch sebelum ke toilet tadi."

Mendengar pernyataan dari Amber, Rossie menelan saliva kasar sambil melemparkan tatapan pada Jeffry yang sedang menautkan alis tebalnya lantas bersedekap. Kemenangan seolah menjadi milik Jeffry.

"Udah, sebaiknya lo minta maaf aja," pinta Amber dengan nada berbisik.

Mendengar ucapan Amber, Jeffry lalu maju satu langkah. "Nggak perlu! Saya nggak butuh maaf dari teman anda." Kemudian ia merendahkan tubuhnya agar bisa sejajar dengan wajah Rossie. "Cukup jangan pernah muncul di hadapan saya. Dasar Ursula!"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Jeffry segera membalikkan tubuhnya dan melenggang pergi.

"Dasar mantan aneh. Jangan sampai aku ketemu dia lagi," gerutu Jeffry sambil terus berjalan menjauh.

Sementara itu Rossie membelalakan mata tidak terima. Kemudian ia menoleh pada Amber, "apa dia bilang tadi? Dia ngatain gue Ursula? Emang dipikir gue siluman cumi-cumi apa? Dasar cowok kurang ajar! Gue juga nggak sudi ketemu dia lagi! Never!"

***

Baling-baling helikopter tipe Bell 505 Jett Ranger X menyibakkan rerumputan yang tumbuh di tepi landasan helipad.

Tepat setelah helikopter tersebut melandas dengan sempurna, Jeffry turun dari sana sambil merapikan jas yang membungkus tubuh gagahnya.

"Selamat datang, Pak Jeffry," sapa seorang pria setengah botak yang sedari tadi sudah menunggu kedatangan Jeffry. "Bagaimana perjalanannya?"

Sebelum menjawab, Jeffry melepaskan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidung sambil mengamati helikopter hitam dengan cetakan huruf W warna emas di bagian body-nya. Terlihat sangat elegan.

"Nice," jawab Jeffry sambil tersenyum hingga mencetak lesung pipi di kedua sisi. Ia melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan. "Jam berapa acara dimulai?"

"Tiga puluh menit lagi, Pak," jawab Ketut sembari mengikuti langkah Jeffry.

Setelah menetap di Califormia selama 10 tahun, Jeffry memutuskan untuk tinggal di Bali sambil menyelesaikan proyek pembangunan hotel dan mall di Jimbaran. Hari ini ia juga akan meresmikan Grand Widjaja hotel di Seminyak yang menawarkan pelayanan eksklusif kepada para pengunjung.

Selain fasilitas kolam renang dengan desain laguna, Grand Widjaja Hotel juga akan memberikan fasilitas helikopter untuk para wisatawan. Sehingga para pengunjung bisa menikmati panorama di kawasan Seminyak melalui jalur udara.

Jeffry terus mengayunkan kaki menuju ke beach bar yang akan menjadi venue malam ini. Deburan ombak yang menghantam batu karang, langsung menyambut kedatangannya.

"Semua sudah siap, Pak. Untuk buffet kami pasang di sebelah kanan dan kiri." Ketut menerangkan.

Meja dan kursi sudah ditata apik, lengkap dengan florist sebagai center piece dan lampu gantung di atasnya. Beberapa pelayan dengan kemeja putih dan tambahan dasi kupu-kupu terlihat mondar-mandir menyiapkan hidangan malam ini.

Kemudian langkah Jeffry terhenti saat melihat seorang wanita yang tidak asing baginya. Wajah oval dengan riasan tipis itu dibingkai rambut blonde yang diikat ekor kuda. Namun, tidak ada kalung tiffany and co yang menghiasi leher. Gaun mewah yang kemarin membungkus tubuh, kini berganti dengan apron melilit pinggang.

"Bukankah itu Ursula? Wanita tanpa pantat?" Jeffry menebak.

Ingin memastikan, Jeffry berjalan mendekati wanita yang sedang sibuk menata napkin di setiap meja itu.

"Bukankah ini belum saatnya bagi Cinderella berubah menjadi Upik abu?" Ucapan Jeffry sontak membuat Rossie mendongakkan wajah diikuti ekspresi terkejut.

TO BE CONTINUED....

BAB 2 

Melihat wajah Jeffry yang berbingkai rambut hitam tersisir rapi ke belakang, Rossie menelan saliva berulang. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar tidak karuan, seperti kepergok melakukan kesalahan. Well, ia hanya sedang bekerja. Tidak mencuri atau melakukan kejahatan.

"Bagaimana misimu kemarin, berhasil?" Jeffry melipatkan tangan di depan dada sambil menggaruk dagunya yang tidak gatal. Iris hitam pria itu memindai penampilan Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Si miskin menyusup ke pesta orang kaya."

Rossie membuang napas kesal sambil melemparkan tatapan ke arah Jeffry tanpa rasa takut. "Memangnya kenapa kalau si miskin pergi ke pesta orang kaya? Apakah berdosa?"

"Tentu saja berdosa. Apa yang kamu lakukan di sana selain untuk menipu pria kaya dan mengambil hartanya?" Tuduhan yang diberikan oleh Jeffry membuat Rossie mengepalkan tangan dan masih berusaha untuk tidak terprovokasi.

"Pergilah, saya sedang bekerja," ujar Rossie mengalihkan perhatian dari Jeffry.

"Wah! Apa kamu sedang berusaha menjadi Cinderella?" Jeffry terkekeh. "Sayangnya kisah Cinderella hanya ada di dongeng saja. So...jangan terlalu sering berkhayal." Celetukan Jeffry berhasil membuat beberapa staf melihat ke arah Rossie.

Situasi itu membuat Jeffry senang karena merasa berhasil membalas sikap Rossie kemarin malam. Semalam Jeffry merasa sangat dipermalukan di tengah para relasi. Selain itu rasa sakit hati yang masih tersisa 10 tahun lalu, membuat Jeffry tidak tahan untuk membalasnya. Saat ia membutuhkan dukungan, Rossie memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Ditinggalkan kekasih saat mengetahui sang ayah memiliki anak rahasia membuat penderitaan Jeffry semakin bertambah.

"Hah." Jeffry membuang napas. "Kok masih ada orang yang pengen kaya dengan cara instan," seloroh Jeffry sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Rossie, "seperti datang ke pesta orang kaya untuk mencari mangsa."

Ucapan Jeffry terdengar sangat kasar. Rossie sama sekali tidak ada niat atau berpikiran demikian. Ia hanya menghadiri pernikahan kenalannya dengan salah satu penerus Aditama hotel grup.

Rupa Jeffry yang tampak menyebalkan membuat emosi Rossie mengumpul pada kepalan tangannya. Tidak bisa lagi menahan emosi, Rossie spontan mengayunkan tangannya dan memberikan tamparan keras pada pipi Jeffry.

"Jaga mulutmu!" seru Rossie dengan otot wajah yang mengetat. Tatapannya terarah lurus pada Jeffry penuh peringatan. Ia tidak menyangka jika sekarang Jeffry mampu mengucapkan kalimat yang menyayat hati seperti itu. Sebab dulu selama 7 bulan merajut kasih, Jeffry adalah pribadi manis yang selalu menjaga ucapan.

Kegaduhan tersebut menyita perhatian beberapa staf, tidak terkecuali Ketut yang berulang kali menepuk kening karena gagal memberi peringatan kepada Rossie jika sedang berhadapan dengan putra pemilik hotel.

Jeffry meregangkan otot pipi yang kebas karena tamparan dari Rossie. Lalu ia menoleh pada Ketut, "dia karyawan di sini?"

"Ti-tidak, Pak. Dia hanya daily worker," jawab Ketut.

Jeffry menyeringai ke arah Rossie. "Jangan pakai dia lagi."

Waktu Rossie seolah terhenti ketika melihat Jeffry berjalan menjauh. Kedua mata Rossie mulai berlinang air mata. Bibir merah jambu itu mulai bergetar, diikuti lidah yang tidak mampu lagi berucap. Hanya rasa sesak yang kian bergumul hebat di dalam dada.

Tangan Rossie masih mengepal kuat diiringi rutukan dalam hati untuk dirinya sendiri. Ia hanya berusaha menjaga harga diri. Meskipun miskin, bukan berarti harus pasrah ketika dihina. Namun, ternyata usaha tersebut justru semakin menghancurkan hidupnya. Semua sia-sia jika berurusan dengan orang kaya. Rossie lantas membuang napas kasar sambil menengadahkan kepala agar air matanya tidak tumpah melindas pipi.

"Harusnya aku diam aja tadi," sesal Rossie yang terus berusaha mengurai sesak yang memenuhi dada.

***

"Dasar cowok brengsek!" Rossie mengumpat di sela-sela meneguk arak Bali langsung dari botolnya.

Setelah selesai bekerja, Rossie langsung naik ke rooftop hotel sambil membawa beberapa botol arak Bali. Ia berniat akan mengotori atap hotel baru itu dengan muntahannya.

"Kenapa aku harus ketemu Jeffry lagi sih? Kenapa!" teriak Rossie mendongakkan wajah ke langit. Sesekali ia mengerutkan kening karena rasa menyengat yang mencubit kerongkongan. "Dia pikir hanya dia yang terluka karena perpisahan kami? Aku juga!"

Menyandarkan punggung di dinding seraya menatap nanar ke langit dengan taburan beberapa bintang. Buliran bening yang menggenang di pelupuk mata kini terjatuh melindas pipi. Bibir Rossie bergetar kemudian terkekeh tanpa alasan. Ia merasa terus menerus dipermainkan oleh takdir. Rossie merasa kesialan adalah teman dekatnya, sebab sejak kecil hingga berusia 28 tahun, selalu saja menempel seperti benalu.

Rossie menyugar rambutnya frustrasi sambil terus meneguk minuman hingga tetes terakhir. "Habis! Argh!"

Ia memeriksa setiap botol yang berserakan di lantai dan tidak mendapatkan sisa bahkan setetes pun. Beberapa saat kemudian, Rossie terdiam tanpa ekspresi. Lalu dengan tubuh sempoyongan, Rossie berusaha bangkit.

"Aku ... akan buat perhitungan...." Rossie menjeda ucapannya sebentar sambil bersendawa. "Perhitungan sama co...wok sialan itu!"

Dengan langkah gontai, Rossie berjalan menuju ke tangga darurat sambil menahan rasa pusing yang mulai memenuhi kepala. Ia terus melangkah pelan dan masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai dasar. Tinggi bangunan yang hanya terdiri dari 4 lantai itu, membuat Rossie cepat sampai di lantai dasar. Well, sesuai peraturan daerah Bali, dilarang mendirikan bangunan dengan tinggi di atas 15 meter.

"Oek!" Perut Rossie terasa diaduk ketika lift bergerak perlahan ke lantai bawah. Kedua lututnya mulai lemas dan ambruk. Pun pandangan Rossie perlahan mengabur. "Aku... harus ketemu cowok jahat itu!"

Ketika pintu lift terbuka, Rossie menyeret kakinya sambil berjalan merambat. Kepalanya sudah mulai berputar, sampai mobil yang berjejer di basement terlihat berlipat ganda. Tanpa sadar ia terjatuh di kap mobil yang baru saja dinyalakan mesinnya. Lantas tidak lama kemudian pemilik lamborghini aventador itu keluar dan menarik tubuh Rossie untuk menyingkir.

"Kamu?" Jeffry tersentak ketika melihat wajah Rossie yang sudah tipsy. Tubuhnya lunglai seperti jeli.

"Eh... Tuan Kaya." Saat mendapati wajah Jeffry, Rossie terkekeh lalu jatuh ke pelukannya.

"Ngapain kamu?" tanya Jeffry terkejut. Kemudian ia berusaha menyingkirkan Rossie dari pelukannya dan mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari bantuan.

Tidak lama kemudian, Rossie mendongakkan kepala dengan kedua mata yang berair. Ia menatap Jeffry dengan sejuta kesedihan yang terpancar dari iris kecokelatan itu.

"Aku memang miskin, tetapi tidak pernah menipu pria kaya," ucap Rossie sambil meneteskan air mata. "Apa saat kita berpacaran, aku pernah mencoba merampas haratmu? Enggak!" Kepala Rossie menggeleng. Sementara Jeffry hanya terdiam sembari memegangi kedua bahu Rossie dan menahannya agar tidak terjatuh.

"Asal kamu tahu, aku butuh banget pekerjaan itu." Telunjuk Rossie menekan dada Jeffry dengan sisa-sisa tenaganya. "Ah, orang kaya tidak pernah tahu bagaimana susahnya mencari uang satu perak demi bertahan hidup. Apalagi kamu!"

Jeffry masih bergeming sambil melihat wajah Rossie yangbasah karena air mata. Bibir merah jambu wanita itu bergetar menahan kesedihan.

Aroma alkohol yang menyengat, membuat Jeffry mengernyit. "Berapa botol alkohol yang kamu minum?"

"Anak orang kaya mana tahu susahnya berjuang dalam hidup?" Rossie terus meracau dengan kaki yang semakin tidak kuasa menahan berat tubuh. "Mereka terlahir dengan gelimang harta. Mau apa saja tinggal tunjuk ... tidak perlu berusaha seperti anak terbuang."

"Ck!" Sesekali Jeffry mendecak seraya menahan tubuh Rossie agar tidak terjatuh.

"Oma butuh uang buat berobat. Aku... butuh uang buat Oma," racau Rossie yang kesadarannya semakin terkikis. Kepalanya semakin terasa berat diikuti pandangan yang mengabur. Lalu tanpa sadar ia terjatuh ke dalam pelukan Jeffry.

"Hey! Kamu kenapa!" Tubuh Jeffry sedikit terhuyung ketika menahan tubuh Rossie yang sudah lunglai tanpa daya.

Langkah kaki yang semakin mendekat diikuti celotehan dari pengunjung hotel, membuat Jeffry panik. Tidak ingin mendapatkan tuduhan yang bisa menjatuhkan reputasinya, Jeffry lantas membopong tubuh Rossie ke dalam mobil.

"Ah, dasar merepotkan saja!" keluh Jeffry.

Tidak memiliki pilihan lain, Jeffry membawa Rossie ke rumahnya. Tidak mungkin ia mengantarkan Rossie ke panti asuhan dalam kedaan mabuk seperti ini.

"Oma... Maafin Ochie," rintih Rossie masih memejamkan mata. Sesekali ia beringsut di kursi samping kemudi. "Oma harus sembuh.... cuma Oma yang aku punya."

Jeffry yang sedari tadi fokus menyetir melirik ke arah Rossie dari sudut mata. Entah mengapa ia merasa bersalah ketika menatap wajahnya yang memelas. Memang hubungan mereka belum lama, tetapi Jeffry sudah mengenal siapa Oma Clara. Setiap Jeffry ulang tahun, Oma Clara selalu membuatkan cookies kacang kesukaannya. Satu kebiasaan yang bisa mengobati kerinduan Jeffry kepada sang ibu.

"Siapa suruh bikin malu duluan," ucap Jeffry seolah membela diri ketika otak sok pintarnya mulai menyalahkan.

Jeffry mengembuskan napas kasar lantas mempercepat laju mobil gaharnya. Raungan mobil sport itu mengaung di jalanan yang cukup lengang. Hanya ada lampu di pinggir jalan yang mengiringi laju mobil sport Jeffry. Sepertinya sebagian penghuni pulau Dewata sedang asyik menghabiskan malam panjang dengan gemerlap lampu di klub.

Dalam waktu 15 menit, lamborghini merah Jeffry memasuki pekarangan yang luas dan disambut bangunan bergaya minimalis dengan pilar-pilar berornamen Bali. Deretan mobil sport berjejer manis di carport yang mampu menampung 14 mobil itu. Dengan terburu-buru, Jeffry keluar dari mobil kemudian membopong Rossie dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Setelah memilih kamar terdekat, Jeffry menjatuhkan tubuh Rossie di ranjangnya. Saat akan melepaskan lengan Rossie yang mengalung di leher, Jeffry tidak bisa mengalihkan pandangan dari paras wanita itu. Rossie masih cantik dan menggemaskan, bahkan berkali lipat lebih menawan. Sekarang Rossie sudah tumbuh dewasa dengan dada bulat dan lekuk tubuh sempurna, ramping dengan lemak di bagian yang tepat, tidak berlebihan.

Meskipun kini kedua mata Rossie terpejam, Jeffry sempat memperhatikan iris cokelat yang dibingkai kelopak mata tunggal serta bulu mata lentik itu. Cantik. Dulu hal yang pertama membuat Jeffry tertarik adalah tatapan dan senyuman Rossie. Ketika melihat wanita itu sedang mengantarkan kue kering, perhatian Jeffry tidak bisa dielakkan. Hingga ia mencari tahu sekolah Jeffry yang terletak cukup jauh dari sekolahnya.

"Sorry," ucap Jeffry tiba-tiba. Rasa bersalah kembali datang saat melihat bulu mata Rossie basah. "Kata-kataku tadi cukup keterlaluan."

Spontan jemari Jeffry mengusap air mata yang masih tertinggal di sudut mata Rossie. Gerakan tersebut membuat Rossie terbangun dan membuka matanya perlahan.

Jeffry terlonjak saat kelopak mata Rossie terbuka. Sepersekian detik mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan Rossie seperti mengeluarkan mantra yang mampu kembali menghipnotis Jeffry. Sangat intens.

"Ah, kenapa panas banget!" keluh Rossie. Ia bangkit dari posisi berbaringnya sambil melepaskan satu per satu kaus yang membungkus tubuh.

Jeffry terbeliak ketika Rossie membuang sembarangan kausnya dan menyisakan bra warna hitam, sangat kontras dengan tubuh yang seputih susu itu.

"Hey! Apa yang sedang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?" pekik Jeffry diikuti sepasang matanya yang melotot.

"Ah, panas! Dimana kamar mandi?" Tanpa memperdulikan keberadaan Jeffry, Rossie mengayunkan kakinya dengan langkah sempoyongan menuju ke kamar mandi.

Melihat bathtub yang terbentuk dari gamping dan campuran resin berlapis gelcoat itu, Rossie langsung masuk ke dalamnya. Segera ia memutar kran untuk membasahi tubuhnya yang terasa luar biasa panas.

"Apa kamu sudah gila!" Dengan cepat Jeffry memutar kran dan menghentikan kucuran air yang membasahi tubuh Jeffry. "Kamu bisa sakit kepala!"

Mandi dalam keadaan mabuk sangat tidak dianjurkan, sebab akan meningkatkan pencernaan dalam tubuh. Tubuh akan memproduksi kadar gula lebih banyak dari semestinya dan akan menyebabkan sakit kepala bahkan sampai pingsan.

"Tapi panas! Ini panas sekali," rengek Rossie sambil kembali memutar keran air.

Dengan cepat Jeffry menahan tangan Rossie dan memegang kedua bahunya sehingga pandangan mereka terkunci untuk beberapa saat.

"Hentikan!" seru Jeffry.

Cengkraman tangan Jeffry di bahu Rossie semakin melonggar ketika menatap wanita itu lebih lama. Ada rasa aneh di dalam hatinya, seperti ada benda tak kasat mata yang menyentil tombol getar di sana.

Hingga kemudian rasa hangat terasa saat bibir mereka berkejaran untuk memberikan lumatan. Semakin lama kecupan yang tercipta semakin menuntut ketika jemari Rossie mulai menjambak lembut rambut Jeffry.

Lidah mereka saling menari indah di dalam sana. Tangan Jeffry dengan lembut menyibakkan rok pendek Rossie dan membelai paha mulusnya. Pagutan liar dan penuh gairah semakin tercipta ketika Rossie membuka satu per satu kancing baju Jeffry dengan sukarela.

Alkohol berhasil mengikis kewarasan Rossie hingga secara tidak sadar ia mencumbu pria dari masa lalunya itu. Pun sebagai pria normal, Jeffry tidak akan menyia-nyiakan wanita cantik seperti Rossie.

"Feel me up," ujar Rossie tanpa sadar sembari meraup wajah Jeffry dan mengiba.

TO BE CONTINUED....

BAB 3 

Rossie menengadahkan kepala ketika lembut bibir Jeffry mulai menjelajah ke sekitar leher dan semakin turun ke bawah. Satu per satu kain yang membungkus tubuh Rossie dilucuti oleh Jeffry. 

Kulit mulus seputih salju itu semakin membangkitkan gairah Jeffry. Well, sebagai penikmat wanita cantik, Jeffry tahu jika Rossie masuk ke dalam kualitas grade A plus. 

Ujung lidah Jeffry bergerak dengan liar untuk memanjakan Rossie hingga bergelinjang penuh kenikmatan. Ketika bra warna hitam dihempaskan, puncak dada yang mengeras seolah menantang Jeffry untuk dinikmati. Pun tonjolan tulang selangka yang seksi itu semakin menarik perhatian Jeffry. 

"You're So beautiful," puji Jeffry seraya menyingkirkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajah Rossie.

Sejak dulu Jeffry selalu penasaran dengan lekukan di balik busana yang membungkus tubuh Rossie. Sekarang ia bisa melihat bahkan menikmatinya tanpa perlu izin dari wanita yang tengah mabuk itu.

"Jeffry." Bibir Rossie mulai bergerak mengucap nama pria yang sedari tadi masih menatapnya penuh nafsu. Bahkan milik Jeffry sudah mulai mengeras seperti tongkat.

Sisi nakal Jeffry berkata jika ini saatnya melampiaskan kemarahan masa lalu kepada Rossie. Namun, bagian otak yang lain memperingati untuk tidak memanfaatkan wanita tidak berdaya itu.

Tangan Rossie membelai rahang tegas Jeffry dengan beberapa bakal  jenggot yang belum sempat dicukur. Belaian tangan Rossie sangat lembut dibarengi tatapan sendu yang berhasil melunakkan hati Jeffry.

"Jeffry." Sekali lagi suara yang menggetarkan hati itu mendarat di rungu Jeffry.

Tidak bisa menahan diri lagi, Jeffry mengecup leher jenjang Rossie dan sesekali memberikan gigitan kecil di sana. Rossie semakin mengaduh ketika Jeffry menghisap puncak dadanya seperti bayi kehausan. 

"Ah," lenguh Rossie ketika Jeffry semakin mempercepat hisapannya. 

Punggung Rossie melengkung ketika rasa hangat dan basah dari ujung lidah Jeffry menjalar turun membelai perut. Milik Rossie semakin berkedut dengan hebat karenanya. 

Ketika Jeffry berhenti, Rossie mengerang protes. Seolah ia tidak peduli jika esok hari terbangun dan menyadari dengan siapa sudah melewatkan malam penuh gairah ini. 

Jeffry menyelipkan lengan di belakang lutut Rossie lantas membopongnya untuk pindah ke ranjang. Pergumulan bergelora sepertinya tidak bisa dielakkan lagi. Tubuh polos Rossie tampak pasrah berada di gendongan Jeffry. Kedua mata Rossie terbuka sedikit dan mendapati rupa tampan Jeffry bak Dewa Yunani. 

Jemari lentik Rossie meraba leher Jeffry lalu turun ke dada. Senyumannya terbit, "kemana kita pergi?"

"Tempat yang hangat," jawab Jeffry dengan pandangan lurus ke depan. 

*** 

Sinar mentari yang menyelinap masuk melalui celah jendela, memaksa Rossie untuk membuka matanya perlahan. Ia menggeliat sambil meregangkan otot tubuh. Entah mengapa semalam ia terlelap dengan nyenyak. Merasakan ada perbedaan pada ranjang yang biasa ditidurinya. 

Setelah berulang kali mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan, Rossie tersentak ketika mendapati sosok Jeffry tengah terlelap di sofa samping ranjang. 

Sontak Rossie bangkit dari tidurnya lalu memeriksa tubuh di balik selimut yang hanya mengenakan bra dan celana dalam beda warna. Lalu ia kembali menoleh ke arah sang mantan kekasih yang bertelanjang dada. 

"Apa yang udah aku lakuin semalam?" Rossie menampar pipinya untuk mengingat kejadian semalam. Tetapi memori itu tidak kunjung kembali di benak. "Astaga!" 

Rossie lantas menyugar rambut frustrasi. Ia hanya mampu mengingat saat meneguk arak Bali di rooftop hotel. Setelah itu ia seolah melupakan semua memori dalam otak. 

"Aaaaa!" Tanpa pikir panjang, Rossie berteriak dan membuat Jeffry terbangun. 

"Kamu apa-apaan sih? Berisik tahu nggak!" ujar Jeffry sambil mengucek matanya yang masih lengket. 

"Kamu ngapain aku?" tanya Rossie sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Tubuhnya bergetar dan tidak siap menerima fakta jika semalaman mereka benar sudah bercinta. 

"Menurut kamu?" 

"Aku nggak tahu, makanya nanya!" pekik Rossie dengan intonasi meninggi. 

"Nggak ngapa-ngapain," jawab Jeffry sekenanya.

"Nggak mungkin!" 

"Ya udah kalau nggak percaya." Jeffry kembali merebahkan tubuhnya di sofa dan berniat tidur lagi. 

Tidak puas dengan jawaban asal Jeffry, Rossie mengambil bantal dan melemparkannya kepada pria itu. 

"Astaga, apa lagi sih?" Jeffry lantas bangun dan merubah posisi menjadi duduk. 

"Kamu udah ngapain aku?" tanya Rossie sekali lagi. 

"Dijawab nggak ngapain-ngapain. Kamu nggak percaya?" 

"Nggak mungkin! Terus kemana bajuku?" tanya Rossie sambil menoleh ke kanan kiri.

Jeffry menghela napas berat. "Semalam kamu mabuk dan ngelepas baju sendiri. Harusnya kamu berterima kasih karena aku bawa ke sini." 

"Kenapa harus kesini?" tanya Rossie turun dari sambil memeluk selimut untuk menutupi tubuhnya. 

"Terus kemana? Di pinggir jalan?" 

"Dengan alasan itu terus kamu manfaatin aku gitu? Jawab! Dasar cowok mesum!" 

"Dikit." Jawaban Jeffry lantas membuat Rossie kembali melemparkan bantal kepadanya. 

Rossie tidak percaya jika semalam tanpa sadar sudah memberikan keperawanannya kepada pria menyebalkan seperti Jeffry. Tidak! Ini diluar kendali. Rossie sudah menjaga keperawanan itu dan berniat memberikannya kepada pria yang dicintai, dan tentu saja bukan Jeffry. 

"Kamu bener-bener ya!" 

"Ssst!" Jari telunjuk Jeffry menempel pada bibir, memberikan isyarat kepada Rossie untuk diam. "Kamu denger nggak?" 

Setelah terdiam sejenak, Rossie kembali memekik, "dasar cowok mesum! Pergi kamu!"

Rossie memukul Jeffry dengan bantal. Kemudian pria berlesung pipi itu menghalaunya dan membungkam mulut Rossie. 

"Diam dulu! Awww!" Jeffry berteriak karena Rossie berhasil menggigit jarinya. "Kamu udah gila ya!"

"Kamu yang mulai!" balas Rossie dengan nada melengking. 

"Makannya kamu diem dulu," titah Jeffry sembari memasang rungu dengan baik-baik. 

Suara tangisan bayi yang menggema membuat Rossie terdiam beberapa waktu. Lalu ia melemparkan tatapan curiga kepada Jeffry. Tidak mungkin ia sudah bercinta dengan pria beristri bukan? 

"Kamu udah punya anak?" tanya Rossie tanpa basa-basi. 

"Jangan asal bicara kamu." Jeffry lantas bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. 

Sementara itu Rossie memungut kemeja yang teronggok di lantai. Mengancingkan kemeja tersebut secara asal dan ia membuntuti Jeffry yang berjalan mengendap-endap. 

Semakin mendekati pintu utama, suara tangisan bayi terdengar semakin jelas. Tanpa membuang waktu, Jeffry membuka pintu dan mendapati keranjang dengan bayi di dalamnya. 

"What the fuck! Siapa yang taruh bayi di teras rumah orang?" gerutu Jeffry sembari menyapukan pandangan ke sekitar. 

Jeffry yang terkejut akan kehadiran bayi tanpa diundang itu, lantas memanjangkan leher dan berlari keluar rumah. Namun, sudah tidak ada jejak dari pelaku. 

Melihat bayi yang terus menangis hingga wajahnya memerah, Rossie jongkok untuk menggendong bayi tersebut. Lantas secarik kertas di balik selimut menarik atensinya. 

"Balikin bayi itu ke keranjang! Aku akan lapor polisi. Asal taruh bayi di depan rumah orang aja! Dasar manusia nggak bertanggung jawab!" gumam Jeffry kesal. 

"Tapi ini bayi kamu," tukas Rossie ikut terkejut kemudian membuat Jeffry terdiam beberapa saat. Salah satu alisnya terangkat dan mulai berpikir. 

"Anak aku? Sama siapa?" tanya Jeffry mengerutkan kening. Well, selama ini sudah tidak terhitung berapa banyak wanita yang menghangatkan ranjangnya.  Namun, Jeffry selalu memakai pengaman atau meminta teman tidurnya untuk meneguk after pil. Jeffry tidak cukup gila untuk membiarkan hal buruk terjadi. 

"Yang jelas bukan sama aku." Ucapan Rossie terhenti. Ia masih gusar jika ingatannya belum kembali mengenai kejadian semalam. 

Jeffry lantas merebut kertas dari tangan Rossie dan membacanya dengan seksama. Setelah itu ia melempar kertas tersebut dan mengacak rambut frustrasi. Entah siapa wanita yang sudah dihamili oleh Jeffry. 

"Ah, kamu pipis ternyata." Rossie langsung membawa masuk bayi perempuan tersebut dan menjinjing tas yang diletakkan di samping keranjang.

"Hey! Kamu mau bawa kemana bayi itu!" panggil Jeffry sambil mengikuti Rossie ke dalam rumah. 

Rossie meletakkan bayi tersebut di atas ranjang Jeffry dan mengganti popok yang basah. Ia membuka tas bayi yang berisi beberapa baju lengkap dengan peralatan lainnya. Dengan telaten Rossie mengelap bokong bayi itu hingga kering sebelum memasangkan popok. Ia memang sudah terbiasa merawat bayi, semenjak banyak orang tidak bertanggung jawab meninggalkan mereka di depan pintu panti asuhan. 

Setiap melihat rupa tidak berdosa makhluk kecil itu, Rossie selalu teringat cerita Oma Clara saat menemukan dirinya di gundukan sampah. Terkadang Rossie berpikir, seburuk itukah ia sampai tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya sendiri?

Kedua sudut bibir Rossie tertarik ke atas lalu membelai wajah mungil bayi yang kini sudah tenang itu. 

"Sudah selesai, sekarang lebih nyaman 'kan?" ucapnya. 

Sementara itu Jeffry masih duduk sambil menopang kepala yang mendadak terasa berat. Ia baru saja akan mengembangkan bisnis perhotelan dan sekarang malah mendapatkan bonus seorang bayi tanpa ibu? Gila! 

"Kamu harus rawat bayi ini." Ucapan Rossie kontan membuat wajah Jeffry mendongak. 

"Kenapa harus?" 

"Ya karena dia anak kamu. Apa mau kamu buang? Atau dititipkan ke panti asuhan?" Raut wajah Rossie mendadak berubah menjadi kesal. "Dia nggak minta dilahirkan ke dunia. Kamu yang mengundangnya, jadi harus tanggung jawab." 

"Dia belum tentu anakku. Aku akan tes DNA," tukas Jeffry. Well, meskipun banyak meniduri wanita, Jeffry yakin kalau selalu mengenakan karet pengaman untuk menampung semua benihnya. 

Dering ponsel yang tergeletak di atas nakas menarik atensi Jeffry. Ia meraih ponsel tersebut dan mendapati nama sang kakak muncul di layar. 

Jakun Jeffry bergerak naik turun karena tegukan saliva. Segera ia menggulirkan jemari di layar dan menerima panggilan tersebut. 

"Halo." 

["Jef, where are you?"] 

"Rumah, ada apa?" 

["Papa...."] 

"Kenapa?" 

["Kamu ke New York sekarang. Papa kritis."]

"What? Apa yang terjadi?" Mendengar kabar buruk itu, Jeffry bangkit dari duduknya. Sementara Rossie hanya melihat ke arah Jeffry sambil menenangkan bayi perempuan yang ditaksir berumur 3 bulan itu. "Oke aku akan segera kesana." 

Panggilan terputus. Jeffry kembali mengembuskan napas kasar sambil menyugar rambut. Ia melihat ke arah Rossie dan bayi itu secara bergantian. 

"I need your help," ucap Jeffry. (Aku butuh bantuanmu) 

"Bantuan apa?" Rossie menatap Jeffry penuh curiga. "Kamu mau ninggalin bayi ini ke aku?" 

Jeffry berdecak kesal. "Bisa nggak sih kamu sekali aja nggak berburuk sangka sama aku?" 

"Nggak. Dari awal kita ketemu kamu itu sulit dipercaya," sentak Rossie. 

"Oke. Sekarang dengerin aku, semalam kita nggak ngapa-ngapain." Jeffry teringat bagaimana tubuh ramping Rossie menggeliat penuh kenikmatan di bawahnya. "Oke, hanya foreplay aja. Belum sampai-"

"Bercinta?" Rossie memotong ucapan Jeffry.  

"No, of course not. I Never making love, only having sex." Jeffry menjelaskan. (Tidak, aku tidak pernah bercinta, hanya bersetubuh) 

Salah satu alis Rossie terangkat ke atas, masih tidak percaya. Well, pria seperti Jeffry bagaimana bisa melewatkan seorang wanita yang sedang teler? Lihat, sekarang saja ada seorang bayi di depan pintu dan diakui sebagai anaknya. 

"I swear to God," tambah Jeffry mengangkat jari telunjuk dan jari tangan secara bersamaan.

"Oke," respon Rossie sambil mengembuskan napas lega. Setidaknya keperawanan yang selama ini dijaga masih terselamatkan. 

"Papa aku kritis, dan aku harus segera ke New York." Jeffry menjeda ucapannya sebentar sembari berpikir untuk mencari solusi dengan cepat. "Aku minta tolong kamu jaga bayi ini sampai aku kembali ke Indonesia. Just one day." 

"Kamu bisa cari babysitter lain," tolak Rossie. 

"Aku nggak mau orang lain tahu soal bayi ini," jawab Jeffry. "Aku akan kasih bayaran yang cukup banyak buat kamu." 

Rossie masih terdiam sambil mempertimbangkan tawaran dari Jeffry. Ia lalu melihat bayi yang kini sedang terlelap nyaman dalam gendongannya. 

"Katanya kamu butuh uang buat Oma kamu," tambah Jeffry. "Aku akan kasih berapa saja buat Oma kamu." 

TO BE CONTINUED.... 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya My Boss's Secret Baby (Bab 3-6)
3
0
Selamat pagi Lovelies, ikuti kisah Rossie dan Jeffry yuk! Selamat membaca ^^ SPOILER: Sampai sekarang aku masih penasaran, ujar Jeffry yang menghentikan ucapannya sesaat. Sementara itu Rossie memerhatikan punggung Jeffry dari jarak 1 meter. Apa benar dulu kamu cuma permainkan aku.Rossie tercekat mendengar pertanyaan dari Jeffry. Ia meneguk minumannya dengan cepat lalu meletakkan gelas kosong di wastafel.Kamu udah tahu jawabannya. Rossie bergegas pergi meninggalkan Jeffry, tetapi tangannya langsung ditarik oleh pria itu.Jeffry lantas mendorong bahu Rossie hingga menghantam dinding dapur. Ia terus mengikis jarak hingga napas mereka saling beradu.Jeffry hentikan. Tangan Rossie mendorong tubuh Jeffry tetapi tidak berarti.Alih-alih bisa terlepas, ruang gerak Rossie justru semakin terbatas. Ia hanya bisa memegang erat tepi kabinet meja dapur.Katakan sekali lagi kalau kamu membenciku, pinta Jeffry.Rossie menelan saliva sebelum menuruti kemauan Jeffry. Ia berpaling sambil berucap, aku sudah melupakanmu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan