
Dark romance, Adult 20+
Haelyn Brier mengidap Amnesia disosiatif yang membuatnya melupakan penyebab kematian orang tuanya. Terlahir sebagai nona muda yang terbiasa hidup dalam kemewahan, Haelyn harus menderita ketika keluarganya bangkrut dan kedua orang tuanya tiada.
Saat bekerja sebagai penjaga toko buku, bertemu dengan pria tampan bersetelan jas bernama Yuu Akuma yang mengaku kekasihnya, kemudian melamarnya secara tiba-tiba. Haelyn yang selalu melupakan segala hal pun menerima lamarannya, dengan...
Yuu berjalan di sepanjang koridor kediaman utama menuju halaman depan, dengan ponsel di telinganya dan satu tangan di saku celana. Dia terlihat santai, dengan rambutnya yang diikat agak berantakan ke belakang.
“Kami sudah menerima berkas-berkasnya, dan membuktikan keasliannya. Memang benar Anda telah menikahi Nona Brier secara resmi. Selanjutnya, kami akan terus meninjau tentang berkas-berkas selanjutnya yang dibutuhkan oleh kedutaan Irlandia.” Suara seorang pria muncul di telepon, dengan nada yang sopan.
“Saya akan menunggu,” balas Yuu.
“Kami akan menghubungi Anda lagi untuk selanjutnya.”
“Ya, terima kasih.”
Setelahnya sambungan terputus dan dia kembali menyimpan ponselnya ketika langkahnya tiba di selasar halaman utama. Sambil menyipitkan mata, dia melihat di kejauhan bawahannya sedang memeriksa semua kiriman-kiriman yang tiba di kediaman mereka.
Yuu hanya berdiri memerhatikan dengan santai, sampai Tatsuya muncul dari arah halaman utama dengan wajah yang serius. Dia membenarkan kacamatanya kemudian menghadap Yuu dengan kepala menunduk.
“Ada laporan masuk, Ryota-san terlihat mengunjungi kasino di Shinagawa,” lapor Tatsuya.
Beberapa saat ada keheningan, Yuu tidak membalas perkataan Tatsuya. Matanya agak memincing, kemudian senyum miring muncul di bibirnya. Dia pun melangkahkan kakinya menuruni teras dan berjalan di jalan setapak dari batu hitam menuju halaman depan.
“Kita ke sana sekarang,” katanya pada Tatsuya.
“Baik, bos.”
Keduanya pun tiba di halaman depan, di mana banyak bawahannya sedang memeriksa kiriman yang datang. Ada satu mobil boks di luar gerbang yang sedang dikelilingi oleh para pria berbadan besar dan bertato, dengan sang supir yang terlihat gemetar merapat ke mobil. Beberapa orang masih mengangkut kotak-kotak di dalam mobil.
Tak jauh dari mobil boks, ada dua kurir yang juga mengantarkan kiriman, dengan seorang pengantar pos yang gemetar memegang sebuah amplop surat.
“Apa semuanya sudah diperiksa?” tanya Tatsuya pada salah satu pria yang datang membawa kotak besar.
Para anggota yakuza itu semuanya membungkuk begitu melihat Yuu datang. Mereka serempak menjawab, “Ha’i!”
Yuu memerhatikan si pengantar surat, dan Tatsuya segera mendekati pria itu dan meminta suratnya, kemudian membawa pria itu ke hadapan Yuu. Dari wajahnya yang berkeringat dan kedua tangannya yang gemetar, tukang pos itu jelas sangat ketakutan.
“Siapa yang mengirim surat ini?” tanya Tatsuya pada tukang pos.
“Sa-saya tidak tahu, saya hanya mengantar saja.”
Tatsuya pun memberikan suratnya pada Yuu, yang segera dibuka. Ketika membaca surat itu, wajah malas Yuu terlihat seperti biasanya, sampai pada satu titik kedua tangannya meremas surat itu dengan begitu kuas seakan hendak membakarnya, dan tatapan yang berubah menajam.
Semua bawahannya menoleh pada Yuu, dan si tukang pos nyaris pingsan di tempat itu juga ketika semua mata tertuju padanya karena sudah membuat bos Yakuza terlihat marah.
Yuu mengangkat tatapannya dan menatap si tukang pos yang semakin berkeringat dingin. Dia menatapnya dengan tajam seolah akan menelannya bulat-bulatnya, kemudian mengangkat tangan dan mengusirnya. Tukang pos itu segera berlari dengan kekuatan penuh, seolah dia mendapatkan kembali hidupnya, dan menghilang dari sana.
“Bos, ada sesuatu?” tanya Tatsuya.
“Dia sudah kembali,” kata Yuu. Pandangannya menerawang ke depan dengan wajah serius dan terlihat tak suka. “Dipastikan membawa sebuah rencana.”
Tatsuya terlihat terkejut, kemudian menundukkan wajahnya. “Apa yang akan kita lakukan?”
“Lihat dan perhatikan, seberapa jauh permainannya. Kita ke Shinagawa sekarang.”
“Baik, bos,” jawab Tatsuya.
Yuu berjalan ke arah para bawahannya dan menatap mereka. “Periksa semua boks, dan sisanya ikut ke Shinagawa.”
“Baik, bos!” jawab semua orang.
Ketika dia akan kembali ke bangunan kediaman utama, langkahnya terhenti saat para bawahannya membongkar sisa kotak terakhir dengan berbagai warna. Ketika salah satunya membuka tutup kotak berwarna pink yang dihiasi pita, semua orang menoleh ke arahnya dan memerhatikannya.
Pria itu memeriksa isinya dan menemukan potongan-potongan pakaian yang terlihat cukup aneh bagi pria. Lebih banyak tali-tali dengan kain yang kecil.
“Ini tidak seperti pakaian,” kata pria itu.
“Mungkin sesuatu yang digunakan wanita,” sahut yang lain.
“Aku seperti pernah melihatnya di gambar, tapi tidak yakin, jika itu pakaian Nyonya. Periksa saja, mungkin ada sebuah alat yang ditanam di dalamnya.”
Beberapa pria mengangguk bersamaan, dan mereka pun memeriksa dengan teliti. Di sisi lain Yuu masih memerhatikan mereka, sedangkan Tatsuya sudah berkeringat dingin melihatnya. Tentu saja itu benda yang dibeli Haelyn, dan mereka sudah memegangnya!
Tatsuya pun bergerak cepat merebutnya dan mengembalikannya ke dalam kotak. Dia menatap para pria itu dengan ekspresi lurus. “Ini milik Nyonya, tidak perlu diperiksa lagi.”
“Berikan benda itu,” kata Yuu tiba-tiba sambil menadahkan tangannya.
Tatsuya pun segera memberikannya tanpa pertimbangan dan Yuu mengambilnya kembali. Dengan wajah malas dia membalik-balikkan benda itu, kemudian senyum misterius muncul di wajahnya. Dengan santai dia segera pergi dari halaman utama menuju kediaman utama, membawa benda yang cukup asing itu di tangannya.
Ketika Yuu menjauh, para bawahannya mulai menatap Tatsuya dan bertanya, “Benda apa itu sebenarnya? Terlihat mirip pakaian dalam wanita, tapi terlalu aneh.”
Tatsuya berdeham pelan. “Itu pakaian dalam wanita,” jawab Tatsuya.
“Tidak terlihat seperti pakaian dalam wanita,” sahut yang lainnya.
“Ya, kami semua tentu pernah bersama wanita. Tidak ada yang seperti itu.”
Tatsuya menatap semua orang dengan wajah datar. “Wanita-wanita yang bersama kalian tentu tidak ada yang memakai hal berkelas dan mewah seperti itu.”
Semua orang diam sejenak, kemudian tertawa. “Benar, benar, Nyonya kita tentu saja berkelas dan selalu berpakaian mewah.”
🎎🎎🎎
“Ha'i, ha’i, sumimasen, Kyouju.[1]”
Haelyn duduk dengan memunggungi pintu. Dia masih berada di ruang kerja Yuu yang ada di bangunan lain, dengan kepala menunduk dan ponsel di pangkuannya. Ketika pintu bergeser, dia mengangkat wajahnya dan menolehkan kepala.
Di pintu ada Yuu yang berdiri memegang sesuatu di tangannya. Dia melihat Haelyn menatapnya dengan mata memerah dan berkaca-kaca. Yuu hanya menatapnya dengan wajah malas.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Yuu dengan nada malas, mencoba menutupi kewaspadaannya.
Haelyn tertidur sejak pagi sampai sore hari, akibat dari pengaruh obat yang disuntikkannya. Ketika Haelyn bangun, ada beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi, dan Yuu tentu sudah menyiapkan cara lain untuk mengantisipasinya.
Haelyn menunjukkan ponselnya pada Yuu, masih dengan mata berkaca-kaca. “Aku dimarahi dosenku karena hari ini tidak masuk kelas,” jawabnya. Dia menundukkan kepalanya dengan lesu. “Dia galak sekali,” gumamnya.
Yuu menatapnya sejenak dalam diam, kemudian menyeringai tipis seraya memasuki ruangannya. “Kenapa kau tidak pergi ke kampus?”
Haelyn mengangkat wajahnya, masih terlihat mendung dan seperti langit yang dihiasi titik-titik gerimis. “Ah, aku juga tidak tahu kenapa aku tidak pergi ke kampus. Aku benar-benar tidak ingat!” katanya sambil mengusap kepalanya. “Semakin lama semakin parah saja ingatanku.”
“Jika kau terus bolos, aku hanya buang-buang uang untuk membayar biaya sekolahmu,” balas Yuu dengan nada mengejek.
“Ini juga bukan keinginanku,” keluh Haelyn. Dia hendak bangun, tapi melihat sesuatu di tangan Yuu membuatnya terdiam.
Sedetik kemudian wajah mendungnya yang siap menumpahkan tangisan berubah menjadi ceria, seperti bunga sakura berguguran di langit musim semi. Dia bangun dan menyambar sesuatu di tangan Yuu, menatapnya dengan mata berbinar dan bibir terbuka.
“Akhirnya aku mendapatkannya! Ini yang sangat aku inginkan, karena seingatku Mom selalu melarangku membelinya saat masih sekolah.”
Haelyn memeluk benda itu dengan sayang, wajahnya semakin ceria sampai bersemu merah. Kemudian memandangnya lagi, merasakan kain-kainnya yang halus, merasakan tali-talinya yang tipis dan lembut.
“Untuk apa kau membeli benda itu?” Yuu bertanya dengan wajah mencemooh.
Haelyn memeluk benda itu erat-erat, seakan takut dirampas darinya. “Tentu saja untuk kupakai.”
Yuu menaikkan sebelah alisnya. “Untuk merayu pria?”
Mendengar itu, sebuah ide melintas di benak Haelyn. “Untuk merayumu,” jawahnya. “Memangnya kau pikir merayu siapa?”
Yuu mendengkus pelan, dan berjalan ke meja kerja rendahnya untuk mengambil sesuatu. Sedangkan di sisi lain Haelyn masih berdiri memegang benda di tangannya. secara perlahan dia membuka ikatan di gaunnya hingga terlepas, satu persatu sampai gaun merosot ke lantai melewati tubuhnya.
Kini Haelyn hanya mengenakan pakaian dalam, berdiri menunggu Yuu dengan sepasang bikini di tangannya. Dia berjalan mendekat, duduk di meja rendah kemudian menumpangkan kaki kanan di atas kaki kiri. Sebagian tubuhnya terbuka dengan jelas, dengan rambut merahnya yang berjatuhan di punggung dan bahunya.
Yuu meliriknya masih dengan wajah malas. “Apakah Ruriko-san memiliki sepasang bikini seperti ini?”
Satu tangan Haelyn bertumpu di meja, sedangkan tangan lain menggoyang-goyangkan bikini di hadapan Yuu. Dia mengubah posisi duduknya menjadi agak miring, dengan stoking hitam tipis sampai paha dihiasi garter. Semua pria mungkin akan jatuh berlutut jika melihat tubuhnya yang seperti itu, tapi berbeda dengan Yuu yang masih menatapnya dengan malas.
Sekuat itukah keyakinan Yuu terhadap perasaannya pada Ruriko hingga dia tidak terpengaruh dengan tubuh indah dan wajah cantiknya? Begitulah yang Haelyn pikirkan.
“Eh? Kau tidak mau menoleh?” tanya Haelyn dengan nada menggoda dan jahil. “Selama ini belum pernah ada yang melihat tubuhku seperti ini.”
“Tidak perlu begitu yakin,” balas Yuu.
“Tentu saja aku yakin. Lihat sini.”
Yuu yang sedang mengambil sesuatu pun segera menoleh dan menatap Haelyn dengan ekspresi yang masih malas seperti biasanya, seakan pemandangan indah dan menggoda di depannya tidak membuatnya tertarik.
Haelyn sendiri sudah menggeser tubuhnya menghadap Yuu dengan kedua tangan dilipat di dada hingga memperlihatkan payudaranya yang seakan hendak tumpah dari bra merahnya yang berenda.
“Karena kau tidak tertarik padaku, apa dayaku?” keluh Haelyn dengan wajah sedih yang sangat dibuat-buat. Dia mengambil tempat rokok, mengambil satu batang dan membawanya ke bibir Yuu dengan gerakan luwes. “Setidaknya aku akan mencoba, dan jika kau tidak tertarik, yah ... aku hanya bisa menyerah.”
Yuu masih menatapnya dengan wajah datar, masih menutup mulutnya rapat-rapat sampai Haelyn yang membuka bibirnya dengan tangannya kemudian memasukan sebatang rokok. Gerakan Haelyn tentu saja tidak seperti seorang perempuan delapan belas tahun yang tidak mengerti bagaimana cara menggoda seseorang. Akan tetapi, dia benar-benar tidak tahu cara menggoda seorang pria.
“Di mana kau belajar menggoda pria?” tanya Yuu.
“Sstt ...” Haelyn menyalakan pemantik, kemudian membakar ujung rokok di bibir Yuu hingga menyala. “Rahasia,” jawabnya.
Tentu saja rahasia. Dia tidak akan mengatakannya langsung bahwa dia mempelajari itu semua dari buku kamasutra yang didapatkannya dari toko buku nenek Sanaye, lalu disimpan di kamarnya secara tersembunyi.
Terlebih setelah dia melihat Yuu yang begitu memerhatikan Ruriko, Haelyn semangat bersemangat mempelajari cara-cara merayu seorang pria. Beruntungnya dia tidak melupakan bagian-bagian itu di kepalanya.
Haelyn masih menikmati perannya untuk menggoda Yuu, tanpa mengingat sedikit pun tentang kejadian pagi tadi yang membuat amarahnya meledak. Sesuatu seakan bekerja di otaknya, menekan ingatan-ingatan yang akan membuat rasa traumanya bangkit, menyimpannya rapat-rapat dan tak lagi mengingatnya.
“Apa kau pernah tidur dengan Ruriko?” tanya Haelyn tiba-tiba. Dia masih duduk di meja Yuu, dengan kepala dimiringkan dan kedua tangan menekan tepi meja.
Yuu meraih rokok di bibirnya, kemudian memadamkannya di asbak tanpa mengisapnya. Dia menatap Haelyn dengan malas, kemudian menyeringai. “Sering,” jawabnya.
Sejenak Haelyn membeku, menyesali pertanyaannya yang sangat bodoh. Dia merasakan perasaan marah dan kesal alih-alih cemburu. Mungkin karena dia sendiri belum pernah merasakan bagaimana ciuman pria itu, sedangkan wanita lain sudah pernah melihat keseluruhan tubuh Yuu tanpa mengenakan apa pun.
Sebuah gagasan melintas di benak Haelyn, dan dia mencoba membalikkan kembali keadaan. “Kau tidak bertanya, apa aku sudah tidur dengan seorang pria?”
“Oh? Memangnya kau mengingatnya?” Yuu balik bertanya.
Pertanyaan itu telak menusuknya. Memang benar, apa dia mengingatnya? Dia sendiri tidak yakin. Terlebih, dia bahkan selalu melupakan orang-orang yang pernah berkencan dengannya.
“Aku mungkin sering kehilangan memori ingatanku, tapi tidak semua akan aku lupakan!” tukasnya. “Aku masih mengingatnya, yah, meski samar-samar. Sepertinya aku pernah tidur dengan seseorang saat masih sekolah.”
Yuu menatap Haelyn dengan wajah yang berubah dingin, kesan malasnya lenyap begitu saja. Ketika Haelyn balas menatapnya, dia merasa tatapan itu seakan bisa melubangi kepalanya––terlalu mengerikan.
Sebelum Haelyn memalingkan wajahnya, pintu diketuk dari luar kemudian digeser. Dalam sepersekian detik tangan Haelyn ditarik hingga jatuh dari meja dan tubuhnya mendarat di dada bidang Yuu. Dia hanya mengerjapkan matanya karena momen yang sangat cepat itu.
“Bos, seseorang datang.”
Itu suara Tatsuya dan Haelyn masih bersembunyi di balik tubuh Yuu yang membelakangi pintu. Sekarang dia merasakan rasa dingin merambat di sepanjang tulang belakangnya ke sekujur tubuhnya. Dia merasakan detak jantungnya pun berdebar secara tak karuan.
“Biarkan dia pergi,” kata Yuu.
Tatsuya di pintu masih berdiri menundukkan kepalanya, tanpa menyadari bahwa di hadapannya ada Haelyn yang sedang disembunyikan dengan gaunnya yang tergeletak di lantai.
“Baik, bos. Saya akan mengatakannya pada Ruriko-san.”
Tiba-tiba Haelyn merasakan tubuh Yuu agak menegang dan kedua tangannya melepaskan tubuhnya. Dia mengerutkan dahinya, mendongak dan melihat Yuu yang sedang menolehkan kepalanya ke samping dengan wajah dinginnya.
“Tidak. Biarkan dia menungguku di ruang tunggu, aku akan menemuinya.”
“Baik, bos,” jawab Tatsuya lagi, seraya mengangkat kepalanya.
Saat itu juga Haelyn mengangkat kepalanya dan melewati bahu Yuu dia bisa melihat ke arah pintu. Tatapannya bertemu dengan Tatsuya yang terkejut hingga nyaris mundur selangkah.
Terdengar suara seorang wanita yang terpekik halus karena membentur tubuh Tatsuya yang mundur, lalu Tatsuya meminta maaf. Haelyn melihat semuanya, dengan begitu jelas ketika Ruriko muncul saat Tatsuya mundur.
Posisi Yuu saat ini membelakangi pintu, duduk berlutut dengan Haelyn yang bersembunyi di dadanya. Kini kepala Haelyn muncul di balik bahu Yuu, hingga memperlihatkan wajah dan rambutnya, sedangkan gaunnya tergeletak di belakang tubuh Yuu.
Dari pintu, seseorang tidak bisa melihat tubuh Haelyn yang terbuka, tapi mereka jelas tidak bodoh jika saat ini Haelyn tidak berpakaian. Terlebih, bikini yang dibawa oleh Yuu pun tergeletak di meja hingga siapa pun akan berpikir jika Haelyn tidak mengenakan apa pun.
Sesuatu kembali melintas di benak Haelyn ketika dia melihat Ruriko yang tiba-tiba muncul di luar pintu. Dia tidak mau melewatkan kesempatan ini, jadi dengan sengaja mengalungkan satu tangannya ke leher Yuu, sedangkan satu tangan lainnya memegang punggung Yuu. Dia menyandarkan pipinya di bahu Yuu dan memandang Ruriko yang berdiri di luar.
Pandangan Haelyn bertemu dengan pandangan Ruriko, sedangkan Yuu sudah kembali menatap ke depan dengan wajah dingin.
Haelyn tersenyum jahat diam-diam, mencoba membuat Ruriko berpikir bahwa dia dan Yuu baru saja akan melakukan sesuatu.
“Ah, ada tamu,” kata Haelyn dengan nada menyesal. “Maaf, Ruriko-san, kami tidak tahu jika kau akan datang.”
Ruriko yang melihat Haelyn seperti itu pun segera menundukkan kepalanya dengan sopan. “Saya yang seharusnya meminta maaf, mengganggu waktu kalian.”
“Ah, memang seharusnya,” jawab Haelyn lagi dengan senyum yang begitu canrik. Dia memiringkan kepalanya, satu tangan menyentuh leher Yuu dengan lembut. “Tatsuya akan mengantarmu ke ruang tunggu, tidak apa-apa kan kau menunggu sebentar?”
“Tidak masalah,” jawab Ruriko seraya undur diri, dan pintu kembali di tutup.
Kini keadaan kembali hening, menyisakan Haelyn dan Yuu. Ketika akan menarik tubuhnya kembali, Haelyn merasakan rasa dingin yang seakan muncul dari tubuh Yuu dan menusuknya. Dia mendongak, menatap Yuu yang juga sedang menatapnya dengan begitu dingin dan aura yang mengintimidasi. Dia beringsut mundur, tapi Yuu mencengkeram lengannya.
“Lepaskan,” desis Haelyn. Dia sekarang merasakan ketakutan itu lagi, saat Yuu marah dan akan menghukumnya.
“Siapa yang mengizinkanmu berbicara?” desis Yuu dengan suara yang amat tajam.
Haelyn bergidik ngeri, dia masih berusaha mundur tapi Yuu masih mencengkeram tangannya hingga terasa sakit dan memerah.
“Aku tidak perlu mendapat izinmu untuk sekedar berbicara,” balas Haelyn, setelah mengumpulkan segenak keberaniannya kembali.
“Simpan lidah dan omong kosongmu,” desis Yuu lagi, kemudian bangun dan melepaskan cengkeramannya di tangan Haelyn.
Yuu berjalan tanpa menoleh sama sekali, sampai di pintu mencengkeramnya dengan kuat, kemudian menolehkan kepalanya ke samping.
“Pakai kembali pakaianmu, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sampai aku mengizinkannya.”
Selepas mengatakan itu, sosoknya menghilang di balik pintu, menyisakan bayang-bayang perkataannya yang seakan merantai Haelyn dengan kuat.
Kini Haelyn duduk bersimpuh dengan rasa dingin dan jantung berdebar, dia memandang pintu, kemudian meraih pakaiannya dan mengenakannya kembali. Wajahnya berubah memerah karena kesal, dengan mata yang berkaca-kaca.
“Yakuza berengsek,” umpatnya. Setelah berpakaian, dia pun keluar dari ruangan itu sambil membawa bikininya. “Untung saja dia tidak marah dan merobek bikini baruku,” gumamnya lagi, lalu mengusap matanya yang terasa panas.
Haelyn pun pergi meninggalkan ruangan Yuu, berjalan di sepanjang koridor sambil memikirkan cara-cara melarikan diri dari kediaman ini. Dia harus bisa melakukannya kali ini!
“Nyonya, sebaiknya Anda simpan rencana melarikan dirinya. Bos akan semakin marah dan menambah hukuman.”
Suara seorang pria terdengar di belakangnya, yang menghantarkan rasa dingin ke tengkuk Haelyn. Dia menoleh dan melihat seorang pria tinggi bertubuh besar dan kepala plontos sedang berjalan menjaga jarak darinya.
“Sial,” umpatnya lagi dengan wajah kesal dan ingin menangis. “Jangan ikuti aku!”
“Saya hanya memastikan Nyonya pergi ke kamar Anda.”
“Aku tidak akan melarikan diri.”
“Tapi ini sudah terjadi berkali-kali,” jawab pria itu lagi.
Haelyn menggigit lidahnya dengan keras karena kesal, kemudian berlari menuju kediaman utama, dan pria itu masih mengikutinya.
🎎🎎🎎🎎
[1] “ya, ya, maafkan saya, profesor.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
