
Dark romance, Adult 20+
Haelyn Brier mengidap Amnesia disosiatif yang membuatnya melupakan penyebab kematian orang tuanya. Terlahir sebagai nona muda yang terbiasa hidup dalam kemewahan, Haelyn harus menderita ketika keluarganya bangkrut dan kedua orang tuanya tiada.
Saat bekerja sebagai penjaga toko buku, bertemu dengan pria tampan bersetelan jas bernama Yuu Akuma yang mengaku kekasihnya, kemudian melamarnya secara tiba-tiba. Haelyn yang selalu melupakan segala hal pun menerima lamarannya, dengan...
Lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung di kota Tokyo sudah mulai menyala, menerangi segala sudut dengan semua kesibukannya. Angin musim semi berembus dingin, menyapa kulit dengan kasarnya, membuat Haelyn bergidik seraya merapatkan jaket mahalnya yang masih dia miliki. Sesekali matanya melirik jam tangan dan berharap siapa pun yang mengenalnya akan datang untuk menjemputnya.
Saat ini dia tak memiliki tempat tinggal, tak memiliki siapa pun yang dia ingat. Satu-satunya yang menjadi harapannya adalah Reiki––yang mengaku mantan kekasihnya saat sekolah. Pria itu sudah berjanji akan menjemputnya dan mencarikan tempat tingga, tapi batang hidungnya saja tidak terlihat dan hal itu membuat Haelyn kesal.
Orang-orang yang berjalan di trotoar pun sempat menoleh padanya hanya untuk sekedar melihat seorang gadis asing berambut merah berdiri di pinggir jalan sambil menenteng koper.
“Aku jadi ragu, apakah pria itu benar-benar mantan kekasihku?” gumamnya dengan semua rasa kecewa.
Kring ... kring ...
Satu panggilan masuk dan Haelyn segera meraih ponselnya, kemudian menemukan nama Reiki yang sudah dia simpan di kontaknya. Senyuman kembali berkembang di wajah Haelyn ketika harapan itu sedikit muncul ke permukaan setelah tenggelam beberapa saat lalu.
“Moshi-moshi,” sapa Haelyn..
“Haelyn ...” Reiki menjawab di ujung telepon.
Mendengar suara Reiki membuat Haelyn mengerutkan dahinya tak mengerti. Suara pria itu terdengar agak bergetar, agak takut tapi juga seperti ragu-ragu.
“Ya, kenapa kau belum datang?”
“Ano ...” Jeda sejenak, dan Haelyn masih menunggu. “Maafkan aku, maafkan aku!”
Kerutan di dahi Haelyn semakin dalam. “Ada apa, Reiki-kun?”
“Aku ... aku tidak bisa menjemputmu ke apartemenku, karena temanku mendadak kembali.”
“Oh, begitu ya...” Haelyn menelan kekecewaannya seorang diri.
“Tapi aku bisa membantumu!” kata Reiki kemudian. “Di Asakusa, ada toko buku bernama Sanaye Books. Sepupuku baru saja mengundurkan diri dari sana, dan mereka sedang membutuhkan seorang pekerja.”
Haelyn diam sejenak, mendengarkan apa yang dituturkan oleh Reiki. Dia memang membutuhkan pekerjaan, tapi seorang mantan tuan putri sepertinya tak pernah bekerja. Apakah pekerjaan itu akan cocok untuknya?
“Aku tahu kau tak pernah bekerja, tapi pekerjaan di toko buku adalah yang paling ringan,” kata Reiki lagi, seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Haelyn.
Seketika Haelyn mengembangkan senyumannya, dia tidak malu hanya merasa lucu. “Kalau begitu, aku akan pergi ke sana! Terima kasih, Reiki-kun.”
Terdengar helaan napas lega dari Reiki, kemudian panggilan ditutup dari pihak Reiki sebelum Haelyn mendengar balasan pria itu. Dia bertanya-tanya, ada apa dengan pria ini, tapi tak mau ambil pusing. Haelyn pun segera pergi ke stasiun untuk pergi ke Asakusa.
🎎🎎🎎
Sementara itu di tempat Reiki, pria itu sedang duduk di tanah sambil merapat ke dinding di sebuah gang sepi dan gelap, dengan sepeda yang tergeletak di tanah, di depannya ada beberapa pria yang mengelilinginya. Kaki dan tangannya gemetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetar dan nyaris membuatnya terkencing saat itu juga.
Dikepung oleh dua pria berbadan besar dan tinggi, dengan aura gelap dan mengerikan, jelas membuat tubuhnya gemetar sampai rohnya seakan hendak keluar dari tubuhnya.
Siapa yang tidak kenal para pria ini? Jelas saja siapa pun tahu, mereka adalah yakuza!
“Aniki, apa yang harus kita lakukan?” tanya salah satu pria.
Seorang pria lainnya muncul dari dari belakang mereka. Pria itu lebih rapi, dengan jas hitam, kemeja putih yang tak dikancingkan bagian atasnya, tatanan rambut agak berantakan dengan tato kepala ular muncul di lehernya.
Pria itu belum mengatakan apa pun, dia pun berjongkok di depan Reiki, menatap pemuda itu dengan datar dan tanpa ekspresi. Tatapannya jelas datar, tapi auranya yang gelap dan menindas membuat siapa pun merasa ditekan dan dipojokkan hingga tak bisa berkutik.
“Sa-saya.. tidak pernah membuat masalah pada siapa pun,” kata Reiki. Suaranya bergetar karena hanya seorang diri.
Pria di depannya masih belum bersuara, diantara gang sempit yang tidak terlalu bagus dalam pencahyaan, wajahnya terlihat terdistorsi dan nampak mengerikan dengan rambut bagian depan yang terurai menghalangi bagian atas wajahnya.
Siapa pun mungkin akan mengira bahwa wajah diantara bayang-bayang lampu gang itu sangat mengerikan.
Kau baru saja bertemu dengan gadis bernama Haelyn Brier?” tanya pria itu dalam bahasa Jepang. Suaranya terdengar berat dan malas.
Reiki menatap ngeri, tapi tetap mengangguk sebagai jawaban. “Benar, benar. Anda... mengenal Haelyn-chan?”
Sebelum menjawab, yakuza di belakang mendekat dan memberikan sebatang rokok ke mulut pria itu, lalu menyalakan pemantik api dan membakar ujung rokok hingga menyala.
Dia mengisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya ke arah Reiki yang terbatuk-batuk. Senyum mencemooh muncul di wajahnya yang misterius.
“Hubungi dia dan katakan kau tidak bisa menjemputnya, katanya akhirnya.
“Tapi ... tapi saya sudah berjanji akan menjemputnya,” balas Reiki.
Pria itu kembali mengisap rokoknya yang diapit diantara kedua jarinya. “Aku tidak peduli,” katanya seraya membawa rokoknya ke hadapan wajah Reiki yang membuat pria itu nyaris histeris ketika ujung rokok yang menyala mendekati wajahnya.
“Baik, baik, baik!” teriak Reiki dengan panik. Dia meraih ponselnya dan segera menghubungi Haelyn tanpa menunggu lagi.
Tak butuh waktu lama Haelyn segera menerima panggilannya.
“Moshi-moshi,” suara Haelyn terdengar di ujung telepon.
Reiki nampak ragu ketika mendengar suara lembut Haelyn. Dia melirik pria di hadapannya dengan takut, dan pria itu malah memiringkan kepalanya dengan mengerikan. Karena diselimuti kengerian dan ketakutan, Reiki pun berbicara lagi,
“Haelyn ...,” katanya dengan suara agak bergetar
“Ya, kenapa kau belum datang?” Haelyn langsung bertanya.
“Ano ...” Jeda sejenak. “Maafkan aku, maafkan aku!”
“Ada apa, Reiki-kun?” Haelyn masih bertanya dengan nada yang sama sekali tidak curiga.
“Aku ... aku tidak bisa menjemputmu untuk ke apartemenku, karena temanku mendadak kembali.”
“Oh, begitu ya...” terdengar nada kecewa dalam suaranya, dan Reiki merasa bersalah. Jika saja para yakuza ini tidak muncul entah dari mana dan mengepungnya, mungkin dia bisa menjemput Haelyn dan mereka bisa dekat kembali seperti sebelumnya.
Omong-omong tentang itu, Reiki segera teringat jika yakuza di depannya menyebut nama Haelyn Brier, meski dia tak pernah menyebutkan nama Haelyn pada mereka. sekarang dia jadi bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Haelyn dengan para yakuza ini?
Orang tua Haelyn telah tiada satu bulan lalu, dan gadis malang itu hidup sendirian di Tokyo dengan keadaan yang akan melupakan sesuatu dengan mudah.
“Kenapa kau tidak bertanya bagaimana aku mengenal gadis Brier itu?” Suara pria yakuza itu menarik Reiki dari lamunannya.
Dia menggeleng dengan segera.
Seringai main-main muncul di bibir pria yakuza itu sambil mencondongkan tubuhnya pada Reiki dan bebrisik. “katakan padanya, di Asakusa ada toko buku bernama Sanaye Books, dan biarkan di pergi ke sana.”
Sambil menelan ludah, Reiki mengangguk sebagai jawaban, meski dalam hati dia sangat mencemaskan keadaan Haely.
“Tapi aku bisa membantumu!” kata Reiki kemudian. “Di Asakusa, ada toko buku bernama Sanaye Books. Sepupuku baru saja mengundurkan diri dari sana, dan mereka sedang membutuhkan seorang pekerja.”
Terdengar nada ceria kembali di ujung telepon, dan keduanya bercakap-cakap singkat dengan Reiki di bawah tekanan pria yakuza yang sepertinya memiliki pengaruh yang sangat besar itu. sepertinya dia bukan ketuanya, karena bagaimana mungkin ketua yakuza turun langsung untuk mengepungnya hanya karena seorang gadis.
Panggilan pun dimatikan dan Reiki kini kembali pada kenyataan bahwa di depannya ada yakuza!
Pria yakuza itu bangun sambil membereskan jasnya yang agak kusut karena berjongkok untuk beberapa saat dengan rokok masih terapit diantara bibirnya. Dia berbalik tanpa memandang Reiki lagi, diikuti oleh dua yakuza lainnya.
“Tuan...” Reiki memanggil dengan berani, masih terduduk di tanah dan bersandar pada dinding. “Haelyn gadis baik-baik, dia tidak lagi memiliki orang tua dan mengidap amnesia disosiatif, tolong jangan sakiti dia.”
Para yakuza itu tetap berjalan tanpa mengindahkan permintaan Reiki, dan begitu mereka mencapai mulut gang di mana ada dua mobil sedang hitam yang terparkir, pria yakuza yang merokok itu membuang puntungnya ke tong sampah, kemudian berbalik.
Bayang-bayang lampu gang menerangi wajahnya yang memperlihatkan wajah tampan, dingin, main-main dan bengis. Seringai tipis itu muncul, mendistorsi wajah tampannya.
“Siapa kau berani berkata padaku? Bocah ingusan,” katanya, kemudian memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu.
Reiki jelas nyaris terkencing di celana mendapatkan perlakuan seperti itu, tapi dia jelas tak akan pernah berani pada para yakuza, atau hidupnya akan terus dirundung masalah selamanya.
“Haelyn-chan, maafkan aku karena menempatkanmu dalam masalah,” bisiknya.
🎎🎎🎎
Haelyn berdiri di depan toko buku dengan pintu kaca dan menampilkan deretan rak buku di dalamnya. Di atas pintu ada plang dengan tulisan Sanaye Books dalam aksara Jepang. Ketika pintu didorong bel di atas berbunyi, tapi keadaan begitu sunyi nyaris membuat Haelyn kembali berbalik dan pergi. Didorong oleh rasa percaya diri, dia pun melangkah masuk.
“Sumimasen,” katanya.
Tak ada siapa pun yang keluar, dan bahkan tak ada satu pun pengunjung toko itu.
“Apakah ada seseorang?” tanyanya. Dia melangkah mendekati meja kasir, tapi tak ada siapa pun yang berjaga. Kepalanya melongok ke balik meja, tapi masih tidak ada siapa pun, bahkan satu pengunjung pun tak terlihat.
Haelyn merasa toko buku itu agak menyeramkan, tapi dia tak bisa mundur lagi karena begitu butuh pekerjaan dan tempat tinggal. Sambil menyeret-nyeret kopernya dia pun pergi melihat-lihat ke rak-rak buku yang berjajar dengan rapi. Keadaan di lorong-lorong hanya membuatnya semakin sepi dan menyeramkan dengan lampu kuning yang tidak begitu terang.
“Kenapa tidak ada siapa pun di sini?” bisiknya seraya meraih sebuah buku dengan sampul yang agak mencurigakan.
Ketika berada di tangannya, sampul itu terlihat jelas seorang wanita yang mengenakan pakaian serba terbuka di mana-mana dengan seorang pria yang diikat dan ditutup matanya. Haelyn bergidik melihatnya, tapi juga begitu senang.
“Kiat-kiat menjerat pria.” Dia membaca judulnya dengan senang, lalu berusaha membukanya ketika seseorang berbisik di belakangnya.
“Itu buku keluaran terbaru dan karya seorang penulis Kamasutra terkenal,” bisik seseorang di belakangnya.
Haelyn terlonjak dan nyaris melemparkan buku di tangannya ke wajah seseorang itu. Dia berbalik dan menemukan seorang nenek tua dalam balutan gaun putih panjang dengan rambut disanggul dan mengenakan apron. Nenek itu tersenyum dengan mata segaris.
“Apa Obasan pemilik toko buku ini?” tanya Haelyn seraya mengembalikan bukunya ke rak.
Obasan : Nenek (secara umum, pada bukan keluarga)
Nenek itu mengangguk seraya berbalik diikuti oleh Haelyn di belakangnya.
“Buku apa yang Nona cari?’ tanya si nenek.
“Saya tidak mencari buku,” jawab Haelyn, “Saya mencari pekerjaan. Teman saya mengatakan jika di sini membutuhkan karyawan.”
Nenek itu berbalik, menatap haelyn dengan menilai meski matanya tidak terlihat karena terhalangi oleh kulit-kulit sekitarnya yang sudah keriput. Sambil menghela napas dia pun mengangguk lagi.
“Ya, kami membutuhkan pekerja, karena akhir-akhir ini toko agak ramai jadi aku tidak bisa bekerja seorang diri.” Nenek itu berbicara dengan wajah lesu, kemudian menatap Haelyn lagi dengan menilah, dari atas ke bawah. “Kau yakin ingin bekerja? Dari tampilanmu, kau bukanlah seseorang yang terbiasa bekerja.”
“Saya bisa bekerja!” kata Haelyn tiba-tiba dengan semangat.
“Kau bisa menyusun buku?” tanya nenek itu lagi.
“Bisa!”
“Kau bisa membereskan rak dan bersih-bersih?”
“Tentu saja bisa,” jawab Haelyn, tapi bohong, lanjutnya dalam hati.
Bagaimana bisa dia membereskan rak dan bersih-bersih karena selama ini para pelayan lah yang selalu mengerjakan semua itu. Dia hanya tahu bangun tidur, makan, belanja dan meminta uang pada orang tuanya. Benar-benar tipikal nona muda yang akan membebani banyak orang.
“Kalau begitu kau bisa bekerja di sini. Mulai kapan kau bisa melakukannya?” tanya nenek itu lagi.
“Mulai saat ini juga bisa,” jawab Haelyn. Dia diam sejenak mempertimbangkan sesuatu, kemudian menatap nenek itu dengan senyuman. Senyuman itu selalu membuat semua orang merasa senang melihatnya, begitu manis dan cantik, dan seakan tak mengetahui tentang dunia luar. “Bisakah Anda memberi saya tempat tinggal”
Nenek itu melihat senyum Haelyn kemudian menghela napas pelan. “Aku sudah bisa menduganya. Kau benar-benar butuh tempat tinggal,” katanya seraya melirik koper haelyn, “ikut aku.”
Dengan senyum terkembang tanpa rasa malu, Haelyn pun mengikuti nenek itu melewati deretan buku sampai tiba di bagian belakang yang terdapat sebuah pintu. Di bagian belakang bangunan toko adalah taman dengan dengan jalan setapak dari batu menuju sebuah rumah Jepang tradisional.
“Ini adalah tempat tinggalku,” kata sang nenek.
Haelyn mengedarkan pandangannya, tapi tak menemukan satu pun orang. “Apakah Obasan tinggal sendiri?”
“Ya.”
“Anak atau cucu?”
Tak ada jawaban, dan Haelyn masih menunggu. dia menilik jika usia nenek ini mungkin sudah tujuh puluh tahun, dari kulitnya yang sudah keriput di mana-mana serta punggungnya yang tak lagi tegak lurus. Namun nenek ini masih begitu kuat dan gigih untuk membuka toko seorang diri.
Keduanya berjalan melewati taman dan tiba di tempat tinggal sang nenek yang terlihat kecil namun bersih dan terawat. Karena lantai kayunya lebih tinggi, Haelyn mengangkat kopernya yang cukup berat tapi tanpa diduga nenek tua itu membantunya hingga terangkat seolah tak bukan hal biasa.
Sejenak Haelyn terpana, merasa bahwa kekuatannya kalah oleh nenek tua!
“Apa dia keturunan sumo?” bisiknya tak percaya sembari menatap punggung ringkih sang nenek.
“Apa kau masih ada terus berdiri di sana?” Suara nenek itu melayang kembali ke telinga Haelyn.
“Ya, ya.”
Haelyn di bawa ke sebuah kamar dengan pintu geser, menatap kamar yang tidak terlalu besar itu, tapi tertata dengan cukup rapi. Sang nenek mengambil satu futon tambahan dari dalam lemari kemudian menggelarnya bersama dengan futon yang sudah ada.
Haelyn tidak berpikir jika mungkin tak akan nyaman dia tidur hanya di atas futon, tanpa ada ranjang dengan kasur yang empuk dan nyaman. Dia hanya berpikir untuk segera mandi dan tidur!
“Apa gadis sepertimu bisa tidur di futon? Aku tidak memiliki ranjang dengan kasur yang empuk.” Nenek itu melemparkan sebuah selimut yang segera diterima oleh Haelyn. “Aku juga akan menutup toko, jadi kau bersihkan diri lalu tidur karena besok harus membuka toko.”
“Begitu saja? Nenek tidak mewawancaraiku?”
Nenek itu tidak langsung menjawab. Dia keluar dan berbicara setelah menggeser pintu, “Lakukan setelah kau membersihkan diri dan siap tidur.”
Haelyn berlari ke pintu, menggesernya lalu melongokkan kepala. “Bisakah besok saja?”
“Tidak bisa,” jawab si nenek tanpa berbalik, kemudian pergi dari tempat itu.
Jawaban sang nenek hanya membuat Haelyn mengedikkan bahunya. Senyuman terkembang di wajahnya, karena dia akan segera tidur. Seharian memikirkan bagaimana caranya mendapatkan tempat tinggal gratis tidaklah mudah.
Dia seorang Nona muda, dan masih bertingkah layaknya nona muda. Jadi dia tak mungkin mengemis-ngemis pada teman-temannya di kampus yang belum lama dikenalnya untuk memberinya tumpangan.
🎎🎎🎎
Setelah membersihkan diri dan bersiap akan tidur, nenek itu tak kunjung kembali dan Haelyn harus menahan kantuknya. Dia memainkan ponselnya sejenak, membuka-buka katalog barang-barang branded yang disukainya, tentang brand apa saja yang mengeluarkan desain terbaru. Selama dirinya sibuk membuka-buka katalog barang branded, hanya menggigit lidah, menggigit bibir dan menggigit hari yang bisa dilakukannya.
“Sial, aku miskin sekali!” ratapnya sambil melempar ponsel, kemudian merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sampai ke leher. Rumah kayu itu memberinya suasana yang cukup dingin di malam hari pada musim semi ini.
Sambil menatap langit-langit, Haelyn berusaha mengambil kembali sisa-sisa ingatannya yang tercerai-berai. Dia hanya samar-samar mengingat di pemakaman Ayah dan Ibunya, tapi dia tidak mengingat penyebab kematian mereka. dia bahkan tidak ingat bagaimana orang tuanya bangkrut.
Apakah mereka bunuh diri? Tidak, dia sangat mengenal orang tuanya yang tak mungkin meninggalkannya sebatang Kara dengan ingatan-ingatan yang sering kacau.
Suara pintu yang digeser pun terdengar bersama dengan langkah kaki pelan mendekat ke arahnya. Suara seseorang yang duduk di futon sebelah pun terdengar.
“Meratapi masa lalu tidak ada gunanya.”
Haelyn menoleh dan menatap si nenek yang sedang membereskan pakaian Haelyn yang berserakan di atas futon-nya.
“Kenapa Obasan mengatakan hal itu?” tanya Haelyn dengan rasa ingin tahu, dia pun duduk hingga selimut jatuh ke pangkuannya. Rambutnya yang belum sepenuhnya kering pun sebagian menempel di lehernya.
“Setiap orang pasti memiliki masa lalu, dan itu adalah hal yang sudah pasti karena waktu berjalan maju.”
Sambil menguap dan kembali merebahkan tubuhnya di futon. “Aku hanya sedang memikirkan dua hal,” katanya.
“Keluargamu?”
“Ya, itu hal pertama,” jawab Haelyn. Dia mengembuskan napas pelan kemudian melanjutkan, “Hal kedua, kenapa aku sangat miskin?”
“Jika kau ingin kaya, maka kau harus bekerja dan menghasilkan uang.”
“Tapi ada cara yang paling mudah untuk menjadi kaya.” Haelyn menoleh dan memberikan senyuman paling aneh pada sang nenek, “Menikahi orang kaya atau menjadi simpanan pria kaya.”
“Ah.” Nenek itu terperanjat menatap Haelyn lekat-lekat seakan dia baru saja bertemu dengan gadis paling aneh yang datang dari dunia entah-berantah. “Benar-benar tidak tahu malu.”
Haelyn tertawa pelan dan menopang kepala dengan tangan. “Jawabanku logis, Obasan.”
“Jawaban logis bagi seorang nona muda.”
Kemudian keduanya diam, dan kamar itu jatuh dalam keheningan. Haelyn berpikir jika nenek ini memang baik dan ada sesuatu yang sepertinya menarik darinya. Dia tidak tahu, tapi tatapan nenek ini selalu teduh dan mengandung teka-teki, seolah kehidupannya saat ini bukanlah kehidupan awal yang dia jalani.
“Apakah Obasan juga seorang nona muda pada awalnya?”
Nenek itu tidak menjawab, dia merebahkan tubuh rentanya kemudian berbalik memunggungi Haelyn dengan selimut menutupi tubuhnya.
“Ya,” jawabnya kemudian. “Itu hanya masa lalu, dan tak perlu dibahas.”
“Oh, oke,” balas Haelyn. “Omong-omong, namaku Haelyn Brier dari Irlandia. Siapa nama nenek? Kita belum berkenalan sejak bertemu.”
“Sanaye Kotatsu.”
Haelyn mengerutkan dahi menatap punggung nenek yang sudah agak membungkuk. Dia seperti pernah mendengar nama ini sebelumnya, tapi di mana dan kapan tidak pasti. Ingatannya yang selalu kacau membuatnya mudah melupakan orang lain.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Tidak,” jawab nenek Sanaye singkat.
Karena tak ingin terus bertanya, Haelyn pun segera tidur untuk menghindari si nenek teringat akan mewawancarainya. Keadaan pun jatuh dalam keheningan dengan suara gemerisik dedaunan di atas rumput dan dahan-dahan yang bergesekan di luar.
🎎🎎🎎
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
