EMIR WANT TO MARRY ME - BAB 6 (FREE)

37
7
Deskripsi

(ADULT ROMANCE 20+)

 

Blurb: Kaia adalah seorang dokter tanpa yang mengabdikan dirinya di pulau kecil di Yunani, bertemu dengan seorang pria misterius yang mengetuk piuntu kliniknya pada tengah malam karena terluka.

pertemuan mereka telah membuka pintu takdir dan jalinan takdir yang tak terduga, tentang identitas sesungguhnya pria itu yang merupakan seorang Emir!

post-image-6629d5e956cdb.jpg
Visual Kaia
post-image-6629d6049a0f6.jpg
Visual Aysar

Setelah sarapan Kaia membawa Aysar untuk berjalan-jalan di sekitar. Pantai melintang di sepanjang tepi pulau, dengan dilingkupi oleh tebing-tebing batu yang tinggi. Matahari semakin naik dan sinarnya kian terik, memberikan kemilau pada permukaan laut hingga terlihat menyilaukan. Angin pantai berembus, menggoyangkan pucuk-pucuk pohon kelapa, dan ombak kecil naik ke pantai dengan membawa buih-buih bergelombang.

Di sisi lain pantai ada jembatan dermaga untuk kapal berlabuh, dan Kaia membawa Aysar berjalan-jalan di tepi pantai.

“Di area sana biasanya orang-orang melakukan diving,” kata Kaia sambil menunjuk ke perahu yang mengangkut para turis yang datang untuk diving. “Pemandangan di bawah laut sana sangat cantik.”

Aysar menatap ke kejauhan, kemudian menatap kembali ke wajah Kaia. Dengan mengenakan blus dan celana longgar, rambut hitamnya yang dikuncir kuda, Kaia terlihat jauh lebih muda dan jauh dari kesan seorang dokter. Dia masih terlihat penyendiri, dan ketika angin pantai berembus menerbangkan rambut-rambutnya, di bawah sinar matahari pagi, kulit Kaia yang eksotis pun semakin terlihat indah.

“Hm, memang cantik,” balas Aysar setelah beberapa saat.

Kaia menoleh, memandang ke kejauhan dengan mata memicing karena silau. Begitu dia menoleh pada Aysar, lagi-lagi pandangan mereka bertaut. Aysar memandang Kaia dengan lekat, pada mata birunya yang kelam.

“Kau ingin berenang atau berjemur?”

Aysar nampak berpikir sejenak. “Di negeriku sudah cukup panas, jadi aku tidak perlu berjemur lagi. Mungkin hanya berjalan-jalan biasa.”

Kaia hampir lupa jika Aysar berasal dari negeri yang nyaris dikelilingi oleh gurun pasir. Dia pun mengangguk paham dan menuntun Aysar untuk bernaung di bawah pohon kelapa.

“Tunggu di sini,” kata Kaia seraya berjalan pergi.

Aysar menatap punggung kecil Kaia yang berjalan menjauh, lalu duduk di atas pasir putih di bawah pohon kelapa. Tak lama Kaia kembali dengan membawa dua buah kelapa hijau di tangannya, dia mengacungkan dua kelapa yang sudah dikupas dan dibuka atasnya.

Setelah memberikan satu kelapa pada Aysar, Kaia duduk di sampingnya tanpa alas. Mereka sama-sama menghadap ke pantai, dengan angin pantai membelai keduanya.

“Kau suka gurun pasir?” tanya Aysar tiba-tiba.

“Suka.”

“Kau ingin tinggal di negeri yang memiliki gurun pasir?”

Kaia menoleh, menatap Aysar dengan agak curiga. “Aku pernah tinggal di Timur tengah.”

“Bagaimana jika aku ingin mengajakmu tinggal lagi di negeri yang memiliki gurun pasir?” Aysar bertanya, dengan nada yang terdengar santai dan tenang. Dia mengubah posisinya, duduk dengan kedua tangan bertumpu ke pasir di belakangnya.

Kaia nyaris tersedak air kelapa ketika mendengarnya. Dia menatap hamparan laut di hadapannya dan menerawang jauh. Dia teringat pada pembangunan rumah sakit secara tiba-tiba. “Apa kau donatur itu?”

Keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka setelah Kaia mengatakan hal itu. Aysar tidak menjawabnya, dan Kaia sudah memahami satu hal. Sejak kedatangan Aysar untuk pertama kalinya, pria itu mengajaknya untuk ikut dengannya. Tiba-tiba ada orang yang ingin membangun rumah sakit di pulau ini, dengan catatan bahwa Kaia harus setuju. Orang-orang dari negeri asing sebagai perwakilan datang, bersamaan dengan kemunculan kembali Aysar di hadapannya.

Hal yang penting juga, satu bulan lalu Aysar pergi bersamaan dengan kapal penyelamat angkatan laut yang datang menjemput seseorang. Orang itu jelas bukan orang biasa, dan jawaban dia ada di sini. Jika dia menggabungkan garis-garis itu, dan mendapat kesimpulan ini.

“Hm, itu aku,” jawab Aysar tanpa tedeng aling-aling. Dia menatap Kaia dengan lebih dalam dan serius. “Jika kau mempertimbangkannya, aku akan membangun rumah sakit di pulau ini.”

“Kenapa? Apa alasanmu?” tanya Kaia.

Aysar menatap Kaia lekat-lekat, kemudian tersenyum dengan begitu menawan. “Aku hanya ingin membawamu bersamaku. Jika di pulau ini ada dokter lain, kau tidak perlu cemas lagi bahwa di sini tak ada dokter.”

Alasan Aysar jelas tidak berdasar, tapi itu cukup untuk membangkitkan harapan semu dan ketakutan dalam diri Kaia. Namun setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar begitu menjanjikan, diucapkan dengan kalimat yang tertutur dan rapi. Dia berbicara dengan santai, tapi ada sedikit sentuhan keanggunan seorang bangsawan.

Entah mengapa, Kaia bisa merasakannya, meski Aysar seperti menyembunyikannya dengan rapi.

Kaia berusaha memasang wajah tenangnya seolah tak tergugah, kemudian bertanya, “Apa kau membutuhkan dokter pribadi?”

Aysar memandangnya dengan senyum tergantung geli. “Aku membutuhkan teman hidup.”

“Uhuk!” Kaia tersedak untuk kali ini, jadi dia menyingkirkan kelapanya. Dia berdeham, memandang ke pantai alih-alih memandang wajah Aysar. Matanya yang bergerak tak menentu jelas menandakan bahwa dia terlihat gugup dan canggung.

Suara tawa Aysar mengalun di sampingnya. “Apa tidak ada wanita di negerimu? Dengan penampilan dan kekayaanmu, tidak ada wanita yang akan menolakmu.”

Tidak mau menyerah, Aysar tetap menggoda Kaia dengan kata-kata yang dipenuhi oleh lapisan madu. “Bagaimana denganmu? Apa kau juga tidak akan menolakku?”

Kaia agak terkejut, dengan bujukan pria ini. Dia menoleh, menatap Aysar dengan lekat-lekat. Keheningan kembali tercipta, seakan menciptakan jurang tak kasat mata diantara mereka. Kaia menyadari bahwa dunianya dan dunia Aysar sangat berbeda, apakah mungkin dia boleh mengharapkan pria seperti ini?

Ketika Kaia hendak menjawab, tiba-tiba suara dering panggilan memecah keheningan. Suara itu berasal dari ponsel Aysar, dan pria itu segera bangun dan menjauh untuk menjawab panggilannya.

Kaia memandang punggung Aysar yang berjalan ke arah tepi pantai, berdiri di sana dengan satu tangan memegang ponsel di telinganya. Entah apa yang Aysar bicarakan, Kaia tidak ingin tahu. Dia hanya memandang Aysar dengan senyum tergantung di bibirnya.

Sejak mereka bertemu, entah mengapa dia merasakan seutas benang takdir yang dibawa pria itu, lalu ditinggalkan di hidupnya, dan ketika pria itu datang kembali benang itu seolah ditarik lagi yang menghubungkan pertemuan keduanya.

Aysar berdiri di tepi pantai, di bawah sinar matahari dengan kemilau permukaan air laut. Sosoknya seolah menyatu dengan keindahan pantai, diselimuti oleh aura yang tak biasa.

Saat Aysar menyudahi panggilannya, dia kembali dan Kaia berpura-pura tak memperhatikannya dengan kembali menyedot air kelapa. Dia memandang ke arah lain, dengan mata menyipit.

Aysar duduk di samping Kaia, dengan beralaskan pasir putih lembut. Dia duduk bersila, menatap Kaia dengan lekat. Embusan angin pantai berbisik di telinga keduanya, seolah membawa bisikan cinta yang sendu, membujuk mereka untuk menghancurkan batasan diantara keduanya.

“Aku jatuh cinta pada seorang gadis,” kata Aysar tiba-tiba.

Kaia mengangkat wajahnya hingga pandangan keduanya bertaut. Ada kerutan samar kebingungan di wajahnya––entah mengapa Aysar mengatakan hal itu padanya. Dia menaikkan kedua lututnya, memeluk dengan kedua tangannya kemudian menaruh pipinya di atas lututnya dengan wajah menghadap ke Aysar––bersiap mendengar pria itu bercerita.

Senyum samar kembali tercipta di bibir Aysar ketika Kaia siap mendengarkan. “Tapi aku harus menikahi gadis lain,” lanjutnya. “Menurutmu, aku harus bagaimana?”

Masih memeluk kedua lututnya, Kaia menjawab, “Keputusan apa pun yang kau ambil, tidak akan ada yang menentangnya. Siapa pun yang kau nikahi, tidak ada hubungannya denganku.”

“Ada,” kata Aysar tanpa diduga.

Kaia mengangkat kepalanya, menatap Aysar dengan alis berkerut samar. “Ada? Kenapa?”

“Karena ...” Aysar menggantung ucapannya dengan sengaja, dihiasi senyum jahil tergantung di ujung bibirnya.

“Karena apa?” tanya Kaia yang masih penasaran. 

Enti yalli uhibbu, ya rouhi.”

Kerutan alis Kaia masih terajut, dan Aysar mengulurkan tangannya ke wajah Kaia untuk kemudian menekan alisnya dan meluruskannya agar tak lagi berkerut.

“Boleh aku mencari artinya di internet?” tanya Kaia.

Suara tawa lembut Aysar terdengar. “Kau akan kehilangan keseruannya jika mencari artinya di internet.”

“Kau mengatakan bahasa asing pada seseorang yang tidak mengerti, tujuanmu untuk membuat orang itu mengerti atau tidak?”

“Keduanya,” jawab Aysar praktis.

Kaia mengubah posisinya menjadi duduk bersila. Dia memandang Aysar dengan serius lalu membalas, “Aku tahu artinya. Jadi, berhenti merayuku.”

Senyum di wajah Aysar digantikan dengan ekspresi yang lebih serius. Ketika angin berembus, rambutnya bergoyang, yang membuatnya terlihat lebih tampan. “Aku masih ingin membawamu bersamaku.”

“Ada gadis yang akan kau nikahi. Jika aku ikut denganmu, aku hanya akan menjadi racun diantara kalian.”

“Aku sudah teracuni sejak awal.”

Kaia hanya membatin, heh! Yang benar saja.

Aysar masih memandang Kaia, mengulurkan satu tangan dan membelai pipinya. Rasa hangat dari sentuhan tangan besar pria itu membuat Kaia terkejut sekaligus terbuai. Dia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya, karena selalu hidup sendiri.

“Bulan depan aku akan menikahi gadis lain di negeriku, tapi hatiku masih tertinggal di sini.”

Kaia balas menatap Aysar dalam diam.

“Apa kau mau mengantarkannya kembali ke negeriku?” lanjut Aysar.

Keheningan kembali menyelimuti mereka untuk sejenak, sampai Kaia memegang tangan Aysar di pipinya dengan senyum terkembang.

“Kenapa tidak kau bawa saat kembali nanti?”

“Karena ...” Aysar kembali menggantung ucapannya, dan Kaia menantikannya dengan sabar. “Karna aku tidak mau membawanya bersamaku. Aku ingin kau mengantarkannya untukku.”

Kaia melepaskan tangan Aysar dari wajahnya, berbalik menghindari tatapan pria itu menghadap kembali ke pantai. Suara tawa Aysar mengalun di sampingnya yang terdengar lebih menyebalkan, karena bagaimana pun pria itu sangat senang menggodanya.

Hari itu mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekitar pulau, mengajak Aysar untuk bermain di pantai, kemudian pergi ke restoran seafood. Setelah makan siang, mereka pergi menyewa mobil pick up milik warga, dengan Kaia yang menyetir dan mereka berkendara.

Kaia membawa Aysar melewati jalanan aspal yang setiap sisinya dipenuhi pepohonan, menaiki bukit, dan mereka berhenti di sisi jurang yang merupakan tebing batu dengan di bawahnya adalah lautan. Keduanya duduk di sisi jurang dengan sebuah batu besar, sama-sama menghadap ke laut dengan bermandikan cahaya senja.

Saat senja datang, matahari nyaris tenggelam dengan warna kemerahan dan bayangannya yang muncul di permukaan air yang bergelombang, seolah-olah itu adalah lautan api tak terbatas.

“Saat bosan, aku biasanya pergi ke sini untuk menikmati sunset, terkadang di atap rumahku,” kata Kaia.

Aysar menatap matahari yang nyaris tenggelam di lautan, kemudian memandang Kaia yang terlihat berkilauan di matanya. “Aku tidak pernah menyangka, pulau ini menyimpan keindahan yang langka.”

“Tidak langka juga. Tebing, pasir dan batu karangnya sama dengan pulau-pulau lain,” balas Kaia.

Satu tangan Aysar terulur ke kepala Kaia, kemudian membelainya dengan lembut. “Keindahan yang ada di sampingku yang langka.”

Kaia menahan napasnya sesaat ketika merasakan sentuhan lembut tangan Aysar di kepalanya, diiringi dengan perkataan pria itu. Dia menoleh, memandang Aysar dengan ekspresi tak menentu.

Langit memerah, kilauan di permukaan laut kian surut, dan matahari nyaris ditenggelamkan lautan, dan saat itu juga jarak diantara keduanya kian menipis. Aysar membelai belakang kepala Kaia, menariknya mendekat dengan wajahnya sendiri yang semakin mendekat.

Sambil menahan napas, Kaia balas menatap Aysar hingga tatapan keduanya bertaut dengan simpul kuat. Jarak keduanya semakin terkikis, seperti matahari yang hanya tersisa sedikit. Perlahan, pergerakan bibir mereka lebih lambat daripada matahari, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meruntuhkan batasan yang membayangi mereka.

Matahari tenggelam, batas diantara mereka memudar, dan bibir keduanya bertemu, dengan begitu lembut dalam belaian yang manis bagai dilapisi madu.

Kaia memejamkan matanya, dengan kedua tangan terkepal di atas pahanya. Sedangkan Aysar memegang belakang kepalanya, dia menarik Kaia dan mencium bibirnya lebih dalam. Di bawah bayang-bayang sinar senja yang mulai memudar dan digantikan oleh langit malam, mereka berciuman seolah untuk yang terakhir kalinya.

 

 

🐪🐪🐪

 

Setelah menikmati matahari tenggelam, mereka kembali ke klinik Kaia saat gelap. Aysar berdiri di hadapan Kaia, masih memandangnya dengan kelembutan dan kehangatan yang nyata, meski pada akhirnya Kaia merasa itu hanyalah keinginan semunya semata.

“Aku tidak akan memaksamu lagi,” kata Aysar kemudian. Dia mengambil sebuah amplop cokelat kecil, lalu mengulurkannya pada Kaia.

Kaia menerima amplopnya, menatapnya sesaat kemudian beralih menatap wajah Aysar. “Apa kita akan bertemu lagi?”

Aysar hanya memberinya senyuman, tanpa memastikan apa pun. Hal itu jelas membuat hati Kaia gatal, dia ingin Aysar mengatakan ‘ya’ dan mereka akan bertemu lagi.

“Jika aku memintamu untuk ikut denganku sebagai seorang dokter, bagaimana?” Aysar memberikan penawaran lainnya.

Sebagai seorang dokter? Itu artinya Kaia akan bekerja di negerinya Aysar? Jika itu yang terjadi, maka dia harus meninggalkan pulau ini, dan warga setempat tidak akan memiliki dokter lagi.

“Jika yang kau cemaskan adalah pulau ini yang tidak memiliki dokter, maka aku akan membantu menghilangkan kecemasanmu.”

Perkataan Aysar sedikitnya memberikan angin segar pada hati Kaia. Dia mendongak, menatap pria itu dengan ekspresi menunggu.

Aysar masih menatapnya dengan kelembutan yang sama. “Aku akan meneruskan pembangunan rumah sakit di pulau ini. Mungkin membutuhkan waktu selama satu tahun. Enam bulan dari sekarang, akan ada seseorang yang datang menjemputmu. Jika kau ikut denganku sekarang, akan ada dokter dari Athena yang datang menggantikanmu di klinikmu ini.”

Pilihan yang tidak bisa Kaia putuskan dalam waktu singkat. Apakah dia bersedia meninggalkan pulau ini dan ikut dengan pria yang baru ditemuinya ini? Bagaimana jika Aysar adalah seorang penipu yang akan meninggalkan dan menelantarkannya?

Suara tawa Aysar terdengar saat dia bisa membaca wajah Kaia. “Aku tidak akan menelantarkanmu, ya Habibati.”

Kaia menatap Aysar dengan agak malu, kemudian berdeham. “Aku harus memikirkannya,” ucapnya. “Lagipula, kau akan segera menikah, kan?”

Aysar mengangguk tanpa ragu. “Jika kau bersedia ikut denganku sebagai dokter, aku ingin kau bekerja menjadi dokter pribadi di kediamanku. Ada seseorang yang harus kau rawat. Jika kau ...”

Aysar memiliki kebiasaan menggantung ucapannya, yang membuat Kaia gatal ingin mendengar kelanjutannya.

“Jika kau ingin menjadi teman hidupku, aku akan sangat bahagia.”

Kaia berdeham, menghilangkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, tapi hatinya bergetar dan senyumannya nyaris tercipta.

“Orang bilang, ujian sebelum menikah adalah kepercayaan. Jika kau jatuh cinta pada orang lain tepat sebelum menikah, dan merasa bahwa calon istrimu tak lagi bisa kau cintai, itu adalah ujianmu. Aku mungkin bukan wanita yang baik, tapi aku tidak ingin merusak cinta kalian.”

Sebuah senyuman yang jauh lebih hangat dan lembut muncul kembali di wajah Aysar, hingga matanya sedikit menyipit menyembunyikan mata hazelnya yang indah. “Aku semakin ingin memilikimu jika seperti ini. Bagaimana ini?”

Kaia mundur selangkah, menatap Aysar dengan ekspresi datar. “Aku tidak sanggup lagi meladeni candaanmu.”

Tawa Aysar mengalun renyah, melihat wajah Kaia yang malu dan canggung. Namun pria ini sama sekali tidak merasakan kecanggungan itu.

Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul di depan klinik, dan seorang pria muncul dari balik kemudi.

“Yang Mulia.” Pria itu memanggil Aysar dengan bahasa Arab. “Ada panggilan dari Alsyam.”

Kaia memerhatikan pria yang baru saja datang, dengan setelan jas rapi dan berwajah timur tengah. Pria itu berbicara sesaat dengan Aysar, dan ada kekhawatiran melintas sekilas di wajah Aysar. Kaia ingin tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dia bukan siapa-siapa untuk tahu urusan mereka.

Setelah berbicara dengan pria berjas, Aysar kembali menatap Kaia. Ia tersenyum pada Kaia, berdiri tepat beberapa jengkal di hadapannya. Tatapan keduanya bertaut, dengan Kaia yang mendongak sambil menelusuri tatapannya di wajah tampan Aysar.

“Setiap saat yang aku habiskan bersamamu sangat berkesan,” kata Aysar. “Aku harus pergi.”

Usai mengatakan hal itu, Aysar pun berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan Kaia tanpa menoleh sekali pun sampai dia masuk ke mobil. Kaia masih berdiri di tempatnya, menatap mobil sedan yang kian menjauh. Ada perasaan yang tak pasti di hatinya, seolah benang yang baru saja terjalin harus kembali terputus dan terkulai di dasar hatinya.

Kaia tidak tahu, kenapa dia ingin melihat lagi wajah Aysar, mendengar rayuan dan candaan pria itu, padahal mereka hanya dua orang asing yang baru dua kali bertemu. Terlebih, Aysar akan menjadi milik wanita lain.

Setelah diam sejenak, Kaia kembali ke kliniknya, mulai melepaskan pakaiannya dan membersihkan diri. Dia merasakan kesegaran setelah membersihkan diri, berdiri di depan wastafel sambil menatap wajah dan bibirnya.

Dia menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat dan meninggalkan jejak bibir panas Aysar di bibirnya. Dia masih bisa merasakan rasa dari ciuman itu, rasa dari bibir merah dan hangat pria itu.

Saat Kaia beranjak ke kamarnya bersiap untuk tidur, saat itu juga terdengar suara gemuruh helikopter melintas tepat di atas kediamannya. Kaia keluar dan melihat helikopter dengan lampu berkerlip-kerlip datang dari arah bukit di mana kantor walikota berada, terbang melintasi atap kliniknya menuju pantai dan terbang melintasi lautan hingga keberadaannya menjadi kecil.

Apakah itu Aysar? Pikirnya.

Kaia mengambil amplop cokelat kecil yang diberikan Aysar, membukanya dan menemukan sebuah kertas dengan tulisan tangan, juga satu lembar cek bank dengan nominal dua euro yang mereka sepakati di awal. Cek itu bisa dicairkan di bank Yunani, dan Kaia berniat akan pergi ke Athena untuk memasok obat-obatan dan alat medis.

Ada satu lembar kertas, dan Kaia pun membacanya.

Jika kita ditakdirkan untuk bertemu lagi, kau tidak bisa memutuskan benang takdir itu. Kaia ... kuharap, aku bisa melihatmu lagi.

Kaia mengulas senyumnya dengan rona kemerahan muncul di pipinya. Dia segera melipat kertas itu dan memasukan kembali cek bank-nya.

 

🐪🐪🐪

 

Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk teman-teman yang merayakannyaaa…

Maaf sekali babang Aysar baru muncul kembali saat ini, karna aku baru sempat. hehe…

Semoga kalian masih suka yaaa sama ceritanya…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya EMIR WANT TO MARRY ME - BAB 7 (FREE)
31
5
(ADULT ROMANCE 20+) Blurb: Sheikh Aysar kembali ke pulau kecil tempat tinggal Kaia. Untuk kali ini, apakah Kaia menerima permintaa sang Sheikh untuk ikut bersamanya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan