Damn! He's My Husband - Part 7 (FREE)

24
3
Deskripsi

(Romance-comedy 18+)

Luan dan Lara telah tiba di Madrid, tapi tragedi cokelat yang terinjak telah membawa huru-hara dalam hubungan mereka!

Madrid, Spanyol

Pada pukul 15.00 waktu Madrid, The Blues telah sampai di kota Madrid setelah melakukan penerbangan selama 2,5 jam. Madrid memiliki waktu satu jam lebih cepat dari London, sehingga mereka tiba pada pukul 15.00 waktu Madrid. Setelah melakukan semua pemeriksaan di bandara, mereka dijemput oleh bis yang akan mengantarkan mereka ke hotel yang sudah disediakan.

Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, Lara terus memperhatikan ke luar jendela dengan begitu tenang. Wajahnya berbinar takjub memandang semua pemandangan indah yang dilihatnya, terutama restoran-restoran dengan bangun yang khas dan klasik yang pastinya menyajikan makanan-makanan khas Spanyol yang menggugah lidahnya. Ia mengusap perutnya dengan pelan, membayangkan makanan Spanyol yang masuk ke mulutnya.

Bis besar itu membawa dua puluh pemain Chelsea F.C beserta dengan pelatih, asisten pelatih, manager dan beberapa staf lainnya yang mengurus semua keperluan tim. Lara sendiri bergabung dengan para staf, meski dia bukan staf resmi tim. Bis itu melaju di jalanan kota Madrid, memberikan pemandangan kota Madrid yang khas dengan panorama yang indah di bawah langit cerah musim semi. Jalanannya begitu ramai oleh kendaraan-kendaraan, dan para pejalan kaki di setiap trotoar. Kota Madrid yang merupakan kota metropolitan modern terkenal dengan kekhasannya yang seperti kota di abad pertengahan, dengan bangunan-bangunan khas yang sangat erat kaitannya dengan keluarga Kerajaan.

Bis yang membawa semua tim dan para staf pun berhenti di depan sebuah bangunan hotel yang sangat besar dan mewah, memiliki lima belas lantai dengan kolam renang rooftop. Bangunannya sangat luas dan khas, dengan jendela-jendela dan balkon yang memiliki pilar memutar.

Para pemain The Blues turun dari bis terlebih dahulu, disusul oleh para staf. Para staf hotel sudah berbaris menyambut tamu istimewa mereka, sedangkan di sisi kiri dan kanan bis ada banyak media dan reporter yang tak hentinya memburu potret dan berita tentang kedatangan para pemain Chelsea F.C. Lara yang melihat betapa ramainya tempat ini oleh media, merasa bahwa semua pemain sepakbola tak berbeda dari selebritis yang juga tak lepas dari sorotan media. Memikirkan bahwa pernikahannya dengan Luan tertutup, apa yang akan terjadi jika diketahui oleh media? Mungkin dia akan diburu media sehingga tak memiliki hidup damai untuk bermain game dan berburu makanan.

Saat hendak turun dan melangkahkan kakinya, tiba-tiba tubuhnya kehilangan keseimbangan dan seseorang seperti mendorongnya dari belakang. Lara tentu terkejut dan nyaris melayang dari pintu bis yang tinggi ke tanah. Dia berusaha menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lebih dulu terjatuh. Belum sempat wajahnya mencapai tanah, dan semua orang menahan napas melihatnya, seseorang sudah meraih perutnya dan menarikanya ke atas.

Dengan jantungnya yang berkejaran, dan seakan merosot ke perutnya, Lara menatap tanah beraspal itu dengan pucat membayangkan wajahnya mungkin babak belur jika menghantam itu.

“Kau harus hati-hati.” Suara seseorang terdengar dalam dan serak.

Lara yang merasa rohnya masih belum berkumpul semua, hanya menoleh dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia berdiri kembali dan menoleh ke belakang, tapi sudah tak ada siapa pun di dalam bis selain dirinya. Ia yakin ada seseorang yang mendorongnya dari belakang, tapi entah siapa, dia tak tahu. Semua pemain sudah turun, yang tersisa hanya beberapa staf yang mengurus tim saja.

“Jangan tinggalkan sisiku.”

Lara kembali menoleh dan menemukan wajah Luan begitu dingin dan berkali lipat lebih dingin dari biasanya. Tangannya masih mencengkeram pinggul Lara, membuat beberapa orang melihat mereka dan media tak lupa memotret mereka.

“Lara, kau tidak apa-apa?” Diaz tiba-tiba datang dan bertanya pada Lara, seakan dia sudah begitu akrab dengannya.

Lara menggeleng pelan dan menjawab, “Tidak apa-apa. Tadi seperti ada seseorang yang mendorongku.”

Diaz menaikkan kedua alisnya, dengan serius menatap Lara. “Benarkah? Yang turun belakangan hanya beberapa staf, siapa yang mendorongmu?”

Lara menggeleng lagi dengan wajah cemberut. “Tidak tahu.”

“Tidak ada yang mendorongnya.” Luan tiba-tiba memotong pembicaraan Diaz dan Lara.

“Aku serius, ada yang mendorongku, Luan.” Lara tak mau menyerah dengan pemikirannya. Dia jelas merasakan ada sebuah tangan yang mendorong punggungnya dari belakang, tapi mungkin tak akan ada yang percaya.

“Kau jelas terlalu bersemangat untuk makan. Tidak sadar kakimu tersandung,” balas Luan lagi.

Lara semakin cemberut dengan bibir mencebik. “Oh,” balasnya dengan singkat.

“Ayo kita masuk.” Diaz mendekati Lara dan menepuk bahunya kemudian mengajaknya untuk masuk.

Lara pun hanya mengangguk masih dengan wajah cemberut, dia tak mau lagi memikirkan siapa yang mendorongnya dari belakang.

“Kau pernah ke Madrid?” tanya Diaz, dengan akrab.

“Pernah. Dua tahun lalu Ayahku ke Madrid bersama timnya, dia pelatih klub junior di Manchester, jadi aku juga ikut,” jawab Lara, seketika pikirannya teralihkan.

“Kau menonton pertandingan?”

Lara menggeleng cepat. “Tidak. Aku berburu kuliner. Masakan khas Spanyol sangat enak, aku masih belum puas tapi Ayahku hanya dua hari di sini, jadi kami segera pulang paginya.”

“Di hotel ini ada restoran yang masakannya sangat enak, ada kolam renang rooftop juga. Bagaimana jika––” Ucapan Diaz tiba-tiba terhenti.

Lara menunggu Diaz meneruskannya, dengan wajah berbinar mendengar ada restoran dengan masakan yang enak. Dia tak menyadari bahwa Diaz diam karena ada tangan besar dan kokoh yang mencengkeram bahunya dengan erat-erat, seakan kuku-kuku dari jari kokoh itu akan menancap di bahunya.

“Dia, asistenku,” ujar Luan dengan nada nadar.

Diaz berbalik dan menatap Luan dengan cengiran. “Aku lupa, dia asistenmu,” katanya pada Luan, kemudian berbalik pada Lara sambil tersenyum manis. “Lara, aku masuk duluan.”

Dengan kecepatan kilat, Diaz menghilang dari hadapan mereka dan segera masuk ke lift. Lara yang tak mengerti pun hanya menatapnya sambil mengerjapkan mata. Saat melangkahkan kakinya hendak menyusul Diaz, Luan menarik tangannya dari belakang dan memberikannya gagang koper beserta tasnya.

“Kenapa aku lagi?” protes Lara dengan wajah kembali cemberut.

Luan menatapnya dengan datar, mengeluarkan sebatang cokelat dari kantung jaketnya dan menunjukkannya tepat di depan wajah Lara yang segera diam dan mengambilnya. Tanpa membantah lagi, Lara menarik kopernya dan menyampirkan tasnya kemudian berjalan mendahului Luan menuju lift.

Lift berdenting terbuka dalam keadaan kosong, Lara segera masuk disusul oleh Luan. Setelah hanya ada mereka berdua, Lara mulai membuka bungkus cokelatnya dan menggigitnya, dia tersenyum dengan gembira ketika rasa manisnya cokelat meleleh di mulutnya. Luan yang ada di sampingnya tak mengalihkan pandangan, terus menatap wajah Lara yang sedang mengunyah.

Sesaat mata tajam Luan melirik angka di atas pintu lift yang menunjukan lantai dua, dan tersisa empat lantai lagi sampai mereka tiba di lantai kamar mereka. Dia pun mendekati Lara, meraih cokelatnya dan menggigitnya, membuat Lara memelototkan matanya saat makanannya dirampas.

“Luan!”

Sepotong cokelat di bibir Luan, dan tanpa menunggu lagi Lara segera menerjang tubuh Luan hingga mundur ke belakang dan membentur dinding lift. Dia mengaitkan kedua tangannya di bahu Luan, merebut sepotong cokelat di bibir Luan dengan bibirnya. Luan yang merasa Lara kembali terpancing pun hanya menyeringai dengan misterius. Mereka saling berebutan cokelat di bibir masing-masing, sebelum cokelat itu sepenuhnya meleleh di mulut Luan.

Lara semakin menekan bibirnya, dan lidah Luan menekan lidahnya. Ketika Lara hendak menarik bibirnya, Luan justru menyesap bibirnya membuat ciuman mereka semakin dalam. Atmosfir di dalam lift berubah menjadi panas dan menyesakkan. Luan melepaskan bibir Lara, menatap wajah Lara yang merah. Mata tajamnya menemukan setitik cokelat di bibir Lara kemudian menjilatnya.

Ting! Pintu lift berdenting dan terbuka di lantai lima, kemudian seorang staf hotel hendak masuk tapi bertahan sesaat ketika melihat Lara dan Luan berhadapan. Luan menarik tubuhnya dan menyandarkannya di dinding lift dengan kedua tangan terlipat. Ada cokelat di bibirnya, dan staf hotel menatapnya sekilas, kemudian menatap cokelat di tangan Lara. Yang memegang cokelat Lara, tapi yang memiliki noda di bibir adalah Luan, mungkin mereka baru saja saling menyuapi, pikir staf itu.

Tiba di lantai enam, Luan berjalan terlebih dahulu sedangkan Lara mengikuti di belakang dengan sebelah tangan memegang cokelat dan satu lagi menggeret koper. Sepanjang koridor menuju kamar mereka masing-masing, Luan tak menoleh sama sekali. Kamar-kamar di lantai enam dihuni oleh semua orang dalam tim. Luan berhenti di depan pintu bertuliskan ‘2201’ kemudian membuka kuncinya dengan kartu.

“Apa aku akan tidur di sini?” tanya Lara.

“Di kamar sebelah,” jawab Luan seraya masuk.

“Lalu, di mana kartunya?”

Luan kembali pada Lara, menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan kemudian menarik tangan Lara untuk masuk beserta kopernya. Dia menutup pintu dengan segera, menjatuhkan tas di pundak Lara. Kepalanya merunduk dan memerangkap tubuh Lara di pintu, membuat Lara harus mendongakkan kepalanya dengan wajah bingung.

“Kau sedang apa?” tanya Lara.

“Memakanmu.”

Ketika kepala Luan semakin merunduk, Lara dengan segera menahan wajahnya dengan sebelah tangannya. “Aku bukan makanan.”

“Tapi aku ingin memakanmu,” balas Luan. Dia semakin merunduk, menyingkirkan tangan Lara dari wajahnya dan merebut cokelat dari tangan satunya kemudian menjejalkannya ke mulut Lara hingga ia berhenti protes.

Luan segera menyerang bibirnya hingga setengah dari cokelatnya terjatuh ke lantai. Mereka kembali berciuman, kedua tangan Lara memegang pundak Luan dengan punggung bersandar di pintu, sedangkan kedua tangan Luan menahan punggung bawah Lara agar merapat ke tubuhnya.

Ketika mereka berbagi ciuman manis dengan rasa cokelat, bunyi ‘plop’ terdengar dari bawah. Lara yang mendengarnya segera menjauhkan wajah Luan dari wajahnya. Luan yang hendak menciumnya kembali pun terhenti saat Lara mendorong kembali wajahnya. Mereka sama-sama menoleh ke bawah, dalam sekejap wajah Lara berubah cemberut dan mendung, dengan bibir bergetar karena cokelatnya yang masih banyak diinjak oleh sepatu Luan.

Luan yang menyadari bahwa ‘senjata’nya telah ‘musnah’ pun segera mundur dan menatap wajah Lara yang semakin cemberut dan akan memakan usaha untuk membujuknya kembali.

“Kau ... kau menginjaknya,” katanya dengan bibir mencebik. Dengan penuh dramatis, Lara meraih cokelatnya yang sudah hancur dan kotor, kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Dalam diam, dia masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya beserta bibirnya yang berlepotan oleh cokelat. Ia kembali masuk ke kamar, mengabaikan Luan yang sudah duduk di tepi ranjang menunggunya.

“Aku akan memesan makanan untukmu,” kata Luan, dengan nada datar.

Lara mengabaikannya, berjalan ke pintu untuk mengambil koper dan tas, kemudian membawanya ke kabinet kecil dan menaruhnya. Ketika Luan mendekat ke arahnya, Lara kembali berjalan ke arah sofa membawa tas olahraga yang cukup besar itu. Mengeluarkan semua isinya, yang berupa sepatu sepakbola dan peralatan olahraga Luan yang lainnya. Temperamen Lara sudah sangat dihapal oleh Luan, dia begitu mudah cemberut dan juga mudah berubah senang. Suara langkah berat kembali mendekat ke arahnya, dan Lara kembali bangun membawa tas olahraga itu ke kabinet tadi, lalu memasukan semua barang-barangnya ke laci kabinet.

“Kau bisa pesan sepuasmu,” kata Luan lagi, yang kini memilih duduk di sofa dengan tenang.

Lara hanya sibuk mengeluarkan barang-barangnya dari kabinet, lalu memasukannya lagi dan merapikannya lagi. Ketika ada baju terlipat sedikit dia mengeluarkannya, dan memasukkannya lagi hingga pekerjaannya terlihat sangat sibuk. Dia membalik-balikkan posisi sepatu sepakbola Luan, terkadang menghadap ke luar, terkadang menghadap ke dalam.

Luan yang masih duduk pun tetap tenang, menyaksikan semua pekerjaan Lara yang hanya mengurusi itu-itu saja. Tidak kreatif sama sekali, pikir Luan.

“Aku akan pergi sampai sore, kau bisa makan sepuasnya di sini.”

Lara masih bergeming. Dia meraih jaket di dalam koper, kemudian merapikannya dan memasukkannya ke kabinet.

“Aku akan memesankan cokelat untukmu juga.”

Lara mengambil kembali jaket itu, merapikan lipatan kecilnya kemudian memasukkannya lagi, menghadap ke arah atas.

“Aku akan jalan-jalan malam setelah pulang latihan,” ujar Luan lagi, masih dengan nada dan wajah datar.

Lara masih sibuk, mengambil celana panjang Luan kemudian menaruhnya di atas jaket. Ketika merasa bahwa posisinya terbalik, dia mengambil jaketnya dan menaruh celananya di bawah dan jaket di atas.

Luan berhenti berbicara, menunggu sampai Lara bosan dengan pekerjaannya yang sungguh tidak kreatif sama sekali. Sesuai dugaannya, Lara meninggalkan pekerjaannya dan pakaian mereka berserakan di lantai dekat kabinet tanpa memasukkannya. Kemudian beralih ke ranjang dan berbalik, membelakangi Luan.

Setelah Lara berbaring, Luan beralih ke kabinet dan memasukkan semua pakaian mereka seadanya agar tidak lagi berantakan. Dia meraih gagang telepon dan menghubungi pihak hotel untuk memesan makanan.

“Bawakan Tortilla Espanola, Churros, cappuccino, lemon tea, puding kacang merah, Empenadas, dan beberapa makanan ringan lainnya, antar ke kamar 2201.” Luan memesan beberapa makanan untuk Lara, mendengarkan staf hotel berbicara padanya sesaat. “Ya, masukan ke tagihan pribadi.”

Setelah menutup panggilan dan menaruh telepon di meja, dia berjalan ke ranjang tapi Lara masih berbaring membelakanginya. Ketika hendak menyentuhnya, Lara beringsut ke sisi lain dan menjauh.

Lara mendengar apa yang Luan katakan pada pihak hotel, dia tidak terlalu hapal nama-nama makanan Spanyol, tapi dia tahu bahwa yang Luan pesan pasti makanan enak. Perutnya tiba-tiba bergemuruh dan wajahnya berubah merah menahan senyum, tapi dia masih sebal pada Luan. Wajahnya masih cemberut, menatap langit Madrid yang beranjak sore dan mulai kekuningan.

Tiba-tiba sebuah benda pipih dan kotak berwarna hitam muncul di hadapannya, dia mengejapkan matanya sesaat dan bangun, berbalik untuk menatap Luan yang juga sedang menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi sambil memegang black card.

“Gunakan ini,” katanya.

“Aku tidak mau bicara denganmu,” balasnya kembali berbalik.

Luan masih menatapnya datar seraya membalas, “Oke.”

Lara merasa Luan tidak lagi membujuknya, dia pun segera berbalik dan merebut kartunya kemudian beringsut mendekat. Matanya memincing dengan curiga. “Kau menyogokku ya?”

Bukankah selama ini aku selalu menyogokmu? Pikir Luan.

“Kau bisa membeli skin game sebanyak yang kau mau, upgrade ke level tertinggi, top-up akunmu dan memesan makanan sepuasmu dengan itu,” ujar Luan.

Meski wajah Luan sangat datar, seperti tak ada jalan menanjak dan menurun sedikit pun, tapi kata-katanya cukup mengandung racun yang kuat untuk Lara. Wajah cemberut dengan bibir mencebiknya berubah seketika. Senyuman lebar terpasang di wajahnya, dengan mata berbinar jernih. Dengan tangannya, Lara beringsut di ranjang mendekati Luan.

“Kau pasti mau aku buka baju lagi, ya kan?” kata Lara, sambil mencolek hidung mancung Luan.

Sebelum Luan bereaksi apa pun Lara sudah melepaskan dress-nya dan melemparkannya ke kasur. Dia duduk dengan kaki rapat, menatap Luan dengan mata mengerjap beberapa kali dan wajah berbinar senang. Sinar matahari senja yang masuk ke kamar mereka melalui jendela pun menyinari sebagian ruangan, dan mengirimkan siluet oranye yang indah di kulit pucat Lara yang terbuka karena hanya mengenakan bralette hitam dengan rambut panjangnya yang tergerai di punggung.

Luan masih belum berekspresi, dia mengetuk dahi lara dengan jarinya kemudian bangun dan berjalan ke pintu. “Aku akan pergi menemui Coach. Kenakan kembali pakaianmu.”

“Oke!” balas Lara dengan tangan di dahi membentuk gerakan hormat. Ia pun meraih kembali pakaiannya dan mengenakannya.

Setelah Luan keluar dari kamar itu, Lara melompat dari ranjang untuk meraih ponselnya di tas, kemudian membuka aplikasi berbayar dan melakukan sesuatu pada Liang Xia, top-up akunnya, dan membeli beberapa barang di London melalui online.

“Liang Xia, kita tidak akan kalah lagi! Kau sudah upgarde ke level tertinggi. Hahaha!” Lara tertawa dengan senang sambil mengutak-atik ponselnya.

Dia pun mengirimkan pesan pada Angela.

Lara: Angela sahabatku tersayang, yang paling mengerti aku, tolong tengok Moymoy. Pastikan dia makan, dan bawa dia ke rumahmu ya. Pulang dari Madrid, akan kubelikan kau oleh-oleh. Pass code pintunya masih sama.

Tak berapa lama Angela membalas pesannya.

Angela: Lara Jeshlyn sahabatku yang paling manja, yang selalu membuatku hipertensi, aku akan membawa Moymoy. Baik-baik di sana, jangan dulu bawa pulang keponakan untukku, aku masih belum bisa membayangkan Luan Diego si pesepakbola bergaji enam digit mengurus dua bayi!

Lara: Thank you so much, Angela sahabatku tersayang, yang selalu mengerti aku. Aku menyayangimu, ketika kau selalu membelikanku makanan.

Angela: Sama-sama, Lara Jeshlyn sahabatku tersayang, yang selalu membuatku hipertensi. Aku ingin menggelamkanmu di segitiga bermuda jika kau cemberut dan merengek.

Lara tertawa pelan membaca pesan Angela, dia pun kembali membalasnya.

Lara: Kau manis sekali, tidak seperti suamiku yang selalu datar.

Angela: Haha! Kau juga menggemaskan sekali, sampai aku selalu ingin menendangmu ke kutub.

Lara terus membalasnya, dan Angela juga terus membalasnya, mereka berkirim pesan dengan isi pesan yang sungguh tidak kreatif. Sampai Lara merasa lelah, tapi seseorang mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan bahwa itu layanan kamar yang membawa makanan. Lara pun beringsut membuka pintu dan menemukan seorang pelayan mendorong troli yang membawa makanan yang cukup banyak.

Setelah pelayan hotel menghidangkannya di meja, Lara mengambil gambarnya dan mengirimkannya pada Angela.

Angela: Jangan pamer.

Lara: Luan yang memesannya.

Angela: Masa bodo.

⚽⚽⚽

Ruangan besar itu terdapat kursi-kursi yang berbaris dengan para pemain Chelsea F.C yang duduk dengan santai mendengarkan seorang coach yang ada di mereka menjelaskan tentang strategi permainan mereka untuk laga tandang di babak enam belas besar Liga Champion Eropa musim ini. Tim mereka berhasil lolos ke enam belas besar setelah memimpin grup C di babak kualifikasi grup, lolos bersama dengan Liverpool dan Manchester City yang sama-sama perwakilan dari Inggris.

Coach mereka menjelaskan strategi tim mereka dengan proyektor yang menampilkan strategi-strategi bermain di lapangan. Kali ini lawan mereka Atletico Madrid, di mana merupakan juara bertahan Liga Champion Eropa musim lalu.

Luan duduk di barisan paling depan, memperhatikan Coach menjelaskan, dengan Diaz yang duduk di sampingnya.

“Pertandingan kali ini kita akan menggunakan formasi 4-3-3, mereka kemungkinan menggunakan formasi 4-4-2, kita akan memperkuat lini depan untuk menyerang. Salah satu penyerang terbaik lawan dalam keadaan rehat karena cidera, kemungkinan mereka akan memperkuat lini tengah dan belakang.”

Coach terus menjelaskan, dan semua pemain tetap mendengarkan. Beberapa kali terjadi diskusi antar pemain dan coach, membahas peluang-peluang apa saja yang akan mereka dapatkan di laga tandang kali ini.

Luan hendak berbicara ketika ponselnya bergetar di kantung jaketnya, dia membukanya dan membaca satu pesan berupa informasi pembayaran hari ini. Tujuh ribu dolar telah dihabiskan untuk membayar tagihan game, pembelian Apple Mac Pro, keyboard dan mouse game, beserta alat-alat game dan makanan kucing melalui online untuk pembelian di London.

“Tujuh ribu dolar?” gumam Diaz.

Luan menoleh dengan wajah dingin, membuat Diaz melemparkan cengirannya.

“Kau menghabiskan tujuh ribu dolar untuk semua itu? Aku baru tahu kau suka game online.”

“Milik Lara.”

“Wah, aku baru tahu. Unik sekali istrimu ya. Kupikir dia akan menghabiskan jumlah itu untuk membeli tas. Semua wanita yang menjadi kekasih dan istri pesepakbola seperti kita kebanyakan hidup mewah dengan barang-barang wanita yang bermerek, ternyata ada juga yang berbeda.”

Luan tak membalas lagi, dia pun mengkonfirmasi semua pembayaran itu dan menyetujuinya. Ternyata bujukannya kali ini tidak mempan hanya berupa makanan, senjata yang paling ampuh adalah game.

Jika dia marah lagi, bunuh karakter game-nya, bujuk dia untuk menghidupkannya kembali. Luan menyeringai dengan misterius seraya mengirimkan persetujuannya.

⚽⚽⚽

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Damn! He's My Husband - Part 8 (FREE)
22
2
(Romance 18+)Lara datang ke stadion, membuat kehebohan dengan memberikan air dan roti untuk Luan!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan